Pages

Wajah Pendidikan Kita (3)


Masih Berkecamuknya Politik Kepentingan

Maksud dari pendidikan ialah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya ( K.H. Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan ). Dari uraian itu terlihat jelas bahwa pendidikan merupakan upaya untuk menjadikan manusia yang merdeka baik secara lahir maupun batinnya. Tapi tujuan itu belum selaras dengan realitanya. Upaya untuk menciptakan masyarakat yang bahagia hanyalah slogan dari penguasa negeri ini untuk mengejar kebahagiaannya sendiri. Pendidikan sengaja dijadikan lahan untuk mengejar materi semata dan hidden project golongan. Terjadinya dikotomi pendidikan dalam era orde baru masih mengakar dalam sistem pendidikan sekarang. Guru masih sebagai pemegang otorita tertinggi dan murid selalu menjadi objek atau klien. Sehingga menghasilkan generasi-generasi yang jauh dari rasa kritis, berpikir objective seta inovatif. Murid sebagai peserta didik selalu dicekoki dengan sistem serta teori yang konvensional dengan metode menghapal dan mencatat seterusnya. Sehingga bisa dipastikan hasilnyapun akan bernasib sama ketika terjadi regenerasi dari pendidik di negeri ini.
Pasal 1 ayat 1 UU Sisdiknas merumuskan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, bangsa, masyarakat dan negara. Secara jelas konsep ini penekanannya pada perkembangan anak didik supaya mampu hidup berdikari. Tapi lagi-lagi upaya untuk mewujudkan itu belum sesuai kalau melihat keadaan pendidikan sekarang. Untuk menjadikan pendidikan sebagai sesuatu yang bisa mencerdaskan, ada banyak problema yang harus dikritisi dan diselesaikan. Darmaningtyas, seorang pengamat pendidikan pernah menyebutkan bahwasannya pendidikan di tanah air sekarang ini buruk. Itu bisa ditinjau dari aspek filsafat pendidikan, ideologi pendidikan, nation and character building, ekonomi, politik, globalisasi pendidikan, humanisasi dan dehumanisasi pendidikan serta budaya. Persoalan filsafat pendidikan, menurutnya adalah masalah yang paling krusial setelah munculnya reformasi politik 1998 lalu. Ini karena munculnya berbagai kelompok kepentingan yang masing-masing ingin mengegoalkan aspirasinya agar menjadi platform di seluruh bangsa ini. Dilain pihak (interelasi antara teori dan praktek) pendidikan masa orde baru masih menyisahkan persoalan filosofis yang amat mendasar karena kebijakan orde baru yang menempatkan pendidikan untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan yang akhirnya terabaikannya perkembangan manusia sebagai individu yang bebas. Citra diri manusia sebagai individu, lebur kedalam sistem politik yang sentralistik, hegemonik dan totalitarian.
Sementara itu, rumusan tujuan pendidikan nasional dalam UU No 20/2003 menurutnya juga terlalu mengandung banyak muatan yang ingin disampaikan, sehingga menjadi semakin tidak jelas. Seperti yang dicontohkannya antara rumusan UU No 4/1950, tentang undang-undang pokok sistem pengajaran dan pendidikan nasional yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Rumusan itu memang sederhana, tidak berbelit, tapi memiliki makna individual sosial dan kebangsaan yang sangat tinggi. Rumusan ini secara cerdas mengaitkan praksis pendidikan dengan tanggungjawab sosial, proses demokratisasi dan pembentukan karakter bangsa (nation and character building) karena memang dibuat oleh orang-orang cerdas sehingga hasilnyapun mencerdaskan bangsa “paparnya. Inilah yang menurut beliau seperti yang dirumuskan oleh Ki Hadjar Dewantara.
Selain itu, beliau juga menyesalkan kewenangan pengelolaan dari desentralisasi pendidikan.karena yang terjadi dilapangan justru masih sentralisasi. Formatnya masih seragam disemua tempat (kurikulum, buku dan evaluasi). Hal itu mencerminkan bahwa desentralisasi dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut tidak sesuai dengan otonomi pendidikan sehingga secara formal memang ada desentralisasi, tapi desentral;isasi tersebut tidak secara otomatis melahirkan otonomi pendidikan. Yang terjadi adalah penyelenggaraan pendidikan tetap tidak demokratis karena masih sentralistis. Permasalahan lainnya yang turut memperburuk citra menurutnya adalah otonomi daerah yang berdasar pada UU No 22/1999 yang membatasi ruang gerak guru hanya ditingkat kabupaten atau kota yang sama, karena untuk pindah ke kabupaten atau kota belum tentu dapat diterima. Kurikulum yang ada juga tak luput dari pandangan beliau ini yang juga tergabung dalam Majelis Luhur Tamansiswa. Kurikulum yang ada menurutnya inkonsisten kalau masih menggunakan pengevaluasi berdasar ujian nasional. Karena yang menerima dampak langsungnya adalah murid yang hanya sekedar dijadikan objek dari kebijakan yang diambil.
Faktor lain yang turut menghambat proses pendidikan adalah ketersediaan fasilitas seperti ruang kelas, kinerja guru, kinerja subjek didik, buku, laboratorium, tempat praktek, manajemen sekolah, kurikulum sekolah, partisipasi orang tua, pertisipasi masyarakat, praksisi pendidikan dikeluarga, pendidikan guru dan lain-lain. Dari hal itu, hanya beberapa unsur saja yang bisa dipenuhi. Selebihnya, kerusakan gedung sekolah masih banyak dan menghambat pelaksanaan pendidikan. Inilah tugas bersama yang harus dituntaskan agar cita-cita pendidikan dapat dilaksanakan. Sinkronisasi antar guru dan murid, guru dan masyarakat serta guru dan orang tua harus selalu terjalin supaya bisa menjadi motor penggerak untuk mencerdaskan anak didik yang kemudian bisa mencerdeskan bangsa sesuai dengan amanat yang telah dimaktubkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Upaya-upaya pembaharuan yang positif dalam dunia pendidikan harus segera dilaksanakan secara komprehensif dan profesional. Ironis memang kalau melihat Sistem Pendidikan Nasional sekarang ini yang membuat anak didik sebagai kelinci percobaan para pengambil kebijakan. Selalu dijadikan objek dari politik kepentingan.

Melki AS

0 komentar:

Posting Komentar

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template