Pages

Sanusi Pane dalam Melankolisme Sastra Indonesia



Dunia sastra memang sudah terkenal dari zaman ke zaman. Banyak novel maupun roman atau puisi yang telah beredar dan menjadi kisah sepanjang hidup. Dan banyak pula dari itu yang menggambarkan kebiasaan atau adat dari suatu daerah. Sebut saja roman Siti Nurbaya karangan Marah Rusli yang menggambarkan suatu adat tentang kawin paksa yang berasal dari daerahnya Sumatera barat. Roman yang menceritakan seorang gadis yang karena adat istiadat harus kawin secara paksa. Sang pengarangpun dengan sangat professional mengarang naskah itu sehingga arti dan tujuan yang dimaksud mudah dipahami dan dimengerti. Mungkin itu sekilas roman dari angkatan 20-an yang telah kita dengar bahkan baca berulang-ulang.
Sedikit mengulas tentang sastra, disisni mungkin kita mengetahui karya-karyanya tapi kita tidak mengetahui siapa pengarangnya. Dari ulasan yang akan kami sajikan sekarang, saya mencoba menyajikan apa dan siapa yang telah turut menghias baik dunia sastra kita dari dulu sampai sekarang. Dan juga kita berkeinginan supaya dunia sastra kita terus berkembang dan menghasilkan sesuatu yang betul-betul bermanfaat. Data yang disajikan ini merupakan penelitian dari biografi pengarang yang dikerjakan oleh staf Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, khususnya oleh para peneliti Bidang Sastra Indonesia dan Daerah. Juga data yang disajikan kali ini didapat dari data perpustakaan Pusat Dokumentasi sang kritikus sastra Hans Bague Jassin maupun yang sudah dibukukan seperti Antologi Biografi Pengarang Sastra Indonesia 1920-1950 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1997).
Seperti yang kita ketahui, dizamannya kurun waktu angkatan 20-an lahir banyak pengarang handal berasal dari daerah Sumatra Barat. Seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Aman Datuk Mudjoindo dan lain-lain. Ada juga pengarang yang berasal dari daerah Sumatra Utara seperti Merari Siregar atau yang lainnya. Nah kali ini kami akan menyajikan biografi seorang pengarang yang berasal dari daerah Sulawesi. Tepatnya dia berasal dari Muara Sipongi, Tapanuli Selatan yang lahir pada tanggal 14 november 1905. pengarang satu ini juga merupakan kakak dari pengarang yang telah berhasil menelurkan roman yang berjudul belenggu ( Armijn Pane ). Siapa dia kalau bukan Sanusi Pane.
Kalau kita melihat sisi latar belakang kelurganya, kita teringat polemiknya dengan Sutan Takdir Alisyahbana (pujangga baru, april 1937) tentang kehidupan dinegara barat yang berusaha keras untuk bisa menaklukan alam yang berakibat timbulnya paham materialisme dan individualisme. Hal ini sangat berbeda dengan kehidupan yang terjadi di daerah timur yang alamnya tidak sekeras di daerah barat. Dari pandangan seperti itulah, Sanusi Pane mencoraki karya-karyanya. Keseharian Sanusi Pane pun bias dikatakan sebagai orang yang perendah. Itu karena dia tidak suka untuk membanggakan apa-apa yang telah ia perbuat. Bahkan Sanusi pane pun mengatakan dirinya bukan bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa saat diwawancarai oleh J.U. Nasution yang saat itu ingin memburu dan menulis karya karangannya (nasution 1963). Yang lebih mengagetkan lagi dari kepribdian Sanusi Pane disini ialah penolakannya pada saat presiden Soekarno ingin memberikan Satya Lencana Kebudayaan kepadanya. Penolakan itu bukan tidak beralasan. Seperti yang terkutip, “Indonesia telah memberikan segala-galanya bagiku. Akan tetapi, aku merasa belum pernah menyumbang sesuatu yang berharga baginya. Aku tidak berhak menerima tanda jasa apapun untuk apa-apa yang sudah aku kerjakan. Karena itu adalah semata-mata kewajibanku sebagai putera bangsa”. Demikian alasana penolakannya untuk menerima penghargaan dari presiden pertama RI itu.
Sebagaimana kebudayaan Hindu, rupanya Sanusi Pane juga sangat menyerap arti dari pembelajaran agama itu. Terbukti dengan penolakannya terhadap penghargaan itu yang dianggap hanya bersifat jasmani dan jika manusia tidak bias melepaskan keduniawiannya, maka ia tidak akan mencapai kebahagian sejati dialam baka nanti. Artinya disini, dunia hanya berda dalam kehidupan maya belaka, bahkan secara eksrim, dunia ini jahat dan karena itu manusia harus berjuang untuk melepaskan belenggu. Sama seperti umat hindu lainnya, mungkin Sanusi Pane beranggapan bahwa dunia ini adalah maya dan untuk apa semua umat berlomba menguasai dunia yang hanya penuh dengan kesemuan belaka. Mereka (umat Hindu) menganggap bahwa ruh manusia didunia ini diciptakan dari ruh dunia, ruh yang universal dan akan meresap kembali dengan ruh dunia itu. Disanalah kebahagiaan akan tercapai bila manusia berhasil melepaskan diri dengan hal-hal yang bersifat materi. Tampaknya agama Hindu sangat masuk kedalam sanubri Sanusi Pane yang semula dilahirkan dari kalangan islam. Ini terbukti dengan terciptanya Himpunn Mahasiswa Islam (HMI) yang dipelopori oleh kakaknya Prof. Drs. Lafran Pane. Tetuntunya sangat bertentangan sekali ketik Sanusi Pane berwasiat ketika ia akan meninggal agar di perabukan layaknya pujangga-pujangga Hindu dahulu dan permintaanya tentulah tidak disetujui karena melanggar hukum agama sebagaimana yang telah diembannya dan keluarga sejak lahir. Didalam kehidupanya juga, Sanusi Pane pernah pantang makan daging sebagaimana orang Hindu yang menganggap bahwa kita harus menyayangi sesama tanpa terkecuali dengan binatang dan konsekwensi dari rasa sayang itu tadi ialah tidak boleh memakan dagingnya. Dalam ajaran Hindu juga membawanya untuk tidak banyak menuntuk kehidupan duniawi. Dia hanya cukup dengan kehidupan biasa. Asalakan masih bisa makan cukup. Sampai pada waktu dia bekerja dibalai pustakapun, tingkatan jenjang atau jabatan yng pernah ditawarkan ditampik begitu saja tanpa jawaban sampai dia pensiun. Sanusi Pane selama bekerja juga enggan untuk diantar dan dijemput. Dia lebih memilih berjalan kaki saja.
Melihat latar belakang pendidikannya pun, Sanusi Pane mengawalinya di Hollands Inlandse School (HIS) di padang Sidempuan dan Tanjungbalai. Setelah itu ia melanjutkan ke Europeesche Lager School (ELS) di Sibolga, kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreit Lager Onderwijs (MULO) di padang dan Jakarta. Setamat dari MULO tahun 1922, kemudian ia masuk sekolah pendidikan Guru yang pada saat itu bernama Kweekschool di gunung sahari, Jakarta sampai tamat tahun 1925dan langsung diangkat menjadi Guru disekolahan tersebut. Pekerjaan mengajar itu dilakoninya lebih kurang selama enam tahun sampai tahun 1931. selain itu, Sanusi pane merupakan salah satu pendiri majalah Pudjangga Baroe sebagai pembantu utama. Dan dia juga pernah bekerja juga di Balai Pustaka. Selama hidupnya, Sanusi Pane juga pernah kuliah di Rechtshogeschool atau perguruan tinggi kehakiman selama satu tahun.
Memang ketenaran Sang Sanusi pane semasa hidupnya kurang terkenal seperti adiknya Armijn Pane. Tapi, menurut nasution juga, Sanusi Pane merupakan penulis drama terbesar sebelum perang pada masa itu atau pada masa angkatan pujangga baru. Diselang menulis drama, Sanusi Pane juga terkenal sebagai penulis puisi. Pada masa gerakan pujangga baru, pandangan orang terhadap kebudayaan bangsa Indonesia pada umumnya ada perubahan yang cukup mencolok dibandingkan dengan angkatan sebelumnya. Perbedaan pandangan kebudayaan itu menimbulkan polemic yang cukup seru dan melibatkan beberapa tokoh kenamaan seperti Ki Hadjar Dewantara, Purbatjaraka, Sutomo, M Amir, Adinegoro, Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane sendiri. Karangan yang muncul dalam polemic para ahli kebudayaan itu kemudian dikumpulkan oleh Achdiat Karta Miharja (1977) dan menjadi sebuah buku yang berjudul Polemik Kebudayaan.
Didalam hidupnya, Sanusi Pane juga menyukai ketenangan dan kedamaian. Ini menjelma di dalam karyanya baik puisi maupun drama. Itulah yang menyebabkan dia mendapat julukan sebagai pengarang romantic. Sanusi Pane mamandang bahwa lam tidak hanya sebagai lambing tapi juga sebagai objek pengubahan sajak-sajaknya yang mendendangkan alam seperti “sawah, teja, dan menumbuk padi”. Keindahan sawah menyemtuh kalbu sang pujangga. Padi yang sedang menguningmalambai-lambai. Suara suling petni sejuk terdengar mendamaikan hati.sekelompok anak bercanda ria, berkejar-kejaran karena kegirangan mandi disungai yang airnya jernih.langit cerah dan brewarna biru menandakan kedamaian dan ketenangan. Dikejauhan tampak seekor burung elang melayang-layangdiudara menikmati alamnan permai. Suara berdesik dari dedaunan yang berbisik merdu karena terbuai angin nan lembut. Sayup-sayup terdengar kokok ayam menambah kedamaian jiwa yang mendengarnya.
Melihat dari beberapa buah karyanya, nampaknya Sanusi Pane memang terlahir dengan membawa jiwa yang ke-romantisan. Sajak-sajak seperti angin, rindu, bagi kekasih, kemuning, dan bercinta, sangat kental sekali dengan nuansa romantis yang ditimbulkannya didalam jiwanya itu. Juga dalam sajak terbesarnya yang terdapat dalam Madah Kelana yakni Syiwa Nataraja merupakan kata hati pengarang yang selalu ingin menyatu dengan alam. Selain itu semua, kita msih bias menemuklan sajak-sajak lainnya yang senada seperti awan, penyanyi, pagi, damai dan bersila. Dari sajak-sajak itu jelas terlihat Sanusi Pane ingin mengajak kita semua untuk menyatu dengan alam. Dalam hal penulisan drama, seperti yang diungkapkan tadi, bahwa dia adalah penulis yang terbesar saat itu. Sanusi Pane sebagai penulis telah mampu menelorkan bebarapa drama baik dalam bahsa Indonesia maupun dalam bahasa belanda. Dramanya dalam bahasa inonesia antara lain Kertajaya, Sandyakala ning Majapahit, serta Manusia Baru. Didalam bahasa Belandapun, dia telah membuat drama dengan judul Air langga dan Enzame Garoedavlucht.
Berbicara masalah drama romantis ini, tentunya kita teringat dengan pujangga Inggris Shakespeare yang terkenal dengan cerita Romeo dan Juliet-nya. Begitupun juga dengan Sanusi pane. Dramanya tentang Kertajaya juga mengisahkan trageti dua pasang anak manusia (Dandang Gendis dan Dewi Amisani) yang akhirnya mati bersama dengan cara bunuh diri. Tapi penyelesaian drama ini sempat menjadi controversial dibanding dengan fakta sejarah. Sttuterheim menyatakan bahwa Kertajaya mengasingkan diri sebagai petapa sedangkan Krom mengatakan bahwa setelah Kertajaya kalah dalam pertempuran, dia menghilang tidak tahu kemana, apakah sudah mati atau belum. Tapi itulah keperibadian Sanusi pane sabagai seorang sastrawan timbul. Memang sastrawan bukan ahli sejarah tapi dia bebas menentukan akhir dari cerita yang dia buat. Dari cerita itulah kita bisa melihat jiwa keromantisan dari pengarang Sanusi Pane yang sangat mendorongnya untuk mengakhiri ceritanya dengan tetesan air mata.
Dorongan hati untuk terus menciptakan karya yang mengharukan yang dapat mencucurkan air mata bagi para pembaca atau penonton juga terdapat didalam dramanya yang berjudul Sandyakal Ning Majapahit. Akhir cerita ini sama sekali berbeda dengan buku yang dijadikan dasar pembuatan cerita yakni Serat Damarwulan. Kalau dicerita Serat Damarwulan diakhiri dengan happy ending, dengan berhasilnya Damarwulan membawa kepala menak jingga ke Majapahit yang menyebabkan dia mendapat hadiah dengan menikahi sang ratu. Sebaliknya dalam cerita Sanusi, dia mengakhiri ceritanya dengan tragis dimana Damarwulan dituduh sebagai penghianat dan sudah pasti tak bakal lepas dari hukuman mati. Didalam cerita Sanusi Juga, setelah kematian Damarwulan, kerajaan Majapahit diporakporandakan bala tentara dari kerajaan Bintara.
Drama Sanusi Pane yang terakhir yang berjudul manusia baru akhirnya terbit setelah tujuh tahun drama keduanya. Di dalam drama ini terlihat modernitas dari Sanusi Pane. Dia lebih menekankan pada kebahagiaan manusia baik lahir maupun batin. Disini juga dunia tidak dianggap jahat lagi yang perlu dijauhi dan dihindari sebab menghindari dunia, hidup tidak bisa dipertahankan. Didalam drama manusia baru ini, mencakup juga ide akan emansipasi wanita yang tampak diakhir cerita yang menggambarkan pemberontakan seorang perempuan yang bernama Saraswati yang rela meninggalkan tunangannya sejak kecil dan keluarganya untuk mengikuti kemana langkah Surendranath Das pergi demi cintanya, demi kemajuan bangsanya, demi kemajuan manusia, manusia baru. Cerita dalam drama ini sangat menarik sekali karena kisah dari penokohannya mirip dengan kisah yang dialami sang pengarangnya sendiri. Cerita ini mirip dengan kisah pengarangnya karena sewaktu Sanusi Pane ingin melamar bidadari pujaan hatinya, pihak kelurga perempuan meminta Boli ( mahar ) sebesar tiga ribu gulden dan Sanusi merasa sangat berat lalu dia mengajak sang bidadarinya untuk melakukan marlojong (kawin lari). Karena keduanya sama-sama mencintai, akhirnya sang mertua menyetujui dengan menurunkan mahar menjadi tiga ratus gulden yang diketahui juga setelah pernikahan bahwa uang mahar itu hasil pinjaman Sanusi. Dan akhirnya juga sang mertua yang harus membayar hutang dari mahar pernikahan Sanusi dengan Anaknya itu.
Kini Sanusi pane telah tiada. Tanggal 2 Januari 1968, ketika fajar mulai menyingsing, sang pujangga itu di panggil yang maha kuasa untuk menghadapnya selama-lamanya. Dia pergi dengan penuh kedamaian. Dia mengabdikan dirinya dengan tulus ikhlas untuk kemanusiaan. Semoga ia mendapat kebahagiaan “petala nirwana”. Sanusi Pane meninggalkan seorang istri dan enam orang anak tanpa meninggalkan kekayaan yang berupa materi sedikitpun bahkan rumahpun tak dimilikinya. Kekayaannya yang terbesar yang ditinggalkannya hanya karya-karyanya yang terus melekat disanubari setiap manusia Indonesia dan nama indah yang terukir sepanjang sejarah sastra Indonesia.(dari berbagai sumber)

Melki AS
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template