Pages

22 Desember


Seorang teman mengatakan bahwa tanggal 22 Desember merupakan hari Ibu. Katanya, hari ini kita harus kembali mengingat ibu dan banyak meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah kita buat.
‘Emangnya harus pada peringatan hari ibu, baru kita akan minta maaf dan mengingat beliau’ujarku dengan sedikit gusar.
Teman mengangguk pelan. Reaksi ini entah antara ketahuan atau ketidaktahuannya. Sekali lagi saya bertanya, Sebenarnya apa esensi dari hari ibu yang selalu kita peringati setiap tanggal 22 Desember ini? Teman hanya bengong saja dan melotot tak bersuara. Bingung. Ya memang bingung ketika kembali kita renungkan sebanaranya kenapa ada hari ibu. Bukan karena kita tidak menghormati beliau, tetapi bukankah kita selalu dan harus selalu menghormatinya. Bukankah ‘Surga di bawah telapak kaki Ibu’. Jadi ada penempatan posisi yang lebih mulia untuk beliau. Di peringati maupun tidak, semua orang harus patuh pada ibunya.
Menurut saya, kita boleh saja memperingati dan menetapkan sebuah prosesi. Tapi setidaknya sebelum melakukan prosesi itu, sebaiknya dilihat dulu kemana arah dan tujuan yang akan kita lakukan. Apakah ada gunanya ataukah hanya sekadar gaya sok-sok-an saja. Seperti peringatan hari ibu ini, seharusnya kalau memang perlu diadakan refleksi tentang ibu, tentunya kita, pemerintah dan menteri urusan wanita bisa membuat formula tersendiri mengenai kaum ibu. Misalnya bagaiman cara supaya tingkat kesadaran seorang ibu bisa dinaikan lagi. Mungkin kita tidak lumrah mendengar bahwa ibu-ibu sekarang terutama ibu muda malas untuk memberikan ASI untuk bayinya. Nah hal seperti inilah yang seharusnya di genjot kembali agar ibu sadar bahwa pemberian ASI buat sang anak sangat berguna dan berdampak besar bagi perkembangan anaknya kemudian kelak. Tapi sebenarnya menurut saya, 22 Desember lebih tepat kalau kita bilang bahwa ini hari perempuan. Supaya tidak ada batas antara yang sudah jadi ibu maupun calon ibu. Jadi semua perempuan baik single maupun married, bisa sama-sama dihargai.
Sebuah realitas terkadang memang sangat menyesak ketika kita banyak mendengar dan melihat ada anak tidak menghormati orang tuanya terutama ibunya. Tapi ini nyata dan tidak bisa dibantahkan bahwa kejadian itu benar adanya. Media terkadang sering memberitakan tentang anak-anak durhaka. Dalam mitospun, sastra mengajarkan kita terhadap durhakanya Malin Kundang yang akhirnya dikutuk menjadi batu oleh ibunya karena tidak menghormati dan mengakui dirinya sebagai ibu karena ia sudah disilaukan dengan nikmat duniawi yaitu harta tahta dan wanita. Sekarang mitos berganti dengan nyata, karena memang terkadang sangat banyak anak yang karena gengsi, seolah tidak ingat dengan sosok seorang ibu yang telah melahirkan, merawat dan membesarkannya.
Memang sangat berat perjuangan seorang ibu terhadap anak dan keluarganya, disamping ada peran lainnya seperti bapak dan saudara-saudara yang lain. Tapi keistimewaan seorang ibu, sejatinya snagatlah sulit untuk tergantikan. Beliaulah seorang malaikat penjaga yang tidak pernah lelap saat anaknya masih kecil dan mampu menahan dingin agar supaya anaknya tetap hangat dan bernafas. Ribuan kilo jalan yang ditempuhnya, lewati rintangan untuk sang anak dan tetap terus berjalan walau kaki penuh darah penuh nanah. Kasih yang diberikannya sangat besar dan luas seperti udara, sehingga takkan mampu untuk dibalas sampai kapanpun’ kata Iwan Fals dalam liriknya Ibu.
Teman yang dari tadi bengong, sekarang mulai mengangguk-anggukan kepala. Soalnya selama ini beliau hanya pandai menyanyikan saja lirik Iwan Fals tersebut, tapi tidak mencoba mendalami maknanya. Sembari makan gorengan dan menyeruput es teh, kembali kami melanjutkan pembicaraan tentang hari ibu, peranannya dan kepentingannya.
‘ Jadi begitu toh maksud Iwan Fals yang sering kita nyanyikan itu. Saya sebenarnya sudah mulai merasakan dan dapat menyelam dari maknanya. Tapi saya rasa yang menjadikan ibu itu lebih mulia dari yang lainnya tidak sekadar itu saja. Pasti masih ada hal-hal lainnya’ tanyanya gusar.
‘Iya, masih ada hal yang menyangkut keistimewaan seorang ibu selain dia yang melahirkan dan menyusui’ Jawabku.
Al Qur’an menyebutkan bahwa Allah mempunyai maksud tertentu ketika menciptakan manusia, dan maksud tersebut menjadi tugas bagi setiap manusia yang dilahirkan dimuka bumi. Agar manusia masing-masing dapat menjalankan tugasnya, Allah tidak pernah lupa memberikan fasilitas yang unik kepada masing-masing orang yaitu ‘bakat’. Kalau saja setiap orang bisa menemukan ‘bakat’nya masing-masing, itu berarti bahwa kita bisa menemukan jalan suksesnya masing-masing. Dan untuk bisa mendapat ‘tiket’ masuk ke jalan tersebut, dibutuhkan ‘doa ibu’ karena ibu memiliki kedudukan yang sangat tinggi dimata Allah.
‘Nah itulah kenapa ibu disebut malaikat penjaga dalam diri kita’ kataku meyakinkan teman tadi. Dia mungkin paham atau tidak, setidaknya mimik mukanya mengambarkan keseriusan yang dalam tentang arti seorang ibu.

Hari Ibu; Antara Peringatan dan Kritikan
Adanya peringatan hari ibu, setidaknya merupakan kebanggaan tersendiri bagi kaum ibu di dunia ini, terutama ketika hal itu terimplementasikan. Tapi hari ibu 22 Desember ini, juga tidak bisa kita lepaskan dari kritik social yang ada. Artinya, peringatan hari ibu, bukan merupakan kebanggaan yang sesungguhnya bisa dinikmati oleh ibu-ibu yang ada. Peringatan hari ibu dewasa ini hanya teruntuk segolongan ibu-ibu saja. Karena berdasarkan pengalaman empiriknya, ibu-ibu yang kondisi perekonomiannya miskin, adalah sebuah keniscayaan untuk mengerti dan memperingati hari ini. Bahkan mereka pun sama sekali tidak tahu menahu tentang adanya hari ibu dan gunanya dalam peringatan ini. Mungkin kebiasaan anak-anak dengan mengusap kaki ibunya dengan air sebagai tanda cinta dan patuhnya kepada sang ibu adalah tindakan mulia dan tidak dilarang agama. Tapi ada hal yang terpenting lagi dari ritual itu semua yaitu mendoakan sang ibu setiap saat. Justru inilah anjuran Tuhan kepada kita semua sebagai tanda cinta dan kasih kepada sosok ibu.
Dengan adanya peringatan hari ibu kali ini, saya ingat beberapa tahun yang telah berlalu di kampung halaman tercinta. Disana biasanya kami memperingati hari –hari tertentu saja seperti Hari Proklamasi Kemerdekaan setiap 17 Agustus, Hari Pendidikan Nasional setiap 2 Mei, Hari Pahlawan 10 November dan Hari-hari besar Keagamaan. Peringatan hari ibu setiap tanggal 22 Desember, rasanya agak sedikit aneh dan unik. Soalnya sangat jarang sekali kami dengar dan peringati. Baru-baru ini saja kami mendengar adanya peringatan hari ibu. Saya sempat konfirmasi dengan kawan-kawan dikampung halaman mengenai 22 Desember ini, dan mereka mengatakan bahwa tidak ada efeknya sama sekali. Berarti keadaan sama seperti semula. Kenyataan ini beralasan karena untuk ibu-ibu di desa dan hidup dibawah garis kemiskinan, boro-boro memperingati, malah belum lagi matahari bersinar, sudah harus meninggalkan rumah, entah itu ke ladang, sawah, menyadap karet, memetik kopi, jualan di pasar atau menunggu kapal mendarat dipantai. Makanya adanya hari ibu hari ini tidak ada fungsinya sama sekali.
Berbeda halnya dengan Hardiknas, kembali semua ramai mengingat kembali arti dan esensi pendidikan negeri ini, begitupun dengan Hari Proklamasi Kemerdekaan, kami didekatkan kembali dengan peristiwa lampau tentang arti dan perjuangan kemeredekaan negeri kita ini. Jadi kami yang waktu itu masih anak-anak, tidak lantas ahistoris terhadap setiap kejadian. Tapi hari ibu, kami mengenang apa? Mengenang ibu tercinta toh sudah dilakukan setiap hari. Begitupun dengan para penjaja seks komesil. Bagi mereka, sebenarnya bukan karena mereka terdiri juga dari ibu-ibu yang sudah menikah dan punya anak, lalu memperingati hari ibu tetapi masalah terbesar adalah keterdesakan ekonomi. Mereka juga tidak ingin menjajakan diri seandainya mendapat penghidupan dan kehidupan yang layak. Bukannya mereka tidak berapresiasi terhadap hari ibu, tetapi kalau mau ikut-ikutan, mereka akan makan apa, anaknya mau diberi makan apa. Jadi sangat kontras sekali disatu sisi kita memperingati hari ibu, tapi disisi lain, masih banyak ibu yang mati-matian memperjuangkan perekonomian yang setidaknya sedikit layak. Mungkin ini bukan hal yang baru kita dengar tentang bagaimana kerasnya wanita-wanita batu bekerja mencari dan memecahkan batu demi untuk mendapat sesuap nasi.
Lalu kemana hari ibu ini akan kita bawa? Mungkinkah ini hanya ritual rutinitas saja yang tiada makna apa-apa? Semua itu harusnya menjadi pembacaan ulang lagi oleh pemerintah. Jangan sampai ibu-ibu ini dijadikan wadah politik untuk memperjuangkan kepentingan tertentu dan golongan. Soalnya sangat disayangkan sekali, ketika kita turut memperingati hari ibu, bergembira dengan saling mengkultuskan seorang sosok, tetapi sosok lainnya terpuruk. Bahkan banyak dari beberapa ibu lainnya meranggas bahkan meregang nyawa karena kelaparan. Saya rasa kita semua masih terhenyak dengan kasus meninggalnya ibu dan anak di Sulawesi yang diakibatkan kelaparan. Begitupun dengan saudara-saudara atau ibu-ibu kita di pedalaman Yahukimo di Papua yang karena kelapan banyak meninggal dunia. Peringatan hari ibu kali ini seharusnya tidak berhenti pada pemaknaan dan ritual saja, tetapi hendaknya ada formula yang dihasilkan untuk menatap dan memperhatikan kembali keadaan terutama kaum ibu. Hendaknya juga dari peringatan ini, ada penekanan tertentu yang dilakukan terhadap generasi kedepan baik ibu-ibu maupuncalon ibu (kaum perempuan). Karena kita mempunyai Ibu Luhur negeri ini yaitu Raden Ajeng (RA) Kartini. Saya rasa, sangat tepat sekali sekiranya perjuangan beliau di tekankan pada peringatan hari ibu ini. Karena sosok Kartini masih cukup ideal sebagai pelopor gerakan wanita Indonesia. Semangat-semangat seperti ini seharusnya harus mampu dirasukan dalam setiap benak kaum perempuan untuk jangan lelah dan menyerah dalam berjuang. Apalagi ditengah bangsa ini menghadapi revolusi budaya yang sudah tidak on the track. Karena terus terang saja bahwa bangsa ini tengah kacau karena ketidakjelasan budaya. Seharusnya peran ini juga di antisipasi oleh kaum perempuan termasuk juga ibu-ibu.
Ki Hadjar Dewantara pernah mengkonsepkan bahwa pendidikan dapat dilakukan dalam tiga area (tri pusat pendidikan) yaitu sekolah, rumah dan lingkungan masyarakat. Nah salah satu peran pendidikan di rumah adalah tanggungjawab oleh orang tua termasuk ibu. Artinya ibu bisa menjadi penerang dan penjelas pendidikan kepada sang anak terkait permasalahan bangsa. Contohnya masalah budaya. Karena di tengah tidak bergeming nya bangsa ini akan terpaan budaya barat, maka sekali lagi, ibu mengambil peran untuk menyadarkan sang anak untuk bisa mengingat, meluruskan dan menjaga kebudayaan asli kita. Karena kebudayaan kita adalah kekayaan kita sendiri. Nah mungkin sangat tepat kalau pada peringatan kali ini, peringatan hari ibu ini, kerja-kerja atau tanggungjawab ini di tekankan. Akan menjadi sebuah kerugian besar ketika kita punya ritual rutinitas peringatan hari ibu, tapi tidak ada follow up dari itu semua. Artinya hanya menghabiskan waktu dan (kalaupun ada) menghabiskan biaya tatkala kita harus memperingatinya.Dan kalau memang ternyata kita tidak sanggup untuk mem-follow up dari peringatan hari ibu ini, sebaiknya tidak perlu ada peringatan. Biarkan semua kembali seperti semula, dimana tidak ada peringatan hari ibu. Cukuplah kita mengenang dan mematuhi ibu secara langsung tanpa ada peringatan-peringatan seperti ini. Mungkin itu saja dulu. Karena pemahaman saya tentang perempuan kurang begitu jelas, maka, kalau ada kesalahan, saya mohon maaf.

Melki AS
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template