Pages

Jurnalistik


Mungkin tulisan ini tidak menjadi satu-satunya sumber kenapa belajar dan menerapkan jurnalistik itu penting. Tidak hanya di masyarakat umum saja, melainkan juga bisa diterapkan dalam lingkungan kita berada seperti kampus dan lain-lain. Semenjak era 1998, kita sudah mendapat kebebasan pers yang artinya semua orang berhak membuat karya tulis baik berupa berita, opini dan lain-lainnya (tapi tetap pada koridor atau kaidah jurnalistik yang sesuai, tepat dan bisa di pertanggungjawabkan). Kita juga berhak mengkritik tanpa harus takut terhadap bahaya yang mengintai (meskipun bahaya itu adalah resiko dan harus diambil setiap wartawannya).
Seorang jurnalis yang idealis harus mempunyai basic yang lebih dibandingkan lainnya. Seperti analisa social, kepekaan terhadap situasi kondisi yang sedang dihadapi maupun lainnya. Disamping itu, seorang jurnalis juga harus mengerti aturan yang dipakai dan diterapkan dalam membuat berita. Seperti Kode Etik Jurnalistik, jenis-jenis berita, tahapan-tahapan dalam menulis berita atau aritkel dan bagaimana cara yang efektif dalam memburu berita. Bill dan Tom mendefinisikannya dalam buku sembilan elemen Jurnalisme bahwa kewajiban utama jurnalisme adalah pada kebenaran, loyalitas jurnalisme kepada warga, intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi, para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita, jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan, jurnalisme harus menyediakan forum public untuk kritik maupun dukungan warga, jurnalisme harus mampu membuat hal-hal yang penting, menarik dan relevan, jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional, para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka
Mengapa para jurnalis harus akrab dengan Kode Etik Jurnalitik (KEJ)? Karena KEJ merupakan kitab dalam menjalankan tugas jurnalistik. Sebagaimana telah diatur didalamnya tentang sikap-sikap etis seorang wartawan, cara melakukan tugas jurnalistik yang benar serta KEJ juga merupakan alat perlindungan terhadap wartawan ataupun jurnalis yang melakukan tugas jurnalistiknya (Asril Sutan Marajo, KEJ Indonesia/2006 dan PWI 2008). “ Journalist believe they must maintain a first obligation to the truth, put citizens ahead of other considerations, stay in independent from faction, employ an ethical method of verification, provide an open public forum, report what is significance as wall as engaging, keep news in proportion, monitor the powerful, and remain true to personal conscience ” [Wartawan percaya bahwa mereka harus memegang teguh kewajiban utamanya kepada kebenaran, meletakkan kepentingan publik di atas segalanya, tetap memegang teguh asas independen dan tidak memihak, menggunakan metode yang etis untuk mengecek kebenaran, memberikan kesempatan untuk forum wacana publik, melaporkan yang penting dan memerlukan kepedulian, menjaga agar beritanya proporsional, mengawasi yang berkuasa (politik maupun ekonomi), dan tetap jujur kepada hati nurani] (Committee Of Concerned Journalist USA). Dengan adanya KEJ ini, kehati-hatian jurnalis dalam membuat berita akan tetap terjaga, karena berita harus bersih dari manipulasi. Artinya, berita memang harus berimbang (cover both side) tanpa ada rekayasadan tekanan dari pihak manapun (manipulasi dan intervensi).
Karl Klause (Pakar Politik dan Pers dari Wina) mengungkapkan bahwa “in the beginning was the press and then the word appeared” ( keberadaan Pers lahir lebih dahulu daripada keberadaan dunia). Memang secara tektual terhenti, tetapi dapat diambil juga hikmah dan inti sarinya bagi umat manusia (Pendapa edisi 47, 2004). Dari pernyatan itu tersirat arti bahwa kelahiran pers tidak atas dasar intervensi dari pihak manapun, melainkan Pers terlahir dengan idealismenya sendiri (Independen) dan tentunya juga Kebebasan Pers harus diterima oleh masyarakat sebagai sebuah kebutuhan layaknya kebutuhan akan sandang dan pangan. Independensi Pers dan profesionalitasnya juga tak terlepas dari cara pandang Pers dalam memahami norma dan etika sehingga tercipta hubungan yang selaras aktraktif serta harmoni yang nantinya akan membuat Pers lebih bersikap dewasa. Sebuah kedewasaan pers yang nampak akhir-akhir ini, terlihat bagaimana gencarnya Pers menginvestigasi sebuah keganjilan yang dilakukan oleh para konglomerat atau penguasa di negeri ini. Keberanian serta keakuratan data inilah yang membuat Pers semakin kokoh dalam membangung tiang keempat kekuasaan penegakan demokratisasi di muka bumi ini. Kenapa kebebasan Pers harus diterima oleh khalayak ramai? Itu karena kebebasan Pers mencakup akan kebebsan dalam berfikir, berpendapat serta berbicara demi kebenaran. Sejarah Politik juga mencatat bahwa kebebasan pers dimulai dari Jhon Milton tahun 1644, Thomas Jefferson, Voltaire, dan lain-lain. Makanya kebebasan Pers pernah dikenal dalam 4 teori : Otoritarian, Libertarian, Marxist-Leninist, dan tanggung jawab social
Masalah Pers tidak pada tersajinya berita samata, tetapi seperti yang kita ketahui juga bahwa ada hal penting juga dalam penyusunan beritanya, seperti beberapa bentuk laporan dari penulisan berita. Seorang jurnalis dapat menyajikan berita ke dalam beberapa teknis saji seperti straight News, Hard News, Soft News, Feature dan Reportase. Berita merupakan sajian pers jurnalistik yang paling lazim untuk koran harian. Bahan bakunya berupa peristiwa, fakta dan data yang kesemuanya merupakan kumpulan fakta objektif dengan rumusan 5 W + 1 H (what, where, when, who, why dan how). Cara mengetahui Nilai Berita (kelayakan) untuk bisa dipublikasikan, adalah dengan memenuhi beberapa unsur seperti Significance (penting) yang berarti peristiwa yang mempengaruhi kehidupan orang banyak atau kejadian yang menimbulkan akibat langsung kepada kehidupan pembaca, Magnitude (besar) yang berarti peristiwa yang menyangkut angka-angka (jumlah atau besaran) yang sangat berarti bagi kehidupan orang banyak, Timelines (baru) yang berarti peristiwa yang menyangkut hal baru saat terjadi atau baru diketemukan, Proximity (dekat), yang berarti peristiwa yang dekat dengan pembaca, baik dari segi jarak (geografis) maupun dari segi emosional, prominence (tenar), yang berarti peristiwa yang menyangkut tokoh tempat atau sesuatu (tempat, benda) yang sangat dikenal pembaca dan yang terakhir Human interest (manusiawi), peristiwa yang memberi sentuhan perasaan bagi pembaca dan ini juga bisa menyangkut orang biasa dalam situasi yang luar biasa (Jayadi Kastari, SKH Kedaulatan Rakyat). Dan juga sebelum menentukan penulisan berita, layak direnungkan terlebih dahulu bahwa berita dengan peristiwa. Peristiwa dengan jalan cerita. Karena tiap peristiwa mengandung nilai beritanya sendiri. Untuk itu sebelum menulis berita, perlu dicermati langkah-langkah untuk memudahkan penggarapan antara lain menemukan peristiwa dan jalan cerita, cek dan ricek, menentukan sudut berita, menemukan lead atau intro tulisan kemudian baru menulis berita dengan ragamnya. Tapi bagaimana metode itu bisa dilaksanakan para wartawan, Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa kebanyakan wartawan hanya mendefinisikan hanya sebagai dengan liputan yang berimbang (balance), fairness dan akurat. Tapi berimbang maupun fairness adalah metode dan bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur ditengah liputan yang berimbang. Fairness juga bisa di salah mengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi yaitu, (1) Jangan menambahkan atau mengarang apapun, (2) Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar, (3) Bersikaplah se-transparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi anda dalam melakukan reportase, dan (4) Bersandarlah terutama pada reportase anda sendiri, serta (5) Bersikaplah rendah diri (Ki Engkos Kosnadi, Reportase; Teori Untuk Praktek 2008).
Sementara itu, sebagai seorang wartawan atau jurnalis, penting untuk mengetahui apa dasarnya untuk memulai membuat sebuah tulisan. Modal dasar dalam menulis ialah harus banyak membaca, banyak diskusi, seminar, sarasehan, lokakarya, workshop, harus ada kemauan yang besar dalam menulis, motivasi menulis dan selalu memperbesar kemampuan melihat dan mengamati fenomena, trend, bahasa tulisan dan bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik ialah bahasa yang biasa digunakan wartawan di media massa. Dan ciri khas yang menonjol dalam bahasa jurnalistik ialah komunikatif. Artinya langsung pada pokok masalah dan mudah dipahami, ringkas atau hemat kata, jelas, mudah dipahami, tertib, patuh aturan dan norma penulisan karya jurnalistik, singkat terstruktur (SPO) dan yang terakhir, menarik. Hal yang harus dihindari ialah pemborosan kata, pemakaian singkatan, dan ungkapan-ungkapan yang klise (Tri Suparyanto, Wakil Ketua KPID Jogja)). Dalam penggunaan bahasa, seorang jurnalis juga harus berhati-hati. Penggunaan bahasa yang tidak baik membuat fakta yang ingin disajikan menjadi tidak jelas. Ada tiga aspek dalam bahasa jurnalistik (termasuk kalimat jurnalistik) yang tidak bisa dipisahkan yaitu Penguasaan Materi yang dikemukakan, kalimat dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan teknik penyajian (LP3Y,1990). Sebenarnya bahasa Jurnalistik sama dengan bahasa Indonesia pada umumnya, hanya saja, pengembangan bahasa pers lebih mengarah pada sikap publisistik, yang mudah dimengerti untuk umum. Namun prinsip bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap harus dipegang dan untuk itu, seorang wartawan harus memperhatikan empat unsur yang harus di perhatikan dalam merangkai bahasa jurnalistik seperti yang tergabung dalam akronim ‘MENJERIT’ yaitu Menarik, Jelas, Ringkas dan Tertib (YB. Margantoro, Bahasa Jurnalistik).
Seperti dikemukakan di awal tulisan, terkadang wartawan atau jurnalis biasa mendapat ancaman maupun hambatan dalam pemberitaannya. Gangguan-gangguan pada insan pers tersebut kerap terjadi di masyarakat kita. Contoh konkrit yang bisa kita temui ialah kasus pembunuhan wartawan Udin (Bernas), Prabangsa (Grup Jawa Pos Bali), penyerbuan-penyerbuan pada kantor redaksi maupun pembredelan kantor-kantor penerbitan dan lain-lain. Tindakan-tindakan premanisme seperti ini mengindikasikan bahwa masih ada pihak yang tidak terima dengan berita yang diturunkan seorang wartawan, terkait apakah berita itu benar atau memang tidak benar (Soalnya harus kita akui juga bahwa ada sebagian wartawan atau jurnalis yang juga memanfaatkan profesi dan keadaan ditengah euphoria kebebasan pers untuk membuat berita bohong dan keluar dari etika demi melindungi seseorang atau sekelompok golongan atau demi suap yang diterimanya). Disamping itu, sampai sekarang, kita masih menyaksikan bahwa kriminalisasi pers masih ada di negeri ini. Seperti kriminalisasi terhadap Bambang Harimurti dari Majalah Tempo yang harus dijerat dengan hukum pidana ketika menurunkan tulisan ‘Ada Tomy Di Tenabang’ ataupun yang dialami wartawan Radar Jogja (Grup Jawa Pos) yang harus bersengketa di meja hijau dengan sesama insan pers dari Kedaulatan Rakyat (KR Grup) karena dianggap menyerang privasi, menyebarkan berita bohong dan pencemaran nama baik sang boss besar.
Seharusnya permasalahan-permasalahan seperti ini tidak perlu terjadi ketika tingkat kesadaran kita dalam memahami pentingnya jurnalistik sebagai pembangun dan pengawas kehidupan dari setiap kebijakan yang ada. Karena disatu sisi pers juga merupakan kekuatan ke-empat dalam membangun demokrasi di negeri ini selain Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Permasalahan seperti ini juga dapat dihindari oleh pekerja pers dengan lebih mematangkan konstituennya (pembaca, pendengar dan penonton) bahwa Pers bersifat Lex Specialist (artinya, setiap permasalahan dalam hal pemberitaan sebaiknya diselesaikan oleh dewan pers dan setiap delik yang ada, harus terlebih dahulu dilakukan dengan memuat hak jawab. Dan kalau memang perlu dijerat karena memang berita yang diturunkan salah, maka hukum yang dipakai adalah perdata, bukan pidana yang bayak dialami insan pers seperti diatas). Dan yang terpenting juga, guna menghindari permasalahan dalam pemberitaan, wartawan atau jurnalis perlu melakukan verifikasi dalam penyusunan beritanya. Seperti yang di tawarkan Kovach dan Rosenstiel, pertama perlu dilakukan penyuntingan berita baris demi baris, kalimat demi kalimat dengan sikap skeptis. Kedua, wartawan harus memeriksa akurasi beritanya. Artinya, dalam setiap pembuatan beritanya, wartawan harus mempertimbangkan bahkan menghindari pertanyaan yang bisa berarti ganda (ambigu). Ketiga, wartawan juga dilarang dilarang untuk berasumsi sendiri terhadap berita yang di tulisnya. Artinya, wartawan harus bisa membedakan mana berita dan dari mana datanya. Karena berita harus sangat jelas sumber datanya. Bahkan wartawan tidak seharusnya percaya langsung sumber berita resmi tanpa mencari kenyataannya sendiri. Sebab, kenyataan sumber sangat perlu supaya berita yang diturunkan tidak menyerang balik sang pembuat berita (Lihat kasus digugatnya beberapa media elektronik visual sesudah penurunan berita dalam penggerebekan judi di Jakarta beberapa waktu lalu. Sang penggugat menggugat media karena berita yang diturunkan bersifat palsu dan media membantahnya dengan mengatakan sumber datanya berasal dari kepolisian). Seharusnya ketika wartawan mencari sumber data yang lebih lengkap lagi, maka tidak akan terjadi ketegangan antara media dengan yang diberitakan. Contohnya dengan mengorek keterangan yang lebih lengkap dari beberapa pelaku yang tertangkap itu. Maka akan kelihatan apakah sang penggugat itu memang terlibat atau tidak. Jangan hanya mengandalkan satu pernyataan saja karena ketika berita sudah diturunkan, imbasnya akan sangat besar apalagi oleh media elektronik yang bisa diakses di seluruh negeri bahkan luar negeri. Dan keempat, wartawan kembali harus me-ricek fakta sebelum berita benar-benar diturunkan. Hal ini juga bisa dilakukan dengan menandai ulang setiap kata baris per baris atau kalimat per kalimat dari setiap faktanya (Tom French’s Colored Pencil Method via Engkos Kosnadi). Dengan melakukan verifikasi seperti ini, maka wartawan atau jurnalis akan terhindarkan dari kecelakaan dan kesalahan dalam penyusunan berita yang akan di turunkannya. Memang masih banyak sekali yang harus diperhatikan lagi oleh para ‘kuli tinta’ kalau mau membuat berita yang lebih spesifik, professional dan tentunya lebih bertangngungjawab lagi. Setidaknya tulisan singkat yang diambil dari berbagai sumber ini bisa melepaskan dahaga kawan-kawan semua akan pentingnya jurnalistik dan bagaimana proses pembuatan beritanya. Dan semoga ini juga bisa membawa manfaat bagi kita semua baik dimasyarakat, kampus, komunitas, kampung dan lain-lain. Dan yang terpenting, kita tetap harus mengikuti kaidah jurnalistik ketika akan membuat karya jurnalistik. Tak terbatas termasuk juga mahasiswa. “It’s follow that any publication-newspapers, magazine, or year book- must be approached as a serious work of journalism. It should report and explain newsworthy even in the life of he institution and provide medium for student expression. Its should make it self indispensable to the school community. It can not be a clique operation toy for the amusement of small group- and serve the purpose of mass communications” (Setiap penerbitan mahasiswa baik itu surat kabar, majalah maupun buku tahunan harus mengikuti kaidah jurnalistik yang benar. Ia harus berisikan berita-berita kejadian yang mempunyai nilai berita bagi lembaga dan kehidupannya dan merupakan wadah untuk menyalurkan ekspresi mahasiswa. Penerbitan mahasiswa harus sedemikian rupa sehingga diperlukan khalayak di lingkungan sekolahnya. Ia tidak boleh dijadikan alat klik atau permainan yang memuaskan hanya satu kelompok kecil dan haruslah memenuhi fungsinya sebagai media komunikasi). Itulah yang dikatakan William L. Rivers, guru besar Jurnalistik Universitas Stanford dalam bukunya “The Mass Media, Reporting, Writing and Editing”.

Melki AS
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template