Pages

Memperkosa Bahasa, Menghina Bangsa


Melewati Taman Budaya Yogyakarta (TBY) sampai keperempatan Pasar Beringharjo, kita mendapati sebuah iklan atau pun poster bertuliskan “Bahasa Menunjukan Bangsa”. Sepintas pesan ini seperti tiada maksud apa-apa, tapi bagiku, kata-kata ini begitu angker dan menakutkan. Apanya yang membuatku takut pada kata-kata itu dan apa pula sebenarnya makna sesungguhnya sehingga bahasa tersebut menjadi angker?
Sebenarnya, sudah agak lama saya risih dengan bahasa dinegeri kita ini. Sebut saja beberapa kata seperti ‘Saya’, ‘Preman’, dan lain-lain. Bukan pada gramatikalitinya yang buruk, tapi pada pemaknaan atau peng-arti-an yang kurang tepat yang diterapkan dalam dimensi keseharian baik dalam mata pelajaran kebahasaan maupun dalam penggunaan umum lainnya. Bahkan yang lebih memperparah lagi keadaan (baca; Bahasa) adalah ke-tidak-ada-an perbaikan yang dilakukan pakar ataupun para ahli bahasa dinegeri ini. Bahkan saking kacaunya, mereka malah asyik menggunakan bahasa yang ada tanpa peduli kemana sebenarnya arah dan tujuan maksud yang sesungguhnya dimaksud.
Belajar dari pengalaman beberapa tahun silam yang pernah kita alami, terdapat pemaknaan yang sama terhadap bahasa tetapi bargaining posisinya terhadap konsekwensi sosial-nya berbeda. Artinya, satu kata bisa berarti sama maksudnya, tapi penggunaannya berbeda dalam setiap tahapan usia maupun jabatan ataupun pangkat. Ini seperti penggunaan bahasa di pulau Jawa lazimnya, dimana bahasa yang digunakan masyarakatnya berbeda-beda (bahkan sampai susah dipahami). Merunut sejarahnya di pulau Jawa, ini biasa saja terjadi karena pulau Jawa adalah pusat kerajaan Nusantara. Adanya kerajaan berarti adanya tingkatan berbeda masyarakatnya dalam struktur sosial. Masyarakat hidup dalam perbedaan kasta antara yang biasa dan yang priyayi. Jadi bahasa pun jauh berbeda dalam penggunaannnya di keseharian antara priyayi, yang selalu memakai bahasa yang halus (baca; Bahasa Jawa Kromo/halus) dan golongan biasa yang memakai bahasa biasa (baca; Bahasa Jawa Ngoko/kasar). Seperti contohnya penggunaan bahasa ‘kulo’. Jelas sekali perbedaan mencolok dalam pemaknaan bahasa ini. Artinya sama dalam bahasa Indonesia yaitu ‘aku’. Tapi kalau dilirik lebih dalam, penggunaan kata ‘kulo’ tersebut bermula dari ‘kawulo’, yang dalam penggunaannya digunakan oleh bawahan kepada tuannya, pembantu kepada majikan atau rakyat kelas bawah kepada kelas atas seperti raja, ratu dan sebagainya. Lalu apa hubungannya dengan iklan ‘Bahasa Menunjukan Bangsa’ tadi?
Sejatinya, tidak ada masalah dengan susunan kata-katanya dalam iklan tersebut. “Bahasa Menunjukan Bangsa” merupakan sebuah anjuran benar bagi seluruh masyarakat. Pesan tersirat inipun bisa di pahami dengan mudah. Tapi apakah pemahaman terhadap pesan tersirat ini sudah sejalan dengan pengajaran ketatabahasaan yang baik dan benar pula?

Epig Cicak vs Buaya (Sebuah Keteledoran atau Pemerkosaan?)

Dua kata tersebut santer terdengar beberapa hari yang lalu. Hampir seluruh media di Indonesia membuat cicak dan buaya sebagai headline beritanya. Dan banyak seniman yang membuat namanya dalam berbagai poster, mural maupun saluran lain-lainnya. Bahkan politikus, budayawan, sastrawan, guru-guru, mahasiswa, anak-anak dan pengamat pendidikan negeri ini juga beramai-ramai menggunjingkan, menuliskannya ke media-media lokal maupun nasional tentang perseteruan cicak lawan buaya. Cicak yang merupakan peng-andai-an dari pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Buaya sebagai penga-andai-an institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melakat dengan baik di benak semua orang. Kata-kata ini menyihir semua dimensi pemikiran kritis masyarakat dan bahkan melebihi sebuah mitos nyi roro kidul dan sebagainya. Kata yang pertama kali diucapkan Kabareskrim Polri, Susno Duaji ini, bak sebuah geledek yang mengporak-porandakan kekuatan bahasa dan bangsa Indonesia. Pengandaian yang semula (mungkin) dimaksudkan sebagai unjuk kekuatan dua institusi penegakan hukum negeri, secara tidak langsung menghina katatabahasaan Bahasa Indonesia secara khusus dan menghina Bangsa Indonesia secara umumnya.
Prof. DR. Gorys Kerap dalam bukunya “KOMPOSISI, Sebuah Pengantar kemahiran Bahasa”, menerangkan arti bahasa sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Fungsi bahasapun menurut beliau ada beberapa macam. Pertama sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri. Fungsi bahasa sebagai alat pernyataan ekspresi diri ini betujuan menyatakan keterbukaan sesuatu yang tersirat didalam dada kita yang ekspresi keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi. Pada tahap permulaan, bahasa pada anak-anak, sebagian berkembang sebagai alat untuk menyatakan dirinya sendiri. Contohnya seorang bayi menangis ketika lapar, haus dan sebagainya. Ini adalah ekspresi bahasa yang dipakainya ketika ia belum bisa berkomunikasi langsung (baca; berbicara). Kedua, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerjasama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita. Ia juga memungkinkan manusia menganalisa masa lampaunya untuk memetik hasil-hasil yang berguna bagi masa kini dan yang akan datang. Artinya ada pengertian yang lebih luas dari fungsi bahasa dari anak-anak sampai ia dewasa.
Ketiga, bahasa berfungsi juga sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sebagai alat untuk peng-integrasian, bahasa mampu menyatukan masyarakatnya yang plural dalam satu kesamaan dan nasib. Anggota masyarakat yang berbeda dapat disatukan secara efisien melalui bahasa. Sebagai alat komunikasi, lebih jauh bahasa membuat keterikatan antar kelompok sosial serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Dari bahasa juga seorang anggota masyarakat perlahan-lahan belajar mengenai segala adapt istiadat, tingkah laku, dan tatakrama masyarakatnya. Ia menyesuaikan dirinya (adaptasi) dengan semuanya melalui bahasa. Contohnya seorang pendatang baru dalam sebuah masyarakat bila ingin hidup tenteram dan harmonis maka ia harus menyesuaikan dirinya dengan masyarakat itu. Untuk itu ia memerlukan bahasa masyarakat tersebut. Kata sebagai simbol bukan saja melambangkan pikiran atau gagasan tertentu, tetapi ia juga melambangkan perasaan, kemauan dan tingkah laku seseorang. Keempat, bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial. Semua kegiatan sosial akan berjalan dengan baik karena dapat diatur dengan mempergunakan bahasa. Semua tutur pertama-tama dimaksudkan untuk mendapatkan tanggapan. Seorang pemimpin akan kehilangan wibawa, bila bahasa yang di pergunakannya untuk menyampaikan instruksi atau penerangan kepada bawahannya adalah bahasa yang kacau dan tak teratur. Dalam mengadakan kontrol sosial, bahasa mempunyai relasi dengan proses-proses sosialisasi suatu masyarakat. Proses sosialisasi itu dapat di wujudkan antara lain kare bahasa merupakan saluran yang utama dimana kepercayaan dan sikap masyarakat diberikan kepada anak-anak yang sedang tumbuh. Mereka inilah yang menjadi penerus kebudayaan kepada generasi berikutnya. Dan bahasa juga menanamkan rasa keterlibatan atau sense of belonging atau esprit de corps pada anak tentang masyarakat bahasanya.
Cicak maupun Buaya pada dasarnya adalah nama untuk seekor binatang yang seharusnya tidak dipakai untuk meng-andai-kan institusi (terhormat) penegak hukum seperti KPK, Polri dan sebagainya. Bila peng-andai-an ini diaktualisasikan, sama saja artinya menganggap institusi tersebut sebagai istitusi-nya para ‘binatang’ dan pastilah artinya menjurus kepada peranan kita sebagai anggota masyarakat secara tidak langsung. Ini termasuk penghinaan yang kasar pada kita dan negeri ini. Penghinaan yang juga menurnkan derajat bangsa kita sebagai tutur yang santun dimata internasional. Bisa kita bayangkan bagaimana masyarakat dunia menertawakan kita karena memyebut diri sendiri (negeri dan masyakatnya) sebagai binatang. Karena sesuci apapun binatang tentulah sangat berbeda dengan ukuran manusia ditingkat derajatnya. Binatang tidak mempunyai akal dan pikiran, sedangkan manusia adalah sosok sempurna yang memiliki akal dan pikiran sehingga mampu menganalisa setiap apa yang akan diperbuatnya. Hanya saja masih banyak dari perbuatan manusia yang menyerupai tingkahnya binatang. Tapi ini berbeda dengan institusinya. Karena institusi dan perbuatan yang dibuat manusia adalah dua hal yang berbeda. Institusi adalah pelembagaannya dan manusia adalah objeknya. Terbayang betapa ngerinya fungsi bahasa ini kalau di sambungkan pada pengertian yang dibuat Gorys Keraf tersebut. Terbayang pula arti sesungguhnya iklan ‘Bahasa Menunjukan Bangsa’ seperti tersebut diatas yang coba diuraikan.

Peranan Media dalam Aktualisasi Bahasa

Media yang banyak menjadi referensi dalam proses pembelajaran, berita, maupun pengaruh massa, sudah selayaknya harus lebih memahami ketatabahasaan baik dalam aktualisasinya maupun maksud yang coba ditujunya. Peranan besar media dari para pewartanya, tidak harus menempatkan posisi sebagai pemberi kabar (reporter), juru tulis (jurnalis) atau menuliskan buku seadanya saja. Bahasa yang sedang pupuler (yang sedang banyak dibicarakan), belum tentu baik sebagai tatanan bahasa baku, benar dan pantas untuk dipublikasikan. Bisa saja kata-katanya benar dan baku, tapi penempatannya tidak tepat. Seperti contoh cicak dan buaya. Secara struktur kata dan kebakuannya, dua kata itu benar untuk nama-nama binatang, tapi tidak tepat digunakan dalam pengandaian untuk manusia dan institusi Negara. Ada cara yang tepat untuk menyampaikan pesan dengan menggunakan kata-kata seperti binatang tersebut. Mungkin masih ingat di pikiran kita bagaimana cerita kancil dan buaya atau kancil dan siput sewaktu di sekolah dasar (SD). Ini lebih tepat untuk menyampaikan pesan kepada khalayak bahwa sabar pasti berhasil dan angkuh pasti banyak kegagalannya. Dari sini sudah sangat jelas bahwa media bisa menggunakan cara tepat untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat lewat cerita atau apapun namanya sehubungan dengan epig yang tidak harus langsung menyebut masyarakat sebagai objek andai-nya (KPK adalah cicak dan Polri adalah buaya).
Memang sangat menarik bagi sebuah media dengan keunikan kata yang diucapkan beberapa orang sehingga unsur berita menjadi kian menarik untuk dibaca. Tetapi sekali lagi, media adalah ‘guru’ bersama secara tidak langsung, jadi media harus menunjukan bahwa media mampu mengajarkan ketenteraman dan harmonisasi antara berita, egalitarian bahasa serta mengaktualisasikannya secara baik dan benar pula. Tidak di pungkiri bahwa saya-pun belajar dari media tentang bahasa dan penggunaannya yang baik dan benar karena saya bukan berasal dari sekolah ke-Bahasa-an. Tapi, kalau media kurang tepat memasukan bahasa, sama saja artinya media memberi pelajaran yang buruk pada masyarakat pembacanya. Apalagi sekelas media nasional dan lokal yang telah mumpuni dan kebanyakan wartawannya adalah luluan sarjana strata atau S1, Magister atau S2, Doktor atau S3 dan Professor. Nah, kalaupun masih ada media yang kurang tepat dalam menyampaikan berita atau menuliskannya, kiranya baik untuk jadi pertimbangan bersama terutama pimpinan media untuk mencari orang yang tepat untuk ditempatkan sebagai editor bahasa. Karena media dan bahasa tidak dapat dipisahkan. Sama-sama urgennya dan sama-sama pentingnya.

Akhirnya, setelah sedikit membaca peranan dan fungsi bahasa, kiranya dapat tergambar kenapa sedari awal ada kengerian ketika iklan yang bertuliskan ‘Bahasa Menunjukan Bangsa’ tersebut kubacai. Sangat jelas bahwa bahasa menunjukan harkat dan martabat bangsa kita di mata dunia. Bahasa yang kita tunjukan adalah penjelmaan dari bangsa ini secara langsung. Bila kita menggunakan bahasa hina, tentulah kita menunjukan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang hina. Pun sama kalau kita menunjukan bahasa yang sopan, maka kita menunjukan harkat dan martabat kita sebagai bangsa yang sopan pula. Nah sudahkan kita (masyarakat, guru, pejabat, media, ilmuwan dan lain-lain) menggunakan bahasa yang sopan, baik dalam penuturannya dan tepat dalam penggunaannya (dalam semua lapisan, dimensi dan ruang)? Ataukah malahan kita telah memperkosa bahasa kita sendiri dengan sengaja dan tidak sengaja menempatkan pemaknaan yang ambigu didalamnya? Seharusnya ini menjadi koreksi kita bersama untuk memikirkan kembali makna bangsa ini. Kita adalah bangsa yang merdeka dan terhormat, jadi mari kita tunjukan kalau sikap, perbuatan dan tentunya ‘bahasa’ kita adalah bahasa yang terhormat pula. Kalau mau menghargai bangsa kita, maka salah satunya, hargailah bahasa kita. Bahasa menunjukan bangsa, bangsa menunjukan sejarah kita terdahulu dan yang akan datang. Jadi mari kita tunjukan bahwa sejarah bangsa kita dahulu dan yang akan datang adalah sejarah bangsa yang baik di mata internasional, sejarah bangsa yang mempunyai harkat dan martabat yang tinggi dan sejarah yang berkebudayaan yang tiada tandingnya. Mari junjung terus Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Melki AS
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template