Pages

Tahun Baru ; Menanti Fenomena Seks Bebas


Judul diatas bukan ditulis dengan tanpa alasan. Justru karena keprihatinan dengan generasi sekarang, yang di rutinkan dengan kegiatan pemenuhan syahwat, daripada melakukan refleksi terhadap diri sendiri dan masa depan bangsa, sengaja saya mencoba mengurai sedikit tentang prilaku dan fenomena Seks Bebas generasi muda.
Seks Bebas, seperti yang telah kita pahami, dilakukan tanpa ada legalitas yang jelas (tanpa ada hubungan resmi seperti adanya prosesi pernikahan dan lain-lain). Seks bebas umumnya banyak terjadi dikalangan muda maupun ada sebagian yang telah tua. Dan hari-hari besar ataupun hari yang menuntut adanya pesta atau perayaan, kerap sekali menjadi ajang untuk melakukannya. Seperti pada setiap peringatan pergantian tahun (Tahun Baru). Karena memang disaat pesta pergantian tahun ini, ada sedikit kebebasan yang diberikan orang tua terhadap anaknya untuk ikut merayakan. Sehingga, kebebasan ini bisa menimbulkan adanya kesempatan untuk mereguk malam dengan pasangan (pacar) secara berlebihan. Sebutlah contohnya disaat malam pergantian tahun, memang terjadi kemeriahan dimana-mana. Semua orang memilih keluar untuk melihat prosesi yang dilakukan mulai dari orang tua, anak kecil, maupun remaja dewasa. Tidak hanya itu, bahkan kota dipenuhi juga dengan kedatangan para pengunjung yang ada didaerah. Ada yang datang dengan suaminya, keluarganya ataupun dengan pacarnya. Nah disinilah kebablasan sang orangtua. Mereka seperti terlelap ketika sang anak merengek untuk ikut keluar dan menyaksikan prosesi pergantiannya (bukan berarti melarangnya / penjelasannya akan saya uraikan nanti).
Fenomena itu mungkin masih bisa kita saksikan terutama di daerah-daerah. Hal yang lebih dahsyat lagi ialah fenomena masyarakat yang ada dikota. Sebutlah Jakarta, Jogjakarta, Bandung, Surabaya, Makasar dan lain-lain. Bayangkan saja ketika didaerah saja prilaku seks bebas ini bisa terjadi, apalagi kehidupan di kota yang mayoritas bersifat acuh tak acuh dan ketidakpedulian dari masyarakat lingkungan termasuk induk semang (bagi para anak kost-kost an). Seperti Jogjakarta, mayoritas penduduk berasal dari mahasiswa yang berasal dari daerah-daerah di seluruh Indonesia. Akhirnya, tak ayal ketika ada momen, dihabiskan para remaja ini untuk bisa semalam suntuk bersama pasangan sehingga akhirnya melakukan hubungan layaknya suami istri (karena kurangnya pengawasan dan control social yang ada).
Melihat fenomena peningkatan intensitas seks bebas ini, dapat diketahui juga lewat survey terhadap took-toko atau apotik yang biasa menjual alat kontrasepsi. Dan memang saat momen ini, penjualan terhadap alat kontrasepsi (terutama kondom) meningkat bahkan lebih dari seratus persen yang pembelinya di dominasi oleh kalangan muda. Artinya, momen pergantian tahun sudah menjadi ajang rutinitas bagi generasi muda kita (siswa dan mahasiswa) untuk berkompetisi dalam seks bebas. Mungkin juga dengan memandang adanya tahun baru, jadi harus bertukar hadiah antara sesama pasangan termasuk hadiah seks dan sebagainya. Dan ketika sudah berbicara seks, maka tidak akan ada lagi yang namanya agama, norma, adat maupun lainnya. Seolah malam hanya milik berdua saja tanpa ada orang yang usil dan menegur.

Seks Bebas Sebagai Efek Budaya Global

Menjamurnya seks bebas terutaman dimalam pergantian tahun ini, tak bisa juga kita lepaskan dari efek kentalnya budaya global. Yang artinya, ini bukan kebiasaan orang timur yang menjunjung tingi sopan santun, norma, adat dan agama. Tapi karena efek samping dari ketidakmampuan negeri ini memahamkan bahwa budaya kita sebenarnya derajatnya lebih tinggi daripada dari luar. Dan banyak masuknya budaya luar tanpa adanya filterisasi, menyebabkan kebiasan itu akhirnya ditiru dan dilakukan dengan baik oleh masyarakat kita. Karena bukan rahasia lagi kalau budaya masyarakat kita adalah budaya masyarakat yang konsumeristik, gengsi tinggi dan suka meniru apa yang dilakukan orang luar tanpa peduli apakah itu baik atau buruk untuk dilakukan.
Tayangan televisi yang banyak menampilkan adegan romantis yang akhirnya memperlihatkan pergaulan bebas antar remaja, tak ayal menjadi guru bagi mereka yang gengsi dan sok-sok an. Seolah itu adalah pergaulan anak muda yang gaul dan kalau mau gaul seperti itu, ya memang harus begitu termasuk melakukan seks bebas dan sebagainya. Hal ini dapat kita amati lewat penayangan sinetron-sinetron remaja yang settingnya sudah bisa ditebak. Adanya remaja yang ditampilkan lewat televise itu, sontak menjadi ajang bagi masyarakat kita terutama remaja untuk menirunya. Pertama mungkin dimulai dari penampilan yang menayangkan seorang aktor atau aktris yang busananya minimalis, sehingga hampir terlihat semua isi lekuk tubuhnya. Bagi artis ini mungkin tuntutan peran sebagai pemain film, tapi bagaimana dengan masyarakat kita?
Kedua, mulai maraknya adegan berpelukan dan berciuman dalam setting peran film nya yang dilakukan remaja yang belum punya ikatan resmi. Contoh seperti ini hanya bisa di benarkan dalam adegan sinetron, tapi dalam masyarakat umum, ini belum tepat dilakukan. Tapi karena tayangan adalah guru bagi remaja sekarang, maka hal seperti ini juga ditiru dan di aplikasikan dengan baik dalam kehidupan nyata. Ketiga, lahirnya budaya hedonis yang tersalurkan lewat diskotik-diskotik, pub, night club maupun café-café yang mengubah paradigma strata social di masyarakat. Dengan bergaul dengan orang-orang diskotik, pub dan lainnya itu, seolah strata social lebih tinggi ketimbang yang hanya bergaul biasa. Padahal seperti yang kita ketahui, justru dengan pergaulan malam seperti itulah terjadi banyak prilaku yang keluar jalur seperti mabuk-mabukan sampai seks bebas yang dilakukan remaja sekarang ini.
Selain itu semua, dengan tidak siapnya kita menerima kemajuan teknologi, sehingga penggunaanya pun sering disalahgunakan kearah yang kurang tepat bahkan tidak baik. Contohnya internet. Seharusnya internet digunakan semaksimal mungkin untuk bisa mengakses pengetahuan, informasi atau membangun jaringan dan koneksi. Tetapi, dengan banyaknya situs-situs porno yang ditawarkan, beredar dan bisa di download kapan saja dimana saja, menggiring anak muda kita untuk mengetahuinya yang akhirnya mengundang hasrat untuk di uji cobakan. Banyak beredarnya film-film porno yang melibatkan remaja, siswa dan mahasiswa tentulah contoh konkrit. Pertama dilakukan hanya uji coba, kemudian menjadi kebiasaan. Pepatah mengatakan ‘ala bisa karena biasa’. Dan memang itulah yang terjadi dengan generasi muda kita saat ini.

Peran Pendidikan dan Antisipasifnya

Sejatinya perilaku generasi muda seperti itu sekarang adalah juga buah dari pendidikan kita yang tidak tepat sasaran. Sistem pendidikan kita lebih mementingkan kompetensi yang arahnya bermuara pada pembentukan intelektualitas semata. Dan itu hampir terjadi disetiap tempat pengajaran di negeri ini, baik yang beraliran kebangsaan, keagaamaan dan lain-lain. Padahal dalam format pendidikan yang coba diuraikan para founding father kita terdahulu ialah bahwa bagaimana outcome nya akan membentuk kader bangsa yang berkarakter, visioner futuristik dan berbudaya. Kurikulum berbasis kompetensi yang sekarang di jalankan dalam sistem pendidikan kita hanya menuntut siswa untuk bisa bersaing dengan dunia luar saja. Dan kalau bicara masalah persaingan atau kompetisi seperti ini, maka akan terbesut bahwa “Kalau Mau Pendidikan yang Berkualitas, Sudah Pasti Mahal”. Inilah sumber kekacauan sistem pendidikan di tanah air ini, sehingga genarasi muda kader bangsa banyak yang terjerusmus kedalam pergaulan atau menyerap kebudayaan-kebudayaan yang tidak seharusnya diterapkan didalam negeri ini. Sangat kontroversi kalau kita bandingkan dengan amanat konstitusi kita yang menyatakan bahwa tugas Negara adalah mencerdaskan kehidupan berbangsa. Jadi sistem pendidikan sekarang sama artinya dengan melanggar UUD 1945 yang merupakan kitab suci berbangsa dan bernegara seluruh masyarakat Indonesia.
Prilaku seks bebas terjadi karena tidak pahamnya generasi muda akan budaya sendiri. Dan selalu menganggap budaya luar adalah terbaik dan terbaik dari budaya local yang ada. Inilah tiket kehancuran negeri ini dimasa yang akan datang. Mungkin bisa lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi atau dua puluh tahun lagi. Bahkan agama sekalipun dengan sederet penjaga nilainya tidak bisa membendung ini. Satu hal yang bisa mengantisipasinya ialah dengan pendidikan. Paradigma intelektualitas semata harus dirombak dan menjadi pembentukan watak, iman dan kepribadian. Kalau kita melihat praksis pendidikan sekarang, kepribadian, budi pekerti dan keagamaan seolah terlepas dari tujuannya. Dengan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi, siswa digenjot lewat hapalan semata tanpa harus mengerti kemana arah dan orientasi yang jelas kemudian. Sistem pendidikan yang sesungguhnya berorientasikan kapital seperti ini seharusnya tidak tepat untuk diarahkan dalam dunia pendidikan kita. Tanah air ini seharusnya lebih menerapkan kurikulum dengan berbasiskan pada kebudayaan.
Dengan berbasiskan kebudayaan, maka generasi mudanya bisa di bentuk sesuai dengan orientasinya semula yaitu intelektual, berkepribadian, berbudi pekerti dan beriman. Dengan menerapkan sistem pendidikan berbasis kebudayaan juga bisa mengangkat dan menyadarkan generasi muda akan pentingnya sebuah harga diri baik itu diri sendiri maupun harga diri bangsanya. Bangsa kita kaya akan kebudayaan yang termaktub dalam satu kekuatan kearifan lokal (local wisdom). Dengan menerapkan budaya pada basis pengajarannya, bangsa kita bisa mengantisipasi masuknya budaya luar yang tidak selaras dengan kebudayaan local. Harapannya, budaya luar itu kemudian tersaring dengan sangat hati-hati sehingga generasi muda akan terparadigmakan dan menirukannya kedalam arah atau jalur yang lebih positif dan bermanfaat. Bukan negatif yang terjadi seperti sekarang ini.
Posisi kita sekarang ini adalah posisi perang, dimana kita tidak kuasa menahan gempuran budaya barat yang berlebihan dan luar biasa. Bangsa kita sebenarnya punya amunisi untuk menangkis serangan tersebut, tapi tidak termanfaatkan karena memang tidak pernah digunakan. Ini tentunya menandakan bahwa masyarakat kita tidak mengenal budayanya sendiri. Generasi muda a histories dengan budayanya. Salah siapa?
Sudah barang tentu sistem pendidikan kita, selain peranan masyarakat dan orangtuanya. Sehingga seks bebas menjadi kebiasaan dan rutinitas generasi muda tanpa mesti ada ikatan resmi. Sekolah atau kampus seharusnya lebih menekankan bahwa seks bebas adalah kebiasaan yang tidak lazim baik ditinjau dari segi kesehatan, agama dan lain-lain. Nah pelajaran-pelajaran seperti keagaaman, seharusnya lebih ditekankan pada proses penyadaran sang generasi didik. Bukan hanya dengan disuruh menghapal sejumlah ayat-ayat yang kemudian ketika hapalan itu terpenuhi kemudian mendapat nilai bagus. Tapi praktik dilapangannya, mereka sama sekali tidak mengerti apa itu baik dan buruk. Seharusnya pembelajaran kita meletakkan semua proses pada terjadinya pembentukan watak dan kepribadian yang kokoh sebagai generasi bangsa yang bermartabat tingi.
Bagitupun di lingkungan keluarga. Orangtua seharusnya menjadi polisi bagi pembentukan prilaku anaknya. Artinya, peran fungsi sebagai orangtua harus mampu menjembatani anak sehingga terbuka hati dan pikirannya akan hal baik dan buruk. Seks bebas tentunya sebuah pilihan buruk karena menabrak segala hal yang ada. Nah kalau orangtua juga mengajarkan anaknya akan bahayanya seks bebas, niscaya sang anak akan terhindarkan dari budaya global seperti itu. Saya masih yakin bahwa tidak ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya pada pergaulan negatif seperti itu. Cuma caranya saja yang kurang tepat dan pengawasannya yang terlampau kendor sehingga membuat kesempatan sang anak untuk melakukannya. Pengawasan yang dimaksud bukan berarti pada otoriternya orangtua sehingga memotong akses sang anak untuk berinteraksi dengan dunia luar. Pengawasan yang dimaksud disini ialah penjagaan terhadap nilai-nilai social, norma dan keagamaan. Orangtua seharusnya banyak memberikan pengajaran tersebut lewat nasihat-nasihat, praktik prilaku ataupun teguran langsung ketika melihat prilaku sang anak yang sudah tidak pada tempatnya (out of the track). Dan saya juga yakin, orangtua punya kewibawaan yang mau tidak mau harus dituruti sang anak. Artinya kalau arah yang diberikan orangtua itu benar, maka ada kesempatan juga anaknya akan menjadi orang yang benar pula. Tapi kalau pengajaran dari orang tua itu buruk, maka jangan heran kalau sang anak juga akan berbuat sama seperti orangtuanya. ‘Tunas Pisang Tidak Akan Tumbuh Jauh Dari Induknya’, artinya, sifat orangtua mempengaruhi sikap anaknya. Jadi kalau prilaku oranguta buruk, maka anak pun juga akan berakibat buruk.
Didalam kehidupan bermasyarakat pun seharusnya lingkungan punya batasan-batasan tertentu untuk menjaga nilai dan kaidah. Seperti halnya kota besar seperti Jakarta atau Jogja dan lain-lain. Artinya lingkungan bisa menjadi pengawas bersama dalam menjaga kerukunan, ketenteraman dan kebaikan semua warga tanpa terkecuali kost-kost an. Induk semang seharusnya menjadi perwakilan lingkungan dalam memahamkan bahaya pergaulan bebas apalagi seks bebas bagi generasi muda. Jadi jangan hanya berpikir bahwa induk semang adalah tempat penitipan yang sifatnya kalau sudah bayar, terserah mereka mau berbuat apapun. Induk semang bisa menjadi guru bersama ketika tepat dalam memantapkan posisi dengan fungi kontrolnya terhadap prilaku seks bebas generasi muda. Disamping itu, aturan dari masyarakat (norma dan adat) benar-benar harus menjadi jaminan untuk mengantisipasi itu semua. Dengan penerapan aturan yang jelas dan fungsi kontol yang selaras, prilaku seks bebas bisa diminimalisir. Misalnya, kegiatan-kegiatan pengawasan dan kontrol lewat sistem ronda dan sebagainya, mampu menjadi penghalang kaum muda untuk bebas berbuat apa saja. Selain itu, yang dikatakan lingkungan sebagai guru ialah lingkungan mampu mencipta tradisi atau kebiasan yang positif di masyarakatnya. Seperti sering mengadakan sosialisasi sesama warga termasuk kost-kost an, mengadakan penyuluhan-penyuluhan bahkan bila perlu mengorganisasikan semua warga biar gampang dipantau. Hal ini kalau diterapkan akan meminimalisirkan kejadian-kejadian buruk di lingkungan.
Terjadinya fenomena seks bebas adalah indikasi dari lemahnya pengawasan mayarakat (control lingkungan) terhadap warganya. Banyaknya pendirian hotel dan kost-kost an yang sifatnya bebas, harus benar-benar disaring dan diadakan kontrak dengan warga sekitar (lingkungan sekitar). Ini bukan cara yang salah, karena memang banyak hotel yang beroperasi sebagai tempat mesum atau kost-kost an yang di gunakan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan seks bebas. Dan hal ini semua harus mampu di peta kan masyarakat sebagai tindak dan akan berdampak pada kehidupan buruknya generasi muda. Disamping itu, perda kost-kost an seperti yang diterapkan di Jogjakarta sudah sangat baik sekali. Cuma memang dalam praktiknya, itu seperti tidak berarti apa-apa dan kemudian perlu di tegaskan dan diterapkan kembali. Dan itu makanya sosialisasi dan penyuluhan-penyuluhan serta pengorganiasian warga sangat di perlukan supaya menghindarkan dari keterjebakan dan pertentangan dengan kebebasan berekspresi kaum muda.
Dan kalau ketiga unsur dalam pendidikan ini dilaksanakan dengan baik (sekolah, rumah dan lingkungan), maka bangsa ini akan memetik kembali hasilnya sebagai bangsa dengan pluralitas masyarakatnya yang menjunjung tinggi nilai, martabat dan harkat serta berkebudayaan. Akar terjadinya fenomena social yang keluar batas seperti FENOMENA SEKS BEBAS ini adalah karena bangsa kita terlepas dari budayanya baik dalam pengajaran dan pendidikan maupun lainnya. Dengan memantapkan budaya sebagai tolak ukur pembangunan bangsa, lewat pendidikan dan pengajaran tersebut, saya sangat yakin bangsa ini bisa keluar dari kemelut dan mampu menatap generasi mudanya sampai seratus tahun kedepan dengan lebih baik. Dan seks bebas tak perlu terjadi mulai tahun ini, tahun depan dan seterusnya, tidak saja pada momen pergantian tahun tapi dalam setiap waktu. Semoga.

Melki AS
Continue Reading...

Jurnalistik


Mungkin tulisan ini tidak menjadi satu-satunya sumber kenapa belajar dan menerapkan jurnalistik itu penting. Tidak hanya di masyarakat umum saja, melainkan juga bisa diterapkan dalam lingkungan kita berada seperti kampus dan lain-lain. Semenjak era 1998, kita sudah mendapat kebebasan pers yang artinya semua orang berhak membuat karya tulis baik berupa berita, opini dan lain-lainnya (tapi tetap pada koridor atau kaidah jurnalistik yang sesuai, tepat dan bisa di pertanggungjawabkan). Kita juga berhak mengkritik tanpa harus takut terhadap bahaya yang mengintai (meskipun bahaya itu adalah resiko dan harus diambil setiap wartawannya).
Seorang jurnalis yang idealis harus mempunyai basic yang lebih dibandingkan lainnya. Seperti analisa social, kepekaan terhadap situasi kondisi yang sedang dihadapi maupun lainnya. Disamping itu, seorang jurnalis juga harus mengerti aturan yang dipakai dan diterapkan dalam membuat berita. Seperti Kode Etik Jurnalistik, jenis-jenis berita, tahapan-tahapan dalam menulis berita atau aritkel dan bagaimana cara yang efektif dalam memburu berita. Bill dan Tom mendefinisikannya dalam buku sembilan elemen Jurnalisme bahwa kewajiban utama jurnalisme adalah pada kebenaran, loyalitas jurnalisme kepada warga, intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi, para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita, jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan, jurnalisme harus menyediakan forum public untuk kritik maupun dukungan warga, jurnalisme harus mampu membuat hal-hal yang penting, menarik dan relevan, jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional, para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka
Mengapa para jurnalis harus akrab dengan Kode Etik Jurnalitik (KEJ)? Karena KEJ merupakan kitab dalam menjalankan tugas jurnalistik. Sebagaimana telah diatur didalamnya tentang sikap-sikap etis seorang wartawan, cara melakukan tugas jurnalistik yang benar serta KEJ juga merupakan alat perlindungan terhadap wartawan ataupun jurnalis yang melakukan tugas jurnalistiknya (Asril Sutan Marajo, KEJ Indonesia/2006 dan PWI 2008). “ Journalist believe they must maintain a first obligation to the truth, put citizens ahead of other considerations, stay in independent from faction, employ an ethical method of verification, provide an open public forum, report what is significance as wall as engaging, keep news in proportion, monitor the powerful, and remain true to personal conscience ” [Wartawan percaya bahwa mereka harus memegang teguh kewajiban utamanya kepada kebenaran, meletakkan kepentingan publik di atas segalanya, tetap memegang teguh asas independen dan tidak memihak, menggunakan metode yang etis untuk mengecek kebenaran, memberikan kesempatan untuk forum wacana publik, melaporkan yang penting dan memerlukan kepedulian, menjaga agar beritanya proporsional, mengawasi yang berkuasa (politik maupun ekonomi), dan tetap jujur kepada hati nurani] (Committee Of Concerned Journalist USA). Dengan adanya KEJ ini, kehati-hatian jurnalis dalam membuat berita akan tetap terjaga, karena berita harus bersih dari manipulasi. Artinya, berita memang harus berimbang (cover both side) tanpa ada rekayasadan tekanan dari pihak manapun (manipulasi dan intervensi).
Karl Klause (Pakar Politik dan Pers dari Wina) mengungkapkan bahwa “in the beginning was the press and then the word appeared” ( keberadaan Pers lahir lebih dahulu daripada keberadaan dunia). Memang secara tektual terhenti, tetapi dapat diambil juga hikmah dan inti sarinya bagi umat manusia (Pendapa edisi 47, 2004). Dari pernyatan itu tersirat arti bahwa kelahiran pers tidak atas dasar intervensi dari pihak manapun, melainkan Pers terlahir dengan idealismenya sendiri (Independen) dan tentunya juga Kebebasan Pers harus diterima oleh masyarakat sebagai sebuah kebutuhan layaknya kebutuhan akan sandang dan pangan. Independensi Pers dan profesionalitasnya juga tak terlepas dari cara pandang Pers dalam memahami norma dan etika sehingga tercipta hubungan yang selaras aktraktif serta harmoni yang nantinya akan membuat Pers lebih bersikap dewasa. Sebuah kedewasaan pers yang nampak akhir-akhir ini, terlihat bagaimana gencarnya Pers menginvestigasi sebuah keganjilan yang dilakukan oleh para konglomerat atau penguasa di negeri ini. Keberanian serta keakuratan data inilah yang membuat Pers semakin kokoh dalam membangung tiang keempat kekuasaan penegakan demokratisasi di muka bumi ini. Kenapa kebebasan Pers harus diterima oleh khalayak ramai? Itu karena kebebasan Pers mencakup akan kebebsan dalam berfikir, berpendapat serta berbicara demi kebenaran. Sejarah Politik juga mencatat bahwa kebebasan pers dimulai dari Jhon Milton tahun 1644, Thomas Jefferson, Voltaire, dan lain-lain. Makanya kebebasan Pers pernah dikenal dalam 4 teori : Otoritarian, Libertarian, Marxist-Leninist, dan tanggung jawab social
Masalah Pers tidak pada tersajinya berita samata, tetapi seperti yang kita ketahui juga bahwa ada hal penting juga dalam penyusunan beritanya, seperti beberapa bentuk laporan dari penulisan berita. Seorang jurnalis dapat menyajikan berita ke dalam beberapa teknis saji seperti straight News, Hard News, Soft News, Feature dan Reportase. Berita merupakan sajian pers jurnalistik yang paling lazim untuk koran harian. Bahan bakunya berupa peristiwa, fakta dan data yang kesemuanya merupakan kumpulan fakta objektif dengan rumusan 5 W + 1 H (what, where, when, who, why dan how). Cara mengetahui Nilai Berita (kelayakan) untuk bisa dipublikasikan, adalah dengan memenuhi beberapa unsur seperti Significance (penting) yang berarti peristiwa yang mempengaruhi kehidupan orang banyak atau kejadian yang menimbulkan akibat langsung kepada kehidupan pembaca, Magnitude (besar) yang berarti peristiwa yang menyangkut angka-angka (jumlah atau besaran) yang sangat berarti bagi kehidupan orang banyak, Timelines (baru) yang berarti peristiwa yang menyangkut hal baru saat terjadi atau baru diketemukan, Proximity (dekat), yang berarti peristiwa yang dekat dengan pembaca, baik dari segi jarak (geografis) maupun dari segi emosional, prominence (tenar), yang berarti peristiwa yang menyangkut tokoh tempat atau sesuatu (tempat, benda) yang sangat dikenal pembaca dan yang terakhir Human interest (manusiawi), peristiwa yang memberi sentuhan perasaan bagi pembaca dan ini juga bisa menyangkut orang biasa dalam situasi yang luar biasa (Jayadi Kastari, SKH Kedaulatan Rakyat). Dan juga sebelum menentukan penulisan berita, layak direnungkan terlebih dahulu bahwa berita dengan peristiwa. Peristiwa dengan jalan cerita. Karena tiap peristiwa mengandung nilai beritanya sendiri. Untuk itu sebelum menulis berita, perlu dicermati langkah-langkah untuk memudahkan penggarapan antara lain menemukan peristiwa dan jalan cerita, cek dan ricek, menentukan sudut berita, menemukan lead atau intro tulisan kemudian baru menulis berita dengan ragamnya. Tapi bagaimana metode itu bisa dilaksanakan para wartawan, Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa kebanyakan wartawan hanya mendefinisikan hanya sebagai dengan liputan yang berimbang (balance), fairness dan akurat. Tapi berimbang maupun fairness adalah metode dan bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur ditengah liputan yang berimbang. Fairness juga bisa di salah mengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi yaitu, (1) Jangan menambahkan atau mengarang apapun, (2) Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar, (3) Bersikaplah se-transparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi anda dalam melakukan reportase, dan (4) Bersandarlah terutama pada reportase anda sendiri, serta (5) Bersikaplah rendah diri (Ki Engkos Kosnadi, Reportase; Teori Untuk Praktek 2008).
Sementara itu, sebagai seorang wartawan atau jurnalis, penting untuk mengetahui apa dasarnya untuk memulai membuat sebuah tulisan. Modal dasar dalam menulis ialah harus banyak membaca, banyak diskusi, seminar, sarasehan, lokakarya, workshop, harus ada kemauan yang besar dalam menulis, motivasi menulis dan selalu memperbesar kemampuan melihat dan mengamati fenomena, trend, bahasa tulisan dan bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik ialah bahasa yang biasa digunakan wartawan di media massa. Dan ciri khas yang menonjol dalam bahasa jurnalistik ialah komunikatif. Artinya langsung pada pokok masalah dan mudah dipahami, ringkas atau hemat kata, jelas, mudah dipahami, tertib, patuh aturan dan norma penulisan karya jurnalistik, singkat terstruktur (SPO) dan yang terakhir, menarik. Hal yang harus dihindari ialah pemborosan kata, pemakaian singkatan, dan ungkapan-ungkapan yang klise (Tri Suparyanto, Wakil Ketua KPID Jogja)). Dalam penggunaan bahasa, seorang jurnalis juga harus berhati-hati. Penggunaan bahasa yang tidak baik membuat fakta yang ingin disajikan menjadi tidak jelas. Ada tiga aspek dalam bahasa jurnalistik (termasuk kalimat jurnalistik) yang tidak bisa dipisahkan yaitu Penguasaan Materi yang dikemukakan, kalimat dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan teknik penyajian (LP3Y,1990). Sebenarnya bahasa Jurnalistik sama dengan bahasa Indonesia pada umumnya, hanya saja, pengembangan bahasa pers lebih mengarah pada sikap publisistik, yang mudah dimengerti untuk umum. Namun prinsip bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap harus dipegang dan untuk itu, seorang wartawan harus memperhatikan empat unsur yang harus di perhatikan dalam merangkai bahasa jurnalistik seperti yang tergabung dalam akronim ‘MENJERIT’ yaitu Menarik, Jelas, Ringkas dan Tertib (YB. Margantoro, Bahasa Jurnalistik).
Seperti dikemukakan di awal tulisan, terkadang wartawan atau jurnalis biasa mendapat ancaman maupun hambatan dalam pemberitaannya. Gangguan-gangguan pada insan pers tersebut kerap terjadi di masyarakat kita. Contoh konkrit yang bisa kita temui ialah kasus pembunuhan wartawan Udin (Bernas), Prabangsa (Grup Jawa Pos Bali), penyerbuan-penyerbuan pada kantor redaksi maupun pembredelan kantor-kantor penerbitan dan lain-lain. Tindakan-tindakan premanisme seperti ini mengindikasikan bahwa masih ada pihak yang tidak terima dengan berita yang diturunkan seorang wartawan, terkait apakah berita itu benar atau memang tidak benar (Soalnya harus kita akui juga bahwa ada sebagian wartawan atau jurnalis yang juga memanfaatkan profesi dan keadaan ditengah euphoria kebebasan pers untuk membuat berita bohong dan keluar dari etika demi melindungi seseorang atau sekelompok golongan atau demi suap yang diterimanya). Disamping itu, sampai sekarang, kita masih menyaksikan bahwa kriminalisasi pers masih ada di negeri ini. Seperti kriminalisasi terhadap Bambang Harimurti dari Majalah Tempo yang harus dijerat dengan hukum pidana ketika menurunkan tulisan ‘Ada Tomy Di Tenabang’ ataupun yang dialami wartawan Radar Jogja (Grup Jawa Pos) yang harus bersengketa di meja hijau dengan sesama insan pers dari Kedaulatan Rakyat (KR Grup) karena dianggap menyerang privasi, menyebarkan berita bohong dan pencemaran nama baik sang boss besar.
Seharusnya permasalahan-permasalahan seperti ini tidak perlu terjadi ketika tingkat kesadaran kita dalam memahami pentingnya jurnalistik sebagai pembangun dan pengawas kehidupan dari setiap kebijakan yang ada. Karena disatu sisi pers juga merupakan kekuatan ke-empat dalam membangun demokrasi di negeri ini selain Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Permasalahan seperti ini juga dapat dihindari oleh pekerja pers dengan lebih mematangkan konstituennya (pembaca, pendengar dan penonton) bahwa Pers bersifat Lex Specialist (artinya, setiap permasalahan dalam hal pemberitaan sebaiknya diselesaikan oleh dewan pers dan setiap delik yang ada, harus terlebih dahulu dilakukan dengan memuat hak jawab. Dan kalau memang perlu dijerat karena memang berita yang diturunkan salah, maka hukum yang dipakai adalah perdata, bukan pidana yang bayak dialami insan pers seperti diatas). Dan yang terpenting juga, guna menghindari permasalahan dalam pemberitaan, wartawan atau jurnalis perlu melakukan verifikasi dalam penyusunan beritanya. Seperti yang di tawarkan Kovach dan Rosenstiel, pertama perlu dilakukan penyuntingan berita baris demi baris, kalimat demi kalimat dengan sikap skeptis. Kedua, wartawan harus memeriksa akurasi beritanya. Artinya, dalam setiap pembuatan beritanya, wartawan harus mempertimbangkan bahkan menghindari pertanyaan yang bisa berarti ganda (ambigu). Ketiga, wartawan juga dilarang dilarang untuk berasumsi sendiri terhadap berita yang di tulisnya. Artinya, wartawan harus bisa membedakan mana berita dan dari mana datanya. Karena berita harus sangat jelas sumber datanya. Bahkan wartawan tidak seharusnya percaya langsung sumber berita resmi tanpa mencari kenyataannya sendiri. Sebab, kenyataan sumber sangat perlu supaya berita yang diturunkan tidak menyerang balik sang pembuat berita (Lihat kasus digugatnya beberapa media elektronik visual sesudah penurunan berita dalam penggerebekan judi di Jakarta beberapa waktu lalu. Sang penggugat menggugat media karena berita yang diturunkan bersifat palsu dan media membantahnya dengan mengatakan sumber datanya berasal dari kepolisian). Seharusnya ketika wartawan mencari sumber data yang lebih lengkap lagi, maka tidak akan terjadi ketegangan antara media dengan yang diberitakan. Contohnya dengan mengorek keterangan yang lebih lengkap dari beberapa pelaku yang tertangkap itu. Maka akan kelihatan apakah sang penggugat itu memang terlibat atau tidak. Jangan hanya mengandalkan satu pernyataan saja karena ketika berita sudah diturunkan, imbasnya akan sangat besar apalagi oleh media elektronik yang bisa diakses di seluruh negeri bahkan luar negeri. Dan keempat, wartawan kembali harus me-ricek fakta sebelum berita benar-benar diturunkan. Hal ini juga bisa dilakukan dengan menandai ulang setiap kata baris per baris atau kalimat per kalimat dari setiap faktanya (Tom French’s Colored Pencil Method via Engkos Kosnadi). Dengan melakukan verifikasi seperti ini, maka wartawan atau jurnalis akan terhindarkan dari kecelakaan dan kesalahan dalam penyusunan berita yang akan di turunkannya. Memang masih banyak sekali yang harus diperhatikan lagi oleh para ‘kuli tinta’ kalau mau membuat berita yang lebih spesifik, professional dan tentunya lebih bertangngungjawab lagi. Setidaknya tulisan singkat yang diambil dari berbagai sumber ini bisa melepaskan dahaga kawan-kawan semua akan pentingnya jurnalistik dan bagaimana proses pembuatan beritanya. Dan semoga ini juga bisa membawa manfaat bagi kita semua baik dimasyarakat, kampus, komunitas, kampung dan lain-lain. Dan yang terpenting, kita tetap harus mengikuti kaidah jurnalistik ketika akan membuat karya jurnalistik. Tak terbatas termasuk juga mahasiswa. “It’s follow that any publication-newspapers, magazine, or year book- must be approached as a serious work of journalism. It should report and explain newsworthy even in the life of he institution and provide medium for student expression. Its should make it self indispensable to the school community. It can not be a clique operation toy for the amusement of small group- and serve the purpose of mass communications” (Setiap penerbitan mahasiswa baik itu surat kabar, majalah maupun buku tahunan harus mengikuti kaidah jurnalistik yang benar. Ia harus berisikan berita-berita kejadian yang mempunyai nilai berita bagi lembaga dan kehidupannya dan merupakan wadah untuk menyalurkan ekspresi mahasiswa. Penerbitan mahasiswa harus sedemikian rupa sehingga diperlukan khalayak di lingkungan sekolahnya. Ia tidak boleh dijadikan alat klik atau permainan yang memuaskan hanya satu kelompok kecil dan haruslah memenuhi fungsinya sebagai media komunikasi). Itulah yang dikatakan William L. Rivers, guru besar Jurnalistik Universitas Stanford dalam bukunya “The Mass Media, Reporting, Writing and Editing”.

Melki AS
Continue Reading...

22 Desember


Seorang teman mengatakan bahwa tanggal 22 Desember merupakan hari Ibu. Katanya, hari ini kita harus kembali mengingat ibu dan banyak meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah kita buat.
‘Emangnya harus pada peringatan hari ibu, baru kita akan minta maaf dan mengingat beliau’ujarku dengan sedikit gusar.
Teman mengangguk pelan. Reaksi ini entah antara ketahuan atau ketidaktahuannya. Sekali lagi saya bertanya, Sebenarnya apa esensi dari hari ibu yang selalu kita peringati setiap tanggal 22 Desember ini? Teman hanya bengong saja dan melotot tak bersuara. Bingung. Ya memang bingung ketika kembali kita renungkan sebanaranya kenapa ada hari ibu. Bukan karena kita tidak menghormati beliau, tetapi bukankah kita selalu dan harus selalu menghormatinya. Bukankah ‘Surga di bawah telapak kaki Ibu’. Jadi ada penempatan posisi yang lebih mulia untuk beliau. Di peringati maupun tidak, semua orang harus patuh pada ibunya.
Menurut saya, kita boleh saja memperingati dan menetapkan sebuah prosesi. Tapi setidaknya sebelum melakukan prosesi itu, sebaiknya dilihat dulu kemana arah dan tujuan yang akan kita lakukan. Apakah ada gunanya ataukah hanya sekadar gaya sok-sok-an saja. Seperti peringatan hari ibu ini, seharusnya kalau memang perlu diadakan refleksi tentang ibu, tentunya kita, pemerintah dan menteri urusan wanita bisa membuat formula tersendiri mengenai kaum ibu. Misalnya bagaiman cara supaya tingkat kesadaran seorang ibu bisa dinaikan lagi. Mungkin kita tidak lumrah mendengar bahwa ibu-ibu sekarang terutama ibu muda malas untuk memberikan ASI untuk bayinya. Nah hal seperti inilah yang seharusnya di genjot kembali agar ibu sadar bahwa pemberian ASI buat sang anak sangat berguna dan berdampak besar bagi perkembangan anaknya kemudian kelak. Tapi sebenarnya menurut saya, 22 Desember lebih tepat kalau kita bilang bahwa ini hari perempuan. Supaya tidak ada batas antara yang sudah jadi ibu maupun calon ibu. Jadi semua perempuan baik single maupun married, bisa sama-sama dihargai.
Sebuah realitas terkadang memang sangat menyesak ketika kita banyak mendengar dan melihat ada anak tidak menghormati orang tuanya terutama ibunya. Tapi ini nyata dan tidak bisa dibantahkan bahwa kejadian itu benar adanya. Media terkadang sering memberitakan tentang anak-anak durhaka. Dalam mitospun, sastra mengajarkan kita terhadap durhakanya Malin Kundang yang akhirnya dikutuk menjadi batu oleh ibunya karena tidak menghormati dan mengakui dirinya sebagai ibu karena ia sudah disilaukan dengan nikmat duniawi yaitu harta tahta dan wanita. Sekarang mitos berganti dengan nyata, karena memang terkadang sangat banyak anak yang karena gengsi, seolah tidak ingat dengan sosok seorang ibu yang telah melahirkan, merawat dan membesarkannya.
Memang sangat berat perjuangan seorang ibu terhadap anak dan keluarganya, disamping ada peran lainnya seperti bapak dan saudara-saudara yang lain. Tapi keistimewaan seorang ibu, sejatinya snagatlah sulit untuk tergantikan. Beliaulah seorang malaikat penjaga yang tidak pernah lelap saat anaknya masih kecil dan mampu menahan dingin agar supaya anaknya tetap hangat dan bernafas. Ribuan kilo jalan yang ditempuhnya, lewati rintangan untuk sang anak dan tetap terus berjalan walau kaki penuh darah penuh nanah. Kasih yang diberikannya sangat besar dan luas seperti udara, sehingga takkan mampu untuk dibalas sampai kapanpun’ kata Iwan Fals dalam liriknya Ibu.
Teman yang dari tadi bengong, sekarang mulai mengangguk-anggukan kepala. Soalnya selama ini beliau hanya pandai menyanyikan saja lirik Iwan Fals tersebut, tapi tidak mencoba mendalami maknanya. Sembari makan gorengan dan menyeruput es teh, kembali kami melanjutkan pembicaraan tentang hari ibu, peranannya dan kepentingannya.
‘ Jadi begitu toh maksud Iwan Fals yang sering kita nyanyikan itu. Saya sebenarnya sudah mulai merasakan dan dapat menyelam dari maknanya. Tapi saya rasa yang menjadikan ibu itu lebih mulia dari yang lainnya tidak sekadar itu saja. Pasti masih ada hal-hal lainnya’ tanyanya gusar.
‘Iya, masih ada hal yang menyangkut keistimewaan seorang ibu selain dia yang melahirkan dan menyusui’ Jawabku.
Al Qur’an menyebutkan bahwa Allah mempunyai maksud tertentu ketika menciptakan manusia, dan maksud tersebut menjadi tugas bagi setiap manusia yang dilahirkan dimuka bumi. Agar manusia masing-masing dapat menjalankan tugasnya, Allah tidak pernah lupa memberikan fasilitas yang unik kepada masing-masing orang yaitu ‘bakat’. Kalau saja setiap orang bisa menemukan ‘bakat’nya masing-masing, itu berarti bahwa kita bisa menemukan jalan suksesnya masing-masing. Dan untuk bisa mendapat ‘tiket’ masuk ke jalan tersebut, dibutuhkan ‘doa ibu’ karena ibu memiliki kedudukan yang sangat tinggi dimata Allah.
‘Nah itulah kenapa ibu disebut malaikat penjaga dalam diri kita’ kataku meyakinkan teman tadi. Dia mungkin paham atau tidak, setidaknya mimik mukanya mengambarkan keseriusan yang dalam tentang arti seorang ibu.

Hari Ibu; Antara Peringatan dan Kritikan
Adanya peringatan hari ibu, setidaknya merupakan kebanggaan tersendiri bagi kaum ibu di dunia ini, terutama ketika hal itu terimplementasikan. Tapi hari ibu 22 Desember ini, juga tidak bisa kita lepaskan dari kritik social yang ada. Artinya, peringatan hari ibu, bukan merupakan kebanggaan yang sesungguhnya bisa dinikmati oleh ibu-ibu yang ada. Peringatan hari ibu dewasa ini hanya teruntuk segolongan ibu-ibu saja. Karena berdasarkan pengalaman empiriknya, ibu-ibu yang kondisi perekonomiannya miskin, adalah sebuah keniscayaan untuk mengerti dan memperingati hari ini. Bahkan mereka pun sama sekali tidak tahu menahu tentang adanya hari ibu dan gunanya dalam peringatan ini. Mungkin kebiasaan anak-anak dengan mengusap kaki ibunya dengan air sebagai tanda cinta dan patuhnya kepada sang ibu adalah tindakan mulia dan tidak dilarang agama. Tapi ada hal yang terpenting lagi dari ritual itu semua yaitu mendoakan sang ibu setiap saat. Justru inilah anjuran Tuhan kepada kita semua sebagai tanda cinta dan kasih kepada sosok ibu.
Dengan adanya peringatan hari ibu kali ini, saya ingat beberapa tahun yang telah berlalu di kampung halaman tercinta. Disana biasanya kami memperingati hari –hari tertentu saja seperti Hari Proklamasi Kemerdekaan setiap 17 Agustus, Hari Pendidikan Nasional setiap 2 Mei, Hari Pahlawan 10 November dan Hari-hari besar Keagamaan. Peringatan hari ibu setiap tanggal 22 Desember, rasanya agak sedikit aneh dan unik. Soalnya sangat jarang sekali kami dengar dan peringati. Baru-baru ini saja kami mendengar adanya peringatan hari ibu. Saya sempat konfirmasi dengan kawan-kawan dikampung halaman mengenai 22 Desember ini, dan mereka mengatakan bahwa tidak ada efeknya sama sekali. Berarti keadaan sama seperti semula. Kenyataan ini beralasan karena untuk ibu-ibu di desa dan hidup dibawah garis kemiskinan, boro-boro memperingati, malah belum lagi matahari bersinar, sudah harus meninggalkan rumah, entah itu ke ladang, sawah, menyadap karet, memetik kopi, jualan di pasar atau menunggu kapal mendarat dipantai. Makanya adanya hari ibu hari ini tidak ada fungsinya sama sekali.
Berbeda halnya dengan Hardiknas, kembali semua ramai mengingat kembali arti dan esensi pendidikan negeri ini, begitupun dengan Hari Proklamasi Kemerdekaan, kami didekatkan kembali dengan peristiwa lampau tentang arti dan perjuangan kemeredekaan negeri kita ini. Jadi kami yang waktu itu masih anak-anak, tidak lantas ahistoris terhadap setiap kejadian. Tapi hari ibu, kami mengenang apa? Mengenang ibu tercinta toh sudah dilakukan setiap hari. Begitupun dengan para penjaja seks komesil. Bagi mereka, sebenarnya bukan karena mereka terdiri juga dari ibu-ibu yang sudah menikah dan punya anak, lalu memperingati hari ibu tetapi masalah terbesar adalah keterdesakan ekonomi. Mereka juga tidak ingin menjajakan diri seandainya mendapat penghidupan dan kehidupan yang layak. Bukannya mereka tidak berapresiasi terhadap hari ibu, tetapi kalau mau ikut-ikutan, mereka akan makan apa, anaknya mau diberi makan apa. Jadi sangat kontras sekali disatu sisi kita memperingati hari ibu, tapi disisi lain, masih banyak ibu yang mati-matian memperjuangkan perekonomian yang setidaknya sedikit layak. Mungkin ini bukan hal yang baru kita dengar tentang bagaimana kerasnya wanita-wanita batu bekerja mencari dan memecahkan batu demi untuk mendapat sesuap nasi.
Lalu kemana hari ibu ini akan kita bawa? Mungkinkah ini hanya ritual rutinitas saja yang tiada makna apa-apa? Semua itu harusnya menjadi pembacaan ulang lagi oleh pemerintah. Jangan sampai ibu-ibu ini dijadikan wadah politik untuk memperjuangkan kepentingan tertentu dan golongan. Soalnya sangat disayangkan sekali, ketika kita turut memperingati hari ibu, bergembira dengan saling mengkultuskan seorang sosok, tetapi sosok lainnya terpuruk. Bahkan banyak dari beberapa ibu lainnya meranggas bahkan meregang nyawa karena kelaparan. Saya rasa kita semua masih terhenyak dengan kasus meninggalnya ibu dan anak di Sulawesi yang diakibatkan kelaparan. Begitupun dengan saudara-saudara atau ibu-ibu kita di pedalaman Yahukimo di Papua yang karena kelapan banyak meninggal dunia. Peringatan hari ibu kali ini seharusnya tidak berhenti pada pemaknaan dan ritual saja, tetapi hendaknya ada formula yang dihasilkan untuk menatap dan memperhatikan kembali keadaan terutama kaum ibu. Hendaknya juga dari peringatan ini, ada penekanan tertentu yang dilakukan terhadap generasi kedepan baik ibu-ibu maupuncalon ibu (kaum perempuan). Karena kita mempunyai Ibu Luhur negeri ini yaitu Raden Ajeng (RA) Kartini. Saya rasa, sangat tepat sekali sekiranya perjuangan beliau di tekankan pada peringatan hari ibu ini. Karena sosok Kartini masih cukup ideal sebagai pelopor gerakan wanita Indonesia. Semangat-semangat seperti ini seharusnya harus mampu dirasukan dalam setiap benak kaum perempuan untuk jangan lelah dan menyerah dalam berjuang. Apalagi ditengah bangsa ini menghadapi revolusi budaya yang sudah tidak on the track. Karena terus terang saja bahwa bangsa ini tengah kacau karena ketidakjelasan budaya. Seharusnya peran ini juga di antisipasi oleh kaum perempuan termasuk juga ibu-ibu.
Ki Hadjar Dewantara pernah mengkonsepkan bahwa pendidikan dapat dilakukan dalam tiga area (tri pusat pendidikan) yaitu sekolah, rumah dan lingkungan masyarakat. Nah salah satu peran pendidikan di rumah adalah tanggungjawab oleh orang tua termasuk ibu. Artinya ibu bisa menjadi penerang dan penjelas pendidikan kepada sang anak terkait permasalahan bangsa. Contohnya masalah budaya. Karena di tengah tidak bergeming nya bangsa ini akan terpaan budaya barat, maka sekali lagi, ibu mengambil peran untuk menyadarkan sang anak untuk bisa mengingat, meluruskan dan menjaga kebudayaan asli kita. Karena kebudayaan kita adalah kekayaan kita sendiri. Nah mungkin sangat tepat kalau pada peringatan kali ini, peringatan hari ibu ini, kerja-kerja atau tanggungjawab ini di tekankan. Akan menjadi sebuah kerugian besar ketika kita punya ritual rutinitas peringatan hari ibu, tapi tidak ada follow up dari itu semua. Artinya hanya menghabiskan waktu dan (kalaupun ada) menghabiskan biaya tatkala kita harus memperingatinya.Dan kalau memang ternyata kita tidak sanggup untuk mem-follow up dari peringatan hari ibu ini, sebaiknya tidak perlu ada peringatan. Biarkan semua kembali seperti semula, dimana tidak ada peringatan hari ibu. Cukuplah kita mengenang dan mematuhi ibu secara langsung tanpa ada peringatan-peringatan seperti ini. Mungkin itu saja dulu. Karena pemahaman saya tentang perempuan kurang begitu jelas, maka, kalau ada kesalahan, saya mohon maaf.

Melki AS
Continue Reading...

Serpih-Serpih Pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD)


Pemikiran Ki Hadjar Dewantara (Selanjutnya-KHD) dalam pendidikan bangsanya, sudah tidak dapat dipungkiri lagi oleh segenap komponen bangsa Indonesia, dan karenanya KHD diakui sebagai Bapak Pendidikan Indonesia dan lahirnya dikenang sebagai Hari Pendidikan Nasional Bangsa Indonesia. Namun pengakuan ini tidak berlanjut pada pengakuan secara substantif dalam berbagai praktek dan kebijakan pendidikan nasional kita. Banyak sekali contoh yang terjadi saat ini dalam berbagai praksis dan kebijakan pendidikan yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan pemikiran KHD entah itu disadari atau tidak. Kalau mau jujur, sebenarnya konsep pendidikan dan kebudayaan yang digagas KHD merupakan pembuka peluang pendidikan nasional yang menembus dominasi pendidikan kolonial. Namun karena perjalanan politik pendidikan dari jaman ke jaman terdapat kecenderungan pergeseran orientasi pendidikan nasional karena pengaruh tekanan global. Dibutuhkan upaya penjernihan kembali konsep dan gagasan KHD dalam pendidikan nasional, untuk dapat mengambil berbagai mutiara bagi keberlangsungan pendidikan dimasa depan.
Demikian yang disampaikan Ki Prof. DR. Wuryadi dalam sambutannya sebagi keynote speaker (Pidato Kunci) dalam seminar “Serpih-Serpih Pandangan Ki Hadjar Dewantara” dalam rangka peringatan Dies Natalis UST ke-54 di Dewantara Convention Room Kampus Pusat I UST jalan Kusumanegara Jogjakarta (22/12/2009). Lebih jauh, Wuryadi mengungkapkan dan memberikan beberapa pandangan konsep pemikiran KHD yang belum banyak diketahui masyarakat dan relevansinya dalam kehidupan Bangsa Indonesia. Menurut beliau, pertama, mendidik anak itulah mendidik rakyat. Untuk mendapatkan sistem pengajaran dan pendidikan yang berfaedah bagi perikehidupan bersama, haruslah sistem itu disesuaikan dengan hidup dan penghidupannya rakyat, oleh karena itu tiap-tiap Negara itu terjadi dari beberapa golongan yang masing-masing mempunyai sifat dan kepercayaan sendiri-sendiri, haruslah kita memahamkan perbedaan-perbedaan golongan itu agar terwujudlah azaz persatuan yang selaras (harmonis) dan menurut keadaan (naturlijk). Sumbangan nyatanya disini sangat jelas menurut beliau bahwa pendidikan dan pengajaran haruslah pro rakyat, pendidikan dan pengajaran didasari oleh pemahaman terhadap adanya keragaman yang merupakan cirri khas Indonesia, untuk mewujudkan azaz persatuan yang selaras dan pendidikan dan pengajaran dapat memberi faedah bagi rakyat, kalau didasarkan pada hidup dan penghidupannya rakyat artinya kebangsaan sebagai penghidupan dan kebudayaan sebagai kehidupan sebagai dasar.
Konsep kedua menurutnya adalah pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedang merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan. Sumbangan nyatanya disini ialah bahwa ini dapat memperjelas posisi pengajaran dan pendidikan dalam mengurangi kerancuan yang selama ini terjadi dalam dunia pendidikan ditanah air, termasuk kerancuan didalam Undang-Undang Sisdiknas 2003. Juga dari konsep ini dapat pula ditarik sumbangan nyatanya bahwa pengajaran umumnya terjadi di sekolah, berkaitan dengan belajar tentang berbagai Ilmu pengetahuan, menjadi merdeka tata lahirnya (menjadi berpengetahuan), pendidikan dapat terjadi dimana saja (keluarga, sekolah dan masyarakat), menyangkut kemerdekaan batin, budi, pekerti, karakter, moral, akhlak, yang tidak dapat dipisahkan dan sangat ditentukan oleh peradaban bangsa dan masyarakat (termasuk masyarakat pendidikan), dan, kemerdekaan itu bersifat tiga macam yaitu berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri, mandiri dan berdaulat dalam pengajaran dan pendidikan. Konsep Ketiga, Anak-anak dan pemuda-pemuda kita sukar belajar dengan tenteram, kerena dikejar-kejar oleh ujian-ujian yang sangat keras dalam tuntutan-tuntutannya. Mereka belajar tidak untuk perkembangan hidup kejiwaaannya, sebaliknya mereka belajar untuk mendapat nilai-nilai tinggi dalam ‘school raport’ nya atau untuk dapat ijazah. Dalam hal ini sebaliknya para pemimpin perrguruan mencari jalan bagaimana caranya agar dapat memberantas penyakit “axamen cultus” dan “diploma jacht’ itu. Kesimpulan yang dapat ditarik disini menurut Wuryadi ialah bahwa KHD memperingatkan bahwa Ujian dapat membawa akibat salah arah dalam praktek pendidikan kita yaitu adanya examen cultus. Kemudian, pendidikan pengajaran (terutama pengajaran disekolah), apabila diarahkan pada nilai tinggi dan ijazah, akan menjadikan salah arah, dan ini sudah dianggap oleh KHD sebagai penyakit, walaupun ujian adalah bagian akhir dari suatu proses, akan tetapi dapat memberikan pengaruh pada bagian awal dari proses yaitu penetapan arah dan tujuan pengajaran dan pendidikan yang akan dialami oleh anak dan proses yang akan cenderung dilakukan (bimbingan belajar untuk ujian).
Konsep keempat ialah kita dekatkan hidupnya anak dengan perikehidupan rakyat, agar idak hanya memahami akan tetapi memiliki pengalaman hidup yang sama dengan rakyatnya, agar tidak hidup terpisah dengan rakyatnya dan konsep kelima adalah bahwa Pendidikan Nasional adalah hak kita dan kewajiban kita. Dari sini menurut wuryadi, pada umunya orang lebih menekankan pendidikan sebagai hak dasar rakyat, akan tetapi KHD justru memberikan penegasan bahwa pendidikan juga menjadi kewajiban. Tekanan ini menunjukan bahwa sesungguhnya disamping hak , maka kewajibanlah yang akan memberi keseimbangan yang lebih harmonis. Diberbagai Negara lain, kewajiban dimaknakan bagi anggota masyarakat yang memiliki berbgai kelebihan. Ditegaskan Wuryadi juga bahwa dalam konsep KHD, keseimbangan ini berlaku bagi semua orang tanpa terkecuali, dan disinilah letak kelebihan konsepnya secara nasional. Kewajiban rakyat terhdap pendidikan tidak hanya diterjemahkan sebagai kewajiban kontribusi dalam mendukung biaya pendidikan, akan tetapi secara substantif ikut menentukan pendidikan apa yang patut dikembangkan di Negara tercinta ini.
Acara seminar ini menghadirkan pembicara Jayadi K Kastari dari Redaktur SKH Kedaulatan Rakyat, Ki Sudartomo Macariyus Dosen FKIP UST, Nyi Siti Rochmiyati Prihadi Dosen UST dan Ki Samidjo, yang sedianya akan hadir tetapi berhalangan karena bertepatan dengan acara lainnya di Jakarta. Selain seminar, dalam acara ini juga dilakukan peluncuran buku tentang pemikiran KHD. Acara ini juga dihadiri oleh Rektor UST Prof. DR. Djohar MS, Wakil Rektor III UST Ki Ciptono ST M. pd, dosen karyawan UST, para guru SMA dan SMK, serta Perwakilan Mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Dalam acara ini juga, diberikan sedikit uang pembinaan kepada enam POSDAYA binaan LP3M UST dan pemberian fasilitas computer terhadap POSDAYA yang unggul dan berprestasi.
Jayadi, dalam seminar ini mencoba meneropong kepeloporan kepemimpinan KHD lewat Jurnalistiknya. Karena menurut beliau, KHD memang lebih terkenal sebagai Bapak Pendidikan, tetapi jangan lupa bahwa KHD juga seorang jurnalis handal yang di punyai bangsa Indonesia. Ini sebuah relaitas yang tak terbantahkan. Karena menurutnya justru dengan tulisannya yang bersingungan langsung dengan politik penguasa Hindia Belanda, KHD akhirnya sampai masuk penjara bahkan diasingkan di luar negeri. Jayadi mencontohkan tulisan KHD yang berjudul “Als Ikeens Nederlandes Was (Seandainya aku orang Belanda) di De Express 1913. Seperti apa yang diduga sebelumnya. Tulisan KHD itu mampu menyulut semangat perjuangan bangsa Indonesia. Justru pengaruh inilah yang menimbulkan kecaman Belanda. Sebuah harian pemerintah Belanda di Jakarta Het Bataviaasch Handelsblad menyerang artikel KHD. Artikel KHD dianggap tulisan yang asal-asalan. Bahkan koran itu menuduh KHD memaki-maki dan menghina pemerintah Hindia Belanda. Artikel itu dianggap menganggu ketentraman dan ketertiban. “Meskipun diserang balik dan semua terbitan yang memuat tulisan KHD itu disita pemerintah Hindia Belanda, tidak membuat teman-teman KHD susut dalam perjuangan. dr. Cipto Mangunkusumo malah membuat tulisan yang menyindir pemerintah Hindia Belanda dengan mengatakan bahwa penyitaan itu apakah ‘Pernyataan Kekuasaan ataukah Ketakutan”. Didalam surat itu dr. Cipto secara implisit menyatakan penyitaan itu sekadar pamer kekuasaan, suatu tindakan yang merefleksikan ketakutan. Karena pada kenyataannya, tulisan KHD menimbulkan dampak yang luas. Tetapi apakah aksi penyitaan itu menimbulkan perjuangan bangsa menjadi mandeg?. Tidak. Sejarah telah mencatat aksi penyitaan itu justru melahirkan reaksi-reaksi lebih keras.” ujar Jayadi.. Ditambahkannya pula, bakat menulis KHD memang besar karena meskipun di internir keluar negeri, KHD terus memupuk bakat seninya dan mengembangkan kesenangan menulisnya untuk memperdalam ilmu jurnalistiik dan terbukti Tiga Serangkai tidakmelupakan perjuangan di tanah air. Mereka masih aktif mengirimkan naskah ke berbagai media di Indonesia misalnya Harian Mataram, Darmo Kondo, Oetoesan Hindia, De Express, Bataviaasch Nieews Blad, Het Volkd dan lain-lain.
Dalam seminar ini, Jayadi juga mencoba menginventarisir pengalaman KHD dalam bidang jurnalistik, diantaranya, KHD pernah mendirikan sebuah biro pers. Lembaga itu bernama Het Indonesiasch Perbureau (HIP). Lembaga ini ingin mengatasi kesenjangan dan informasi yang diberikan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Dibalik itu, sebenarnya ada alasan politis yang lebih mendasar pergerakan nasional lebih konstruktif dan konsepsional. Disamping itu, KHD lebih leluasa merumuskan kegelisahan-kegelisahan bangsanya dalam bentuk perjuangan pendidikan, politik dan kebudayaan. Dan dari usaha-usahanya itu, mengabdikan jiwa dan raga untuk kepentingan bangsa dan Negara Indonesia KHD banyak mendapat kehormatan dari pemerintah dan masyarakat. Salah satunya setelah dua hari wafatnya, KHD diangkat secara anumerta sebagai Ketua Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) atas jasanya di bidang jurnalistik. ” Menurut saya, kekayaan terbesar KHD adalah pemikiran-pemikirannya lewat tulisannya di media massa. KHD dikenang karena pemikirannya yang sangat futuristic, melewati zamannya. Rawe-rawe rantas malang-malang putung. Setahu saya, KHD merupakan wartwan Indonesia pertama yang kena delik pers. Hal ini terjadi karena November 1920, KHD dituduh menghina Sri Baginda Ratu Wilhelmina, menghina Badan Pengadilan, menghina Pangreh Praja dan menghasut untuk merobohkan pemerintah. Konsekwensinya, KHD dipenjarakan di Pekalongan. Seusai keluar dari penjara, tidak beberapa lama masuk lagi karena delik pidato. Ia dijatuhi hukuman selama 3 bulan. Mula-mula ditempatkan di penjara Mlaten Semarang, kemudian di pindahkan di Pekalongan. Jadi, apa yang telah dilakukan KHD dalam dunia jurnalistik, kini telah menjadi teks masa lalu, teks sejarah. Bagi kita sekarang ini, bagaimana teks sejarah manjadi konteks masa kini dan konteks masa depan. Maka ada baiknya keterampilan jurnalistik diberikan kepada Dewantara Muda dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Soalnya konskwensinya adalah intelektual.” Ungkap Jayadi mengakhiri.
Dalam akhir sambutannya juga, Wuryadi mengatakan bahwa, sudah menjadi tugas pokok Perguruan Tamansiswa untuk selalu dan tidak pernah berhenti untuk mengkaji dan menyebarkan kebenaran yang terkandung dalam berbagai konsep dan pemikiran KHD dalam bidang pendidikan dan kebudayan. Dan acara ini hendaknya tidak sekadar menjadi bagian ritual dari suatu upacara yang akan berhenti pemaknaannya, manakala upacara itu telah selesai. “ Kajian untuk memperoleh nilai-nilai kebenaran konsep dan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tidak akan selesai dengan pemahaman tekstual tanpa uji implementatif dalam kancah praksis pendidikan di lapangan, dalam keluarga, sekolah dan masyarakat (tri pusat pendidikan) “ katanya.

Melki AS
Continue Reading...

Mungkinkah “Balibo Five” Mengguncang Indonesia


Film ‘Balibo Five’ dicekal pemutarannya dalam festival film jiffest di Indonesia. Apa masalahnya sehingga Indonesia mengambil keputusan seperti itu? Mungkinkah ini karena sensasi belaka untuk menaikkan rating popularitas film atau memang terkait citra kedua Negara (baca: antara Indonesia dan Australia)? Yang jelas memang kedua unsur entah itu popularitas maupun citra Negara menyeruak dalam film ini. Karena secara sensasi, film ini memang perlu didongkrak popularitasnya mengingat warga Australia sendiri tidak terlalu bergeming dengan pemutaran film ini disana. Bahkan mereka lebih suka menonton film lainnya. Keadaan sama juga terjadi di Timor Leste. Bahkan disana mereka lebih suka menonton film Cinta Fitri daripada menonton Balibo Five (baca DR. Asvi Warman Adam dalam Kompas Minggu 19/12/2009).
Selain itu, ‘Balibo Five’ juga mengandung unsur permusuhan ketika diputarkan yang akhirnya bisa menyulut kembali ketegangan Dua Negara Australia dan Indonesia. Australia sebagai pihak yang terkorbankan dalam kasus ini jelas tidak terima wartawannya di bunuh dengan keji dalam peliputan berita sewaktu terjadi pertempuran di Timor Timur waktu itu. Sementara Indonesia, juga tidak terima karena ‘kata pembunuhan’ itu merupakan tuduhan kejam terhadap sebuah Negara yang terkenal dengan Demokrasinya.
Nah seharusnya diadakan analisis terhadap pencekalan film tersebut sehingga tidak menyisahkan pertanyaan di semua kalangan. Sebaliknya menurut saya, film ‘Balibo Five’ memang kurang sepantasnyalah di putarkan dan di perkenalkan dengan publik Indonesia sekarang. Mengingat dari awal film itu meng-klaim bahwa film tersebut diangkat dari cerita nyata (true story), sementara dalam kasus itu, fakta sesungguhnya belum selesai sampai sekarang. Jadi masih merupakan khayalan yang dibuat-buat secara sepihak oleh Australia. Berbeda halnya ketika kasus itu memang sudah terkuak secara benar dan bisa di pertanggungjawabkan keabsahannya, maka tidak akan ada penutupan-penutupan sejarah terhadapnya. Bahkan film nya yang diangkat dari unsur nyata layak di putar tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Nah kalau seperti ini, kasusnya belum kelar, tetapi film-nya sudah mengklaim bahwa diangkat dari cerita nyata, tentunya menimbulkan pertanyaan besar pada Indonesia bahkan dunia. Lalu tersirat, sebenarnya apa yang diinginkan Australia. Tidak cukupkah mengobok-obok Indonesia setelah berbagai lembaganya mendukung separatis Papua Merdeka dan lain-lain.
Semua Negara di dunia mungkin sudah membuat film yang diangkat berdasarkan fakta sesungguhnya. Mereka jelas-jelas mengangkat itu berdasarkan fakta dan catatan sejarah yang telah berhasil dikuak secara objektif. Sebutlah salah satu film tentang kekejaman Hitler dan Nazi. Tentang ganasnya Hitler dalam perang kekuasaan dengan membunuh ribuan bahkan jutaan orang memang telah di analisis secara nyata dan objektif berdasarkan catatan dan sumber yang bisa di pertanggungjawabkan. Bahkan dunia-pun mengakuinya. Tapi bagaimana dengan ‘Balibo Five’? Jelasnya ini merupakan intimidasi dari pihak Australia yang tak lelah mengobok-obok Indonesia dari dahulu. Karena memang sedari dahulu Australia ingin membuat Indonesia kacau balau. Trik semacam ini sangat mudah dipahami terutama setelah sekian lama mereka tidak berhasil dalam pendukungan disintegrasinya Papua dari Indonesia. Selain itu, ada kecenderungan juga Australia menginginkan Indonesia sebagai salah satu sumber pendapatan negeri nya dengan menanamkan investasi di negeri yang kaya akan segala macam sumber alam ini.. Perebutan Indonesia ini bukan hal baru, tapi juga dari dahulu semenjak Indonesia belum merdeka dimana Indonesia menjadi rebutan antara Inggris, Amerika, Belanda dan lain-lain. Kini setelah perang tidak lagi menjadi cara utama merebut kekuasaan, Australia masuk dengan cara berbeda yaitu dengan mengintimidasi dan mendukung gerakan separatis supaya keinginannya tercapai. Terbukti juga hal-hal yang mencoba mengintimidasi Indonesia sangat banyak digunakan. Seperti contoh kartun Nabi Muhammad yang sedang membawa bom. Sudah sangat jelas ini adalah hasutan untuk menciptakan bentrok dan kekacauan antar agama terutama muslim dan agama lainnya. Sementara dunia tahu bahwa Indonesia adalah penganut muslim terbesar. Jadi lagi-lagi ini adalah intimidasi pihak asing untuk menghancurkan Indonesia dengan dalih ataupun berkedok-an agama. Sangat jelas pula inilah trik yang mereka pakai untuk mengukur kekuatan bangsa ini. Bayangkan saja seandainya tidak ada reaksi dari Indonesia, maka dengan cepat mereka akan menghancurkan Negara ini. Mungkin Australia adalah pihak pertama yang akan menggempur Indonesia. Tapi, lagi-lagi mereka gagal karena intimidasi ini mampu ditepis. Berangkat dari kegagalan dan kegagalan sebelumnya, mereka tidak lantas menyerah dan kembali membuat ulah dengan mencoba memprovokasi dan mengadu domba antar kalangan dalam negeri. Terbukti ketika ‘Balibo Five’ dicekal, reaksi dalam negeri cukup besar dibanding negara pembuat film tersebut. Masyarakat kita (maaf) beberapa kalangan terhormat dan berpendidikan bahkan mengatakan bahwa ini perlu demi mengungkap sejarah. Apa-apan ini? mengungkap sejarah kok dengan film. Sekali lagi dunia akan tertawa karena melihat ternyata bangsa ini dan masyarakatnya bodoh dan mudah diadu domba.
Dan celakanya, hal semacam ini luput dari pandangan seniman, terutama seniman film dalam negeri (tapi ini adalah asumsi dan tidak semua seniman seperti itu). Dengan dalih hiburan dan sejarah, mereka mati-matian mempertahankan film ini agar segera di putar bahkan secara sembunyi-sembunyi. Mereka lupa bahwa secara sejarah, film ini kalau ditampilkan dalam layar akan berubah menjadi racun karena tidak berdasarkan fakta sesungguhnya seperti yang ditampilkan saat pra tayang yang dikatakan diangkat dari cerita sebenarnya. Malah ini adalah sebuah fitnah terkejam yang pernah dilakukan terhadap Indonesia. Pepatah kita mengatakan bahwa “Fitnah Lebih Kejam Dari Membunuh”. Dan ‘Balibo Five” adalah fitnah bagi bangsa ini karena belum ada fakta yang sebenar-benarnya. Fitnah disini maksudnya karena semua rahasianya masih remang. Dan ini dikatakan tidak fitnah seandainya semua tabir gelap itu sudah terungkap. Jadi berdasarkan fakta apa yang mereka angkat? Cukup berimbangkah fakta tersebut? Atau malah memang bukan dari fakta yang ada? Kalau fakta ini sudah terkuak seperti Hitler, mungkin saja ini bukan lagi fitnah tapi sudah menjadi catatan sejarah. Tapi apakah fakta itu sudah nyata bahwa TNI terlibat dalam tewasnya kelima wartawan Australia tersebut saat peliputan berita Balibo? Inilah yang kalau diteruskan pada generasi berikutnya akan menjadi preseden buruk bangsa ini. Bukan pada pencekalan saja, melainkan setelah berapa puluh tahun merdeka, bangsa ini masih mau diadu domba bangsa lain. Dan senimannya pun turut memberikan racun sejarah yang salah dengan bertekuk lutut pada apa yang dibuat pihak asing. Kenapa seniman kita bertekuk lutut terhadap seniman luar sebenarnya bukan karena yang dibuat orang asing itu bagus secara kualitas dan mampu terhadap penguasaan teknologi, tetapi karena seniman kita tidak mampu sejajar dengan seniman luar. Secara ide dan gagasan seniman kita terutama seniman film, kalah dalam menciptakan evolusi baru yang berkualitas bagi dunia hiburan dalam negeri. Ini bisa dilihat ketika bangsa asing mengembangkan produk film modern seperti yang pernah ditayangkan dalam Box Office Movie, kita lebih asyik membuat film yang bernuansa dada, paha ataupun legenda yang banyak menampilkan gerak kertas yang sesungguhnya. Karena apa? Apakah karena itu memang disukai di Indonesia? Tidak hanya itu, selain masyarakat kita menyukai itu (penayangan paha, dada dan mitos), juga karena seniman film kita ternyata tidak mampu membuat film seperti bangsa asing yang ide dan gagasannya cair dan cepat dalam menguasai teknologi. Sementara seniman negeri ini secara teknologi, mungkin butuh beberapa puluh tahun lagi baru bisa mensejajarkan diri dengan seniman luar. Makanya itu, semua produk luar diterima saja tanpa ada ukuran ideal yang jelas. Seperti ‘Balibo Five’, dengan menabrak idealitas dan kebenarannya, akan menjadi sangat berbahaya bagi generasi berikutnya. Lalu kenapa seniman kita tetap menerimanya juga? Ya, ini adalah KETAKUTAN. Ketakutan karena ketidakmampuan mensejajarkan diri dengan orang lain. Sebenarnya masyarakat kita tidak elegi dengan hiburan luar, tetapi ketika hiburan itu bersifat menghasut dan memfitnah (seolah diklaim berdasar kisah nyata), maka layak ini kemudian menjadi bahan diskusi sebelum masuk dalam publik luas. Misalnya, ‘Balibo Five’ ditonton dahulu orang berbagai kalangan tertentu seperti pengamat sejarah dan akademisi, kemudian diadakan diskusi tentangnya. Setelah melihat esensi dari film tersebut dan mempertimbangkan pemutarannya, baru bisa di hasilkan keputusan apakah bisa di putar untuk publik kita atau tidak. Lembaga sensor pun juga tidak boleh serta merta men-sensor film ataupun hiburan secara sembarangan. Karena selain lembaga sensor, ternyata ada masyarakat yang berhak mengetahui fakta dan kejadian dalam film tersebut. Seandainya film tersebut hanya bersifat hiburan semata, maka ini harus menjadi kabar jelas pada masyarakat. Begitupun ketika esensi film tersebut arahnya berubah menjadi masuk ranah politik, maka lembaga sensor pun juga berhak memberitahukan kepada masyarakat. Dan yang pasti, lembaga sensor bukanlah otoritas terpenting dalam mensensor sebuah film. Mereka juga harus berdasarkan pendapat atau masukan dari masyarakat juga. Terutama masyarakat sejarah, akademisi, maupun masyarakat per-film-an sendiri. Ketika ke tiga unsur masyarakat ini menyetujui pemutarannya, maka lembaga sensor tidak berhak mencekalnya. Tapi sebaliknya ketika ketiga unsur ini berdasarkan pertimbangan keamanan dan ketentraman masyarakat dan negaranya memandang perlu dicekal, maka lembaga sensor berhak menjatuhkan vonis terhadapnya. Seperti contoh film ‘Balibo Five’ sekarang ini.
Sejarah Balibo adalah sejarah kelam wartawan. Sejarah yang menyebabkan sejumlah wartawan tewas dalam peliputan beritannya. Mengenai apakah tewas itu memang disengaja atau tidak, justru itu yang harus menjadi kajian bersama pakar sejarah dua negara (Indonesia dan Australia). Secara sejarah, memang ini perlu diungkap dengan tuntas agar semua pihak menjadi clear dan tidak saling fitnah memfitnah tentangnya. Pelurusan sejarah ini penting mengingat adanya sinyalemen berbeda dari kedua belah pihak terkait tewasnya beberapa wartawan asing di Timor Timur kala itu. Dari pihak Indonesia, dengan tegas TNI mengatakan bahwa kasus ini sudah tuntas dan ini sudah dijelaskan kepada pihak korban dan terkait tewasnya wartawan itu bukan disengaja karena memang sedang ada pertempuran (Menhan Juwono Sudarsono-INILAH.COM/10/09/2009). Sementara dari pihak Australia mengatakan bahwa ada unsur kesengajaan dalam tewasnya wartawan mereka sehingga sistem politik terbuka mereka memungkinkan pihak manapun mengajukan agar proses hukum untuk itu dilakukan kembali. Pengungkapan sejarah ini juga tentunya harus ditarik dari awal mulanya dan dicari berdasarkan fakta dan keterangan sumber terkait yang bebas dari unsur kepentingan. Bahkan secara objektif, Timor Leste seharusnya tidak terlibat jauh dalam pengungkapan kasus karena mengingat masalah ini sangat vital dan berhubungan langsung dengan dunia internasional. Keterlibatan Timur Leste disini cukup sebagai pemberi keterangan kejadian yang ada pada saat itu. Dan pada saat analisanya, Timur Leste tidak dalam posisi menentukan hasil akhirnya. Karena keberadaan Timur Leste cukup menjadi luka bagi bangsa Indonesia yang sudah menterintegrasikannya sekian lama.
Memang pencarian fakta terkait masalah Balibo dan Timor sendiri bukan hal baru. Sebelumnya sudah ada komisi pencari fakta dan kebenaran dua negera ditempatkan disana. Tapi hasilnya masih ambigu bagi kedua negara. Disatu sisi menganggap masalah itu sudah tuntas dan disatu sisi berdasar pengadilan Glebe Coroners NSW menyimpulkan bahwa personel TNI adalah yang membunuh kelima wartwan Australia tersebut. Apakah itu benar terjadi atau tidak, makanya ini kembali mungkin untuk meneruskan kelanjutan pencarian fakta itu. Tapi pencarian selanjutnya hendaknya terlepas dari unsur kepentingan baik Indonesia, Australia maupun Timur Leste sendiri. Karena mengingat semua Negara termasuk Timur Leste pasti punya kepentingan subjektif dalam pengungkapan. Peranan media dalam pengungkapan kasus ini pun juga hendaknya berimbang pula sesuai degan kode etik jurnalisme. Artinya, pemberitaan terhadap kasus ini harus dibuat seimbang mungkin (cover both side). Tidak berdasarkan atau memihak ke salah satu blok bertikai. Saya rasa media paham benar hal itu dan sangat tahu harus meletakkan posisi dimana dan seharusnya bagaimana.
Demikian sedikit pendapat dari saya. Tulisan ini tidak ditujukan untuk menghina berbagai pihak, tapi mencoba mencari arti sebenarnya. Karena memang masih sangat banyak sekali yang ‘kita’ terutama ‘saya’ belum ketahui. Tapi saya mencoba memberikan sedikit argument terkait itu berdasarkan sudut pandang yang sedikit berbeda dari yang lainnya. Mudah-mudahan ini bisa memberi pemahaman dan memantik saran yang konstruktif.

Melki AS
Continue Reading...

Memperkosa Bahasa, Menghina Bangsa


Melewati Taman Budaya Yogyakarta (TBY) sampai keperempatan Pasar Beringharjo, kita mendapati sebuah iklan atau pun poster bertuliskan “Bahasa Menunjukan Bangsa”. Sepintas pesan ini seperti tiada maksud apa-apa, tapi bagiku, kata-kata ini begitu angker dan menakutkan. Apanya yang membuatku takut pada kata-kata itu dan apa pula sebenarnya makna sesungguhnya sehingga bahasa tersebut menjadi angker?
Sebenarnya, sudah agak lama saya risih dengan bahasa dinegeri kita ini. Sebut saja beberapa kata seperti ‘Saya’, ‘Preman’, dan lain-lain. Bukan pada gramatikalitinya yang buruk, tapi pada pemaknaan atau peng-arti-an yang kurang tepat yang diterapkan dalam dimensi keseharian baik dalam mata pelajaran kebahasaan maupun dalam penggunaan umum lainnya. Bahkan yang lebih memperparah lagi keadaan (baca; Bahasa) adalah ke-tidak-ada-an perbaikan yang dilakukan pakar ataupun para ahli bahasa dinegeri ini. Bahkan saking kacaunya, mereka malah asyik menggunakan bahasa yang ada tanpa peduli kemana sebenarnya arah dan tujuan maksud yang sesungguhnya dimaksud.
Belajar dari pengalaman beberapa tahun silam yang pernah kita alami, terdapat pemaknaan yang sama terhadap bahasa tetapi bargaining posisinya terhadap konsekwensi sosial-nya berbeda. Artinya, satu kata bisa berarti sama maksudnya, tapi penggunaannya berbeda dalam setiap tahapan usia maupun jabatan ataupun pangkat. Ini seperti penggunaan bahasa di pulau Jawa lazimnya, dimana bahasa yang digunakan masyarakatnya berbeda-beda (bahkan sampai susah dipahami). Merunut sejarahnya di pulau Jawa, ini biasa saja terjadi karena pulau Jawa adalah pusat kerajaan Nusantara. Adanya kerajaan berarti adanya tingkatan berbeda masyarakatnya dalam struktur sosial. Masyarakat hidup dalam perbedaan kasta antara yang biasa dan yang priyayi. Jadi bahasa pun jauh berbeda dalam penggunaannnya di keseharian antara priyayi, yang selalu memakai bahasa yang halus (baca; Bahasa Jawa Kromo/halus) dan golongan biasa yang memakai bahasa biasa (baca; Bahasa Jawa Ngoko/kasar). Seperti contohnya penggunaan bahasa ‘kulo’. Jelas sekali perbedaan mencolok dalam pemaknaan bahasa ini. Artinya sama dalam bahasa Indonesia yaitu ‘aku’. Tapi kalau dilirik lebih dalam, penggunaan kata ‘kulo’ tersebut bermula dari ‘kawulo’, yang dalam penggunaannya digunakan oleh bawahan kepada tuannya, pembantu kepada majikan atau rakyat kelas bawah kepada kelas atas seperti raja, ratu dan sebagainya. Lalu apa hubungannya dengan iklan ‘Bahasa Menunjukan Bangsa’ tadi?
Sejatinya, tidak ada masalah dengan susunan kata-katanya dalam iklan tersebut. “Bahasa Menunjukan Bangsa” merupakan sebuah anjuran benar bagi seluruh masyarakat. Pesan tersirat inipun bisa di pahami dengan mudah. Tapi apakah pemahaman terhadap pesan tersirat ini sudah sejalan dengan pengajaran ketatabahasaan yang baik dan benar pula?

Epig Cicak vs Buaya (Sebuah Keteledoran atau Pemerkosaan?)

Dua kata tersebut santer terdengar beberapa hari yang lalu. Hampir seluruh media di Indonesia membuat cicak dan buaya sebagai headline beritanya. Dan banyak seniman yang membuat namanya dalam berbagai poster, mural maupun saluran lain-lainnya. Bahkan politikus, budayawan, sastrawan, guru-guru, mahasiswa, anak-anak dan pengamat pendidikan negeri ini juga beramai-ramai menggunjingkan, menuliskannya ke media-media lokal maupun nasional tentang perseteruan cicak lawan buaya. Cicak yang merupakan peng-andai-an dari pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Buaya sebagai penga-andai-an institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melakat dengan baik di benak semua orang. Kata-kata ini menyihir semua dimensi pemikiran kritis masyarakat dan bahkan melebihi sebuah mitos nyi roro kidul dan sebagainya. Kata yang pertama kali diucapkan Kabareskrim Polri, Susno Duaji ini, bak sebuah geledek yang mengporak-porandakan kekuatan bahasa dan bangsa Indonesia. Pengandaian yang semula (mungkin) dimaksudkan sebagai unjuk kekuatan dua institusi penegakan hukum negeri, secara tidak langsung menghina katatabahasaan Bahasa Indonesia secara khusus dan menghina Bangsa Indonesia secara umumnya.
Prof. DR. Gorys Kerap dalam bukunya “KOMPOSISI, Sebuah Pengantar kemahiran Bahasa”, menerangkan arti bahasa sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Fungsi bahasapun menurut beliau ada beberapa macam. Pertama sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri. Fungsi bahasa sebagai alat pernyataan ekspresi diri ini betujuan menyatakan keterbukaan sesuatu yang tersirat didalam dada kita yang ekspresi keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi. Pada tahap permulaan, bahasa pada anak-anak, sebagian berkembang sebagai alat untuk menyatakan dirinya sendiri. Contohnya seorang bayi menangis ketika lapar, haus dan sebagainya. Ini adalah ekspresi bahasa yang dipakainya ketika ia belum bisa berkomunikasi langsung (baca; berbicara). Kedua, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerjasama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita. Ia juga memungkinkan manusia menganalisa masa lampaunya untuk memetik hasil-hasil yang berguna bagi masa kini dan yang akan datang. Artinya ada pengertian yang lebih luas dari fungsi bahasa dari anak-anak sampai ia dewasa.
Ketiga, bahasa berfungsi juga sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sebagai alat untuk peng-integrasian, bahasa mampu menyatukan masyarakatnya yang plural dalam satu kesamaan dan nasib. Anggota masyarakat yang berbeda dapat disatukan secara efisien melalui bahasa. Sebagai alat komunikasi, lebih jauh bahasa membuat keterikatan antar kelompok sosial serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Dari bahasa juga seorang anggota masyarakat perlahan-lahan belajar mengenai segala adapt istiadat, tingkah laku, dan tatakrama masyarakatnya. Ia menyesuaikan dirinya (adaptasi) dengan semuanya melalui bahasa. Contohnya seorang pendatang baru dalam sebuah masyarakat bila ingin hidup tenteram dan harmonis maka ia harus menyesuaikan dirinya dengan masyarakat itu. Untuk itu ia memerlukan bahasa masyarakat tersebut. Kata sebagai simbol bukan saja melambangkan pikiran atau gagasan tertentu, tetapi ia juga melambangkan perasaan, kemauan dan tingkah laku seseorang. Keempat, bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial. Semua kegiatan sosial akan berjalan dengan baik karena dapat diatur dengan mempergunakan bahasa. Semua tutur pertama-tama dimaksudkan untuk mendapatkan tanggapan. Seorang pemimpin akan kehilangan wibawa, bila bahasa yang di pergunakannya untuk menyampaikan instruksi atau penerangan kepada bawahannya adalah bahasa yang kacau dan tak teratur. Dalam mengadakan kontrol sosial, bahasa mempunyai relasi dengan proses-proses sosialisasi suatu masyarakat. Proses sosialisasi itu dapat di wujudkan antara lain kare bahasa merupakan saluran yang utama dimana kepercayaan dan sikap masyarakat diberikan kepada anak-anak yang sedang tumbuh. Mereka inilah yang menjadi penerus kebudayaan kepada generasi berikutnya. Dan bahasa juga menanamkan rasa keterlibatan atau sense of belonging atau esprit de corps pada anak tentang masyarakat bahasanya.
Cicak maupun Buaya pada dasarnya adalah nama untuk seekor binatang yang seharusnya tidak dipakai untuk meng-andai-kan institusi (terhormat) penegak hukum seperti KPK, Polri dan sebagainya. Bila peng-andai-an ini diaktualisasikan, sama saja artinya menganggap institusi tersebut sebagai istitusi-nya para ‘binatang’ dan pastilah artinya menjurus kepada peranan kita sebagai anggota masyarakat secara tidak langsung. Ini termasuk penghinaan yang kasar pada kita dan negeri ini. Penghinaan yang juga menurnkan derajat bangsa kita sebagai tutur yang santun dimata internasional. Bisa kita bayangkan bagaimana masyarakat dunia menertawakan kita karena memyebut diri sendiri (negeri dan masyakatnya) sebagai binatang. Karena sesuci apapun binatang tentulah sangat berbeda dengan ukuran manusia ditingkat derajatnya. Binatang tidak mempunyai akal dan pikiran, sedangkan manusia adalah sosok sempurna yang memiliki akal dan pikiran sehingga mampu menganalisa setiap apa yang akan diperbuatnya. Hanya saja masih banyak dari perbuatan manusia yang menyerupai tingkahnya binatang. Tapi ini berbeda dengan institusinya. Karena institusi dan perbuatan yang dibuat manusia adalah dua hal yang berbeda. Institusi adalah pelembagaannya dan manusia adalah objeknya. Terbayang betapa ngerinya fungsi bahasa ini kalau di sambungkan pada pengertian yang dibuat Gorys Keraf tersebut. Terbayang pula arti sesungguhnya iklan ‘Bahasa Menunjukan Bangsa’ seperti tersebut diatas yang coba diuraikan.

Peranan Media dalam Aktualisasi Bahasa

Media yang banyak menjadi referensi dalam proses pembelajaran, berita, maupun pengaruh massa, sudah selayaknya harus lebih memahami ketatabahasaan baik dalam aktualisasinya maupun maksud yang coba ditujunya. Peranan besar media dari para pewartanya, tidak harus menempatkan posisi sebagai pemberi kabar (reporter), juru tulis (jurnalis) atau menuliskan buku seadanya saja. Bahasa yang sedang pupuler (yang sedang banyak dibicarakan), belum tentu baik sebagai tatanan bahasa baku, benar dan pantas untuk dipublikasikan. Bisa saja kata-katanya benar dan baku, tapi penempatannya tidak tepat. Seperti contoh cicak dan buaya. Secara struktur kata dan kebakuannya, dua kata itu benar untuk nama-nama binatang, tapi tidak tepat digunakan dalam pengandaian untuk manusia dan institusi Negara. Ada cara yang tepat untuk menyampaikan pesan dengan menggunakan kata-kata seperti binatang tersebut. Mungkin masih ingat di pikiran kita bagaimana cerita kancil dan buaya atau kancil dan siput sewaktu di sekolah dasar (SD). Ini lebih tepat untuk menyampaikan pesan kepada khalayak bahwa sabar pasti berhasil dan angkuh pasti banyak kegagalannya. Dari sini sudah sangat jelas bahwa media bisa menggunakan cara tepat untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat lewat cerita atau apapun namanya sehubungan dengan epig yang tidak harus langsung menyebut masyarakat sebagai objek andai-nya (KPK adalah cicak dan Polri adalah buaya).
Memang sangat menarik bagi sebuah media dengan keunikan kata yang diucapkan beberapa orang sehingga unsur berita menjadi kian menarik untuk dibaca. Tetapi sekali lagi, media adalah ‘guru’ bersama secara tidak langsung, jadi media harus menunjukan bahwa media mampu mengajarkan ketenteraman dan harmonisasi antara berita, egalitarian bahasa serta mengaktualisasikannya secara baik dan benar pula. Tidak di pungkiri bahwa saya-pun belajar dari media tentang bahasa dan penggunaannya yang baik dan benar karena saya bukan berasal dari sekolah ke-Bahasa-an. Tapi, kalau media kurang tepat memasukan bahasa, sama saja artinya media memberi pelajaran yang buruk pada masyarakat pembacanya. Apalagi sekelas media nasional dan lokal yang telah mumpuni dan kebanyakan wartawannya adalah luluan sarjana strata atau S1, Magister atau S2, Doktor atau S3 dan Professor. Nah, kalaupun masih ada media yang kurang tepat dalam menyampaikan berita atau menuliskannya, kiranya baik untuk jadi pertimbangan bersama terutama pimpinan media untuk mencari orang yang tepat untuk ditempatkan sebagai editor bahasa. Karena media dan bahasa tidak dapat dipisahkan. Sama-sama urgennya dan sama-sama pentingnya.

Akhirnya, setelah sedikit membaca peranan dan fungsi bahasa, kiranya dapat tergambar kenapa sedari awal ada kengerian ketika iklan yang bertuliskan ‘Bahasa Menunjukan Bangsa’ tersebut kubacai. Sangat jelas bahwa bahasa menunjukan harkat dan martabat bangsa kita di mata dunia. Bahasa yang kita tunjukan adalah penjelmaan dari bangsa ini secara langsung. Bila kita menggunakan bahasa hina, tentulah kita menunjukan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang hina. Pun sama kalau kita menunjukan bahasa yang sopan, maka kita menunjukan harkat dan martabat kita sebagai bangsa yang sopan pula. Nah sudahkan kita (masyarakat, guru, pejabat, media, ilmuwan dan lain-lain) menggunakan bahasa yang sopan, baik dalam penuturannya dan tepat dalam penggunaannya (dalam semua lapisan, dimensi dan ruang)? Ataukah malahan kita telah memperkosa bahasa kita sendiri dengan sengaja dan tidak sengaja menempatkan pemaknaan yang ambigu didalamnya? Seharusnya ini menjadi koreksi kita bersama untuk memikirkan kembali makna bangsa ini. Kita adalah bangsa yang merdeka dan terhormat, jadi mari kita tunjukan kalau sikap, perbuatan dan tentunya ‘bahasa’ kita adalah bahasa yang terhormat pula. Kalau mau menghargai bangsa kita, maka salah satunya, hargailah bahasa kita. Bahasa menunjukan bangsa, bangsa menunjukan sejarah kita terdahulu dan yang akan datang. Jadi mari kita tunjukan bahwa sejarah bangsa kita dahulu dan yang akan datang adalah sejarah bangsa yang baik di mata internasional, sejarah bangsa yang mempunyai harkat dan martabat yang tinggi dan sejarah yang berkebudayaan yang tiada tandingnya. Mari junjung terus Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Melki AS
Continue Reading...

Tragedi 1965 : Sejarah Kelam Perempuan Indonesia



(Resensi Buku)

Sesudah proklamir kemerdekaan yang dibacakan dwitunggal Soekarno–Hatta tahun 1945, keadaan bangsa Indonesia tidak serta membaik dan terkontrol. Perang fisik memang berkurang, tapi pecahlah kemudian perang ideologi dikalangan elit bangsa seperti Presiden, Militer, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan lain-lain. Pemberontakan merebak dimana-mana dan persaingan dalam penentuan arah bangsa serta perebutan kekuasaan menjadi isu yang santer dan gelap. Salah satu contohnya adalah peristiwa pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Dari peristiwa itu, sangat jelas penggambarannya bahwa apa dan siapa yang bertarung di dalamnya. Tidak lain dan apalagi kalau bukan ideologi (teori yang akan melanggengkan dan memaklumkan untuk sebuah perebutan kekuasaan). Terlepas dari benar atau tidaknya peristiwa tersebut, valid atau tidaknya berbagai karangan tentang itu, tentunya menyisahkan penderitaan mendalam bagi rakyat Indonesia. Terutama rakyat yang hanya terkena imbasnya, tanpa terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kubu atau pihak yang bertarung. Penderitaan-penderitaan itu banyak yang akhirnya menjadi suara-suara terbungkam dan hanya cerita pahit masa lalu (sejarah yang terselubung) yang traumatik ketika di bicarakan. Tapi membaca sejarah kita sekarang, kiranya perlu dilakukan pembacaan ulang dengan sumber data maupun langsung dari narasumber yang valid, dituturkan secara jujur serta di tulis dengan kematangan analisis terhadap berbagai peristiwa. Suara-suara yang tadinya terbungkam, sudah selayaknya diingat kembali dan disuarakan kepada publik demi keteraturan dan kesejajaran sejarah bangsa di masa lampau. Seperti yang coba dilakukan oleh Ita F Nadia, seorang aktivis HAM yang mencoba menuturkan dan meluruskan catatan masa lalu kaum perempuan yang kelam seputar tahun 1965.
Seperti yang tertulis dalam buku sejarah pelajaran, bahwasanya tahun 1965 adalah tahun yang menegangkan bagi bangsa Indonesia dengan merebaknya isu penggulingan presiden Soekarno dari jabatannya. Dan kemudian tahun berikutnya, Soekarno memang benar-benar terjungkal dari posisinya dan digantikan oleh Soeharto yang tak lain adalah perwira menengah dimasa pemerintahannya. Ini tentunya tidak serta merta di serahkan (Soekarno ke Soeharto), melainkan melalui proses panjang dan berbagai sabotase ataupun intrik kejam. Sabotase serta intrik yang dimaksud ialah isu rencana kudeta yang akan dilakukan Dewan Jenderal (DD) yang akhirnya terjadilah pembantaian para jenderal-jenderal yang sebelumnya disiksa, disayat-sayat, kemudian (katanya) penisnya dipotong oleh PKI dan organisasi wanita atau Gerwani. Lagi-lagi, kebenaran peristiwa itu masih remang. Dan buah dari sabotase jahat itu sudah terlanjur memakan korban yang lumayan banyak. Terutama para perempuan yang dituduh Gerwani maupun hanya disangkakan saja (karena berdasar tulisan panjang serta dokumentasi secara oral history yang dilakukan penulis, ada juga perempuan yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan Gerwani, BTI ataupun PKI).
Penulis menuturkan dan menuliskan dengan baik kisah dibalik masa pahit penyiksaan perempuan ditahun 1965 tersebut. Memang tidak banyak narasumber yang bisa diangkatnya dalam buku itu, tetapi setidaknya dari beberapa orang perempuan penutur itu, cukup membukakan mata kita pada sejarah kekejaman militer maupun organisasi-organisasi pendukung Soeharto terhadap perempuan Indonesia. Seperti kisah sepuluh perempuan yang kesemuanya akhirnya harus menanggung siksa dera yang teramat sangat keji karena bergabung dengan organisasi komunis, hanya menari thok untuk acara komunis ataupun ber-suami-kan dengan seorang komunis. Mereka disiksa dengan sangat tidak manusiawi sampai mereka lebih pasrah mati ketimbang hidup. Perempuan-perempuan itu, yang dengan tiba-tiba di gelandang tentara karena disangkakan keterlibatannya dalam pembunuhan jenderal-jenderal, mengalami trauma yang tak terperikan. Mereka disiksa dengan ditelanjangi, diarak dijalanan, dimaki-maki dengan kata-kata kotor, dibilang pelacur, perempuan tak bermoral, tidak beragama dan sebagainya. Tidak hanya itu, didalam sel penjara, mereka juga mendapat pelecehan-pelecehan seksual seperti disuruh menari telanjang, diperkosa secara beramai-ramai yang dilakukan oleh oknum tentara, di setrum bagian vitalnya (seperti: puting payudara, klitorisnya bahkan sampai kedalam bagian vaginanya), serta tak jarang moncong senapan di masukan ke dalam kemaluan mereka.
“ Saya dikeluarkan dari sel, dan disuruh mandi disumur didekat sel. Sesudah mandi, saya di beri sehelai kain batik dan kemeja putih, lalu dibawa ke ruangan didekat pos penjagaan. Di ruangan itu ada satu tempat tidur dan meja kecil. Saya di suruh duduk, diberi obat dan segelas air. Saya berbaring ditempat tidur dan tertidur nyenyak. Ditengah sepi malam, tiba-tiba saya terbangun. Seketika saya menjadi sadar. Ternyata saya sudah dalam keadaan telanjang bulat. Seorang laki-laki tinggi besar sudah menindis tubuh saya dan dengan liar ia memperkosa saya. Saya merasa kesakitan luar biasa. Darah segar kembali mengalir dari vagina. Setelah merasa puas, ditinggalkannya saya terkapar tanpa daya ditempat tidur. Belum sempat mengatur nafas, sudah datang lagi laki-laki lain. Ia bertubuh kecil dan tinggi. Ia memperkosa saya dengan amat kasar, tidak peduli pada darah yang terus mengalir. Saya tidak sadar lagi, apa yang terjadi pada saya sesudah lelaki yang ketiga, seorang yang berperawakan pendek dan gemuk. Dengan berat tubuhnya ia menindis dan menindis tubuh saya sambil menggigit-gigit payudara saya yang bengkak. Saya pingsan.“ (Bagian ke-2, Partini : Perempuan Eks Tapol, Sampah Segala Sampah hal 62-63). Begitu yang diituturkan Partini, yang ditangkap tentara karena aktif dalam kegiatan Gerwani. Menurut beliau, keinginannya masuk gerwani karena mereka mengajarkan baca tulis pada ibu-ibu rumah tangga dan orang perempuan pada umumnya. Selain itu, mereka juga mengajarkan jahit menjahit di lingkungannya. Makanya ketika disangkakan sebagai perempuan yang terlibat dalam pembunuhan para jenderal, penyayat dan memotong penis para jenderal, Partini tidak pernah mengetahuinya. Tapi ketidaktahuan Partini tersebut, tetap membuat ia mendapat siksaan dan hukuman. Tidak hanya Partini, terdapat Rusminah dan Suparti yang tidak pernah terlibat dalam kegiatan partai komunis ataupun sayap-sayapnya, tetapi hanyalah seorang istri seorang PKI. Tapi mereka juga terkena imbas penangkapan yang membabi buta dari pihak tentara. Mereka juga di perlakukan sama seperti Partini, diperkosa beramai-ramai, di setrum, dijadikan gundik oknum tentara bahkan sering dibiarkan kedinginan karena di telanjangi siang malam, panas ataupun hujan serta sering dibiarkan kelaparan.
Bahkan karena saking berat dan pedihnya siksaan terhadap mereka, tidak heran ketika Sudarsi (bagian ke-6 hal 110) mengungkapkan keputusaasaan dan kekecewaan karena memiliki vagina dan payudara yang kesemuanya menjadi alat permainan laki-laki (tentara) dan kekuatan politik. Seperti yang banyak dituturkan narasumber di buku ini, penjaga malam atau tentara lainnya juga biasa meminta “:Bon Malam, (sebuah istilah lazim dikalangan tapol G30S yang artinya: dipinjam pada waktu malam untuk dibawa ke tempat lain bahkan tidak sedikit yang dibawa ke tempat pembunuhan entah dimana)”, untuk memenuhi nafsu seksual mereka dengan pergi kekamar yang telah disiapkan kemudian secara pasrah diperkosa secara bergilir dan bergantian sampai para tentara itu puas.
Membaca buku ini, kita memang diajak kedalam kengerian peristiwa penangkapan kaum perempuan eks tahanan politik. Penggunaan bahasa yang simple, menjadikan kita gampang dan mudah memahami alur peristiwa yang disajikan. Berbeda dengan buku lainnya, yang menyajikan peristiwa sejarah dengan banyak menggunakan bahasa yang tidak baku (secara Indonesia) karena merupakan adopsi bahasa luar ataupun sebuah terjemahan. Dalam buku ini, guna menghindari pemaknaan yang bisa terkesan ekploitasi, penulis dengan cermat juga merunut sisi pengungkapan sabotase dan intrik keji oknum tentara terhadap tahanan. Karena tidak hanya penyiksaan saja yang dituliskan, tapi juga dilengkapi dengan kesaksian narasumber yang terpaksa berbohong terhadap publik karena tidak kuat menahan siksaan. Intrik inilah yang dahulu digunakan tentara untuk menipu media dan publik dengan menanamkan fakta dan sejarah salah didalam masyarakat. Para perempuan eks tapol, seperti yang dituliskan, mau tidak mau harus menjawab “ya” dari setiap pertanyaan wartawan. Karena kalau tidak menjawab seperti kehendak tentara, maka bukan hanya disiksa, mungkin mereka akan dibunuh. Jangankan melawan perintah, mengibaskan tangan yang sedang menggerayangi tubuh mereka, tak segan tentara itu menyiksanya.
“Pada hari berikut beberapa orang menjemput dan menggiring saya ke pos tentara. Disini mereka menginterogasi saya selama dua hari tanpa henti. Selama masa interogasi, sering mereka meminta saya menari diatas meja interogasi dengan telanjang bulat. Kemudian laki-laki alat kekuasaan itu ganti berganti atau bersama sama menggerayangi bagian-bagian tubuh saya dengan semau-mau mereka. Kalau saya menolak menari atau mengibaskan tangan-tangan mereka, mereka akan menampar atau mengancam. ‘Satu kali lagi kamu menolak, satu nyawa kawanmu akan melayang’. Artinya, jika saya menolak, maka akan ada satu orang tahanan akan mereka bunuh. Kenyataan yang terjadi memang tidak terlalu jauh dari kata-kata mereka. Setiap kali saya menari dan menolak untuk mereka perlakukan tidak senonoh, beberapa tawanan akan digiring masuk keruang interogasi saya. Dan pertunjukan penyiksaan akan mereka lakukan di depan saya. Sementara itu saya harus terus menari. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan sesama tahanan itu, saya terpaksa harus terus menari telanjang sampai mereka bosan.” (bagian ke-10. Darmi: Saya Tinggal Sebatang Jasad. Hal 178). Begitulah kekejaman tentara yang dituturkan Darmi, seorang Penari Bali yang harus menanggung derita kekejaman tentara karena suami dan mertuanya seorang komunis.
Kembali ke masyarakatpun, perempuan eks tapol ini tidak serta merta bisa di terima lingkungan. Baru semenjak era 1999 mereka benar-benar bisa menghirup kebebasan yang sesungguhnya. Sebelumnya mereka selalu hidup dalam keterusiran akibat propaganda tentara dengan menyebar berita bohong bahwa mereka adalah perempuan kejam, sadis, pembunuh para jenderal, pelacur hina dan tidak bertuhan (atheis). Bahkan seperti yang dialami Darmi, tidak hanya masyarakat yang menolaknya, saudara lelakinya pun sampai ajal menjemputnya telah terlanjur menghapus namanya dalam silsilah keluarga karena termakan hasutan bohong.
Saya rasa buku ini bagus untuk dibaca semua kalangan. Dengan membaca buku ini, kita sedikit akan melihat sisi sejarah yang terlupakan di negeri ini. Dari buku ini juga, seharusnya dapat menjadi kritik otokritik bagi pemimpin negeri ini, penulis sejarah maupun departemen pendidikan untuk meluruskan kembali sejarah terutama sejarah dalam pelaksanaan pembelajaran. Tidak melulu menggunakan yang lama karena ternyata banyak yang tidak relevan yang telah di tulis dalam pemerintahan orde baru. Meskipun tanda baca di buku ini masih banyak yang kurang tepat, tetapi pengatar yang diberikan Prof. DR. Saskia E. Wieringa turut juga memberikan pencerahan untuk bagaimana melihat lebih obyektif lagi sejarah bangsa ini terutama seputar tahun 1965 tentang Gerwani, Kup 1 Oktober 1965 yang sebenarnya mempersetankan perempuan, serta trik yang dipakai Soeharto dengan menciptakan kekacauan, dengan menerapkan politik seksual termasuk propaganda dan sabotase-sabotase kejadian yang sesungguhnya.

Melki AS
Continue Reading...

Dies UST ke-54 : Wayang, “Semar Mbangun Khayangan”


Ada sesuatu yang berbeda dengan rangkaian peringatan Dies Natalis Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) ke-54 kali ini. Selain berjuang dalam Pendidikan, kali ini UST juga bergerak dalam bidang Kebudayaan. Lalu seperti apa acara Kebudayaan yang coba dilakukan dalam rangkaian peringatan ini?
Hujan masih menggerimis tatkala tamu berdatangan. Dari pojok belakang kampus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UST yang agak remang itu, tampak sekelompok orang yang berbusana batik dan berkebaya. Mereka adalah para pemain wayang (dalang, kru musik maupun sinden). Mereka terlihat sesekali berbincang-bincang antar sesama. Mungkin membincangkan lakon yang akan dibawakan nanti atau lainnya. Dilihat dari depan, terlihat sebuah panggung yang sudah di penuhin dengan beberapa tokoh wayang yang terjejer dari kiri sampai kanan. Tamu silih berganti berdatangan. Seliweran mobil maupun motor sudah mulai memadati parkiran yang tersedia. Begitupun dengan kursi-kursi yang ada. Tampak disebelah dalam diisi oleh jajaran Tamansiswa mulai dari Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Yayasan, Pinisepuh, Keluarga Ki Hadjar Dewantara, Senat Universitas, Rektor UST, Wakil Rektor, Dekanat dan dari jajaran dosen dan karyawan. Di sebelah luar tampak pula dipadati oleh warga sekitar maupun masyarakat yang senang dengan kebudayaan wayangan ini.
Ya, malam itu UST mengadakan acara wayangan semalam suntuk. Acara yang dilakukan sabtu malam minggu tanggal 21 Novermber 2009 ini digelar untuk menyemarakkan rangkaian Dies Natalis UST yang sekarang sudah berusia 54 tahun. Seperti yang dituturkan Ki Edi Irianto, selaku ketua panitia, acara wayangan ini dilakukan untuk tetap melestarikan ajaran Tamansiswa sebagai badan perjuangan pendidikan dan kebudayaan. Selain itu, acara wayangan semalam suntuk ini digelar sebagai wujud syukur terhadap kondisi UST sekarang ini. “ Kenapa dipilih wayang, karena wayang itu cocok untuk saat ini karena kita syukuran atas perkembangan program studi-program studi yang tumbuh dan peningkatan kuantitas mahasiswa yang semakin banyak. Selain itu, sebagai hiburan yang dipersembahkan kepada masyarakat, wayang telah dicatat oleh PBB sebagai tradisi yang harus dilindungi dan mendapatkan penghargaan. Wayang termasuk juga karya budaya internasional ” ungkap Edi.. Ki Tarto Sentono, selaku Dekan FKIP yang memprakarsai acara wayangan ini berharap UST kembali menjadi ikon pendidikan dna kebudayaan dimasa akan datang. “Kalau dahulu disini (Jalan Batikan tempat FKIP berlokasi) lebih terkenal oleh kalimambu nya, mulai dari sekarang orang akan lebih kenal lagi bahwa ada UST disini. Jadi UST kembali bisa menjadi ikon lagi” tuturnya.
Ki Prof. DR. Djohar MS, Rektor UST, juga dalam pidato pembukaannya mengatakan bahwa lakon Semar (salah satu tokoh dalam kisah pewayangan), sangat cocok dengan pamong (guru). Karena secara filosofis, baik semar maupun pamong adalah bertujuan sama yaitu membangun. Sebagai pengamat pendidikan juga, beliau tak lupa mengingatklan para pamong (guru) bahwa dalam mendidik harus mencintai semua murid,apakah dia pintar, bodoh atau lainnya dan juga guru tidak boleh memihak. “guru harus punya dedikasi dan dalam melihat anak-anak, mereka harus benar-benar mengamalkan Tut Wuri Handayani” ungkapnya.
Ditambahkan Edi, lakon “Semar Mbangun Khayangan” dalam pewayangan ini memang menampilkan tokoh Semar karena dia adalah pamong yang sangat bijaksana. “Nah dari itu, kita pengen para pamong, khususnya di UST, Tamansiswa pada umumnya bisa mengikuti sifat-sifat Semar yang menghantarkan para ksatria menuju kesuksesan hidupnya. Jadi semar adalah lambang pamong atau guru bagi para ksatria. Kemudian cerita “Semar Mbangun Khayangan”, dimaksudkan supaya guru harus membangun pribadi dirinya sendiri supaya bisa lebih baik lagi. Khayangan yang dibangun itu maksudnya adalah pribadinya sendiri” ungkapnya. Mengenai keterkaitan terhadap kondisi bangsa sekarang ini, Edi juga menambahkan bahwa memang bisa juga menjadi kritikan bagi semuanya. Karena Semar Mbangun Khayangan menceritakan tentang Negara juga. Negara yang di kuasai oleh para ksatria yang di emong oleh Semar.” Jadi kalau yang di emong ini banyak yang salah, dalam cerita ini akan diingatkan lagi oleh semar. Artinya kalau dalam Negara ini banyak yang salah, bisa di ingatkan oleh para pamong. Dan itu akan disinggungkan dalam cerita ini nanti, dimana nanti rakyat akan mengingatkan para pemimpin” tambahnya.
Ki Seno Nugroho, sebagai pimpinan rombangan wayang, mengungkapkan bahwa dipilihnya lakon ini karena didasari atas keprihatinan terhadap sosok Semar. Menurutnya, Semar itu adalah pamomong yang selalu mengawasi pendowo. Keprihatinan sosok semar ini karena ada sedikit ketidak beresan, makanya beliau bermaksud mbangun khayangan. “Khayangan disini maksudnya adalah moral dan akhlak, supaya negara bisa tenteram adil dan makmur. Mengenai permasalahan bangsa ini, lakon ini akan menggambarkan juga keprihatinan yang diwakili Semar dan harapannya nanti bisa menjadi kritik konstruktif terhadap negeri ini” imbuhnya.
Menjelang dimulainya acara, kerumunan penonton semakin memenuhi tempat, bahkan sampai diluar tenda. Mereka rela tidak mendapatkan kursi tempat duduk dan tetap berdiri demi menonton acara ini. Hujan yang tadi gerimis, seakan paham dengan keadaan dan berhenti tatkala sang dalang mulai memainkan perannya. Begitu kharismatik, sehingga penonton serasa terbuai dalam alur cerita itu. Hendro, seorang mahasiswa yang turut datang menonton pagelaran itu mengungkapkan rindu dengan kesenian wayang seperti ini. “Dahulu di tempatku setiap ada pesta pernikahan, malamnya selalu ada wayangan. Tapi sekarang sudah jarang Mas. Sekarang malah sering dangdutan. Tapi meski saya kurang paham dengan bahasanya (tapi tidak semua), tapi saya senang bisa kembali melihat pagelaran ini. bagi saya, ini menginspirasi saya untuk bisa lebih baik kemudian hari. Cerita ini bagi saya adalah kritik bagi diri sendiri untuk bisa berbuat dan berprilaku baik kepada sesama” ungkapnya.

Melki AS
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template