Pages

PELACUR............!!!!!!!

Melki AS



Rinai gerimis hujan malam itu sudah mulai tampak di wajah langit yang paradok. Sesekali menampakkan raut kecerahan, tapi sesekali juga merintikkan hujan walau tidak hebat. Tapi suasana malam itu agak sedikit berbeda. Keberbedaan itu memang sudah lazim bagi mereka, tapi perbedaan kali ini lebih mencolok. Disini ada Pesta, Harapan, Perjamuan Minum dan Pelacur-Pelacur itu..........!!!!!!

..... ..... ..... ..............

Jam menunjukkan kurang lebih pukul sebelas malam ketika kami (aku dan tiga orang temanku) tiba disana. Dari kejauhan semua orang sudah tahu bahwa tempat itu selalu menyedot perhatian para musang malam yang selalu menginginkan kenikmatan duniawi. Dari jauh juga aku melihat berduyun-duyun orang keluar masuk di gang yang sempit itu.
Setelah selesai parkir motor di stasiun bersejarah itu, aku pun juga turut masuk menyusuri perkampungan di tempat gang sempit tersebut.
Kalau banyak orang datang kesana dengan membawa niat yang beragam, begitupun juga kami. Disana banyak pikiran yang berkubang dalam sesaat. Beberapa menit saja mengitari gang-gang disana, banyak sekali panggilan mesra nan sayu. Panggilan tersebut terasa akrab di telinga meskipun kita belum kenal satu sama lain. Maklum, itulah keadaan Lokasisasi Pasar Kembang (Sarkem) yang ‘melegenda’ itu. Sesekali mengusir lelah, ku sulut sebatang rokok dan cessss....asap putih menyembur dari dalam mulut. Dan dengan tak hendak menunda perjamuan, singgah pulalah dan duduk santai aku di pelataran-pelataran rumah transaksi sekaligus tempat berlangsunya eksekusi pabila transaksi tersebut berhasil. Tak heran kalau kiri kanan, bolak-balik dan mondar-mandir perempuan-perempuan datang walau hanya untuk sekedar bertanya atau menjaja kan tubuhnya kepada kami semua.
Tapi satu hal pasti adalah bahwa ada yang menarik perhatian kami disana. Kami di undang untuk turut berpartisipasi dalam memeriahkan sebuah acara. Kalau biasanya aku sering di undang kawan-kawan untuk berdiskusi, sharing atau memateri dalam berbagai acara, maka di sini bukan saat nya untuk mengatakan hal-hal yang bersifat intelektual tersebut. Disini kami memang terkadang suka share, tapi lebih kepada curhat tentang pengalaman yang pernah dan sudah dialami secara awam saja. Disini juga kami tidak membicarakan agama. Itu bukan berarti kami tidak beragama. Hampir semua yang ada disini beragama. Cuma untuk membicarakan itu, rasanya tidak tepat kalau di lakukan di tempat tersebut. Karena disni tempat berkumpulnya semua golongan, bahkan mungkin yang mengaku wakil Tuhan sekalipun; datang kesini untuk mereguk kenikmatan sesaat. Selaiknya acara, di sini pun, kami berkumpul dengan banyak teman lainnya. Acara pesta kali ini bukan acara yang mungkin dianggap orang seperti terbang bebas. Tapi acara kali ini mengandung asa yang di inginkan setiap manusia di seluruh dunia ini; Ulang Tahun seorang teman perempuan yang dianggap hina dina dimata masyarakat.
Suara gaduh musik terasa sangat garang di telinga dan teriakkan demi teriakkan turut memeriahkan rumah tempat pesta tersebut. Dari luar rumah, ada beberapa perempuan-perempuan yang se-profesi dengan teman yang sedang berulang tahun tersebut, sedang asyik duduk ngobrol sambil meracik minuman. Dari dalam rumah juga ada beberapa orang pula baik laki ataupun perempuan yang sedang asyik berjoget koplo. Ada kegembiraan disana yang sedang di luapkan. Keadaan yang remang turut memanaskan suasana saat kami menjejalkan kaki di dalam. Dan disana, kami di sambut dengan hangat seperti tak ada perbedaan di antara kita. Dan memang tidak ada beda di antara kami semua. Hanya nasib dan keadaan yang membuat sekat dalam pergolakan dan perjuangan dalam mempertahankan hidup.
Tak heran bila di tempat itu banyak suguhan minuman. Apalagi tidak sulit untuk mencarinya. Soalnya hampir di setiap rumah mempunyai warung yang melayani segala macam kebutuhan malam seperti minuman, kontrasepsi, rokok dan lain sebagainya. Seorang teman masuk kedalam. Aku dan dua orang teman lainnya memilih untuk duduk di luar saja sambil ngobrol dan bercengkeramah dengan perempuan lainnya. Belum berselang lama seloki minuman di suguhkan pada kami masing-masing. Dari aroma dan baunya jelas ini adalah Bir, Vodka dan campuran lainnya yang bisa menegangkan urat syaraf. Lalu leeppp...seloki minuman langsung mereguk dalam kerongkongan. Dan kembali aku menyumut rokok untuk sedikit menetralisir rasa yang sedang berontak tersebut.

......... ....... .................

Gerimis masih saja turun sesekali saat malam semakin larut. Dari dalam rumah, musik tiada hentinya menggebrak dan merangsang seisi dan semua yang hadir untuk bergembira. Tua muda, laki perempuan, semua tenggelam dalam kebisingan tersebut. Ada yang setengah teler, ada juga yang masih sehat dan sebagainya. Sampai akhirnya suara mengalun pelan dan lama kelamaan berhenti. Ini moment panitia dan yang punya acara untuk menegaskan maksud nya.
Sementara kami diluar terus dan terus saja minum bersama dengan perempuan-perempuan tersebut. Entah sudah berapa ceret yang sudah kami habiskan. Berbicara dengan perempuan-perempuan itu, saya menyadari bahwa apa yang selama ini di klaim masyarakat, tidaklah selalu benar. Soalnya dari cara dan perilaku; mereka terbilang baik, ramah dan sangat sopan. Termasuk saat panitia mulai mengutarakan maksud dan tujuan di buatnya acara itu, kami semua bahkan mengerti bahwa ada hal yang seharusnya tawa dan pembicaraan di hentikan. Dari dalam rumah, panitia terus sibuk mengoceh dan meneriakkan kata-kata selamat bagi yang berulang tahun. Tampak dari sela kerumunan aku melihat teman perempuan yang berulang tahun tersebut agak sedikit mesem ngguyu. Dan setelah dinanti agak lama, tiba pula yang berulang tahun mengucapkan permohonannya. Disinilah saya melihat bahwa memang tidak ada perbedaan diantara kami semua. Kalau biasanya ada saudara kita, keluarga kita, teman kampus kita, teman daerah kita atau masyarakat luas lainnya sewaktu berkesempatan baik, semua meminta kemurahan Tuhan untuk selalu melimpahkan rezekinya, rahmatnya, kesehatan dan sebagainya. Begitu juga dengan teman kami disini. Meskipun pekerjaannya kotor dan hina, bukan berarti mereka tidak ingat dengan Tuhan yang Maha segalanya itu. Sekali lagi perbedaan hanyalah sebatas pekerjaan yang mereka jalani saja.
Setelah semua kata dan ucapan dirasa selesai, kini tiba puncak dari segala acara yaitu pemotongan kue. Entah dari mana mulainya tradisi seperti ini, tapi jelasnya ini sudah biasa di lakukan. Kue tersebut sudah diletakkan di atas meja beserta umur yang berulang tahun; 18.
Kue pun di bagi-bagi. Kami semua dapat sepotong seorang. Musik kembali menyala dengan garang dengan suguhan yang sama; Dangdut Koplo. Hanya musik itu yang akrab di telinga kami. Kami tidak memandang bahwa apakah lagu tersebut kampungan atau bukan, yang penting asyik. Kembali tua muda laki perempuan berjoget ria. Minuman kembali di gelar baik di dalam maupun di luar. Syaraf kembali tegang setelah agak beberapa lama berhenti minum tadi. Racikan-racikan perempuan kami di luar semakin menjadi-jadi. Seloki demi seloki kembali di tangan. Habis minum loki di isi ulang dan begitu terus terusan. Syaraf yang sudah tegang semakin menegang. Tiba-tiba tanpa di nyana, yang berulang tahun menghampiriku mengajak berjoget di dalam. Bukannya aku tak mau atau apa, tapi menghindari terjadi hal yang tidak mengenakkan, aku pun berpura-pura menolak dengan mengatakan tidak bisa berjoget. Tapi teman yang berulang tahun tersebut sepertinya tidak peduli. Dia terus mengajak, menarik, merangkulkan tangannya bahkan sedikit memeluk mengajak agar aku mau berjoget bersamanya. Ya sudahlah, meskipun kepala agak sakit akhirnya aku ikut juga ke dalam. Teriakan dan bunyi musik yang setengah koplo setengah dangdut membuat kepala dan kaki bergerak gerak. Mungkin agak ngawur, cuma tak ada seorang pun yang peduli. Hampir malam itu semua sudah setengah teler, termasuk yang berulang tahun. Kami semua bergoyang menyaru semuanya. Bau keringat dan lainnya tidak terasa lagi. Begitupun juga aku. Termasuk ketika ketiak seorang perempuan menyentuh mukaku, aku tak tahu lagi. Tahu-tahu sudah menempel saja karena memang perempuan itu kebetulan menggunakan baju seksi yang tidak punya atasan dan ketika berjoget asyik mengangkat-angkat kedua tanganya.
Semakin asyik berjoget, syaraf di kepala semakin tegang saja. Beberapa kali aku menabrak lemari dan sesekali juga aku mulai berani menarik dan memeluk-meluk pinggang perempuan-perempuan itu sambil berjoget. Aku masih ingat karena walaupun syaraf tegang tapi kesadaraan masih ada. Cuma susah di kontrol saja. Dan semakin lama semakin susah mengontrol diri. Dengan kesadaran yang tinggal ku putuskan untuk keluar saja, duduk di kursi.
Di luar, gerimis masih saja berjatuhan. Cuma sudah agak berkurang. Duduk di dekatku ada seorang perempuan dan di depan ada mbak Rita yang sedang asyik. Ngobrol punya ngobrol, perempuan di dekatku itu mengajakku berkenalan. Namanya Lily. Lily pun banyak bertanya sampai akhirnya kami bercakap layaknya kenal dekat. Dia bilang bahwa berasal dari kota S dan sudah 4 bulan berada disini. Aku pun juga bilang padanya bahwa berasal dari kota M. Percakapan kami semakin lama semakin asyik. Tiba-tiba mbak Rita sudah selesai meracik minuman dan mulai menyuguhkan lagi minuman itu kepada kami. Aku pun langsung mengambilnya. Ku lihat juga Lily. Dia menolak minuman tersebut dan berusaha untuk tidak mengambilnya. Tapi mbak Rita terus menyuguhkan. Dan sepertinya tidak ada kata tolak di suasana dan tempat seperti itu. Ku pegang pahanya sedikit sambil memberi kode Lily agar mau mengambil minuman tersebut. Lily masih saja bersikeras untuk tidak mau mengambilnya. Setelah ku kedipkan mata sedikit, akhirnya dia paham. Minuman itu diambilnya juga. Setelah minuman diambil, mbak Rita kembali ke tempat duduknya sambil menuang sendiri minuman untuknya. Lily mendekatkan mulutnya di telingaku dan membisikkan bahwa dia tidak mau meminumnya karena memang dia tidak biasa dan tidak pernah minum-minuman seperti itu. Merokokpun dia juga tidak. Aku pun paham dan kubisikkan juga bahwa biar aku yang minumnya. Setelah kutenggak punyaku, punya Lily ku sikat juga cepat-cepat agar jangan sampai mbak Rita melihatnya. Soalnya tidak enak juga kalau mbak Rita sampai melihat. Setelah itu ku berikan gelasnya dan ku bilang agar dia terus memegangnya sampai akhirnya mbak Rita sendiri yang menannyakan loki tersebut.
Tak berapa lama memang mbak Rita menanyakan loki yang di berikannya tadi. Lily memberikannya dan mengatakan sudah meminumnya. Mbak Rita kurang yakin dan beliau menengok kearahku. Aku pun juga bilang iya. Mbak Rita percaya. Lalu kembali menuangkan minuman itu berulang dan berulang kali. Setelah minuman di luar tersebut habis, baru mbak Rita masuk ke dalam ikut berjoget ria kembali. Tinggal aku dan Lily di luar. Kami bercakap terus menerus. Tak terasa gerimis sudah mulai mengganas lagi. Kami pindah tempat duduk yang agak mepet ke dinding. Karena banyak bekas botol, loki dan tumpahan minuman yang di tuangkan, memaksa kami untuk duduk berdempetan. Pembicaraan terus berlanjut sampai gerimis mulai hendak berubah menjadi hujan. Lily mengajak untuk masuk kedalam. Bukan ke dalam ruangan tempat hingar bingar musik tersebut melainkan ke dalam kamarnya. Soalnya kalau masuk ke tempat musik tersebut, sudah pasti akan di suguhin minuman kembali dan tidak bisa berbohong lagi seperti tadi. Karena memang di dalam banyak orang. Aku kaget waktu dia ngajak masuk ke kamarnya. Bukannya apa, tetapi kepala sudah semakin tidak sehat. Kontrol diri semakin berkurang. Kalau tadi sewaktu berjoget saja aku sudah hampir kehilangan kontrol, apalagi kalau di ajak ngobrol dikamar. Tapi kalau tidak ngobrol di ruang dalam (ruang musik atau kamar), maka seluruh kaki bisa kebasahan. Padahal kepala semakin terasa nyut-nyutan terus. Aku mencoba untuk mengontrol diri dengan berpura-pura ingin buang air kecil. Sewaktu badan ku angkat terasa langkah mulai goyang kiri kanan. Jalan saja sudah menyerempet-nyerempet dinding. Aku berpikir bagaimana kalau di dalam kamar. Mungkin saja terlintas hal tersebut secara tidak sadar. Karena duduk berdempetan di luar saja, kami sudah saling rangkul. Dan dia tidak marah karena memang harus berdempet dan berangkulan agar sedikit terhindar dari kebasahan.
Setelah selesai dari kamar mandi, aku keluar lagi. Langkah masih saja bergetar kiri kanan. Aku coba tegar dengan berjalan agak pelan. Di luar Lily masih terlihat duduk sambil merangkul kakinya. Aku duduk kembali di dekatnya. Cuma agak canggung untuk merangkulnya. Sampai dia sendiri yang merangkulku. Lily tetap ngotot ngajak untuk masuk dan ngobrol ke dalam kamar. Soalnya gerimis semakin deras saja. Aku bilang padanya ntar malah aku di cariin temanku. Lily secara cuek bilang bahwa mereka pasti gampang mencariku. Akhirnya naiklah kami berdua ke atas ke kamarnya. Kamarnya tidak terlalu luas dan tidak banyak perlengkapan seperti kamarku. Biasanya kalau di kamarku ada rak beserta buku-buku ku, komputer, meja serta kursinya, sementara di tempat Lily hanya ada satu meja kecil, sepotong kasur dan dua bantal serta selimut. Hanya itu saja. Kami duduk kasur tersebut sambil selonjor-selonjoran. Karena selama di luar tadi, kaki tidak bisa di selonjorkan.

...... ....... ..... .....

Suara musik di bawah masih saja kedengaran sampai di atas. Dentuman koplo tersebut sesekali diikuti Lily. Rupanya ada juga lagu yang dihapalnya meskipun hanya sepotong-sepotong. Di sela sambil nyanyi-nyanyi kami terus bercakap. Kadang tentang diri sendiri, kadang juga tentang orang lain. Seingatku aku juga mennyakan tentang beberapa teman Lily yang tinggal di kamar-kamar di sana. Lily pun dengan lugas tanpa beban menjawab semua tentang mereka. Jadinya aku juga banyak tahu tentang mereka yang ada di sana. Lily juga bilang bahwa kadang seminggu dua minggu sekali dia pulang ke kota S tersebut. Kadang juga aku bertanya agak nyeleneh padanya. Tapi Lily selalu menjawabnya dengan pasti. Pernah juga aku tanya kenapa dia masuk ke area seperti ini dan baru kulihat jawabannya agak sedikit muram. Aku sedikit paham sampai kemudian dia nya sendiri menjelaskan tentang hal ikhwal terjun ke dunia seperti ini. Selama bercakap dengan Lily, aku merasakan kenikmatan tersendiri. Rupanya dia sangat asyik diajak ngobrol tentang apapun dan siapapun.
Aku merebahkan diri di kasur tersebut karena kepala semakin terasa sakit saja. Tiba-tiba Lily merebahkan dirinya juga. Jadilah kami seperti sedang asyik tidur berdua. Aku sudah mewanti-wanti agar jangan sampai terjadi hal di luar kendali. Tapi kepala rasanya berat sekali untuk diangkat. Percakapan pun sudah mulai berkurang karena habis sesuatu yang mau di bicarakan. Setidaknya tentang malam itu. Sambil berbaring aku menengadah keatas. Terasa kepala berputar-putar dan berasa perut ingin muntah. Tapi kutahan agar jangan sampai termuntah. Tiba-tiba, secara spontanitas Lily memelukku. Aku tak bisa menolak karena untuk bergerak saja susah. Dekapan Lily semakin lama semakin erat dan kurasakan dengusan nafas dari hidungnya semakin kencang terdengar. Ku buka mata, kulihat Lily terpejam. Tapi kepalanya semakin mendekat dan tangannya tak lepas dari mendekapku. Aku pun juga memejamkan mata, tapi tidak tertidur. Karena perasaan untuk tidur tidak ada sama sekali. Hanya kepala berat dan susah di angkat. Aku juga tidak mau tertidur karena pasti teman-temanku tadi pasti mengajak pulang. Seandainya aku tertidur, maka sudah bisa di tebak pasti aku akan di tinggalkan.
Ku buka lagi mata dan kulihat Lily, ternyata sesekali dia juga membuka mata menatapku. Aku berbalik badan dan menghadapkan mukaku ke mukanya sambil membisikkan sesuatu. Lily rupanya paham. Ku cium keningnya sambil kubilang apakah dia tidak marah padahal baru saja kenal. Dia mengangguk pelan sembari tangannya berusaha meraih tanganku dan mendekapkan ke tubuhnya. Habis itu entah apa yang terjadi. Akal pikiran seolah tergenang oleh minuman yang di minum tadi. Sampai terdengar suara ketokan pintu sembari memanggil-manggil namaku. Kubuka pintu dan kulihat tiga orang teman tadi sudah mengajak pulang. Pesta sudah usai dan semua sudah di bersihkan. Ku lihat Lily tidur pulas. Mau membangunkannya terasa tidak enak. Lantas kututupi dia dengan selimut agar tidak kedinginan, lalu kututup kamarnya dan aku pun melangkah pulang meski gontai. Mengingat Lily dan pulas mukanya sewaktu tidur, aku merenungi sebait liriknya lagu Titiek Puspa; “ Kadang dia menangis di dalam senyuman. Oh apa yang terjadi terjadilah. Yang dia tahu Tuhan penyayang umat-Nya. Oh apa yang terjadi terjadilah. Yang dia mau hanyalah menyambung nyawa “. Oh Tuhan akankah................


(Yogyakarta, 05061210)
Continue Reading...

Merefleksi Peristiwa Pasca 1965

Hari ini, kembali kita di hadapkan pada peristiwa bersejarah dan berdarah. Dua peristiwa besar yang terjadi pada medio 1965 yaitu tanggal 30 September dan 1 Oktober. Pada tanggal 30 September, terjadinya kudeta yang menjatuhkan Ir. Soekarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia dan menggantikannya dengan diktator orde baru Kolonel Soeharto yang berkuasa selama 5 periode lebih (32 Tahun). Peristiwa Coup de etat ini yang dikenal dengan Gerakan 30 September/G30S, bermula dari di bunuhnya beberapa Jenderal dengan sadis dan mayatnya di buang di lubang buaya. Tersebutlah Ahmad Yani, Nasution dan lain-lain yang menjadi keganasan dari peristiwa tersebut. Dan dengan secepat angin, pemerintahan baru tersebut membalikkan sejarah dengan mengklaim bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) lah yang mendalangi pembunuhan Jenderal-Jenderal terbaik Indonesia itu. Walaupun akhirnya banyak tesis yang bermunculan pasca kejatuhan Soeharto yang menyatakan adanya konspirasi di balik kudeta Soekarno tersebut. Misalnya adanya keterlibatan Amerika lewat CIA dan lain-lain.
Seperti yang kita ketahui bahwa Soekarno menandaskan perjuangannya ke arah sosialisme. Tepatnya Sosio-Nasionalisme atau Nasionalisme Kemasyarakatan. Beliau ingin merubah bangsa ini dengan satu kesatuan yang di tunjang dengan kepribadian sebagai bangsa Indonesia yang asli, yang sejak kecil selalu terngiang-ngiang di telinganya dengan konsep kegotongroyongan dan agamais yang diwarisinya dari kakek dan orang tuanya. Sehingga baginya perlu di tumbuhkan suatu ideologi kebangsaan yang menjadi dasar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan pluralisme yang yang ada. Bahwa bangsa Indonesia terdiri dari bermacam ragam suku, adat, ras, agama, budaya, dan bahasa yang berbeda yang semuanya perlu di sejahterakan hidupnya. Hingga pada akhirnya, munculah Pancasila sebagai ideologi tunggal dalam kehidupan bersama.
Terlepas dari apa dan siapa perumus Pancasila yang sebenarnya, tapi ideologi tersebut terbentuk dari seluruh jiwa masyarakat Indonesia yang menghendaki perlunya diatur suatu pembagian rezeki, kesejahteraan manusia dan hubunganan antara pemilik modal dan para buruh. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar sehingga perlu pemersatu ideologi sebagai pemersatu rakyatnya. Jadi pertanyaan kenapa tidak berhaluan Agama atau Sosialis atau Komunis saja? Inilah yang masih sering di pertentangkan dan menjadi pertikaian oleh dan di bangsa ini dengan 230 juta rakyatnya sampai sekarang.
Partai Komunis Indonesia (PKI) yang merupakan manifes dari gerakan sosialis tidak hanya di Indonesia tapi juga dunia, memang pernah di jejalkan. Sampai pada akhirnya PKI di tumpas dan dianggap sebagai partai terlarang yang tidak boleh melakukan kegiatan sesuatu apapun karena mendalangi pembunuhan para Jenderal. Meskipun ini belum sepenuhnya benar. Tapi justru sejarah mengajarkan bahwa ketika komunis berkuasa, maka bukan kesejahteraan dan keadilan yang didapat. Justru yang ada hanyalah Komunis sebagai mesin pemeras yang baru dan pembunuh tatanan kehidupan masyarakat yang plural. Jadi apabila dipaksakan, komunis justru akan menjadi diktator baru yang sama hal nya dengan kapitalisme yang selalu mencengkeram dan membelenggu kesejahteraan dan keadilan rakyatnya. Soviet adalah contoh nyatanya. Sama hal nya dengan Indonesia, meskipun tidak berhaluan komunis, tetapi sejarah komunis Indonesia telah memangkas seluruh rencana kedepan yang dicita-citakan. Tindakan gegabah Partai Komunis Indonesia akhirnya dijadikan alasan untuk menghabisi setiap pergerakan kiri di Indonesia. Sampai benih-benih pergerakan pun jadi tumbal dari kegegabahan PKI ini. Makanya sangat mustahil sekali bila ingin menghidupkan kembali paham komunis di Indonesia.
Tapi, meski mustahil menghidupkannya, roh Komunis tersebut masih terpelihara dengan baik. Dengan perfom baru berelimut sosialis, bahkan roh itu merasuk sampai ke ruang-ruang intelektual (kehidupan kampus), yang notabene nya mahasiswa dengan membentuk organ-organ pergerakan. Yang selalu menjadikannya ambigu adalah klaim ‘kiri yang paling mentok’. Jadi ada anggapan bahwa hanya organ inilah yang paling hebat dan progressif. Kehebatan dan progressif nya diumbar dengan mengobarkan perlawanan entah itu protes, bentrokan dan sebagainya. Sesungguhnya ini adalah bentuk pendangkalan jiwa berpikir, terutama generasi penerus bangsa. Padahal antara ‘Kiri, Sosialis dan Komunis’ itu adalah sesuatu yang berbeda. Kiri adalah bentuk perumpamaan dari perlawanan yang manifesnya bisa berbentuk berbagai paham seperti Sosialis, Komunis, Agamais ataupun Pancasilais. Jadi terasa bedanya antara Kiri dan Komunis, Kiri dan sosialis, Kiri dan Agamais ataupun Kiri dan Pancasilais. Tapi kekiri-kirian yang di serempetkan dengan gaya sosialis komunis selalu terpelihara di negeri ini. Seolah-olah itu adalah satu-satunya paham kebenaran dalam kehidupan suatu bangsa. Sama halnya dengan Kiri Agamais yang akhirnya juga berpendapat hanya dengan aturan agama satu, maka itulah kunci kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adanya gerakan radikal yang memaksakan kehendak satu ideologi keagamaan, justru membuat Indonesia di ambang ketidakjelasan. Hal ini bisa saja terjadi bilamana orang tidak memahami sejarah. Bahwa dengan menyatukan semua lini kekuatan, apapun agamanya, baik tua ataupun muda, bangsa ini bisa merdeka. Cita-cita negara agama adalah sesuatu yang sangat muluk dan sangat susah di terima. Agama tidak untuk dijadikan mesin kekuasaan, tapi pengembangan nilai-nilai agama didalam diri yang sangat diperlukan. Memang penduduk Indonesia mayoritas Islam, tapi untuk memaksakan negara Islam, jauh panggang daripada api. Karena Islam tidak membutuhkan negara, tapi Islam membutuhkan kesucian hati. Dan juga karena ditengah mayoritas Islam tersebut, ada minoritas lainnya yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Hak untuk memperoleh hidup, berpendidikan maupun memeluk suatu agama tertentu seperti lainnya. Jadi kalaulah kita ingat sejarah, maka bukan satu agama saja yang membangun bangsa ini. Apalagi isu agama hanya tameng untuk menggapai kekuasaan, bukan untuk mensejahterakan. Kiranya baik mengingat guman bung Karno bahwa bangsa ini harus di bangun dengan jiwa yang nasionalis. Dan agama cukuplah ada di dalam diri masing-masing sebagai pengontrol perilakunya. Apalagi di tengah pluralisme kehidupan rakyatnya yang bhineka. Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan berbagai aliran kepercayaan lainnya. Negara agama seperti yang di cita-citakan fundamentalis adalah hil yang mustahal. Indonesia sudah tepat dengan mendasarkan setiap permasalahan dengan aturan hukum, meskipun belum terlaksana total (karena bukan Pancasilanya yang bermasalah, tapi instrumen yang menjalankannya yang mungkin belum paham dengan Pancasila). Hanya dengan mendasar pada satu ketetapan hukum, maka bisa di rangkul semua kalangan di seantero Indonesia yang beragam agama dan kepercayaannya.

Pancasila; Jalan Yang Masih Tersendat

1 Oktober sebagaimana yang selalu kita peringati adalah hari Kesaktian Pancasila. Meskipun sejarah yang mengitarinya masih buram, tetapi hari ini menguatkan kembali kepada kita bahwa hanya ada satu ideologi di negeri ini, bukan Komunis, bukan Agamais atau lainnya, tetapi Pancasila. Seiring perjalanannya, memang Pancasila belum mantap menatap kedepan. Pancasila masih mantap sebatas perumusannya. Aplikasi dan implikasinya Pancasila masih tersimpang siur. Pancasila seharusnya menjadi obat bagi kemelut di negeri ini. Bilamana ada sesuatu yang mengkhawatirkan, maka pancasila lah yang akan meluruskannya. Makanya Pancasila dianggap sakti. Cuma permasalahannya sekarang, kesaktian itu mulai luntur seiring subur menjamurnya praktik korupsi, pertentangan ideologi, tawuran antar etnis, suku, pemuda, agama dan lain-lainnya. Sesungguhnya praktik ini tidaklah sejalan dengan jiwa dan semangat Pancasila. Adanya tindakan mengemukkan diri dan kelompok sendiri dengan menafikkan kemiskinan yang masih melekat pada masyarakat adalah sebentuk penghianatan dan penghinaan terhadap konsensi Pancasila yang telah jauh dirumuskan pendahulu.
Banyak kalangan menilai bahwa terjadinya praktik menyimpang itu disebabkan karena lunturnya nilai-nilai Pancasila. Ibarat obat, Pancasila menjadi kadaluarsa di tengah panasnya pertentangan dan permainan kepentingan antar elit. Bukan rahasia umum lagi bahwa terjadinya pertikaian-pertikaian juga di sebabkan sebagai pengalihan isu. Misalnya ketika elit di jakarta banyak yang tersandung masalah, maka lumrah kalau terjadi letusan pertikaian di tempat lainnya. Jadi sepertinya kalau kita mengatakan bahwa nilai-nilai pancasila itu semakin luntur, yang menjadi pertanyaannya adalah apakah mungkin sesuatu itu luntur secara sendiri ataukah memang sengaja ada yang ingin melunturkannya??
Bahkan dari cara pengalihan isu ini, paradigma masyarakatpun berubah menjadi sebentuk unjuk kekuatan. Kalau kemarin masyarakat diajarkan tawur dengan cara di provokasi, sekarang masyarakat (terutama yang merasa paling kuat) keranjingan tawur meskipun tanpa di provokasi. Mereka membentuk sendiri kelompok-kelompok tertentu sehingga pertikaian bisa meledak kapan dan dimana saja. Belum lama ini terjadi pertikaian di Tarakan Kalimantan Timur. Dan baru saja terjadi pertikaian pemuda di depan pengadilan negeri Jakarta. Pertikaian seperti ini akan selalu terjadi kalau negara tidak cepat tanggap. Tidak hanya dengan di tangkapi para perusuhnya, tetapi dengan menanamkan ulang nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila tersebut. Dan dalam menindak perusuh, dengan bersandar pada kekuatan Pancasila, sebaiknya pula negara tidak tangung-tanggung untuk menindak dan menertibkannya. Karena tidak hanya kelompok-kelompok pemuda yang sering bertikai, isu agamapun menjadi sangat strategis sekali bagi segelintir kalangan untuk di pertikaikan. Misalnya kekerasan yang dilakukan dengan embel-embel ormas suatu agama tertentu. Upaya untuk menertibkannya memang sudah di ujung klimak, tapi sepertinya selalu tersendat untuk di eksekusi. Kenapa tersendat, pastinya pemerintah dan negara masih ragu. Keraguan karena sejatinya ada campur tangan pemerintah yang sengaja melindunginya dan bisa di pergunakan untuk kepentingan tertentu. Ataukah mungkin saja ormas tersebut pertamakali di bentuk oleh tentara atau partai politik atau mungkin penguasa. Kalau teroris sekaliber al qaedah dan jamaah al islamiah bisa dikebiri, kenapa ormas-ormas yang telah dengan jelas menabrak jiwa Pancasila masih bisa berdiri eksis bahkan dengan angkuhnya.
Belum lagi bicara masalah kedaulatan yang selalu di lecehkan oleh tetangga serumpun. Mungkin Bung Karno sangat keras sehingga beliau memprovokasi dan mengajak konfrontasi negara-negara di sekitar seperti Singapura, Malaya, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk melawan dan membubarkan proyek negara boneka Malaysia. Tapi sekarang sangat jauh berbeda perbandingannya. Bahkan di hina sekalipun, bangsa ini berbalik meminta maaf. Lihat saja hasil perundingan terkait perseteruan penangkapan petugas kelautan Indonesia yang dilakukan Malaysia di perairan Indonesia. Hasil perundingannya sangat menyesalkan rakyat, yang kesannya sangat lembek dan tidak ada ketegasan. Sepertinya diplomasi kotoran malah lebih berhasil membuat Malaysia berang dibanding diplomasi elit yang membuat Malaysia hanya senyum-senyum saja. Kenapa Indonesia se lembek itu? Apalagi mengingat perseteruan Indonesia-Malaysia ini telah berlangsung lama. Dan faktanya Indonesia selalu kalah dalam diplomasi. Bukti konkrit adalah hilangnya Sipadan dan Ligitan. Tidak hanya itu, Malaysia berani mengklaim seni-budaya bangsa ini seperti reog, lagu rasa sayange dan batik untuk di jadikan promosi negaranya. Indonesia hanya tenang-tenang saja, mengingat masih ada 2 juta tenaga kerja yang mencari rezeki di negeri jiran tersebut (menjadi babu dengan embel-embel pahlawan devisa).
Seharusnya dari beragam kejadian ini, memang kita sepakat bahwa hanya nilai-nilai Pancasila yang dapat mengatasinya. Dari pertentangan ideologi sampai kedaulatan, Pancasila mujarab untuk di praktek kan ulang. Pancasila adalah ksatria, simbol keberanian, ketegasan dan pintarnya negeri ini. Bak garuda, Pancasila adalah penjaga seluruh tatanan kehidupan negeri ini. Tapi untuk mempraktekkannya, karena nilai-nilai itu mulai luntur, maka negara dan pemerintah harus menguatkan lini pendidikan untuk memamkannya kembali pada generasi berikutnya. Bangsa ini terletak pada generasi berikutnya, bukan generasi sebelumnya. Tidak ada lagi yang diharapkan dari Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Tan Malaka maupun lainnya, kecuali gagasan dan ide-idenya tentang bangsa yang akan datang. Muara dari segala permasalahan kita adalah kesadaran. Kesadaran untuk hidup harmonis, damai dan sejahtera. Saya kira itu sejalan dengan semua agama yang ada. Artinya tidak ada pertentangan antara agama dan pancasila.
Sesungguhnya musuh bangsa ini bukanlah pada gertakan ideologi atau paham, kelompok ataupun pertentangan antar bangsa. Sesungguhnya musuh utama kita dari dulu sampai sekarang adalah kebodohan dan kemiskinan. Adalah sesuatu yang miskin kalau kita bodoh, pun begitu sebaliknya. Dan bangsa yang bodoh tidak akan pernah berkembang dan maju. Selamanya akan selalu tertindas. Seperti bangsa ini, terlepas dari penindasan bangsa asing, tapi berbalik menindas bangsanya sendiri. Kalau kita bisa melepaskan kebodohan dan kemiskinan ini, niscaya, bangsa ini akan menatap masa depannya yang gemilang. Karena semua yang tertanam di negeri ini, alamnya maupun manusianya, sama-sama menjanjikan. Dan untuk mewujudkan itu, cukup sudah negara dan pemerintah beserta instrumennya membangun kewibawaan. Sekarang saatnya membangun karakter bangsa yang benar-benar sesuai dengan cita-cita dan harapan. Cukuplah membangun politik pencitraan, tapi bangunlah pencitraan politik yang nasionalis, manusiawi dan meletakkan permasalahan rakyat di atas segala-galanya (PANCASILAIS).

Melki Hartomi AS
Anggota Persatuan Pemuda Tamansiswa
Continue Reading...

PERTEMUAN


Diskusi dengan teman-teman baru saja usai. Memang kali ini agak menjengkelkan karena yang ada hanya beberapa orang saja. Padahal notabene, anggota masih banyak yang belum pulang kampung. Juga, waktu diskusi kali ini juga molor dari waktu yang telah disepati semula. Tapi alhamdulillah, diskusi jalan dan bisa selesai juga. Entah mengerti atau tidak, pokoknya usai.
Dinding pun menunjukan pukul sembilan malam. Artinya memang sudah saatnya untuk beristirahat. Tapi mungkin itu hanya pikiran orang yang telah bekerja seperti pegawai, buruh, kuli dan sebagainya. Tidak bagiku, yang hanya luntang lantung tak tentu arah.
Baru saja mau beranjak ngaso, tiba-tiba HaPe berdering. ‘ Siapa pula gerangan, malam-malam masih aja telpon ‘ pikirku dalam hati. Ternyata setelah dilihat, rupanya dari seorang teman lama. Retno Mahesti Utami, atau yang biasa kupanggil Hesti atau Eti’. Teman yang mungkin sudah 2 tahun tidak pernah berjumpa semenjak acara wisuda yang lalu.
‘ada apa Ti’, kok tumben telpon‘ tanyaku
‘kamu dimana Mel, di UKM kah atau dimana‘ Hesti bertanya.
‘iya, aku di UKM, ada apa toh‘ jawabku dengan sedikit berbohong. Padahal waktu itu aku sedang berada di kampus lainnya. Pikirku tak apa pula di bohongin, toh juga tidak berdosa-dosa amat. Apalagi Amat aja sudah pulang kampung karena libur habis semesteran.
‘kalau bisa kau ke kampus FKIP yo. Tapi cepat, jangan lama-lama‘
‘Ada apa e, kok ndadak suruh ke FKIP. Emang ada acara apa? Bukannya sepi disana kalau malam hari‘
‘pokoknya kesini ajalah. Ditunggu‘
‘ya sudah, tunggu aja. Sebentar lagi aku kesana‘
..............

Rencana mau ngaso batal. Mau gak mau, juga karena rindu dah lama gak bertemu dengan teman lama, aku pun coba lihat kendaraan yang terparkir. Ah..ada motor Bobby masih nangkring di parkiran. Kulihat juga Bobby asyik chatting sama cewek baru kenalannya di facebook. Ah, dalam hati pakai aja motor ini, toh dia juga belum pulang kok. Malah kelihatannya semakin lama, semakin asyik chattingnya. Mudah-mudahan dia nya tidak keberatan.
Kucoba mendekati Bobby. Maksud hati ingin pinjam kuda besinya biar bisa ketemu dengan teman lama. ‘Bob, masih lama kan, pinjam dulu motor mu yo‘ pintaku pada Bobby
‘mau kemana, dah malam juga ini‘ jawab Bobby spontan. Saking asyik chatting, menjawab pun dia tidak menunjukan muka. Tangannya asyik saja menyentuh tombol-tombol keyboard komputer.
‘gak kemana-mana kok. Keluar aja sebentar cari angin. Pinjam ya‘ pintaku lagi
‘ya udah, pakai lah. Tapi jangan sembrono. Kalau ada lobang-lobang mbok ya cari jalan yang bagus. Soalnya shock breaker nya dah agak bermasalah‘
‘sip boss‘ langsung saja motor Bobby kusikat. Tak berapa lama, motor itu sudah bisa kupakai. Tinggal starter dan wuzz........berjalan sudah.



Jarak antara kampus FKIP dan kampus satunya lagi memang tidak terlalu jauh. Tapi perasaan juga diliputi was-was. Kira-kira ada apa. Mungkinkah ada sesuatu yang menggawatkan. Ah.....mungkin saja tidak. Aku coba berpikir positif. Tapi sesungguhnya aku pun juga mau ketemu dengan teman ini setelah lama tidak bersua. Ingin rasanya cepat-cepat sampai ke FKIP. Dan karena memang jarak nya tidak jauh, akhirnya aku sampai juga. Aku coba pandangi sekeliling kampus tersebut. Ku lihat ada beberapap orang lagi asyik bercanda sambil foto-foto di pelataran kampus.
‘mel, cepat kesini’ kulihat Hesti memanggil. Setelah mendekat aku bersalaman dengan mereka, disana ada Martha, Hesti, Vindi dan Priyo. Mereka asyik memotret kampus, memotret diri pribadi dengan kamera HaPe. Tak terbayangkan betapa riangnya hati bertemu dengan mereka.
‘gimana kabarmu, lama tak ketemu yo. Kok tambah gemuk aja Mel’ Martha menimpali.
‘baik kok. Masih seperti yang dulu. Kabarmu gimana? tanyaku pada Martha.
‘Kabarmu Ti’, tambah besar aja nih body.’ tanyaku pada Hesti. Itu karena memang tubuhnya terlihat lebih gemuk. Hampir menyayingi diriku. Tapi tetap aku belum terkalahkan.
‘baik.....’ jawab mereka bersamaan. ‘ayo Mel kita foto-foto. Lama tak bertemu rasanya sayang kalau tidak berfoto’ ajak Vindi dan Priyo.
‘wah kalian ajalah yang berfoto. Aku nanti aja. Sini aku yang ambilkan gambarnya’ balasku mengelak.
‘kayaknya gemuk tuh badan. Tidak bohay lagi nih’ tanyaku pada Vindi. Kulihat memang perutnya sekarang agak membesar. Tapi ini agak berbeda. Karena ku tahu, sejak selesai wisuda, Vindi menikah, mengajar dan sekarang ikut suami tinggal di kalimantan.
‘iya dong, namanya sudah bersuami. Masa tidak.....hmmmmm’ balasnya sambil pake kode. Ah aku tahu. Itu adalah kode bagi orang dewasa yang sudah matang. Tapi yang belum matang pun juga tahu kode tersebut kok.
‘ayolah kita foto. Disini kayaknya bagus’ Martha sambil menunjuk bacaan ruang sidang FKIP.
‘ayo berdirilah disana, biar aku yang ambil. Kau berdiri juag disana Mel’ Priyo menawarkan diri sebagai juru potret. ‘tapi nanti gantian dong’.
‘ah kalian ajalah. Itu lho sudut yang agak bagus. Bila perlu kursinya di dekatkan biar nanti bisa di naikin dan agak dekat ke tulisannya’ ujarku sambil berlagak nolak ajakan. Padahal dalam hati, nanti aku juga harus berfoto dong. Sayang sekali kalau tidak berfoto. Kapan lagi kalau tidak kali ini. Soalnya habis dari ini, mungkin lama baru bisa berjumpa lagi. Nanti Vindi pulang ke Kalimantan. Martha larut lagi dalam aktivitas mengajarnya. Hesti pulang dan ngajar juga di Gunung Kidul. Dan priyo entah kapan-kapan bisa ketemu dengan kawan satu ini. Memang ketemu secara tidak langsung sering, tapi itu cuma lewat dunia maya facebook. Ketemu langsung seperti ini sangat jarang sekali. Jadi rasanya rugi sekali kalau momen ini tidak dimanfaatkan.
Martha, Vindi, Hesti menarik kursi panjang didepan pintu tersebut. Sepertinya mereka sangat ingin sekali berfoto di depan pintu yang ada tulisan ruang sidang tersebut. Tak berapa lama memang kusi panjang tersebut berpindah posisi. ‘ayo Mel, sini cepetan’ ajak Vindi dengan gaya kocaknya seperti masih gadis dahulu.
‘iya...iya...iya....’ jawabku
‘kita atur dulu gayanya ini biar lebih menarik. Soalnya hasilnya nanti kita tag di facebook biar semua teman-teman pada tahu, biar mereka ngiri’ ujar Vindi bersemangat sambil ketawa-ketiwi.
Hah ada-ada saja kawan ini pikirku dalam hati. Sudah bersuami juga, bahkan sebentar lagi juga akan punya anak, tapi masih saja kocak, agak sedikit centil seperti dahulu.
Akhirnya kami berfoto-foto juga. Aku juga tak ketinggalan. Lama kelamaan terasa asyik. Entah karena memang sudah lama tak membuat kenang-kenangan dengan mereka ini atau karena memang sudah lama juga tak pernah berfoto baik bersama-sama maupun seorangan diri. Hampir semua sudut kampus kami jadikan lokasi pemotretan. Dari ujung selatan sampai ujung utara. Dari barat sampai ke arah timur. Cuma sayang karena malam hari, jadi susah fokus ngambil gambarnya. Tapi untung HaPe kawan yang pake kamera ini bisa diatur blitznya (pencahayaan) sehingga tempat agak gelap pun bisa jadi terang. Bahkan kalau terlalu dekat, maka muka akan kelihatan seperti memakai bedak. Karena hasilnya akan kelihatan putih karena di timpa cahaya blitz. Seperti wajah Martha ketika dia mencoba memotret dirinya sendiri, tapi terlampau dekat. Jadi deh seperti boneka. Hahaha.........
Tak ketinggalan diluar pun juga diabadikan. Padahal pencahayaan sangat-sangat terbatas sekali. Untunglah ada lampu taman. Tapi lagi-lagi tidak terlalu membantu karena ketika di foto, yang nampak hanya yang terkena seputar cahaya lampu itu saja. Sementara pencahayaan kamera kalah terang dengan cahaya lampu taman tersebut. Jadinya ketika di potret kan, hasilnya seperti peramal saja. Soalnya lampu taman tersebut berbentuk bulat dan cahayanya putih. Hasil potret foto pun menyerupai orang yang sedang meramal karena sekelilingnya gelap. Yang tampak hanya muka, dan tangan yang dekat dengan cahaya lampu. Martha, Vindi dan Priyo bergantian berfoto di tempat tersebut. Berkali-kali pula Martha mengganti posisinya, tapi hasilnya tetap sama saja. Begitupun juga dengan Priyo dan Vindi. Sementara Hesti lebih banyak duduk. Mungkin karena kecapekaan sering jongkok-jongkok, berdiri dan sebagainya waktu berfoto-foto tadi. Makanya dia hanya duduk-duduk santai saja. Tidak terlalu memusingkan yang lainnya.
Selesai berpotret ria, kemudian kami semua beristirahat. Duduk-duduk di bawah pohon kecil penghias taman sambil bercanda tentang masa lalu. Tentang dosen yang menurut anggapan Hesti mungkin sudah tidak ingat lagi dengan mantan mahasiswanya dulu (selain aku. Heheh karena memang belum ada kata selesai sampai sekarang). Tapi menurut Vindi, kalau dosen wali, mungkin masih tahu. Soalnya Miss Yuyun itu rata-rata hampir hapal semua mahasiswanya meskipun beribu-ribu banyaknya. Sambil bercanda dan tertawa-tawa, Martha sibuk melihat-lihat hasil jepretan tadi. Entah apa yang dilakukannya. Mungkin belum puas kalau belum dilihat secara jeli satu persatu.
‘astaga.........’ tiba-tiba saja Martha berucap.
‘ada apa e....kok kayaknya bingung’ tanyaku pada Martha
‘iya, ada apa Tha, kok bingung amat kelihatannya. Coba kau transfer foto itu ke HaPe ku’ kata Priyo menimpali.
‘aduh gawat. Malah fotone ke hapus semua je. Tadi salah pencet. Maunya sih nge-save biar enak ngatur dan ngelihat-lihatnya, eh malah kepencet tombol untuk menghapus’ Martha menjawab lirh.
‘lantas hilang semua po fotonya’ timpal Priyo lagi.
‘ iya....bahkan tak satu pun tersimpan’ balas Martha
Aku, Hesti dan Vindi hanya terdiam saja. Kami juga gak tahu juga pengoperasionalannya. Bahkan sewaktu mau motret saja, aku bolak-balik bertanya bagaimana cara ngambil gambarnya itu.
‘wah piye toh iki. Kok aku malah kepencet penghapusnya. Padahal foto-foto nya tadi dah banyak’ ujar Martha sambil sedikit gusar. ‘ayo lah kita foto lagi, mumpung belum terlalu malam’
Mau gak mau kami semua harus potret ulang. Sedang dua kali jepret, tiba-tiba saja HaPe ku berdering lagi. Kali ini dari Jontra. Kebetulan memang sudah ada janji dengannya dari siang tadi. Rencananya mau ke UGM bertemu dengan Gus Adit, seorang pimpinan organisasi pemuda Indonesia. Dalam sms nya Jontra mengabarkan bahwa dia menunggu di sekretariat Juang Majelis. Kubalas sms tersebut agar dia mau menungguku sebentar lagi, soalnya ada yang tidak bisa ditinggalkan. Tapi tidak ada konfirmasi balik. Aku pikir bahwa dia mengerti kok.
Sementara Hesti, Martha, Priyo dan Vindi bergesit mengambil ulang berbagai sudut dan gaya foto seperti yang dilakukan tadi. Sepertinya mereka tidak mau lagi kehilangan kesempatan untuk kedua kalinya.
‘Mel ayo sini, foto disini’ ajak Martha sambil menunjuk pintu dekanat.
‘cepat Mel, biar aku ambilkan. Kau duduk dibawah itu lho. Agak sedikit mundur biar gambarnya pas’ ucap Priyo.
Aku nurut saja. Soalnya aku juga tak mau ketinggalan, apalagi sampai tak ada kenangan sewaktu bertemu dengan mereka ini.
‘gimana, dah pas belum posisinya’ ujarku pada Priyo. Maksunya biar dia enak ngambil gambarnya itu.
‘agak kesamping mendekat ke kaki mereka itu’ Priyo mengatur gaya sambil menunjuk aku untuk mundur kebelakang sedikit.
‘nah kalau begini gimana’ balasku lagi
‘Nah sudah pas itu. diam ya. 3....2.....1....’ sambil menghitung mundur Priyo mulai memencet tombol ambil gambar tersebut.
‘gantian dong’ pinta Priyo
‘ya udah, sini kuambilkan’

Dengan riang kami akhirnya berfoto-foto lagi. Maklum meskipun usia menua, tapi kan belum lekang benar masa muda ini. Bahkan aku, Hesti, Priyo dan Martha belum menikah. Cuma Vindi saja yang sudah menikah.
Karena sudah di telpon, aku terpaksa tidak bisa menemani Martha, Hesti, Vindi dan Priyo lagi. Aku harus ke UGM. Kawan-kawan pemuda sudah menunggu. Tidak enak juga kalau aku tidak jadi datang. Padahal aku dan Jontra sudah mengkonfirmasi dengan kawan-kawan lainnya untuk datang. Apa jadinya padahal kami yang ngajak kalau kami sendiri yang tidak datang. Bisa-bisa kepercayaan kawan-kawan pemuda sirna. Mau tidak mau aku harus berani ngomong dengan ke-empat teman baik ini.
Meskipun sebenarnya berat juga meningglkan mereka. Soalnya memang belum kering kerinduan terobati dengan pertemuan singkat ini, kini aku harus meninggalkan mereka. Tadi Martha bilang bahwa besok pagi-pagi Vindi akan pulang ke Kalimantan. Hesti juga, walaupun tidak terlalu jauh, pulang ke Gunung Kidul, tapi kesempatan untuk kami bisa bersama-sama lagi seperti ini sangat susah karena banyaknya aktivitas yang harus dilakukan. Tapi mau bagaimana, semua sudah diatur. Kalau seandainya aku bisa membuat dan merubah-ubah peraturan sendiri seenaknya, aku pasti akan memilih untuk memundurkan pertemuan di UGM tersebut untuk bisa selalu bertemu dan berkumpul serta bercanda ria dengan empat kawan baik ini. Soalnya semenjak wisuda han, aku memang merasa sangat hampa kehilangan teman-teman baik ini. Dan aku terus berharap untuk berkumpul lagi dengan mereka. Tapi sayangnya peraturan itu tidak bisa diatur seenak-enaknya saja. Jadinya aku harus memilih mana hal yang harus didahulukan.
Sementara aku berpikir untuk menghadiri pertemuan di UGM, kulihat Martha, Hesti, Priyo dan Vindi semakin asyik saja. Ada ketidaktegaan untuk meninggalkan mereka ditengah keceriaan yang sudah langka seperti sekarang ini. Tapi mau gak mau itu harus.
‘Mel, kesinilah ayo foto lagi’ ujar Vindi
‘ya...disana itu lho’ ucapku sambil menunjuk papan pengumuman tempat biasanya dosen menempelkan semua nilai ujian semesteran. Papan pengumuman itu seperti tempat keramat bagi mahasiswa. Karena semuanya ada disana. Ada kegembiraan, tapi juga ada kesedihan. Kegembiraan ketika hasil ujian yang ditempel mendapat nilai bagus. Kesedihan bila nilai ujian terbilang jelek. Aku bahkan pernah merasa untuk memecahkan kaca papan itu dan merobek-robek semua hasil pengumuman yang tertera. Soalnya setiap kali lihat hasil pengumuman ujian, kulihat nilai-nilai ujianku hampir semua jelek. Dan ini seperti membuatku tertekan yang berlebihan. Nilai jelak yang tidak diumumkan saja sudah membuat tertekan, apalagi sempat diumumkan bahkan ditempel sehingga bisa di lihat oleh ribuan orang setiap harinya. Itu tentunya bukan membuat kesedihan lagi, tapi sudah menyakitkan hati. Pernah kadang aku berpikir, apakah perlu nilai ujian semacam ini di tempelkan. Tapi ya lagi-lagi itu hanya menjadi wacana di balik kepala keras ini.
‘woi cepatlah, nanti habis batere nya ini’ timpal Hesti melambai.
‘iya...iya.....’ jawabku sedikit pelan.
‘kenapa lambat benar kau ini’ martha menyambar pertanyaan.
‘nggak kok, kan ini sedang berjalan, tapi agak lambat. Kaki masih sedikit rasa sakit karena bekas terjatuh kemarin’ jawabku seenaknya.
‘eh, by the way, aku tidak bisa lama-lama nih. Soalnya tadi siang dah keburu ada janji sama teman. Dengarkan tadi ada bunyi sms. Itu dari dia’ pintaku.
‘wah kau mau kemana nih. Belum juga sempat seru kita ini, masa kau dah mau pergi’ timpal Priyo.
‘bukannya apa-apa, soalnya tidak enak kalau aku tidak jadi datang. Soalnya ada diskusi juga dengan kawan-kawan UGM menjelang rencana-rencana agustus ini’
‘aduh bagaimana sih, kapan lagi kita bisa seperti ini kalau bukan malam ini Mel’ ujar Martha seperti menyesali keputusanku.
‘besok-besok kan masih bisa. Aku masih di Jogja kok. Tapi untuk kali ini, aku sorry banget kawan’ ucapku lirih.
‘ya udahlah kalau memang begitu. Mudah-mudahan kita bisa kumpul lagi seperti ini besoknya’ jawab Vindi tegas.
Akhirnya setelah selesai berfoto di balik alang-alang penghias depan kantor tata usaha FKIP tersebut, aku cabut kembali ke Sekretariat Juang Majelis. Sebelum meninggalkan mereka, aku menyempatkan untuk bersalaman lagi. Itu bukan hanya salaman biasa, tetapi pengharapan hangat untuk bisa bertemu lagi kemudian hari. Semoga kita masih bisa menjaga persahabatan ini kawan. Aku berharap tidak ada yang melupakan diantara sesama kita ini. Ragawi kita memang berjauhan, tetapi hati kita tetap berdekatan. Hari ini kita bertemu kembali, dan takkan ada yang bisa memisahkan kita lagi. Pun kalau harus berpisah, biarlah itu menjadi rahasia Tuhan. Aku mencintai kalian semua.

Good Luck For You Friends. Amin.


Melki HArtomi AS
Jogja, 05 Agustus 2010
Continue Reading...

Belajar Dari ‘IDIOT’ nya India


Bandel dan membangkang bukanlah hal yang harus selalu kita maknai salah. Justru dengan kebandelan dan keberanian membangkang (yang positif), bisa melahirkan suatu sistem dan tata cara baru dalam menggapai maksud mengejar impian.

..........

Ditengah ketidakjelasan maksud dan orientasi pendidikan yang hanya melahirkan manusia-manusia robotis dan copian masalah lalu, ada baikknya pemikiran-pemikiran baru menjadi kewajiban untuk memenuhi syarat perkembangan dan kemajuan dimasa yang akan datang dengan merubah pola pendidikannya yang kaku menjadi lebih dinamis dan egaliter. India mencoba menggambarkan betapa kaku nya pola pendidikan yang hanya menuruti segala perintah, ucapan maupun bacaan yang ada, dan kemudian menjadi jawaban yang sesungguh dan terjiplak sama persis dengan aslinya. Orientasinya kemudian hanya mengejar, mengharap dan melahirkan nilai besar lalu mendapat pekerjaan yang ditawarkan orang lain, tanpa mencoba untuk berpikir belajar yang lebih menarik, mendapat pekerjaan yang sesuai dengan keahlian dan bahkan bila perlu menciptakan lapangan kerja sendiri secara mandiri dengan modal keahlian pada diri masing-masing.
Adalah tiga mahasiswa yang bersahabat tapi berbeda asal; Ranchodas Chanchad (Aamir Khan), Raju (Sharman Joshi) dan Farhan (R. Madhavan) memilih untuk melakukan pembangkangan, meskipun awalnya ada getir ketakutan terhadap sanksi kampus tempat mereka belajar. Pembangkangan ini dilakukan karena kesadaran mereka bahwa ada sisi lainnya dari pendidikan yang harus diasah oleh mahasiswa. Tidak melulu memaksakan kehendak yang pada dasarnya tidak sesuai dengan keahlian.
Dalam film ini, sutradara Rajkumar Hirani mengajak kita melihat tiga sisi pendidikan. Pertama adalah bagaimana pendidikan itu seharusnya berproses. Kedua adalah bagaimana sistem yang seharusnya dijalankan dalam pendidikan, dan ketiga adalah bagaimana orientasi dari pendidikan itu sendiri..
Bermula dari diterimanya ketiga orang ini menjadi mahasiswa di Imperial College of Engineering (ICE), salah satu universitas teknik terkenal di India. Dari awal sistem yang dilaksanakan di ICE bertentangan dengan konsep kemanusiaan, dimana penyambutan terhadap mahasiswa baru di godok dengan cara yang memalukan (sengaja di buat malu) diantara sesama mahasiswa yang dilakukan oleh seniornya. Setiap yang telah resmi diterima sebagai mahasiswa ICE di telanjangi dan menuruti kehendak senior tanpa boleh membantah. Sampai akhirnya datang Rancho, panggilan Ranchodas, yang tidak mau menuruti tradisi tersebut dan memilih masuk ke kamar (mess) yang telah dipersiapkan oleh pihak kampus. Sontak kebengalan Rancho ini membuat seniornya marah dan memanggil serta memaksa dan mengancam untuk mengencingi kamarnya selama satu semester kalau tetap tidak mau mengikuti acara penyambutan. Dengan tidak kehabisan akal, Rancho mengerjai balik seniornya tersebut dengan menyambung berbagai rangkaian listik di sendok makan, menyambungnya dengan kayu dan menjalarkannya lewat bawah pintu dan kemudian ketika seniornya kencing di depan pintunya, dengan langsung aliran listrik yang menyentuh sendok tersebut menyengat sampai ke badan orang yang terhubungkan (seperti pelajaran IPA kelas 2 SD).
Besoknya mereka juga di sambut oleh Virru Sahastrabuddi (Boman Irani), Rektor ICE yang biasa dipanggil sebagai ‘Virus’ (mengambil nama awal ditambah satu hurup nama belakang awal) oleh para mahasiswa. Pepatah sang rektor Virus adalah bahwa “ Hidup adalah sebuah perlombaan. Jika tidak cukup cepat, maka akan di injak-injak”. Sehingga kemudian yang ada adalah kompetisi para pengekor ilmu pengetahuan dengan memindahkan semua pelajaran seperti aslinya. Virus sendiri adalah seorang Rektor yang kolot, ortodok, keras kepala dan tak punya belas kasihan. Dikatakan begitu karena pemaksaan kehendaknya yang sepihak tanpa mempertimbangkan aspek psikologis manusia. Karenanya tidak heran kalau mahasiswa bunuh diri, termasuk Raju Rastogi yang pernah mengalami karena tertekan oleh peraturan yang ada dan ‘atur-atur an’ yang diada-adakan. Sehingga akhirnya Virus menjadi musuh bersama dari para mahasiswanya.
Prinsip sang rektor Virus, ini sejalan dengan prinsip hidup Chattur Ramalingam. Oleh karena itu, Virus senang dengannya karena dia adalah seorang penurut dan tidak pernah membantah sekalipun rektor salah. Bahkan Chattur selalu didelegasikan sebagai wakil mahasiswa dalam berpidato termasuk dalam berpidato di peringatan hari guru. Chattur adalah sesosok mahasiswa aneh yang belajar dengan cara menghapalkan seluruh kata-kata yang ada di dalam buku. Dia termasuk tipikal mahasiswa yang pintar karena daya ingatnya yang kuat. Tetapi ia bodoh karena tidak pernah memahami apa yang telah dipelajari dan dihapalkannya. Bahkan, dia juga menghalalkan segala cara untuk meningkatkan prestasi yang dibanggakannya. Baginya, didalam belajar dan mengejar sebuah nilai untuk kelulusan, maka hanya ada dua cara yaitu, tingkatkan nilai kita atau turunkan nilai orang. Makanya dia berusaha mengalihkan perhatian orang lain ketika ujian datang. Dari ulahnya inilah, makanya dia dijuki ‘silencer’ oleh Rancho dan lainnya.
Tapi berhadapan dengan Rancho, Virus selalu geram dan terbakar amarah karena argumennya selalu bisa dibalikkan dengan pemahaman baru yang lebih mudah dimengerti. Karena bagi Rancho, belajar tidaklah harus selalu disatu tempat, lalu mendapatkan ijazah, mendapat nilai besar kemudian mudah di terima kerja. Baginya belajar bisa dilakukan dimana saja. Asal mau belajar, masuk dan belajarlah walaupun itu dimanapun. Dan juga didalam proses belajar, tidak perlu adanya kompetisi apalagi dengan harus menempelkan seluruh hasil perolehan mahasiswa di papan pengumuman sehabis ujian. Baginya itu tidaklah perlu karena bisa melukai perasaan seorang manusia. Makanya menjadi tak heran, ketika di usir dari kelas yang satu, dia berpindah ke kelas yang satunya lagi. Inilah yang akhirnya mengantarkannya masuk ICE sebagai pengganti Rancho yang sebenarnya.
Pernah suatu kali, seorang dosen menanyakan arti sebuah mesin kepada mahasiswa. Rancho menjawabnya dengan simple dan dengan bahasa yang sederhana. Tetapi tak disangka, dosen tersebut tidak menerima jawaban itu dan menganggapnya salah karena tidak sesuai dengan yang tertulis di buku. Kemudian Chattur menjawab pertanyaan itu dengan membacakan artinya secara oral sesuai dan sama dengan yang tertulis dibuku. Sang dosen tersenyum puas penuh kegembiraan. Rancho keberatan karena apa yang disampaikan Chattur adalah sama dengan yang disampaikannya juga, tetapi berbeda cara penyampaian dan bahasanya. Tapi kenapa harus dengan yang sama persis dengan yang ada dibuku yang dianggap paling benar. Sang dosen mengatakan bahwa yang disampaikan oleh Rancho tidak sama dengan yang tertulis dibuku. Dan juga penggunaan bahasanya juga sangat sederhana. Sementara bagi dosen, di ICE tidak digunakan bahasa-bahasa yang simple dan sederhana.
Karena ulahnya yang selalu membantah, akhirnya Rancho terpaksa dikeluarkan dari kelas. Meski dikeluarkan dari kelas, Rancho tidak pernah kehabisan akal. Ketika hendak keluar, tiba-tiba dia kembali masuk ke kelas tersebut. Dosen yang mengeluarkannya tadi mempertanyakan maksud Rancho ktersebut. Dengan sedikit berbohong ingin mengambil buku yang ketinggalan, secara spontan dia menjawab pertanyaan yang dilontarkan dosen sebelum dia dikeluarkan tadi. Kali ini Rancho menjawabnya secara lengkap bahkan dengan menggunakan bahasa inggris. Dosen tersebut bingung, tidak mengerti dengan kata-kata yang dicapkan Rancho. Kemudian dia berbalik bertanya tentang apa yang dia katakan Rancho. Dengan lugas Rancho mengatakan bahwa itulah arti pertanyaan dosen tadi. Tapi bedanya kali ini dia jawab dengan sesuatu yang lebih sulit, yakni dengan bahasa inggris. Seluruh kelas sontak riuh menertawakan kelakuan sang dosen yang katanya menolak kesederhanaan, padahal yang sulit pun ternyata dia tidak mengerti. Ini merupakan salah satu kebandelan Rancho yang menentang sistem pendidikan yang kaku dengan cara mematahkan argumen, pikiran dan tata cara mengajar kolot yang masih dilakukan oleh para dosen.
Pernah juga suatu kali Chattur marah dan menantang 3 idiot Rancho, Farhan dan Raju. Beliau menantang tentang keberhasilan mereka dimasa depan. Ini bermula karena Chattur dipermalukan oleh Rancho dan Farhan. Saat itu mereka ingin menyelamatkan Raju dari cara belajar yang kolot seperti yang dilakukan Chattur. Karena sebelumnya, karena ketakutan gagal dalam ujian, Raju mengubah arah lajurnya dan mengikuti gaya belajar Chattur. Nah, tidak mau Raju seperti Chattur, tibalah saat Chattur didaulat berpidato mewakili mahasiswa dalam peringatan hari guru yang dihadiri seluruh mahasiswa, rektor dan menteri pendidikan, Chattur dikerjai oleh Rancho dan Farhan. Mereka merubah beberapa bagian teks yang menjadikan artinya sangat cabul dan jorok. Karena mereka tahu bahwa Chattur tak akan pernah tahu karena memang dia (Chattur) adalah ‘penghapal’ bukan sebagai orang yang ‘memahami’. Keruan Rektor ICE dan Menteri Pendidikan dibuat malu oleh ulah Rancho dan Farhan. Kerena didalam pidatonya, Chattur dengan lugas mengucapkan apa yang telah dihapalkannya termasuk teks yang telah diubah menjadi cabul dan jorok tersebut. Karena Chattur adalah manusia ‘penghapal’ tanpa memahami, beliau sendiri pun tidak tahu arti tersebut.
Dikesempatan lainnya, Rancho, Farhan dan Raju juga berusaha mematahkan prinsip sang rektor Virus bahwa hidup adalah perlombaan, itu tidaklah benar. Dinilah ketegangan dari film ini. Tiga mahasiswa yang dianggap idiot ini mampu menunjukkan kepada penonton bahwa tidak ada perlombaan dan sejenisnya didalam hidup. Karena perlombaan sesungguhnya menjauhkan manusia dari arti kesempurnaan. Tiga idiot yang cerdas ini menunjukkan bahwa seseorang tidak harus dipaksakan dirinya atas satu tujuan apalagi itu tujuan orang lain. Bilamana seseorang hobi bermain bola, maka anjurkanlah ia untuk menjadi seorang pemain sepakbola. Begitupun ketika seseorang menyukai fotografi, maka anjurkanlah untuk berusaha menjadi fotografer. Sampai akhirnya, salah seorang anak perempuan Virus yang sedang hamil dan saatnya melahirkan, tetapi terkendala ke rumah sakit karena hujan terus menerus yang menyebabkan jalanan banjir. Ambulance pun tak bisa datang menjemput karena mesin mati terendam air. Melihat kejadian ini, tiga idiot yang tadinya telah dikeluarkan dari ICE karena kebandelan dan pembangkangnya, tak bisa lepas melihat kesengsaraan ini. Idiot ini rupanya tahu berbelas kasih terhadap sesama sekalipun yang ditolong adalah seorang yang telah mengeluarkannya dari kampus tersebut. Dengan segenap kemampuan dan dipandu oleh Pia (Kareena Kappor), anak perempuan Virus lainnya yang bekerja di Rumah sakit, tiga idiot ini menjalankan proses persalinan. Sedang melaksanakan persalinan dengan minus pengalaman, tiba-tiba saja listrik padam dan menyebabkan kecemasan semua orang, termasuk Virus sendiri. Karena Rancho pernah berekperimen tentang listrik, maka menjadi saatnya alat yang dinamakan sesuai dengan nama sang rektor yaitu ‘virus’ digunakan dalam persalinan ini. Sementara sang rektor Virus hanya terdiam dan melihat saja tiga idiot membantu persalinan anaknya tersebut. Sampai akhirnya proses persalinan itu berhasil.
Dengan sedikit jargon yang dimasukkan sutradara melalui Rancho ‘all is well’ maka anak yang baru dilahirkan itu pun bernafas dan menendang. Melihat hal ini, hati Virus luluh dan dia berjanji untuk tidak memaksakan kehendak kepada cucunya ini. Mengingat anak lelakinya sendiri terdahulu meninggal bunuh diri karena tidak pernah kesampaian mengikuti kehendak sang ayahnya untuk menjadi teknisi handal. Karena dia lebih menyenangi sastra. Nah kali ini Virus berjanji agar cucunya terserah ingin jadi apa saja. Kalau dari lahir dia senang menendang, maka dia boleh kalau ingin menjadi pemain bola dan sebagainya. Tidak harus menjadi insinyur.
Inilah penghantar akhir dari tema film yang mengangkat tentang pendidikan ini. Meskipun ulah Rancho, Farhan dan Raju selalu bandel, tetapi selalu saja teman-temannya mengerti dan paham dengan apa yang dilakukan mereka. Rancho tidak pernah pesimis terhadap masa depan. Bahkan ditegaskannya bahwa bukannya kesusksesan yang harus dicari dari pendidikan, tetapi adalah kesempurnaan hidup. Kesempurnaan itu tidak harus dimaknai dengan kekayaan seperti yang di tampilkan oleh Chattur. Kesempurnaan itu adalah kebahagiaan didalam hidup. Makanya mengejar kebahagiaan hidup adalah dengan mengikuti arah kemampuan kita, bukannya memaksakan kehendak kemampuan yang tidak kita kuasai. Seperti Farhan yang sebenarnya keahliannya adalah fotografi. Jadi sudah seharusnya lebih menekuni kegiatan yang berhubungan dengan pemotretan atau menjadi fotografer. Begitupun dengan Raju. Rancho sendiri sesuai dengan keahliannya sehingga dia masuk kedalam sekolah teknik meskipun akhirnya bukan ijazah yang didapatkannya.
Akhirnya, dengan mengikuti apa yang menjadi kemampuan dan keahlian yang ada dalam diri sendiri, maka kesuksesan, keberhasilan dan kebahagiaan menyususl dengan sendirinya. Farhan berhasil menjadi fotografer terkenal, Raju menjadi peneliti terkenal dan Rancho sendiri menjadi pendidik dan ilmuan yang terkenal seantero dunia dengan nama Phunsuk Wangdu.
Dengan alur maju mundur, film ini menjadi tampak menarik dan berkesan. Kejelian sutradara menyemai naskah, seolah-olah membawa kita seperti membaca sekian buku yang di tulis para pakar-pakar pendidikan seperti Ki Hadjar Dewantara, Paulo Freire, Ivan Illich atau lainnya. Dan memang terbukti penegasan didalam film ini yang lebih menekankan aspek bahwa pendidikan sudah seharusnya memanusiakan manusia, memerdekakan dan membebaskan. Tak ketinggalan juga, agar tidak menjemukan penonton, film ini juga menampilkan sedikit sentuhan cinta.
Disebutkan bahwa pada akhirnya Pia bertemu kembali dengan kekasih hatinya Rancho meskipun lama tidak berjumpa dan terpisah tanpa kabar semenjak acara kelulusan berakhir. Mereka bertemu kembali karena memang telah diatur Chattur yang awalnya ingin menyombongkan diri bahwa dirinya telah mampu menjadi orang yang sukses. Chattur datang menagih janjinya dahulu tentang kesuksesan. Awalnya Chattur hanya ingin menunjukan bahwa dirinya sudah kaya. Terbukti bahwa dia lebih kaya dari Farhan dan Raju. Jadi tentang dirinya yang sudah kaya ini tak lengkap kalau Rancho tidak menyaksikannya juga. Berbekal alamat dari sekretarisnya untuk menemui seorang ilmuan terkenal dunia, Chattur menyususn rencana kesombongan ini dengan berusaha menunjukkan bahwa dirinya yang pernah dipermalukan dan dirinya yang dianggap silencer mampu lebih sukses dari ketiga idiot ini. Pengalaman demi pengalaman mereka jumpai, sampai terkuaknya sebuah rahasia bahwa Ranchodas Chancad yang kuliah di ICE, sesungguhnya bukanlah Ranchodas Chanchad yang dikenalnya. Melainkan anak seorang tuan tanah kaya. Dan Ranchodas yang dikenal mereka di ICE, sesungguhnya adalah anak seorang tukang kebun tuan tanah kaya tersebut. Karena terjadi sesuatu hal diwaktu kecil, akhirnya Chote, nama anak tukang kebun tersebut, yang kemudian berganti nama menjadi Ranchodas Chancad sewaktu kuliah di ICE dan kemudian berganti lagi menjadi Phunsuk Wangdu sang ilmuan, menjalani keinginan sang tuan tanah kaya. Dan ini diterima nya karena memang hobinya belajar terutama yang berkaitan dengan mekanika. Lalu setelah lama mencari, mereka akhirnya menemukan Rancho di tempat terpencil yang mengelolah sebuah sekolah sekaligus membuat berbagai ekperimen yang terkenal mendunia. Tak karuan suasana berubah haru biru ketika ketiga idiot ini bertemu kembali, ditambah kekasihnya Pia. Kesombongan yang dibanggkan Chattur runtuh menyaksikan bahwa ternyata ilmuan dunia yang diharapkan menandatangani kontrak kerja perusahannya ternyata adalah Rancho yang telah berganti nama Phunsuk Wangdu. Penilaiannya tentang materi saja terbantahkan dengan kenyataan bahwa itu tidaklah cukup sebagai ukuran kebahagiaan. Terbukti bahwa meskipun tanpa ijazah, Rancho mampu menjadi Ilmuwan terkenal. Kenapa Rancho tidak mendapat ijazah karena memang sedari awal tugas Rancho adalah belajar. Dia belajar agar dirinya mampu menguasai keahliannya agar bermanfaat untuk orang banyak. Ijazah memang penting, tapi menumbuhkan kualitas diri dari kemampuan diri sendiri jauh lebih penting lagi.

Judul Film : 3 Idiots
Pemain : Aamir Khan, R. Madhavan, Sharman Joshi, Kareena Kapoor
Sutradara : Rajkumar Hirani
Durasi : 164 menit
Genre : Drama Komedi


Melki Hartomi AS
Continue Reading...

ANOMALI PENDIDIKAN


Anomali. Barangkali begitulah tepatnya menyebut ketidaknormalan sistem dan proses dalam dunia pendidikan kita. Karena, belum lekang diingatan kita tentang seorang murid –Yondi Handitya- yang mengadukan sekolahnya ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Yogyakarta terkait kelulusannya yang dianulir secara sepihak (terlepas dari tepat atau tidaknya keputusan tersebut, setidaknya menggambarkan bahwa belum ada regulasi yang jelas terhadap sistem dan pelaksanaan pendidikan di negeri ini). Ada juga kasus serupa yang memperlihatkan kenyataan bahwa akses pendidikan di negeri ini sebenarnya memang mahal. Sampai-sampai orang tua si murid harus menjual satu-satunya alat penyambung hidup keluarganya; Becak, hanya untuk membayar tunggakan iuran sekolah anaknya yang bersekolah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Rembang, Jawa Tengah. Semula anaknya tidak boleh mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah tersebut pada hari pertama tahun ajaran 2010-2011 karena masih menunggak iuran sebesar Rp 865.000. Tapi sekarang sudah diperbolehkan dengan catatan tetap harus melunasinya dan tidak mengulangi hal serupa itu lagi. “Sampai tahun ajaran baru ini saja, saya baru mampu mengangsur Rp 400.000 dari kewajiban membayar iuran sekolah sebesar Rp 1.265.000 tahun ajaran lalu” (seperti dikutip dari Metrotvnews.com; Senin 12 Juli 2010).

Ini sangat menggelikan sekaligus mengkhawatirkan, karena sangat jelas bahwa niatan pemerintah dalam kampanye ‘sekolah gratis’ nya benar-benar hanyalah sebuah bualan kosong dan bodoh. Terlihat jelas realitanya dari kasus tersebut yang mana pihak sekolah sebagai perpanjangan tangan pemerintah bukannya memberikan keringanan dengan membebaskan murid yang tidak mampu, malah tetap menekankan untuk ‘melunasinya dan berharap tidak akan diulangi lagi (penundaan pembayaran iuran oleh murid tersebut-Pen)’. Padahal untuk makan besok saja keluarga tersebut sudah bingung. Karena becak yang menjadi sumber utama pencahariannya sudah terpaksa di jual untuk melunasi tunggakan iuran sekolah tersebut.
Kini, kita mendengar lagi kasus yang lebih mengerikan. Bahkan lebih dahsyat dari dua contoh sebelumnya. Yaitu Muhamad Basir, anak berusia 11 tahun, bunuh diri dengan cara mengantung dirinya sendiri karena keinginan untuk bersekolah tak diwujudkan orang tuanya karena ketiadaan biaya (Metrotvnews.com; Kamis 15 Juli 2010). Padahal pemerintah punya program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan anggaran pendidikan yang digelontorkan mencapai 20 % dari APBN untuk membantu penyelenggaraan pendidikan. Tapi ternyata semua itu tidak sesuai harapan, malah semakin memperburuk citra pendidikan itu sendiri. Ini tentunya menjawab langsung dari kampanye ‘sekolah gratis’ yang gencar di lakukan pemerintah selama ini yang ternyata memang Mustahil.

Ada alasan kenapa kampanye itu dikatakan bohong, mustahil dan sebagainya karena memang pada tataran praksisnya belum ada yang langsung menyentuh ke tingkatan akar rumput (masyarakat kecil). Berkali-kali pemerintah melakukan kampanye tentang pendidikan agar lebih baik, berkali-kali pula pemerintah dengan sengaja mengingkarinya. Belum berselang lama, kita masih ingat dengan iklan sekolah murah dan sebagainya. Secara produk periklanan yang di tayangkan terus menerus dilayar kaca, memang iklan itu menyentuh. Digambarkan bahwasannya pendidikan mampu menjamin anak seorang loper koran bisa menjadi orang besar. Tak ketinggalan adegan yang diselingi dengan suasana yang berlandaskan kehidupan masyarakat kecil, dengan mengambil setting masyarakat yang notabene adalah orang-orang pekerja serabutan, kembali pemerintah menawarkan pendidikan murah berkualitas dan terjamin. Lihat saja adegan yang membawa ornamen angkot kemudian terjadi penawaran bahwa anak seorang supir angkot bisa jadi pilot. Nah apakah ini bukan sebuah pembodohan publik. Bagaimana caranya kalau kita lihat keadaan sekarang bahwa masuk sekolah saja teramat susah, belum lagi untuk membayar biaya ini dan itu. Artinya kalau merujuk pada iklan tersebut, adalah barang mustahil kalau ada anak seorang supir angkot bisa menjadi pilot. Bahkan logika yang memungkinkan adalah anak seorang supir angkot kemungkinan hanya menjadi kernet angkot. Kenapa bisa begitu? Ya karena memang dasarnya untuk bisa sekolah, harus mempunyai uang yang besar. Apalagi sekolah yang menjurus kedalam keahlian skill yang benar-benar spesifik seperti pilot, dokter dan sebagainya. Jadi kalau orang kecil yang penghasilannya tidak menentu, maka jangan berharap untuk berkesempatan mendapat jaminan dalam pendidikan, pendidikan berkualitas dan sebagainya. Karena semua itu tak akan pernah bisa dilakukan selagi pemerintah masih tutup mata dan telinga dari realitas disekitarnya (bahwa masyarakat banyak yang miskin dan belum seluruhnya dapat mengakses pendidikan). Apalagi semenjak pemerintah menyetujui dan tidak cermat terhadap masuknya unsur kapitalistik dalam pendidikan. Harapan untuk semakin memajukan bangsa pasti dan tentu tidak akan pernah tercapai. Karena tujuan dasar pendidikan sengaja di belokkan dengan lebih menekankan pendidikan sebagai investasi bisnis semata, bukan investasi insani. Inilah yang akhirnya menjadikan pendidikan tak ubahnya seperti panggung komedian; asal senang, bisa ketawa, mampu bayar, maka kualitas adalah nomer ke sekian (kalau tidak mau dikatakan tak dibutuhkan). Jadi kalau sekarang generasi kini adalah yang terlahir dari kelas menegah kebawah, maka jangan harap bisa menebus cita-cita yang diinginkan.

Keterpasungan dan bahkan pembodohan dalam pendidikan sekarang ini merupakan strategi yang sengaja diinginkan konglomerat hitam para kapitalis pendidikan. Mengingat bahwa perang bukanlah jalan untuk menundukan suatu bangsa, maka dengan menyerang sistem nya secara langsung, maka usaha itu dirasai lebih tepat. Makanya sebisa mungkin alat pencerdasan masyarakat direbut, dilumpuhkan kemudian ideologinya di kuasai dan serta merta sebisa mungkin di belokkan sesuai kehendak sang penggerak. Termasuk sistem pendidikan kita. Bermula dari undang-undang nomer 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas) pasal 50 ayat 3 yang menyatakan bahwa ‘Pemerintah atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional’. Akhirnya, inilah hasilnya yang kemudian lahir sekolah dengan embel-embel Rancangan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) atau Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Anehnya, kelahiran RSBI/SBI yang jelas-jelas adalah komersialisasi dunia pendidikan ini, disambut dan digadang-gadangkan oleh pemerintah dan guru secara bersama-sama dengan memberikan harapan seolah-olah inilah sekolah yang paling hebat dan paling berkualitas. Dengan iming-iming pengetahuan berbahasa inggris dan komputerisasi yang seolah-olah mampu menundukan dunia global sehingga mengecilkan arti pengetahuan lainnya. Penekanan terhadap pengetahuan berbahasa inggris dan komputerisasi saja tentulah bukan semata harapan. Memang itu menjadi tuntutan internasional untuk menjalin komunikasi yang lebih mengglobal, tetapi tanpa pengetahuan lainnya yang bersifat kebangsaan, maka bukan tidak mungkin juga menjadi sumber kehancuran bangsa. Kita bisa lihat bagaimana faktanya bahwa rasa kebangsaan dengan mudah diobok-obok dan disintegrasi menyeruak bak cendawan yang tumbuh dimusim hujan. Ini semua adalah buah dari pendidikan yang memang meminggirkan arti kebangsaan demi mengejar internasionalisasinya. Jadi, dunia barat seolah adalah kiblat yang harus di turuti tanpa bisa dibantah sedikitpun, malahan sebisa mungkin untuk dilakukan (model pengkapitalan tersebut) ke dalam semua lini pendidikan di negeri ini. Padahal, mereka lupa bahwa kenyataan dilapangan mengatakan bahwa pendidikan semakin susah untuk diakses. Diperparah lagi dengan mengkapitalkan pendidikan, seolah memang sengaja akses itu dibatasi hanya untuk kalangan tertentu saja. Sementara yang tidak mampu hanruslah menyingkir dan menonton serta menerima saja kebodohan dan pembodohan tersebut. Menurut Departemen Pendidikan Nasional, terdapat angka 12,88 juta jiwa atau sekitar 8,07 % dari penduduk Indonesia yang masih buta huruf (ini belum termasuk yang tidak terdata). Di Papua, tahun 2005, jumlah buta aksara mencapai 552.000. Per 2009 angka tersebut berkurang menjadi 230.000. Penduduk buta aksara di Papua masih tertinggi secara nasional yaitu 16,50 %. Jika dilihat dari jumlah anak tingkat putus sekolah di Papua yang dapat direkam oleh kantor Komnas Perlindungan Anak pada tahun 2007 adalah 11,7 juta jiwa (naik 20,6 %dari tahun 2006). Kasus putus sekolah ini paling tinggi menimpa pada anak tingkat SMP yaitu 48 %, SD 23 % dan SMA 29 %. Jika diakumulasi, maka angkanya mencapai 77 % (www.tabloidjubi.com). Tidak hanya itu, partisipasi usia kuliah di Indonesia juga rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga. Ini bisa kita lihat dari tingkatan partisipasi pendidikan tinggi per 2008, hanya baru mencapai 17,26 % saja. Ini angka yang lebih rendah bila diperbangdingkan dengan Filipina yang sudah mencapai mencapai 28 % atau Malaysia yang sudah mencapai 40 %. Artinya, persoalannya bahwa banyak anak negeri ini yang berasal dari keluarga yang hidupnya bersandar pada hasil pertanian, para kaum miskin dan lain sebagainya tertolak untuk masuk ke sekolah atau perguruan tinggi karena ketidakmampuan biaya. Yang akhirnya, pada kesempatan usia matangnya menimba ilmu pengetahuan, tersia-sia kan dengan terpaksa masuk kedalam pasar tenaga kerja murah, atau masuk kei industri-industri yang ber-upah rendah. Jumlah anak putus sekolah seperti ini, baik dari jenjang SD sampai Perguruan Tinggi ini, berkorelasi positif dengan kemiskinan warganya (Dewi Kusumawardani S.E, S.Psi; makalah Partisipasi Masyarakat Dalam Pemerataan Pendidikan 2009). Itu belum menghitung angka cacah dari pendidikan layak yang membutuhkan penangan khusus. Data resmi Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) pada tahun 2007 menyebutkan jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mengikuti pendidikan formal baru mencapai 24,7 % atau sekitar 78,689 anak dari populasi anak. Ini berarti masih terdapat 65,3 % yang terabaikan hak pendidikannya. Angka tersebut masih bisa jauh lebih besar mengingat kecilnya angka prevalensi yang digunakan yaitu 0,7 % dari populasi penduduk serta masih buruknya sistem pendataan.

Mungkin dari situasi ini, kita perlu berkaca ulang pada dasar dan prinsip-prinsip diadakannya pendidikan. Moh. Said Reksohardiprojo dalam Majalah Pusara vol. 4 tahun 1978 melukiskan bahwa tugas pendidikan itu hendaknya mengusahakan agar manusia dapat mewujudkan makna eksistensinya sebagai manusia di dunia ini, secara merdeka lahir dan batin. Eksistensi atau adanya manusia di dunia ini adalah selaku satu-satunya makhluk tuhan yang berbudi. Dan karena budi ini, manusia menyadari dirinya sebagai pribadi, sebagai warga masyarakat dan sebagai penghuni alam semesta. Budi beraspek tritunggal cipta-rasa-karsa yang menyebabkan kita memiliki daya pikir, perasaan dan kehendak, dan yang memungkinkan kita menghayati kenyataan hidup secara logika, etika, estetika dan religi, yakni masing-masing menurut nilai-nilai kebenaran, keadilan, keindahan dan kemutlakan. Nah, seharusnya dari sini dapat ditarik apa yang diinginkan pendidikan pada dasarnya yaitu mendorong untuk melakukan pelbagai kebaikan-kebaikan antar sesama, bangsa dan isi alam semesta. Mengusahakan kebaikan inilah makna dari eksistensi manusia di dunia ini sesuai dengan semboyan; Mamayu Hayuning Salira, Mamayu Hayuning Bangsa, Mamayu Hayuning Manungsa, Mamayu Hayuning Bawana. Tentunya ini dapat terlaksana bila pendidikan tetap berada di jalur sesungguhnya yang tetap memanusiakan manusia secara kolektif, bukan individual seperti yang di tawarkan kapitalisme. Karena jargon kapitalisme sendiri lebih mengunggulkan kepandaian sendiri dan kualitas sendiri-sendiri sehingga memang terjadi di tingkatan murid bahwa ada perbedaan antara yang pintar dan kurang pintar. Biasanya guru mengatakan bahwa antara murid satu dengan lainnya, baik pintar maupun kurang pintar, semua sama halnya dalam mendapat perhatian demi kemajuan pendidikan. Tetapi justru yang terjadi adalah hanya si pintar saja yang biasanya mendapat perhatian lebih dan selalu di picu kualitasnya, sementara yang kurang pintar seringkali terabaikan dan hampir jarang di pacu semangatnya untuk meningkatkan kualitas. Inilah realitanya bahwa pendidikan memang masih jauh dari prinsipnya, mencerdaskan kehidupan bangsa yang kolektif. Lihatlah contohnya tiap kali hasil ujian akhir di umumkan. Biasanya murid yang mendapat hasil bagus dan memuaskan, pemerintah dengan sigap langsung memberikan perhatian kepada murid tersebut. Ini bisa kita lihat bagaimana pak SBY ketika hasil UAN diumumkan, beliau langsung menelpon murid yang di katakan pandai tersebut. Padahal, disela kegembiraan itu, ada murid yang bunuh diri karena tidak lulus. Nah, berdasar akal sehat, seharusnya mana dari dua hal ini yang patut dan penting kiranya mendapat perhatian khusus..?? (bukan berarti disini mendiskreditkan bahwa yang pintar tidak berhak mendapat perhatian. Yang pintar bahkan berhak diapresiasi. Tapi yang kurang pintar tetap berhak juga mendapat perhatian yang sama. Bahkan kalau boleh, justru yang kurang pintar harus mendapat perhatian yang khusus agar bisa menunjang kemampuan maupun kualitas belajarnya.)

Lebih jauh dari itu semua, seperti yang pernah di tuliskan dalam ‘mencari jawab masalah pendidikan’ kita tidak bisa memungkiri bahwa adanya korelasi antara pendidikan dengan kebudayaan. Sederhananya, dalam factum sejarah, kita bisa melihat pandangan pokok Ki Hadjar Dewantara ketika mendirikan National Onderwijs Institute Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa; ‘Membangun kebudayaan kita dengan menaburkan benih kemerdekaan dalam hati rakyat, dengan alat yang berupa sistem pendidikan yang bersifat nasional’. Penekanan terhadap ‘pendidikan yang bersifat nasional’ bisa kita maknai dengan pendidikan yang juga sifatnya berkebangsaan. Artinya, kebudaayaan sebagai hasil olah cipta manusia, haruslah sesuai dengan segenap aspek yang ada di dalam negeri tersebut berada. Makanya menjadi tugas berat sebenarnya bagi pendidikan untuk melanjutkan cita-cita tersebut. Apalagi setelah apa yang terjadi dewasa ini. Ketika budaya yang tercipta pun mengekor dengan kapitalistik dunia internasional. Dan tantangan dunia global terus menuntut kompetisi dalam mencipta budaya-budaya modern, sehingga model konvensional teramat sering dikatakan kolot dan mesti diganti polanya agar berkesinambungan dengan pembangunan. Meskipun konsekwensinya meminggirkan nilai-nilai berkebangsan tersebut. Jadilah sekarang seperti apa yang kita lihat dari pendidikan yang berlomba-lomba melabelkan internasionalisasi dalam tubuhnya. Seharusnya ada hal yang memang harus di ganti dan ada hal yang cukup di modifikasi saja. Tetapi karena kalau tidak di ganti, maka dibilang kurang keren, maka jadilah banyak hal-hal dalam pendidikan yang telah berganti seutuhnya. Bahkan dihilangkan seperti pelajaran budi pekerti, pelajaran moral berkebangsaan dalam pendidikan pancasila dan sebagainya. Padahal dua pelajaran yang hilang tersebut sangat penting artinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam kehidupan diri pribadi, maupun didalam kehidupan bermasyarakat yang plural.

Inilah anomali tersebut, bahwa ketidaknormalan sistem pendidikan membawa dampak pada seluruh komponen bernegara. Karena terlampau mengekor dengan dunia internasional, justru malah sebaliknya, bukan mutu berkualitas yang dihasilkan, tetapi kemunduran dan tersekat-sekatnya pendidikan yang sama persis seperti kembali dizaman feodal dan kolonial dimana pendidikan hanya milik golongan terntu saja. Bahkan seperti memang ada batasannya terhadap rakyat kecil dan miskin dalam hal pengaksesannya. Ini juga bisa kita perkiraan terhadap cacah jiwa yang tergolong berpendapatan menengah kebawah, hanya 40 % saja yang mampu merambah sekolah SBI. Selebihnya memang tak bisa di rambah karena kemiskinan yang tak kunjung berakhir. Itu masih mending karena pada sesungguhnya tak bisa kita lepaskan bahwa, angka buta huruf di negeri ini ternyata masih tinggi.

Nah sangat naif sekali jikalau pemerintah masih saja memaksakan atau patuh pada doktrin pasar sehingga menghapuskan berbagai subsidi-subsidi termasuk subsidi pendidikan. Karena justru dengan dihapuskannya subsidi pendidikan tersebut, sama halnya dengan menswastakan (mengkomersilkan) pendidikan. Pengkomersilan pendidikan tersebut sama halnya dengan pengkerdilan nilai-nilai dan arti pendidikan itu sendiri. Seharusnya pemerintah bertanggung jawab dengan tetap melindungi pendidikan dari serbuan sekolah-sekolah asing yang menyerbu masuk kedalam negeri yang tujuannya hanya untuk mengakumulasi keuntungan dari 238 juta jiwa penduduk Indonesia. Kebijakan tentang sekolah bertaraf internasional kiranya perlu di koreksi ulang agar bisa menyesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan di dalam negeri. Karena kalau tidak, bisa saja seperti yang dikhawatirkan Sulaiman Mappiasse, Mahasiswa PhD di Hawaii University USA, bahwa SBI malahan bisa menjadi praktek kelas (sekat per sekat) dalam politik ekonomi (bisnis) pendidikan sehingga semakin sulit untuk dipahami (Sulaiman Mappiasse, Lc., M. Ed; SBI Sebagai Praktek Kelas Dalam Sistem Global via www.blogpendidikan.subekti.com).

Tidak hanya itu, kita juga perlu membongkar ulang peran negara dalam hubungannya dengan modal internasional. Karena, yang terjadi sekarang kebanyakan kebijakan pendidikan dilegalisasikan bukan berdasar pada realitas kebutuhan rakyat. Kebijakan pendidikan justru terjadi dengan bersubstansikan terjadinya liberalisasi pendidikan. Sekiranya banyak contoh yang bisa kita temukan seperti menjamurnya institusi-institusi luar negeri yang orientasinya menjurus kedalam sistem yang kapitalistik. Ini jelas sekali menunjukan bahwa pemerintah berpihak kepada kepentingan pasar. Perputaran modal dan model pendidikan tidak lepas dari agenda kepentingan Kapitalisme Global, yang tujuannya adalah untuk mendesain karakter masyarakat bangsa sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Dan perlu disadari bahwa kapitalisme pendidikan tidak hanya bekerja pada ruang-ruang materi saja, tetapi juga menyusup pada ruang bawah sadar dan menutupinya dengan kenaifan. Fenomena ini dapat kita lihat bagaimana atsmosper manusia yang dihasilkan yaitu hedonis, apatis, konsumtif dan sangat individualistik. Dan bisa juga disaksikan bahwa fenomena orientasi pendidikan dimaksudkan hanya untuk menjadi tenaga administrasi saja, buruh negara dalam bingkai PNS, buruh industri yang termaginer dengan istilah karier dan masa depan yang cerah serta bangganya ketika meraih gelar kesarjanaan hingga mencapai tingkat Doktoral maupun Profesor tanpa mengerti peran dan fungsinya sebagai kaum terdidik.

Nah, kiranya perlu kita garis bawahi bahwa pendidikan sejatinya adalah alat pembebasan dari pembodohan dan ketertindasan yang akan melahirkan manusia-manusia merdeka, bertanggungjawab dan mampu membenahi persoalan dalam realitas sosial. Pendidikan sebagai pembentuk karakter anak-anak bangsa yang kemudian dapat meneruskan perjuangan dengan mengawal sejarah kejayaan bangsa. Jadi sudah seharusnyalah pendidikan lebih memperhatikan tujuan dan makna yang jelas dalam proses dan praktiknya. Dengan tidak meninggalkan rasa kebangsaan meskipun didera serbuan kekuatan luar yang destruktif. Dan jikalau pada akhirnya tidak ada jalan mulus dan mudah menuju sebuah cita-cita pendidikan yang membebaskan yang berdasar pada kebutuhan masyarakat, maka disinilah peranan kaum terdidik (intelektual organik, meminjam istilahnya Antonio Gramsci) untuk mendorong negara yang revolusioner dan menyumbangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan realitas sosial masyarakat dan dengan tetap mempertahankan ciri dan ke khas-an pendidikan kita. Jika ini terjadi, maka kasus seperti yang diungkapkan diatas bisa diminimalisir. Termasuk kasus-kasus bunuh diri oleh karena ketiadaan biaya seperti yang dilakukan Muhamad Basir dan sebagainya. Hal seperti itu tak akan penah terjadi jikalau pemerintah benar-benar meletakkan tangungjawabnya yang linier dan sejalan dengan amanah konsitusi bahwa pendidikan adalah untuk semua rakyat tanpa perbedaan golongan. Jadi sekarang, melihat dari realitas yang terjadi, kiranya tepat bagi kita untuk merenungkan kembali ‘Kesaksian’ WS Rendra bahwa; ‘banyak orang dirampas hak nya......, orang-orang harus dibangunkan.....,kenyataan harus digambarkan’. Karena kalau terabaikan, maka berpotensi terjadinya penjajahan seperti yang dilukiskan YB Mangunwijaya; ‘.....apa guna kita memiliki sekian ratus ribu alumni sekolah/kampus yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh, segeralah kaum sekolah itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan kepintaran mereka’.

Nah anomali seperti ini hanya bisa diakhiri dengan mencitrakan dan mempraktekkan ulang pendidikan yang benar-benar berasaskan kebangsaan. Bukannya iklan, tetapi kenyataan. Karena didalam jiwa berkebangsaan tersebut terdapat rasa keadilan. Keadilan yang dibutuhkan oleh seluruh rakyat untuk bisa mengenyam pendidikan dan menjadi cerdas seperti cita-cita luhur negeri ini. Artinya, tiran penindas baik yang lama maupun yang baru, baik yang dari dalam maupun yang dari luar, harus mampu kita buang jauh.


Melki Hartomi AS
Continue Reading...

Meretas Permasalahan Pendidikan


Membicarakan masalah pendidikan memang tak pernah lekang selama pendidikan itu sendiri masih dibungkus oleh kepura-puraan, nafsu memperebukan kedudukan dan pemaksaan satu flatfom berpikir bersama terhadap seluruh rakyat. Pendidikan sebagai garda terdepan kemajuan, seharusnya mampu membangun karakter bangsa, mempengaruhi budaya dan membentuk paradigma berfikir yang progresif dan visioner. Jadi, mengingat kacaunya sistem dinegeri ini, sudah seharusnyalah pemerintah lewat instrumennya totalitas dalam mewujudkan semua itu sesuai dengan amanah konstitusi. Tapi lagi-lagi, pendidikan dinegeri ini seperti tidak jelas arah yang ingin dicapai. Masih banyaknya permasalahan dalam dunia pendidikan sepertinya menjauhkan harapan undang-undang dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahkan lahirnya generasi pemuja trendi dan gaya hidup tak bisa kita lepaskan dari peranan pendidik. Tentunya ini membuat kita bertanya, kenapa sekolah tidak lagi berdaya untuk memberikan harapan dan juga tidak berdaya menghasilkan manusia yang tangguh menghadapi tantangan moral maupun intelektual. Kenapa proses pembodohan masih saja terjadi. Bahkan tersistematis. Padahal pendidikan harus menjadi penunjang kemerdekaan. Lalu apa yang sebenarnya salah dalam negeri ini, sistem kah, sekolah kah, orang tua, murid ataukah guru? Benarkah sekolah menjadi ladang persemaian dari proses pencapaian itu? Benarkah guru yang memberikan arti dari proses persemaian itu? Benarkah anak didik berjiwa merdeka setelah berproses dalam pendidikan?
Pada dasarnya, esensi pendidikan itu ialah membangun, membentuk dan menghasilkan manusia yang merdeka. Merdeka jiwanya dan merdeka batinnya. Merujuk pada konsep Ki Hadjar Dewantara (K.H Dewantara Bag. Pertama; Pendidikan, 2004), mendidik itu sendiri adalah berdaya upaya dengan sengaja untuk memajukan hidup-tumbuhnya budi-pekerti (rasa-pikiran-roh) dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan, jangan disertai dengan perintah dan paksaan. Jadi teranglah bahwa pendidikan bisa diartikan sebagai tuntunan didalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Nah jelas sekali esensi pendidikan kalau dilihat dari penjelasan itu. Tapi, seiring perjalanan waktu, esensi itu hilang dan tergantikan oleh teori-teori yang substansinya menjajah. Jadi pendidikan tidak seperti yang di gariskan KHD yang totalitas melayani kebutuhan generasi dalam negeri, membebaskan anak dari semua bentuk penjajahan dan mencerdaskan kehidupan bangsa seperti amanat undang-undang, tapi pendidikan sekarang hanya sebatas perahan oleh kepentingan kelompok-kelompok tertentu (kapital dan neoliberal). Padahal, kalau merujuk pada petunjuk pendahulu, maka permasalahan pendidikan seharusnya dapat diminimalisir bahkan ditiadakan. Bahkan sampai masalah pedagogik (sistem among). Lebih dari itu, guna menunjang kemerdekaan lahir dan batin sang anak didik yang nyata, KHD pun dengan tegas menyatakan bahwa antara guru dan murid dibangun relasi yang menyerupai seperti rekan (partner) dalam proses belajar mengajar. Jadi dengan cara itu, maka praktik dikotomis bisa diminimalisir. Tapi nyatanya, pendidikan kita bukannya meminimalisir dikotomi tersebut, malah sebaliknya sengaja dipelihara. Pendidikan dengan guru sebagai instrumennya, sengaja memelihara phobia tersebut agar menekan arus kritik atau masukan terhadap sosok guru yang ’katanya’ berwibawa. Dengan adanya dikotomi ini akhirnya menimbulkan perbedaan dimana guru ditempatkan sebagai patron dan murid sebagai klien. Jadi seolah-olah guru adalah seorang ’resi’ yang tidak bisa dibantah, sekalipun salah (jadi benar seperti yang dikatakan bahwa nasib murid ada ditangan (tepatnya: ujung pena) sang guru. Berani melawan guru bisa berakibat buruk meskipun sebenarnya guru sendiri yang salah. Bahkan jangankan berani melawan guru, membantah saja sudah pasti alamat buruk).
Tentunya dari kekacauan sistem dan metoda pendidikan yang ada sekarang, mengingatkan kita pada kritik metode pendidikan gaya bank (banking concept education) Paulo Freire, dimana murid diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak-anak didik.
Sementara itu, anak didik pun lantas di perlakukan sebagai ’bejana kosong’ yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman ’modal ilmu pengetahuan’ yang akan dipetik hasilnya kelak. Ini setali tiga uang dengan konsep ’TabulaRasa’ Jhon Locke, dimana anak didik diposisikan sebagai instrumen yang hanya bisa menerima saja apa yang dikatakan oleh guru. Sehingga model pendidikan akhirnya hanya menjadi tranfer ilmu pengetahuan semata antara sang guru dengan sang murid dengan mengekang alam bawah sadar sang anak didik tanpa perlu mereka melakukan kritik otokritik terhadap sistem yang selalu berubah setiap waktu. Jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif dimana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingatkan dan dihapalkan tanpa memberikan kemerdekaan bagi sang anak didik untuk menganalisa dan menentukan sendiri apa yang dicarinya.
Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan ’gaya bank’ itu ialah (1) guru mengajar, murid belajar (2) guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa (3) guru berpikir, murid dipikirkan (4) guru bicara, murid mendengarkan (5) guru mengatur, murid diatur (6) guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti (7) guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan gurunya (8) guru memilih apa yang diajarkan, murid menyesuaikan diri (9) guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid, dan (10) guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya - Oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang lumrah saja jika murid-murid kemudian mengidentifikasi diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan digugu, harus diteladani dalam semua hal (Paulo Freire; Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, 2007).
Implikasinya, menurut Freire, lebih jauh adalah bahwa pada saatnya nanti murid-murid akan benar-benar menjadikan diri mereka sebagai duplikasi guru mereka dahulu. Sistem pendidikan, karena itu menjadi sarana terbaik untuk memelihara keberlangsungan status quo sepanjang masa yang menjadikan anak didik sebagai manusia terasing dan tercerabut dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya (sangat berbeda dengan yang pernah di impikan KHD bahwa dengan pendidikan akan menggiring manusia menuju kemerdekaannya baik batin maupun lahirnya), bukan menjadi kekuatan penggugah (subversive force) kearah perubahan dan pembaharuan. Dengan pendidikan semacam itu, maka anak didik pada akhirnya menjadi makhluk-makluk mitos pemuja simbol-simbol duniawi lewat angka-angka yang diberikan oleh guru. Anak didik sengaja dilekatkan pada proses penciptaan rasa kecintaan pada segala yang tidak memiliki jiwa kehidupan (nekrofili) dan bukannya melahirkan kecintaan pada segala yang memiliki jiwa kehidupan (biofili)’ (Erich Fromm, 1966).
Tidak hanya itu, realitas negeri ini selalu memperlihatkan keberingasannya dalam membentuk pola yang seragam dari setiap lintas generasi. Alasan-alasan klasik acapkali menjadi tameng yang sesungguhnya kontra rakyat dan inkonstitusi. Lihat saja contohnya anggaran untuk pendidikan yang selalu tersendat selama-lamanya. Sehingga berimbas pada pemenuhan kebutuhan dalam pendidikan seperti fasilitas dan sebagainya. Pendidikan masih dijadikan ’anak tiri’ (tak jauh berbeda seperti dimasa kolonial) di dalam negeri. Ini bisa kita perbandingkan dengan Jepang yang terkenal dengan kehebatan sains dan ketinggian teknologinya. Mengapa bisa begitu? Mengapa Jepang mampu menjadi negara yang mencipta teknologi sedangkan kita hanya mampu menjadi pengguna teknologi? Itu karena Jepang benar-benar menghargai arti pendidikan, mendahulukan kepentingan pendidikan daripada kepentingan yang lain, dan tidak segan-segan mengeluarkan dana yang besar untuk pendidikan (M. Joko Susilo; Pembodohan Siswa Tersistematis, 2007). Sedangkan negara kita hanya sibuk membicarakan kedudukan sehingga pendidikan menjadi perhatian yang kesekian. Jadi wajar kalau pendidikan kita mundur. Selain itu, tri pusat pendidikan seperti yang di gagas KHD, tak semuanya berlaku. Bahkan yang terjadi hanya tunggal pusat yaitu pendidikan di sekolah. Celakanya inipun tidak dilakukan secara maksimal dan terlalu banyak ’permainan’ didalamnya, baik oleh oknum guru maupun oleh institusi sekolah. Berbagai kasus seperti korupsi dan lainnya adalah cermin terhadap budaya tersebut. Kurikulum pun juga selalu membingungkan anak didik dimana outcame nya tidak jelas juntrungannya. Artinya pembangunan karakter terhadap anak didik tidak pernah dilakukan. Padahal pendidikan karakter penting peranannya dalam menciptakan watak dan kepribadian. Terjadinya tindakan amoral dan melawan hukum seperti korupsi dan sebagainya adalah buah dari problem mendasar manusia secara moral dan mentalitas yang terkait dengan watak dan kepribadian. Karena pendidikan seharusnya membangun watak yang baik sehingga mampu menjadi pribadi yang baik dan membuat karakter yang baik pula. Sehingga dengan karakter yang baik, mungkin tindakan amoral dan lainnya seperti melawan konstitusi tidak akan terjadi. Tapi perlu diingat bahwa dalam pendidikan karakter, sudah seharusnya terlebih dahulu pendidik harus memenuhi komitmen, integritas dan kapabilitas atau kemampuan dan ketrampilan. Ini supaya pendidikan tidak hanya menjadi sekadar pelajaran biasa yang lebih menekankan pada aspek kognitif saja (Melki AS; SKH Kedaulatan Rakyat; Menunggu Pendidikan Karakter, 01 Mei 2010). Nah, disini sekolah adalah salah satu jembatan untuk membangun karakter itu. Kalau prosesnya buruk, maka akan melahirkan karakter yang buruk pula. Kalau prosesnya baik, maka karakter yang tercipta pun akan baik pula. Celakanya lagi adalah di negeri ini justru tidak ada pendidikan karakter. Bagaimana mau menselaraskan dengan cita-cita nasional ‘Charachter and National Building’? Sementara berbicara proses, lembaga pendidikan pun tidak mampu mengerem itu semua. Justru lembaga pendidikan malah berselimutkan korupsi (termasuk korupsi waktu yang bayak dilakukan para guru. Kalau boleh dibilang, korupsi waktu mengajar adalah termasuk kejahatan pendidikan/educational crime). Sehingga kegagalan pendidikan seperti yang banyak disitir berbagai kalangan menjadi maklum karena ternyata terjadinya berbagai proses pembodohan yang dilakukan sekolah ataupun guru memang sudah tersistemkan.
Nah ini semua yang menyebabkan pendidikan di tanah air ini semakin mundur. Diperparah lagi dengan tidak jelasnya regulasi pemerintah dalam menyikapi bahaya laten kapitalisme yang nyata-nyata merasuk ke dalam dunia pendidikan kita. Contohnya UU BHP. Meskipun sudah dicabut tapi perlu kita catat bahwa ini adalah upaya mengkapitalisasikan pendidikan dimana muaranya adalah menjual pendidikan dengan ber-orientasikan pada profit (bisnis pendidikan) sehingga bisa dibayangkan semakin banyak rakyat akan menjadi bodoh karena semakin susah akses untuk mengenyam pendidikan. Tapi itu tidak perlu dicemaskan lagi karena sudah dicabut. Yang perlu dikhawatirkan juga adalah bahaya laten pasca BHP dicabut. Karena sangat berpotensi terjadinya kanibalisme. Artinya konten yang ada dalam BHP yang telah dicabut itu, bisa saja dikembalikan dalam bentuk dan format berbeda oleh sebuah permen (peraturan menteri). ”Karena pembatalan BHP justru hanya manipulasi terminologi saja yang sebenarnya pemerintah tidak rela oleh pembatalan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga berupaya tetap menghidupkan roh (BHP) dengan jasad yang berbeda” tulis Darmaningtyas pada SKH Kompas, Senin 03 Mri 2010. Cara itu ditempuh pemerintah karena disatu sisi tidak mau dituduh melanggar putusan MK, disisi lainnya mereka juga tidak ingin di permalukan atas pembatalan UU BHP. Mereka sudah terlanjur teken kontrak dengan Bank Dunia melalui Proyek Pengembangan Relevansi dan Efisiensi Pendidikan Tinggi untuk mewujudkan UU BHP paling lambat tahun 2010. Nah kalau ini masih terjadi, tentunya bertentangan dengan amanah konstitusi, dimana hak untuk mendapatkan pendidikan dijamin berdasar undang-undang dan dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah. Sudah seharusnya rakyat mengerti itu, guru juga mengerti sehingga terjadi pengawasan bersama terhadap policy yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut. Karena tanpa pengawasan bersama maka memungkinkan untuk terjadi tsunami pendidikan mengingat bahwa manusia sebenarnya adalah homo economicus yang berusaha mencari untung yang sebesar-besarnya meskipun harus menjual dunia pendidikan dll. Bahkan kalau ini terjadi dan terus tanpa regulasi yang jelas, maka bukan tidak mungkin, seperti yang ditulis Anthony Giddens dalam bukunya ’Dunia yang Berlari’, bahwa umat manusia bisa mati oleh keserakahan beberapa orang saja (Anthony Giddens,Runaway world; The Thirth Way, 1999).
Selain itu, yang turut memperkeruh pendidikan ialah dengan adanya pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan pemerintah dan di turuti oleh instrumen dibawahnya seperti di sekolah. Pemerintah sibuk dengan mengujicobakan berbagai konsep, yang pada akhirnya banyak yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya kebijakan tentang UAN, PT BHMN, Internasionalisasi, dan sebagainya. Lihat saja contoh UAN, secara logik, dapat dilihat bagaimana tidak adilnya metode itu untuk menilai kualitas sang anak didik. Karena kualitas anak didik di tentukan sesuai dengan dirinya sendiri. Adanya metode ujian akhir, sebaiknya cukup pada tataran melihat batas kemampuan murid, bukannya menjadi penentu segalanya dari pendidikan mereka. Padahal mereka belajar bertahun-tahun, tapi pada akhirnya di tentukan dengan ujian yang cukup satu minggu saja dengan beberapa pelajaran saja. Jadi wajar, selama UAN masih ada, maka bukan tidak mungkin pada momen kelulusan, telinga kita di penuhi informasi tentang murid yang stress bahkan bunuh diri, disamping hura-hura berlebihan yang ditunjukan oleh mereka yang lulus. Jadi kalau anak didik lulus dan mendapat nilai besar (nilai disini berarti yang dilihat berdasar angka) dalam setiap ujian, maka bisa dikatakan cerdas, pandai, pintar dan sebagainya. Padahal kecerdasan itu adalah sesuatu yang linier dengan perkembangan dan perubahan. Adakalanya teori lama tak terpkai lagi, dan adakalanya teori itu masih relevan dengan zaman. Adanya konsep UAN seperti yang dilakukan sampai sekarang ini turut merubah paradigma berpikir bahwa satu-satunya hal yang paling keramat dalam pendidikan adalah simbolisasi yang ditunjukan dengan angka yang menyapu semua ilmu pengetahuan sama seperti matematika, fisika serta ekonomi yang abstrak. Padahal ada cabang ilmu lainnya yang membutuhkan nalar berpikir karena selalu berubah seiring perubahan zaman yang cepat. Misalnya pelajaran Pancasila. Karena seperti dalam pembelajaran Pancasila, dituntut untuk suatu penghayatan, bukan berdasar hitungan semata. Tapi lagi-lagi, dalam pelajaran ini, sekolah dan guru pun gagal mengajarkan esensinya. Karena yang diketahui murid cuma penghapalan sila dan pasal per pasalnya saja. Esensi, penghayatan serta pengamalannya justru tidak sama sekali diajarkan. Maka tak heran ketika praktik melawan hukum selalu subur dinegeri ini karena ’nilai-nilai’ (nilai disini berarti yang dilihat berdasarkan esensi) ke-Indonesiannya memang tidak dipernah digubriskan, apalagi diajarkan.
Sementara itu, kebijakan tentang Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dengan iming-iming kualitas lebih baik, justru hanya sekadar menjadi cerita usang dibalik ironisnya nasib rakyat negeri ini yang semakin memburuk karena perang gengsi dunia ekonomi. Karena justru yang ada bukannya bertaraf internasional, yang ada adalah bertarif (biaya) internasional. Jadi wajar kalau rakyat tidak punya uang banyak, maka tidak bisa mengakses pendidikan. Jadi kebijakan itu seharusnya belum perlu dimasukan karena memang belum terlalu penting bagi bangsa ini mengingat masih banyak yang belum bisa mengakses pendidikan. Bahkan dari catatan dinas pendidikan (www.TempoInteraktif.com/Rabu 28 April 2010) sendiri bahwa perbandingan kualitas (output) dari sekolah berstandar Internasional dengan sekolah nasional biasa, justru lebih unggul sekolah nasional dengan perbandingan angka keluusan dari 97, 74 % ditahun sebelumnya, menjadi 89,88 % ditahun ini (meskipun disini KHD menolak istilah sekolah-sekolah dengan identitas unggul, penilaian berdasar simbol angka-angka seperti metode UAN dan sebagainya). Jadi rasanya mustahil ketika kita ingin membicarakan kualitas yang baik di tengah kuantitas yang ironik. Artinya, kualitas boleh saja kita turunkan asalkan kesempatan untuk bisa mengenyam pendidikan bisa dirasakan oleh seluruh rakyat (Melki AS; SKH Kedaulatan Rakyat; Menunggu Pendidikan Karakter, 01 Mei 2010).
Nah berkaca dari itu semua, sudah seharusnya dalam usaha memperbaiki segala keadaan tentang pendidikan adalah kembali ke dasar dan esensi pendidikan sebelumnya. Kiranya ada baiknya jikalau pemerintah menerapkan pendidikan karakter dan budi pekerti yang memang telah lama di hilangkan dinegeri ini. Karena dengan adanya pendidikan karakter dan budi pekerti, bangsa ini bisa menuai generasi yang mampu bertarung secara moral dan intelektual dalam dunia yang selalu berubah-ubah tanpa meninggalkan ciri khas kebangsaannya. Karena budi pekerti menyokong perkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin, dari sifat kodratinya menuju kearah peradaban dalam sifatnya yang umum. Ini berbeda dengan pengajaran biasa, karena didalam pengajaran budi pekerti, lebih menekankan pada proses penganjuran kepada anak-anak agar membiasakan bertingkah laku yang baik supaya dapat pengertian dan penginsyafan pula tentang kebaikan dan keburukan pada umumnya. Kemudian mampu melakukan pelbagai laku yang baik dengan cara di sengaja. Inilah yang disebut KHD dengan metode tri ’Ng’; Ngreti, Ngrasa, Nglakoni (menyadari, menginsyafi dan melakukan). Ini sama halnya dengan pola pendidikan islam yang metodenya ditekankan pada ’Syariat, Hakikat Tarikat dan Makrifat’. Selain itu, proses pendidikan (hubungan guru dan murid dalam menyemai proses itu) pun juga harus kembali pada proses memanusiakan manusia. Bukan malah menjadikan manusia seperti kerbau yang di colok hidungnya dan bisa di perintah apa saja seenak hati. Sudah seharusnya dalam proses tersebut, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri di ujikan kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan murid-murid. Begitupun sebaliknya. Hubungan keduanya pun harus jelas yaitu bukan antara patron (subyek/guru) dengan klien (obyek/murid). Karena obyek sesungguhnya adalah realita, bukan murid. Jadi pendidikan bersandar pada proses dialogisnya, bukan pencapaian-pencapaian hasil akhir lewat simbol angka-angka dan sebagainya. Dan dengan proses ini maka pendidikan akan benar-benar menciptakan generasi yang saling menghargai dan merdeka seperti yang diamanatkan Ki Hadjar Dewantara. Pemerintahpun sebagai muara dari segala keputusan juga harus peka mendengar suara-suara dari masyarakat agar policy yang di keluarkan benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat. Pemerintah juga jangan hanya asyik berpolitik ’ngawur’ saja, korupsi, bermesum ria, menghabiskan uang rakyat dengan kemasan studi banding keluar negeri, tapi sekarang benar-benar harus mulai berpikir bagaimana caranya untuk memperbaiki keadaan pendidikan negeri ini dengan menyiapkan metode dan model serta pola pendidikan yang sifatnya humanistik dan berkualitas. Karena kalau tidak, maka jangan harap kita bisa menatap pendidikan yang menghasilkan generasi yang bisa memajukan bangsa. Justru yang akan kita lihat adalah pendidikan tak ubahnya seperti panggung komedi opera pembodohan kalau tidak ditanggulangi segera.
Dan yang tak kalah pentingnya adalah ketertarikan menjadi pendidik jangan hanya berdasar pada iming-iming gaji. Tapi memang harus dengan penuh rasa pengabdian yang tulus sebagai lokomotif memajukan bangsa dan meneruskan cita-cita nasional. Harus kita akui bahwa kemunduran pendidikan adalah juga merupakan imbas dari pendidik atau gurunya sendiri yang tidak konsisten dalam mendidik. Para guru dewasa ini kebanyakan hanya ingin menjadi guru karena penghasilannya saja tanpa mempertimbangkan apakah murid bisa berkembang atau tidak, bodoh atau pintar, mampu atau tidak mampu. Yang terpenting kata ’mereka’ bahwa kami hanya mengajar dan pemenuhan jam mengajar itu saja, kemudian setiap awal bulan ambil gaji. Nah tinggal sekarang yang sadar akan artinya pendidikan, terutama guru, harus lebih dewasa dan obyektif lagi dalam mengarahkan kemajuan dan usaha pencerdasan bangsa ke depan. Tanpa itu semua, maka bukan hanya pendidikan saja yang akan runtuh, bahkan negara pun bisa jatuh karena masyarakatnya bodoh. Sekiranya, era kolonial telah mengajarkan bahwa dengan kebodohan maka sulit di capai kemerdekaan. Nah, haruskah kita kembali ke era kolonial tersebut. Saya rasa kita bisa katakan Tidak. Itu saja.



* Melki Hartomi AS
* ’mahasiswa’ diambang kegagalan kuliah

(Tulisan ini dibuat untuk menanggapi artikel Pak Nanang Bagus Subekti dalam ’Catatatn Dari Adelaide- South Australia’. Tulisan ini di buat ditengah kegalauan dan stress dari bayang-bayang kegagalan kuliah karena tidak mampu lagi (alasan pertama). Tapi patut kita pikirkan juga, kalau memang pendidikan menjamin kemajuan bangsa, kenapa sampai hari ini masih saja ada yang sekolah di kandang kambing. Lantas bagaimana menjelaskannya (saya pun tak bisa berkata-kata melihat realita itu) padahal kita punya Departemen Pendidikan yang notabene alokasi anggarannya triliunan, punya guru yang selalu mengajarkan bahwa kita harus peka terhadap sesama dan mengajarkan bahwa tidak boleh ada diskriminasi, tetapi justru semakin tinggi pendidikan, semakin rendah tingkat kepekaan terhadap permasalahan dan bahkan malah membuat diskriminasi dimasyarakat, seolah ada perbedaan antara golongan yang terdidik dan tidak terdidik. Padahal belum tentu yang ’katanya’ terdidik pun mampu melihat permalahan atau mencarikan permecahan yang solutif terhadap permasalahan itu sendiri).
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template