Pages

Tahun Baru ; Menanti Fenomena Seks Bebas


Judul diatas bukan ditulis dengan tanpa alasan. Justru karena keprihatinan dengan generasi sekarang, yang di rutinkan dengan kegiatan pemenuhan syahwat, daripada melakukan refleksi terhadap diri sendiri dan masa depan bangsa, sengaja saya mencoba mengurai sedikit tentang prilaku dan fenomena Seks Bebas generasi muda.
Seks Bebas, seperti yang telah kita pahami, dilakukan tanpa ada legalitas yang jelas (tanpa ada hubungan resmi seperti adanya prosesi pernikahan dan lain-lain). Seks bebas umumnya banyak terjadi dikalangan muda maupun ada sebagian yang telah tua. Dan hari-hari besar ataupun hari yang menuntut adanya pesta atau perayaan, kerap sekali menjadi ajang untuk melakukannya. Seperti pada setiap peringatan pergantian tahun (Tahun Baru). Karena memang disaat pesta pergantian tahun ini, ada sedikit kebebasan yang diberikan orang tua terhadap anaknya untuk ikut merayakan. Sehingga, kebebasan ini bisa menimbulkan adanya kesempatan untuk mereguk malam dengan pasangan (pacar) secara berlebihan. Sebutlah contohnya disaat malam pergantian tahun, memang terjadi kemeriahan dimana-mana. Semua orang memilih keluar untuk melihat prosesi yang dilakukan mulai dari orang tua, anak kecil, maupun remaja dewasa. Tidak hanya itu, bahkan kota dipenuhi juga dengan kedatangan para pengunjung yang ada didaerah. Ada yang datang dengan suaminya, keluarganya ataupun dengan pacarnya. Nah disinilah kebablasan sang orangtua. Mereka seperti terlelap ketika sang anak merengek untuk ikut keluar dan menyaksikan prosesi pergantiannya (bukan berarti melarangnya / penjelasannya akan saya uraikan nanti).
Fenomena itu mungkin masih bisa kita saksikan terutama di daerah-daerah. Hal yang lebih dahsyat lagi ialah fenomena masyarakat yang ada dikota. Sebutlah Jakarta, Jogjakarta, Bandung, Surabaya, Makasar dan lain-lain. Bayangkan saja ketika didaerah saja prilaku seks bebas ini bisa terjadi, apalagi kehidupan di kota yang mayoritas bersifat acuh tak acuh dan ketidakpedulian dari masyarakat lingkungan termasuk induk semang (bagi para anak kost-kost an). Seperti Jogjakarta, mayoritas penduduk berasal dari mahasiswa yang berasal dari daerah-daerah di seluruh Indonesia. Akhirnya, tak ayal ketika ada momen, dihabiskan para remaja ini untuk bisa semalam suntuk bersama pasangan sehingga akhirnya melakukan hubungan layaknya suami istri (karena kurangnya pengawasan dan control social yang ada).
Melihat fenomena peningkatan intensitas seks bebas ini, dapat diketahui juga lewat survey terhadap took-toko atau apotik yang biasa menjual alat kontrasepsi. Dan memang saat momen ini, penjualan terhadap alat kontrasepsi (terutama kondom) meningkat bahkan lebih dari seratus persen yang pembelinya di dominasi oleh kalangan muda. Artinya, momen pergantian tahun sudah menjadi ajang rutinitas bagi generasi muda kita (siswa dan mahasiswa) untuk berkompetisi dalam seks bebas. Mungkin juga dengan memandang adanya tahun baru, jadi harus bertukar hadiah antara sesama pasangan termasuk hadiah seks dan sebagainya. Dan ketika sudah berbicara seks, maka tidak akan ada lagi yang namanya agama, norma, adat maupun lainnya. Seolah malam hanya milik berdua saja tanpa ada orang yang usil dan menegur.

Seks Bebas Sebagai Efek Budaya Global

Menjamurnya seks bebas terutaman dimalam pergantian tahun ini, tak bisa juga kita lepaskan dari efek kentalnya budaya global. Yang artinya, ini bukan kebiasaan orang timur yang menjunjung tingi sopan santun, norma, adat dan agama. Tapi karena efek samping dari ketidakmampuan negeri ini memahamkan bahwa budaya kita sebenarnya derajatnya lebih tinggi daripada dari luar. Dan banyak masuknya budaya luar tanpa adanya filterisasi, menyebabkan kebiasan itu akhirnya ditiru dan dilakukan dengan baik oleh masyarakat kita. Karena bukan rahasia lagi kalau budaya masyarakat kita adalah budaya masyarakat yang konsumeristik, gengsi tinggi dan suka meniru apa yang dilakukan orang luar tanpa peduli apakah itu baik atau buruk untuk dilakukan.
Tayangan televisi yang banyak menampilkan adegan romantis yang akhirnya memperlihatkan pergaulan bebas antar remaja, tak ayal menjadi guru bagi mereka yang gengsi dan sok-sok an. Seolah itu adalah pergaulan anak muda yang gaul dan kalau mau gaul seperti itu, ya memang harus begitu termasuk melakukan seks bebas dan sebagainya. Hal ini dapat kita amati lewat penayangan sinetron-sinetron remaja yang settingnya sudah bisa ditebak. Adanya remaja yang ditampilkan lewat televise itu, sontak menjadi ajang bagi masyarakat kita terutama remaja untuk menirunya. Pertama mungkin dimulai dari penampilan yang menayangkan seorang aktor atau aktris yang busananya minimalis, sehingga hampir terlihat semua isi lekuk tubuhnya. Bagi artis ini mungkin tuntutan peran sebagai pemain film, tapi bagaimana dengan masyarakat kita?
Kedua, mulai maraknya adegan berpelukan dan berciuman dalam setting peran film nya yang dilakukan remaja yang belum punya ikatan resmi. Contoh seperti ini hanya bisa di benarkan dalam adegan sinetron, tapi dalam masyarakat umum, ini belum tepat dilakukan. Tapi karena tayangan adalah guru bagi remaja sekarang, maka hal seperti ini juga ditiru dan di aplikasikan dengan baik dalam kehidupan nyata. Ketiga, lahirnya budaya hedonis yang tersalurkan lewat diskotik-diskotik, pub, night club maupun café-café yang mengubah paradigma strata social di masyarakat. Dengan bergaul dengan orang-orang diskotik, pub dan lainnya itu, seolah strata social lebih tinggi ketimbang yang hanya bergaul biasa. Padahal seperti yang kita ketahui, justru dengan pergaulan malam seperti itulah terjadi banyak prilaku yang keluar jalur seperti mabuk-mabukan sampai seks bebas yang dilakukan remaja sekarang ini.
Selain itu semua, dengan tidak siapnya kita menerima kemajuan teknologi, sehingga penggunaanya pun sering disalahgunakan kearah yang kurang tepat bahkan tidak baik. Contohnya internet. Seharusnya internet digunakan semaksimal mungkin untuk bisa mengakses pengetahuan, informasi atau membangun jaringan dan koneksi. Tetapi, dengan banyaknya situs-situs porno yang ditawarkan, beredar dan bisa di download kapan saja dimana saja, menggiring anak muda kita untuk mengetahuinya yang akhirnya mengundang hasrat untuk di uji cobakan. Banyak beredarnya film-film porno yang melibatkan remaja, siswa dan mahasiswa tentulah contoh konkrit. Pertama dilakukan hanya uji coba, kemudian menjadi kebiasaan. Pepatah mengatakan ‘ala bisa karena biasa’. Dan memang itulah yang terjadi dengan generasi muda kita saat ini.

Peran Pendidikan dan Antisipasifnya

Sejatinya perilaku generasi muda seperti itu sekarang adalah juga buah dari pendidikan kita yang tidak tepat sasaran. Sistem pendidikan kita lebih mementingkan kompetensi yang arahnya bermuara pada pembentukan intelektualitas semata. Dan itu hampir terjadi disetiap tempat pengajaran di negeri ini, baik yang beraliran kebangsaan, keagaamaan dan lain-lain. Padahal dalam format pendidikan yang coba diuraikan para founding father kita terdahulu ialah bahwa bagaimana outcome nya akan membentuk kader bangsa yang berkarakter, visioner futuristik dan berbudaya. Kurikulum berbasis kompetensi yang sekarang di jalankan dalam sistem pendidikan kita hanya menuntut siswa untuk bisa bersaing dengan dunia luar saja. Dan kalau bicara masalah persaingan atau kompetisi seperti ini, maka akan terbesut bahwa “Kalau Mau Pendidikan yang Berkualitas, Sudah Pasti Mahal”. Inilah sumber kekacauan sistem pendidikan di tanah air ini, sehingga genarasi muda kader bangsa banyak yang terjerusmus kedalam pergaulan atau menyerap kebudayaan-kebudayaan yang tidak seharusnya diterapkan didalam negeri ini. Sangat kontroversi kalau kita bandingkan dengan amanat konstitusi kita yang menyatakan bahwa tugas Negara adalah mencerdaskan kehidupan berbangsa. Jadi sistem pendidikan sekarang sama artinya dengan melanggar UUD 1945 yang merupakan kitab suci berbangsa dan bernegara seluruh masyarakat Indonesia.
Prilaku seks bebas terjadi karena tidak pahamnya generasi muda akan budaya sendiri. Dan selalu menganggap budaya luar adalah terbaik dan terbaik dari budaya local yang ada. Inilah tiket kehancuran negeri ini dimasa yang akan datang. Mungkin bisa lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi atau dua puluh tahun lagi. Bahkan agama sekalipun dengan sederet penjaga nilainya tidak bisa membendung ini. Satu hal yang bisa mengantisipasinya ialah dengan pendidikan. Paradigma intelektualitas semata harus dirombak dan menjadi pembentukan watak, iman dan kepribadian. Kalau kita melihat praksis pendidikan sekarang, kepribadian, budi pekerti dan keagamaan seolah terlepas dari tujuannya. Dengan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi, siswa digenjot lewat hapalan semata tanpa harus mengerti kemana arah dan orientasi yang jelas kemudian. Sistem pendidikan yang sesungguhnya berorientasikan kapital seperti ini seharusnya tidak tepat untuk diarahkan dalam dunia pendidikan kita. Tanah air ini seharusnya lebih menerapkan kurikulum dengan berbasiskan pada kebudayaan.
Dengan berbasiskan kebudayaan, maka generasi mudanya bisa di bentuk sesuai dengan orientasinya semula yaitu intelektual, berkepribadian, berbudi pekerti dan beriman. Dengan menerapkan sistem pendidikan berbasis kebudayaan juga bisa mengangkat dan menyadarkan generasi muda akan pentingnya sebuah harga diri baik itu diri sendiri maupun harga diri bangsanya. Bangsa kita kaya akan kebudayaan yang termaktub dalam satu kekuatan kearifan lokal (local wisdom). Dengan menerapkan budaya pada basis pengajarannya, bangsa kita bisa mengantisipasi masuknya budaya luar yang tidak selaras dengan kebudayaan local. Harapannya, budaya luar itu kemudian tersaring dengan sangat hati-hati sehingga generasi muda akan terparadigmakan dan menirukannya kedalam arah atau jalur yang lebih positif dan bermanfaat. Bukan negatif yang terjadi seperti sekarang ini.
Posisi kita sekarang ini adalah posisi perang, dimana kita tidak kuasa menahan gempuran budaya barat yang berlebihan dan luar biasa. Bangsa kita sebenarnya punya amunisi untuk menangkis serangan tersebut, tapi tidak termanfaatkan karena memang tidak pernah digunakan. Ini tentunya menandakan bahwa masyarakat kita tidak mengenal budayanya sendiri. Generasi muda a histories dengan budayanya. Salah siapa?
Sudah barang tentu sistem pendidikan kita, selain peranan masyarakat dan orangtuanya. Sehingga seks bebas menjadi kebiasaan dan rutinitas generasi muda tanpa mesti ada ikatan resmi. Sekolah atau kampus seharusnya lebih menekankan bahwa seks bebas adalah kebiasaan yang tidak lazim baik ditinjau dari segi kesehatan, agama dan lain-lain. Nah pelajaran-pelajaran seperti keagaaman, seharusnya lebih ditekankan pada proses penyadaran sang generasi didik. Bukan hanya dengan disuruh menghapal sejumlah ayat-ayat yang kemudian ketika hapalan itu terpenuhi kemudian mendapat nilai bagus. Tapi praktik dilapangannya, mereka sama sekali tidak mengerti apa itu baik dan buruk. Seharusnya pembelajaran kita meletakkan semua proses pada terjadinya pembentukan watak dan kepribadian yang kokoh sebagai generasi bangsa yang bermartabat tingi.
Bagitupun di lingkungan keluarga. Orangtua seharusnya menjadi polisi bagi pembentukan prilaku anaknya. Artinya, peran fungsi sebagai orangtua harus mampu menjembatani anak sehingga terbuka hati dan pikirannya akan hal baik dan buruk. Seks bebas tentunya sebuah pilihan buruk karena menabrak segala hal yang ada. Nah kalau orangtua juga mengajarkan anaknya akan bahayanya seks bebas, niscaya sang anak akan terhindarkan dari budaya global seperti itu. Saya masih yakin bahwa tidak ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya pada pergaulan negatif seperti itu. Cuma caranya saja yang kurang tepat dan pengawasannya yang terlampau kendor sehingga membuat kesempatan sang anak untuk melakukannya. Pengawasan yang dimaksud bukan berarti pada otoriternya orangtua sehingga memotong akses sang anak untuk berinteraksi dengan dunia luar. Pengawasan yang dimaksud disini ialah penjagaan terhadap nilai-nilai social, norma dan keagamaan. Orangtua seharusnya banyak memberikan pengajaran tersebut lewat nasihat-nasihat, praktik prilaku ataupun teguran langsung ketika melihat prilaku sang anak yang sudah tidak pada tempatnya (out of the track). Dan saya juga yakin, orangtua punya kewibawaan yang mau tidak mau harus dituruti sang anak. Artinya kalau arah yang diberikan orangtua itu benar, maka ada kesempatan juga anaknya akan menjadi orang yang benar pula. Tapi kalau pengajaran dari orang tua itu buruk, maka jangan heran kalau sang anak juga akan berbuat sama seperti orangtuanya. ‘Tunas Pisang Tidak Akan Tumbuh Jauh Dari Induknya’, artinya, sifat orangtua mempengaruhi sikap anaknya. Jadi kalau prilaku oranguta buruk, maka anak pun juga akan berakibat buruk.
Didalam kehidupan bermasyarakat pun seharusnya lingkungan punya batasan-batasan tertentu untuk menjaga nilai dan kaidah. Seperti halnya kota besar seperti Jakarta atau Jogja dan lain-lain. Artinya lingkungan bisa menjadi pengawas bersama dalam menjaga kerukunan, ketenteraman dan kebaikan semua warga tanpa terkecuali kost-kost an. Induk semang seharusnya menjadi perwakilan lingkungan dalam memahamkan bahaya pergaulan bebas apalagi seks bebas bagi generasi muda. Jadi jangan hanya berpikir bahwa induk semang adalah tempat penitipan yang sifatnya kalau sudah bayar, terserah mereka mau berbuat apapun. Induk semang bisa menjadi guru bersama ketika tepat dalam memantapkan posisi dengan fungi kontrolnya terhadap prilaku seks bebas generasi muda. Disamping itu, aturan dari masyarakat (norma dan adat) benar-benar harus menjadi jaminan untuk mengantisipasi itu semua. Dengan penerapan aturan yang jelas dan fungsi kontol yang selaras, prilaku seks bebas bisa diminimalisir. Misalnya, kegiatan-kegiatan pengawasan dan kontrol lewat sistem ronda dan sebagainya, mampu menjadi penghalang kaum muda untuk bebas berbuat apa saja. Selain itu, yang dikatakan lingkungan sebagai guru ialah lingkungan mampu mencipta tradisi atau kebiasan yang positif di masyarakatnya. Seperti sering mengadakan sosialisasi sesama warga termasuk kost-kost an, mengadakan penyuluhan-penyuluhan bahkan bila perlu mengorganisasikan semua warga biar gampang dipantau. Hal ini kalau diterapkan akan meminimalisirkan kejadian-kejadian buruk di lingkungan.
Terjadinya fenomena seks bebas adalah indikasi dari lemahnya pengawasan mayarakat (control lingkungan) terhadap warganya. Banyaknya pendirian hotel dan kost-kost an yang sifatnya bebas, harus benar-benar disaring dan diadakan kontrak dengan warga sekitar (lingkungan sekitar). Ini bukan cara yang salah, karena memang banyak hotel yang beroperasi sebagai tempat mesum atau kost-kost an yang di gunakan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan seks bebas. Dan hal ini semua harus mampu di peta kan masyarakat sebagai tindak dan akan berdampak pada kehidupan buruknya generasi muda. Disamping itu, perda kost-kost an seperti yang diterapkan di Jogjakarta sudah sangat baik sekali. Cuma memang dalam praktiknya, itu seperti tidak berarti apa-apa dan kemudian perlu di tegaskan dan diterapkan kembali. Dan itu makanya sosialisasi dan penyuluhan-penyuluhan serta pengorganiasian warga sangat di perlukan supaya menghindarkan dari keterjebakan dan pertentangan dengan kebebasan berekspresi kaum muda.
Dan kalau ketiga unsur dalam pendidikan ini dilaksanakan dengan baik (sekolah, rumah dan lingkungan), maka bangsa ini akan memetik kembali hasilnya sebagai bangsa dengan pluralitas masyarakatnya yang menjunjung tinggi nilai, martabat dan harkat serta berkebudayaan. Akar terjadinya fenomena social yang keluar batas seperti FENOMENA SEKS BEBAS ini adalah karena bangsa kita terlepas dari budayanya baik dalam pengajaran dan pendidikan maupun lainnya. Dengan memantapkan budaya sebagai tolak ukur pembangunan bangsa, lewat pendidikan dan pengajaran tersebut, saya sangat yakin bangsa ini bisa keluar dari kemelut dan mampu menatap generasi mudanya sampai seratus tahun kedepan dengan lebih baik. Dan seks bebas tak perlu terjadi mulai tahun ini, tahun depan dan seterusnya, tidak saja pada momen pergantian tahun tapi dalam setiap waktu. Semoga.

Melki AS
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template