Pages

Serpih-Serpih Pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD)


Pemikiran Ki Hadjar Dewantara (Selanjutnya-KHD) dalam pendidikan bangsanya, sudah tidak dapat dipungkiri lagi oleh segenap komponen bangsa Indonesia, dan karenanya KHD diakui sebagai Bapak Pendidikan Indonesia dan lahirnya dikenang sebagai Hari Pendidikan Nasional Bangsa Indonesia. Namun pengakuan ini tidak berlanjut pada pengakuan secara substantif dalam berbagai praktek dan kebijakan pendidikan nasional kita. Banyak sekali contoh yang terjadi saat ini dalam berbagai praksis dan kebijakan pendidikan yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan pemikiran KHD entah itu disadari atau tidak. Kalau mau jujur, sebenarnya konsep pendidikan dan kebudayaan yang digagas KHD merupakan pembuka peluang pendidikan nasional yang menembus dominasi pendidikan kolonial. Namun karena perjalanan politik pendidikan dari jaman ke jaman terdapat kecenderungan pergeseran orientasi pendidikan nasional karena pengaruh tekanan global. Dibutuhkan upaya penjernihan kembali konsep dan gagasan KHD dalam pendidikan nasional, untuk dapat mengambil berbagai mutiara bagi keberlangsungan pendidikan dimasa depan.
Demikian yang disampaikan Ki Prof. DR. Wuryadi dalam sambutannya sebagi keynote speaker (Pidato Kunci) dalam seminar “Serpih-Serpih Pandangan Ki Hadjar Dewantara” dalam rangka peringatan Dies Natalis UST ke-54 di Dewantara Convention Room Kampus Pusat I UST jalan Kusumanegara Jogjakarta (22/12/2009). Lebih jauh, Wuryadi mengungkapkan dan memberikan beberapa pandangan konsep pemikiran KHD yang belum banyak diketahui masyarakat dan relevansinya dalam kehidupan Bangsa Indonesia. Menurut beliau, pertama, mendidik anak itulah mendidik rakyat. Untuk mendapatkan sistem pengajaran dan pendidikan yang berfaedah bagi perikehidupan bersama, haruslah sistem itu disesuaikan dengan hidup dan penghidupannya rakyat, oleh karena itu tiap-tiap Negara itu terjadi dari beberapa golongan yang masing-masing mempunyai sifat dan kepercayaan sendiri-sendiri, haruslah kita memahamkan perbedaan-perbedaan golongan itu agar terwujudlah azaz persatuan yang selaras (harmonis) dan menurut keadaan (naturlijk). Sumbangan nyatanya disini sangat jelas menurut beliau bahwa pendidikan dan pengajaran haruslah pro rakyat, pendidikan dan pengajaran didasari oleh pemahaman terhadap adanya keragaman yang merupakan cirri khas Indonesia, untuk mewujudkan azaz persatuan yang selaras dan pendidikan dan pengajaran dapat memberi faedah bagi rakyat, kalau didasarkan pada hidup dan penghidupannya rakyat artinya kebangsaan sebagai penghidupan dan kebudayaan sebagai kehidupan sebagai dasar.
Konsep kedua menurutnya adalah pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedang merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan. Sumbangan nyatanya disini ialah bahwa ini dapat memperjelas posisi pengajaran dan pendidikan dalam mengurangi kerancuan yang selama ini terjadi dalam dunia pendidikan ditanah air, termasuk kerancuan didalam Undang-Undang Sisdiknas 2003. Juga dari konsep ini dapat pula ditarik sumbangan nyatanya bahwa pengajaran umumnya terjadi di sekolah, berkaitan dengan belajar tentang berbagai Ilmu pengetahuan, menjadi merdeka tata lahirnya (menjadi berpengetahuan), pendidikan dapat terjadi dimana saja (keluarga, sekolah dan masyarakat), menyangkut kemerdekaan batin, budi, pekerti, karakter, moral, akhlak, yang tidak dapat dipisahkan dan sangat ditentukan oleh peradaban bangsa dan masyarakat (termasuk masyarakat pendidikan), dan, kemerdekaan itu bersifat tiga macam yaitu berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri, mandiri dan berdaulat dalam pengajaran dan pendidikan. Konsep Ketiga, Anak-anak dan pemuda-pemuda kita sukar belajar dengan tenteram, kerena dikejar-kejar oleh ujian-ujian yang sangat keras dalam tuntutan-tuntutannya. Mereka belajar tidak untuk perkembangan hidup kejiwaaannya, sebaliknya mereka belajar untuk mendapat nilai-nilai tinggi dalam ‘school raport’ nya atau untuk dapat ijazah. Dalam hal ini sebaliknya para pemimpin perrguruan mencari jalan bagaimana caranya agar dapat memberantas penyakit “axamen cultus” dan “diploma jacht’ itu. Kesimpulan yang dapat ditarik disini menurut Wuryadi ialah bahwa KHD memperingatkan bahwa Ujian dapat membawa akibat salah arah dalam praktek pendidikan kita yaitu adanya examen cultus. Kemudian, pendidikan pengajaran (terutama pengajaran disekolah), apabila diarahkan pada nilai tinggi dan ijazah, akan menjadikan salah arah, dan ini sudah dianggap oleh KHD sebagai penyakit, walaupun ujian adalah bagian akhir dari suatu proses, akan tetapi dapat memberikan pengaruh pada bagian awal dari proses yaitu penetapan arah dan tujuan pengajaran dan pendidikan yang akan dialami oleh anak dan proses yang akan cenderung dilakukan (bimbingan belajar untuk ujian).
Konsep keempat ialah kita dekatkan hidupnya anak dengan perikehidupan rakyat, agar idak hanya memahami akan tetapi memiliki pengalaman hidup yang sama dengan rakyatnya, agar tidak hidup terpisah dengan rakyatnya dan konsep kelima adalah bahwa Pendidikan Nasional adalah hak kita dan kewajiban kita. Dari sini menurut wuryadi, pada umunya orang lebih menekankan pendidikan sebagai hak dasar rakyat, akan tetapi KHD justru memberikan penegasan bahwa pendidikan juga menjadi kewajiban. Tekanan ini menunjukan bahwa sesungguhnya disamping hak , maka kewajibanlah yang akan memberi keseimbangan yang lebih harmonis. Diberbagai Negara lain, kewajiban dimaknakan bagi anggota masyarakat yang memiliki berbgai kelebihan. Ditegaskan Wuryadi juga bahwa dalam konsep KHD, keseimbangan ini berlaku bagi semua orang tanpa terkecuali, dan disinilah letak kelebihan konsepnya secara nasional. Kewajiban rakyat terhdap pendidikan tidak hanya diterjemahkan sebagai kewajiban kontribusi dalam mendukung biaya pendidikan, akan tetapi secara substantif ikut menentukan pendidikan apa yang patut dikembangkan di Negara tercinta ini.
Acara seminar ini menghadirkan pembicara Jayadi K Kastari dari Redaktur SKH Kedaulatan Rakyat, Ki Sudartomo Macariyus Dosen FKIP UST, Nyi Siti Rochmiyati Prihadi Dosen UST dan Ki Samidjo, yang sedianya akan hadir tetapi berhalangan karena bertepatan dengan acara lainnya di Jakarta. Selain seminar, dalam acara ini juga dilakukan peluncuran buku tentang pemikiran KHD. Acara ini juga dihadiri oleh Rektor UST Prof. DR. Djohar MS, Wakil Rektor III UST Ki Ciptono ST M. pd, dosen karyawan UST, para guru SMA dan SMK, serta Perwakilan Mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Dalam acara ini juga, diberikan sedikit uang pembinaan kepada enam POSDAYA binaan LP3M UST dan pemberian fasilitas computer terhadap POSDAYA yang unggul dan berprestasi.
Jayadi, dalam seminar ini mencoba meneropong kepeloporan kepemimpinan KHD lewat Jurnalistiknya. Karena menurut beliau, KHD memang lebih terkenal sebagai Bapak Pendidikan, tetapi jangan lupa bahwa KHD juga seorang jurnalis handal yang di punyai bangsa Indonesia. Ini sebuah relaitas yang tak terbantahkan. Karena menurutnya justru dengan tulisannya yang bersingungan langsung dengan politik penguasa Hindia Belanda, KHD akhirnya sampai masuk penjara bahkan diasingkan di luar negeri. Jayadi mencontohkan tulisan KHD yang berjudul “Als Ikeens Nederlandes Was (Seandainya aku orang Belanda) di De Express 1913. Seperti apa yang diduga sebelumnya. Tulisan KHD itu mampu menyulut semangat perjuangan bangsa Indonesia. Justru pengaruh inilah yang menimbulkan kecaman Belanda. Sebuah harian pemerintah Belanda di Jakarta Het Bataviaasch Handelsblad menyerang artikel KHD. Artikel KHD dianggap tulisan yang asal-asalan. Bahkan koran itu menuduh KHD memaki-maki dan menghina pemerintah Hindia Belanda. Artikel itu dianggap menganggu ketentraman dan ketertiban. “Meskipun diserang balik dan semua terbitan yang memuat tulisan KHD itu disita pemerintah Hindia Belanda, tidak membuat teman-teman KHD susut dalam perjuangan. dr. Cipto Mangunkusumo malah membuat tulisan yang menyindir pemerintah Hindia Belanda dengan mengatakan bahwa penyitaan itu apakah ‘Pernyataan Kekuasaan ataukah Ketakutan”. Didalam surat itu dr. Cipto secara implisit menyatakan penyitaan itu sekadar pamer kekuasaan, suatu tindakan yang merefleksikan ketakutan. Karena pada kenyataannya, tulisan KHD menimbulkan dampak yang luas. Tetapi apakah aksi penyitaan itu menimbulkan perjuangan bangsa menjadi mandeg?. Tidak. Sejarah telah mencatat aksi penyitaan itu justru melahirkan reaksi-reaksi lebih keras.” ujar Jayadi.. Ditambahkannya pula, bakat menulis KHD memang besar karena meskipun di internir keluar negeri, KHD terus memupuk bakat seninya dan mengembangkan kesenangan menulisnya untuk memperdalam ilmu jurnalistiik dan terbukti Tiga Serangkai tidakmelupakan perjuangan di tanah air. Mereka masih aktif mengirimkan naskah ke berbagai media di Indonesia misalnya Harian Mataram, Darmo Kondo, Oetoesan Hindia, De Express, Bataviaasch Nieews Blad, Het Volkd dan lain-lain.
Dalam seminar ini, Jayadi juga mencoba menginventarisir pengalaman KHD dalam bidang jurnalistik, diantaranya, KHD pernah mendirikan sebuah biro pers. Lembaga itu bernama Het Indonesiasch Perbureau (HIP). Lembaga ini ingin mengatasi kesenjangan dan informasi yang diberikan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Dibalik itu, sebenarnya ada alasan politis yang lebih mendasar pergerakan nasional lebih konstruktif dan konsepsional. Disamping itu, KHD lebih leluasa merumuskan kegelisahan-kegelisahan bangsanya dalam bentuk perjuangan pendidikan, politik dan kebudayaan. Dan dari usaha-usahanya itu, mengabdikan jiwa dan raga untuk kepentingan bangsa dan Negara Indonesia KHD banyak mendapat kehormatan dari pemerintah dan masyarakat. Salah satunya setelah dua hari wafatnya, KHD diangkat secara anumerta sebagai Ketua Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) atas jasanya di bidang jurnalistik. ” Menurut saya, kekayaan terbesar KHD adalah pemikiran-pemikirannya lewat tulisannya di media massa. KHD dikenang karena pemikirannya yang sangat futuristic, melewati zamannya. Rawe-rawe rantas malang-malang putung. Setahu saya, KHD merupakan wartwan Indonesia pertama yang kena delik pers. Hal ini terjadi karena November 1920, KHD dituduh menghina Sri Baginda Ratu Wilhelmina, menghina Badan Pengadilan, menghina Pangreh Praja dan menghasut untuk merobohkan pemerintah. Konsekwensinya, KHD dipenjarakan di Pekalongan. Seusai keluar dari penjara, tidak beberapa lama masuk lagi karena delik pidato. Ia dijatuhi hukuman selama 3 bulan. Mula-mula ditempatkan di penjara Mlaten Semarang, kemudian di pindahkan di Pekalongan. Jadi, apa yang telah dilakukan KHD dalam dunia jurnalistik, kini telah menjadi teks masa lalu, teks sejarah. Bagi kita sekarang ini, bagaimana teks sejarah manjadi konteks masa kini dan konteks masa depan. Maka ada baiknya keterampilan jurnalistik diberikan kepada Dewantara Muda dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Soalnya konskwensinya adalah intelektual.” Ungkap Jayadi mengakhiri.
Dalam akhir sambutannya juga, Wuryadi mengatakan bahwa, sudah menjadi tugas pokok Perguruan Tamansiswa untuk selalu dan tidak pernah berhenti untuk mengkaji dan menyebarkan kebenaran yang terkandung dalam berbagai konsep dan pemikiran KHD dalam bidang pendidikan dan kebudayan. Dan acara ini hendaknya tidak sekadar menjadi bagian ritual dari suatu upacara yang akan berhenti pemaknaannya, manakala upacara itu telah selesai. “ Kajian untuk memperoleh nilai-nilai kebenaran konsep dan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tidak akan selesai dengan pemahaman tekstual tanpa uji implementatif dalam kancah praksis pendidikan di lapangan, dalam keluarga, sekolah dan masyarakat (tri pusat pendidikan) “ katanya.

Melki AS
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template