Pages

MENCARI PANCASILA ….. ???


“ Sekarang banyaknya prinsip; Kebangsaan, Internasionalisme, Mufakat, Kesejahteraan dan Ketuhanan. Lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa- namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi “
( Pidato Ir. Soekarno, 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI)

Tidak berselang lama lagi bangsa kita akan memperingati 65 tahun kemerdekaannya. Tentunya bukan usia yang muda bagi bangsa ini dalam meniti kehidupannya sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Setelah perjuangan yang berabad-abad lamanya, tepat tanggal 17 Agustus 1945, oleh Soekarno dan Hatta, perjuangan itu terkristalkan dalam sebuah proklamir kemerdekaan. Sebelumnya, disaat Jepang hampir kalah dalam perang pasifik, kemudian berusaha membentuk panitia yang dinamakan BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dan tepat pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan pidato dan gagasan-gagasannya tentang dasar-dasar negara Indonesia merdeka. Dan dari pidato tersebut akhirnya lahirlah dasar negera yang kemudian kita kenal dengan Pancasila. Demikianlah, kemudian Pancasila setelah selesai dirumuskan, kemudian dicantumkan di dalam mukadimah dan disahkan sebagai dasar negara, ideologi dan pandangan hidup didalam berbangsa dan bernegara tanggal 18 Juni 1945. Makanya sampai hari ini pun setiap tanggal 1 Juni kita selalu memperingatinya sebagai hari lahirnya Pancasila.
Peringatan hari lahir Pancasila sekarang ini seharusnya bisa bersifat lebih menjiwai dan mendalam. Karena ini merupakan tonggak awal bagi segenap masyarakat yang hidup dan mencari penghidupan didalamnya untuk menentukan sendiri nasibnya, menentukan arah bangsa yang dicintainya. Tidak lalu dengan ceremonial kosong belaka atau lomba-lomba yang hampir tidak bermakna bagi pesertanya. Seharusnya peringatan kali ini ditandai dengan suatu bukti konkrit pengamalannya.

• Mencari Pancasila Dalam Pendidikan
Mempelajari Pancasila, hukumnya wajib bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi tidak ada kewajiban untuk mengkultuskannya. Karena ketika Pancasila tidak cukup mampu menjawab permasalahan yang ada, maka berhak Pancasila untuk kemudian di urai kembali dasar dan makna yang terkandung didalamnya. Pancasila seharusnya tidak bersifat kaku dan dangkal. Tapi justru harus luwes dan gemulai. Pengajaran Pancasila di sekolah seharusnya bukan lagi pada tataran hari lahirnya saja. Tapi lebih kepada esensinya dan percontohan yang nyata yang dicontohkan guru kepada muridnya dan yang dilakukan guru dan muridnya terhadap kehidupan sosial tempatnya berada. Dengan langsung menyentuh pada substansi permasalahan bangsa, maka Pancasila dapat dipahami dan dijabarkan sesuai dengan arahnya. Kegagalan pendidikan dalam pengajaran Pancasila adalah tidak adanya keseriusan dari guru dan dosen untuk mendalaminya. Pola pendidikan yang terlampau dikotomis, menjadikan pengajaran Pancasila bak cinta bertepuk sebelah tangan. Disatu sisi dibutuhkan tapi disisi lainnya diacuhkan.
Sudah seharusnya mulai sekarang praktek pengajaran Pancasila diubah agar mengena pada tujuannya. Tidak hanya sebatas hapalan semata, tapi praktek pengamalannya secara langsung. Karena mempelajari Pancasila sama halnya dengan membangun karakter peserta didik yang diharapkan mampu menjadi manusia yang merdeka. Nah bisa kita bayangkan seandainya didalam pengajaran Pancasila, konsep kemerdekaannya diabaikan begitu saja, maka peserta didik pun tak akan percaya dengan harapan yang di tawarkan Pancasila. Sudah seharusnya pengajaran Pancasila harus kena dengan pola pengenalan dan pengamalan tentang nilai dan sikapnya (afektif).

• Mencari Pancasila dalam KePeranannya Pemuda
Seiring berjalannya kehidupan merdeka di negeri ini, Pancasila ternyata belum mampu tergali lebih dalam terutama mengenai cara penjabaran dan pengamalannya didalam laku kehidupan masyarakat dan bangsa. Pancasila masih dimaknai dengan simbolisasi kata dan gambar-gambarnya saja. Pancasila masih bersifat pajangan dan komersialisasi bangsa didalam percaturan global negara-negara dunia. Artinya, Pancasila butuh person yang bisa menjabarkannya secara lebih baik dan bermakna. Sebutlah salah satunya ialah pemuda.
Sebagai tonggak sejarah, pemuda dituntut untuk lebih berperan aktif dalam pembacaan dan pembudayaan Pancasila. Dari masifitas pembacaan Pancasila ini kemudian, bangsa akan menuai benih yang akan mampu menjembatani dari setiap persoalan baik internal maupun eksternal. Tidak bisa kita pungkiri bahwa peranan pemuda dalam mengawal negeri ini sangatlah besar. Sebut saja Soekarno, Hatta, Syahrir, dan lain-lainnya yang telah berjuang mati-matian untuk kemerdekaan negerinya. Ataupun perjuangan pemuda seperti Soe Hok Gie, Hariman Siregar dan lainnya juga yang telah mempu membuat terobosan baru bagi bangsa Indonesia ini. Artinya pemuda menempati semua lini dalam upaya kemajuan bangsa. Meskipun sekarang masih ada gonjang-ganjing tentang siapa penggagas Pancasila yang sebenarnya, setidaknya pemuda telah berperan besar dalam perlawanan dan perjuangannya sehingga bangsa ini bisa merdeka.
Dalam sejarah modern Indonesia, perlawanan pemuda sejak zaman Hindia Belanda (kolonial) ataupun pra sampai pada pasca kemerdekaan, peran pemuda layak dicatat sebagai pikiran pada basis tindakan. Karena secara terminologis, disetiap pergolakan dan perlawanannya, pemuda menjadi bagian penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bumi pertiwi. Pemuda dalam kebermaknaannya tidak semata-mata terminologis, namun ia adalah jiwa-rakyat. Secara epistemologis pemuda bertanggung jawab untuk melakukan praktek penyadaran kepada rakyat. Secara idiologis pemuda adalah tenaga-tenaga perubahan dunia. Pemuda adalah pikiran bertindak yang di dalamnya terdapat gagasan-gagasan revolusioner yang penuh dengan harapan.
Namun saat ini, pemuda terjebak pada krisis identitas yang rumit. Pemuda yang diharapkan sebagai garda perubahan, terlena pada persoalan pragmatis dan ketidakjelasan jatidiri. Bahkan cenderung larut dalam pertarungan politik yang tidak jelas dan tidak menentu. Sehingga dari itu timbulah pendangkalan makna yang merata, terutama makna keberpancasilaannya. Mudahnya pemuda tersulut tindakan yang anarkistis adalah ironi di tengah proses penuaan bangsa yang terkenal dengan demokrasinya. Seharusnya semakin tua demokratisasi bangsa, semakin menjadikan bangsa ini matang dalam membudayakan Pancasila untuk kemaslahatan orang banyak. Lihat contoh kasus kerusuhan di Mojokerto. Ini adalah sebuah bukti konkrit seberapa gampangan pemuda terjebak dalam pusaran politis yang destruktif. Pemuda kehilangan makna Pancasila sebagai batasan kebebasan sehingga tak memperdulikan lagi siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.
Tidak hanya itu, ketidakmampuan pemuda dalam pembacaan kritis terhadap situasi global, nasional dan lokal, dalam merumuskan setiap gerakan yang akan diambil, menjadikan bangsa ini semakin terpuruk, tidak berdaya dan tenggelam dalam pusaran budaya internasional yang liar. Padahal seharusnya dari keragaman suku, adat, ras, agama dan bahasa yang ada di Indonesia ini, bisa dibangkitkan menjadi satu kekuatan budaya nasional yang bisa mengantisipasi masuknya budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Tapi lagi-lagi pemuda gagal mengantisipasinya, sehingga akhirnya bertekuk lutut terhadap relasi sosial dunia internasional yang menyulap masyarakatnya menjadi konsumen sejati.
Disisi lain, peran Negara pun seolah tidak berarti dan selalu dapat ditundukan oleh kekuatan-kekuatan internasional yang semakin kapital dan liberal. Masyarakat dihadapkan pada paradigma bahwa budaya luar yang membonceng nilai-nilai kapital dan liberal itu teramat bagus, sementara budaya nasional dengan nilai luhurnya yang berazazkan gotong royong, kekeluargaan, serta musyawarah dan mufakat seolah sudah tidak berarti apa-apa lagi. Masyarakat dicitrakan dengan apa yang disaksikan lewat televisi, iklan dan tayangan yang konsumeristik. Sehingga ketika sedikit saja ada cela untuk masuk, maka akan sangat berpotensi sekali menggeser budaya nasional (budaya akar) menjadi budaya popular (post-modernisme). Mewabahnya post-modernisme ini pada akhirnya membelenggu manusia dalam konteks pemenuhan hasrat yang baru dan kekinian. Sehingga pada akhirnya tergilas oleh putaran waktu yang semakin tidak jelas. Jameson (1999) mengatakan masyarakat konsumer dikendalikan oleh hasrat pemujaan gaya hidup dan penampilan diri. Oleh karena itulah orang tidak perduli apakah hidup hanya sekali, yang penting bagaimana bisa tampil modis dan trendy. Inilah ciri dari post modernisme yang selalu menempatkan teknologi sebagai dewa dari segala kemajuan. Jadi kreativitas budaya yang diharapkan lebih meng-Indonesia, akan melompat menjadi budaya yang secara tidak langsung mengkapitalisasikan dan meliberaliskan seperti impian dunia internasional.
Pergeseran dan lompatan budaya ini sesungguhnya adalah ancaman terhadap keberlangsungan budaya nasional mengingat bahwa pencitraan yang dilakukan internasional dengan kemajuan teknologinya, ternyata masih menyisahkan banyak persoalan. Dan ketika masyarakat berhasil dimabukan dengan segenap harapan hampa, maka bukan tak mungkin bangsa ini akan tenggelam dalam ketidakpastian dan campur aduknya kepentingan yang bias. Sehingga kemudian tak salah ketika Anthony Giddens dalam bukunya “Dunia Yang Berlari“ mengatakan bahwa tanpa ada regulasi yang jelas, maka umat manusia bisa mati oleh keserakahan beberapa orang saja.
Kini, sejak bergulirnya era reformasi 12 tahun yang lalu, kekakuan kita dalam membaca Pancasila sebagai dasar negara masih saja terbentur pada realistas pemaknaan yang tidak jelas arahnya. Berdaulat di bidang politik, seperti amanah Soekarno dalam Trisakti yang di gaungkannya, masih terbilang belum mampu di realisasikan oleh aparatur negeri ini. Reformasi akhirnya hanya menjadi kertas minyak terbakar yang terbang di udara; melayang kesana kesini tapi pada akhirnya lebur menyisahkan debu hitam bagi kehidupan negeri. Reformasi yang di agungkan hanya menjadi pesta pergantian rezim otoritarian orde baru tanpa adanya persiapan matang untuk membenahi keadaan agar lebih baik dari sebelumnya. Justru setelah reformasi bahkan dengan telah dilakukannya pemilihan kepala negara secara langsung, bangsa ini masih menyisahkan persoalan-persoalan pelik nan klasik seperti kemiskinan yang tidak berkurang (bahkan bertambah), korupsi yang masih merajalela, penggusuran yang semakin menjadi-jadi, deskriminasi dalam segala bidang dan lain-lainnya. Bahkan lebih daripada itu, timbul beberapa golongan reformis yang ingin menyulap dan memodifikasi Pancasila sedemikian rupa. Sebutlah contohnya pasal 33 ayat 3 tentang bumi, air dan kekayaan alam lainnya yang coba ingin dihapuskan. Bisa dibayangkan bila pasal itu sempat hilang dari konstitusi kita, maka seluruh kekayaan negeri akan di kuasi dan digunakan hanya untuk kepentingan asing. Inilah artinya sebuah tindakan yang bertentangan dengan amanah konstitusi. Sebuah penghianatan karena seharusnya semua kekayaan negeri ini sebisa mungkin hanya untuk dipergunakan bagi kemakmuran dan kesejahteran seluruh rakyatnya. Tapi apa nyana, reformis-reformis gadungan tersebut masih bisa bersembunyi dengan leluasa di balik ketiak kekuasaan meskipun nyata tindakan yang dilakukannya adalah makar. Dan ini artinya tidak ada perubahan pola kepemimpinan yang spesifik dari pergantian rezim yang telah dilakukan. Karena ternyata rakyat masih menjadi bagian yang buram dari cerita sejarah yang terus bergerak ini. Foucault (1956) telah mengajari kita bahwa kuasa itu tidaklah tunggal, tidak konsentris tetapi ia mengalir dalam kapiler-kapiler kehidupan; baik oleh si patron (penguasa) maupun oleh si klien (rakyat). Artinya kita masih punya potensi besar untuk membuat suatu relasi kuasa makna menjadi bergeser memihak rakyat.
Gagalnya reformasi yang telah dilakukan selama 12 tahun terakhir ini, juga turut mengguncangkan sistem perpolitikan dalam negeri. Dimana Pancasila akhirnya termarjinalkan oleh paham lain dalam arus sistem politik yang sedang berkembang (bahkan keluar jalur/out of the track). Sehingga nilai-nilai dan pandangan hidup yang seharusnya jadi jatidiri bangsa ini tenggelam dalam cengkeraman ketidakpastian dan kekeliruan. Pemaknaan terhadap demokrasi yang diliberalkan akhirnya mencipta kebebasan yang diterjemahkan kedalam arti yang liar dan barbarian. Inilah yang pada akhirnya memicu terjadinya legalisasi dan penghalalan dari setiap tindakan yang dilakukan, tanpa memperdulikan apakah tindakan itu merugikan atau mengganggu hak-hak orang lain (biasanya alasannya HAM). Akibatnya seperti terlihat dalam konstelasi politik nasional yang makin elitis dan hanya memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya masing-masing. Dari ciri seperti ini menunjukkan kepada kita bahwa faham liberalisme telah merasuk ke dalam sistem perpolitikan nasional. Padahal, seharusnya, sistem politik ini dibangun dan diwujudkan oleh seluruh rakyat dan bangsa Indonesia dengan berazazkan dan sejalan dengan Pancasila. Tidak hanya itu, penghianatan terhadap Pancasila semakin hari semakin menjadi-jadi. Lihatlah contoh kasus di Provinsi Aceh, dimana didalam bangsa yang menganut satu faham bersama, tapi disana partai lokal masih berdiri sampai sekarang. Kenapa ini bertentangan dan penulis anggap suatu bentuk penghianatan…?? Karena ketika kita mensepakati bahwa suatu sistem politik harus mampu mengakomodir seluruh bangsa Indonesia secara keseluruhan, maka sudah seharusnya tidak ada yang namanya partai lokal. Partai pun harus menjadi satu kesatuan yang sifatnya menasional. Adanya partai lokal justru dapat menumbuhkembangkan potensi perpecahan dan disintegrasi bangsa. Partai lokal merupakan suatu sinyalemen adanya pengikisan terhadap rasa dan semangat nasionalisme yang telah dibangun para pendiri republik ini. Karena nasionalisme yang ada di Indonesia adalah nasionalisme yang mencakup keseluruhan negeri ini dari sabang sampai merauke. “ Ia boekan nasionalisme jang timboel dari kesombongan belaka; ia adalah nasionalisme jang lebar, ia adalah nasionalisme jang timboel daripada pengetahoean atas soesoenan doenia dan riwajat; ia boekanlah ‘jingo-nasionalism’ ataoe chaoevinism, dan boekanlah soeatu copie atau tiroean daripada nasionalisme barat. Nasionalisme kita adalah soeatu nasionalisme, jang menerima rasa hidoepnya sebagai soeatu wahjoe, dan mandjalankan rasa hidoepnja itu sebagai soewaktoe bhakti….Nasionalisme kita ialah nasionalisme ke-Timoer-an, dan sekali-kali boekanlah nasionalisme ke-Barat-an, jang … adalah ‘soeatoe nasionalisme jang menjerang-njerang, soeatoe nasionalisme jang mengedjar sendiri, soeatoe nasionalisme perdagangan jang oentoeng atau roegi’ ….. Nasionalisme kita adalah nasionalisme jang memboeat kita mendjadi ‘Perkakasnja Tuhan’. Nasionalisme kita mendjadi ‘hidoep dalam Roch’ (Soekarno; Di Bawah Bendera Revolusi, 1959).
Dari pembacaan singkat ini, dalam kondisi yang masih serba tidak pasti, memang kita harus melakukan pembacan yang lebih kritis lagi. Pembacaan yang kritis akan menggiring kita pada pemahaman dan pengertian tentang Pancasila yang sesungguhnya. Karena berkaca dari banyaknya persoalan, maka tidak ada teori yang dimitoskan selain dengan mendalami azaz dan pandangan hidupnya. Karena Pancasila adalah pandangan hidup yang seharusnya mampu menjawab tantangan zaman dan menjadi filter bagi masuknya budaya dan nilai-nilai liar yang bertentangan dengan kepribadian bangsa ini. Maka dari itu, kejelasannya penting sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan kebangsaan (nasionalisme) serta mencari solusi dari permasalahan tersebut. Akhirnya, tidak ada kemajuan yang bisa diraih kalau kita tidak mencari dan mempelajarinya kembali serta mengamalkannya Pancasila kedalam kehidupan nyata. Karena tanpa suatu pandangan hidup yang jelas, maka bangsa ini akan selamanya terombang ambing dalam ketidakpastian yang rapuh. Nah, pertanyaannya; sudahkah kita menemukan Pancasila itu..??


Melki AS
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template