Pages

ANOMALI PENDIDIKAN


Anomali. Barangkali begitulah tepatnya menyebut ketidaknormalan sistem dan proses dalam dunia pendidikan kita. Karena, belum lekang diingatan kita tentang seorang murid –Yondi Handitya- yang mengadukan sekolahnya ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Yogyakarta terkait kelulusannya yang dianulir secara sepihak (terlepas dari tepat atau tidaknya keputusan tersebut, setidaknya menggambarkan bahwa belum ada regulasi yang jelas terhadap sistem dan pelaksanaan pendidikan di negeri ini). Ada juga kasus serupa yang memperlihatkan kenyataan bahwa akses pendidikan di negeri ini sebenarnya memang mahal. Sampai-sampai orang tua si murid harus menjual satu-satunya alat penyambung hidup keluarganya; Becak, hanya untuk membayar tunggakan iuran sekolah anaknya yang bersekolah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Rembang, Jawa Tengah. Semula anaknya tidak boleh mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah tersebut pada hari pertama tahun ajaran 2010-2011 karena masih menunggak iuran sebesar Rp 865.000. Tapi sekarang sudah diperbolehkan dengan catatan tetap harus melunasinya dan tidak mengulangi hal serupa itu lagi. “Sampai tahun ajaran baru ini saja, saya baru mampu mengangsur Rp 400.000 dari kewajiban membayar iuran sekolah sebesar Rp 1.265.000 tahun ajaran lalu” (seperti dikutip dari Metrotvnews.com; Senin 12 Juli 2010).

Ini sangat menggelikan sekaligus mengkhawatirkan, karena sangat jelas bahwa niatan pemerintah dalam kampanye ‘sekolah gratis’ nya benar-benar hanyalah sebuah bualan kosong dan bodoh. Terlihat jelas realitanya dari kasus tersebut yang mana pihak sekolah sebagai perpanjangan tangan pemerintah bukannya memberikan keringanan dengan membebaskan murid yang tidak mampu, malah tetap menekankan untuk ‘melunasinya dan berharap tidak akan diulangi lagi (penundaan pembayaran iuran oleh murid tersebut-Pen)’. Padahal untuk makan besok saja keluarga tersebut sudah bingung. Karena becak yang menjadi sumber utama pencahariannya sudah terpaksa di jual untuk melunasi tunggakan iuran sekolah tersebut.
Kini, kita mendengar lagi kasus yang lebih mengerikan. Bahkan lebih dahsyat dari dua contoh sebelumnya. Yaitu Muhamad Basir, anak berusia 11 tahun, bunuh diri dengan cara mengantung dirinya sendiri karena keinginan untuk bersekolah tak diwujudkan orang tuanya karena ketiadaan biaya (Metrotvnews.com; Kamis 15 Juli 2010). Padahal pemerintah punya program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan anggaran pendidikan yang digelontorkan mencapai 20 % dari APBN untuk membantu penyelenggaraan pendidikan. Tapi ternyata semua itu tidak sesuai harapan, malah semakin memperburuk citra pendidikan itu sendiri. Ini tentunya menjawab langsung dari kampanye ‘sekolah gratis’ yang gencar di lakukan pemerintah selama ini yang ternyata memang Mustahil.

Ada alasan kenapa kampanye itu dikatakan bohong, mustahil dan sebagainya karena memang pada tataran praksisnya belum ada yang langsung menyentuh ke tingkatan akar rumput (masyarakat kecil). Berkali-kali pemerintah melakukan kampanye tentang pendidikan agar lebih baik, berkali-kali pula pemerintah dengan sengaja mengingkarinya. Belum berselang lama, kita masih ingat dengan iklan sekolah murah dan sebagainya. Secara produk periklanan yang di tayangkan terus menerus dilayar kaca, memang iklan itu menyentuh. Digambarkan bahwasannya pendidikan mampu menjamin anak seorang loper koran bisa menjadi orang besar. Tak ketinggalan adegan yang diselingi dengan suasana yang berlandaskan kehidupan masyarakat kecil, dengan mengambil setting masyarakat yang notabene adalah orang-orang pekerja serabutan, kembali pemerintah menawarkan pendidikan murah berkualitas dan terjamin. Lihat saja adegan yang membawa ornamen angkot kemudian terjadi penawaran bahwa anak seorang supir angkot bisa jadi pilot. Nah apakah ini bukan sebuah pembodohan publik. Bagaimana caranya kalau kita lihat keadaan sekarang bahwa masuk sekolah saja teramat susah, belum lagi untuk membayar biaya ini dan itu. Artinya kalau merujuk pada iklan tersebut, adalah barang mustahil kalau ada anak seorang supir angkot bisa menjadi pilot. Bahkan logika yang memungkinkan adalah anak seorang supir angkot kemungkinan hanya menjadi kernet angkot. Kenapa bisa begitu? Ya karena memang dasarnya untuk bisa sekolah, harus mempunyai uang yang besar. Apalagi sekolah yang menjurus kedalam keahlian skill yang benar-benar spesifik seperti pilot, dokter dan sebagainya. Jadi kalau orang kecil yang penghasilannya tidak menentu, maka jangan berharap untuk berkesempatan mendapat jaminan dalam pendidikan, pendidikan berkualitas dan sebagainya. Karena semua itu tak akan pernah bisa dilakukan selagi pemerintah masih tutup mata dan telinga dari realitas disekitarnya (bahwa masyarakat banyak yang miskin dan belum seluruhnya dapat mengakses pendidikan). Apalagi semenjak pemerintah menyetujui dan tidak cermat terhadap masuknya unsur kapitalistik dalam pendidikan. Harapan untuk semakin memajukan bangsa pasti dan tentu tidak akan pernah tercapai. Karena tujuan dasar pendidikan sengaja di belokkan dengan lebih menekankan pendidikan sebagai investasi bisnis semata, bukan investasi insani. Inilah yang akhirnya menjadikan pendidikan tak ubahnya seperti panggung komedian; asal senang, bisa ketawa, mampu bayar, maka kualitas adalah nomer ke sekian (kalau tidak mau dikatakan tak dibutuhkan). Jadi kalau sekarang generasi kini adalah yang terlahir dari kelas menegah kebawah, maka jangan harap bisa menebus cita-cita yang diinginkan.

Keterpasungan dan bahkan pembodohan dalam pendidikan sekarang ini merupakan strategi yang sengaja diinginkan konglomerat hitam para kapitalis pendidikan. Mengingat bahwa perang bukanlah jalan untuk menundukan suatu bangsa, maka dengan menyerang sistem nya secara langsung, maka usaha itu dirasai lebih tepat. Makanya sebisa mungkin alat pencerdasan masyarakat direbut, dilumpuhkan kemudian ideologinya di kuasai dan serta merta sebisa mungkin di belokkan sesuai kehendak sang penggerak. Termasuk sistem pendidikan kita. Bermula dari undang-undang nomer 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas) pasal 50 ayat 3 yang menyatakan bahwa ‘Pemerintah atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional’. Akhirnya, inilah hasilnya yang kemudian lahir sekolah dengan embel-embel Rancangan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) atau Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Anehnya, kelahiran RSBI/SBI yang jelas-jelas adalah komersialisasi dunia pendidikan ini, disambut dan digadang-gadangkan oleh pemerintah dan guru secara bersama-sama dengan memberikan harapan seolah-olah inilah sekolah yang paling hebat dan paling berkualitas. Dengan iming-iming pengetahuan berbahasa inggris dan komputerisasi yang seolah-olah mampu menundukan dunia global sehingga mengecilkan arti pengetahuan lainnya. Penekanan terhadap pengetahuan berbahasa inggris dan komputerisasi saja tentulah bukan semata harapan. Memang itu menjadi tuntutan internasional untuk menjalin komunikasi yang lebih mengglobal, tetapi tanpa pengetahuan lainnya yang bersifat kebangsaan, maka bukan tidak mungkin juga menjadi sumber kehancuran bangsa. Kita bisa lihat bagaimana faktanya bahwa rasa kebangsaan dengan mudah diobok-obok dan disintegrasi menyeruak bak cendawan yang tumbuh dimusim hujan. Ini semua adalah buah dari pendidikan yang memang meminggirkan arti kebangsaan demi mengejar internasionalisasinya. Jadi, dunia barat seolah adalah kiblat yang harus di turuti tanpa bisa dibantah sedikitpun, malahan sebisa mungkin untuk dilakukan (model pengkapitalan tersebut) ke dalam semua lini pendidikan di negeri ini. Padahal, mereka lupa bahwa kenyataan dilapangan mengatakan bahwa pendidikan semakin susah untuk diakses. Diperparah lagi dengan mengkapitalkan pendidikan, seolah memang sengaja akses itu dibatasi hanya untuk kalangan tertentu saja. Sementara yang tidak mampu hanruslah menyingkir dan menonton serta menerima saja kebodohan dan pembodohan tersebut. Menurut Departemen Pendidikan Nasional, terdapat angka 12,88 juta jiwa atau sekitar 8,07 % dari penduduk Indonesia yang masih buta huruf (ini belum termasuk yang tidak terdata). Di Papua, tahun 2005, jumlah buta aksara mencapai 552.000. Per 2009 angka tersebut berkurang menjadi 230.000. Penduduk buta aksara di Papua masih tertinggi secara nasional yaitu 16,50 %. Jika dilihat dari jumlah anak tingkat putus sekolah di Papua yang dapat direkam oleh kantor Komnas Perlindungan Anak pada tahun 2007 adalah 11,7 juta jiwa (naik 20,6 %dari tahun 2006). Kasus putus sekolah ini paling tinggi menimpa pada anak tingkat SMP yaitu 48 %, SD 23 % dan SMA 29 %. Jika diakumulasi, maka angkanya mencapai 77 % (www.tabloidjubi.com). Tidak hanya itu, partisipasi usia kuliah di Indonesia juga rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga. Ini bisa kita lihat dari tingkatan partisipasi pendidikan tinggi per 2008, hanya baru mencapai 17,26 % saja. Ini angka yang lebih rendah bila diperbangdingkan dengan Filipina yang sudah mencapai mencapai 28 % atau Malaysia yang sudah mencapai 40 %. Artinya, persoalannya bahwa banyak anak negeri ini yang berasal dari keluarga yang hidupnya bersandar pada hasil pertanian, para kaum miskin dan lain sebagainya tertolak untuk masuk ke sekolah atau perguruan tinggi karena ketidakmampuan biaya. Yang akhirnya, pada kesempatan usia matangnya menimba ilmu pengetahuan, tersia-sia kan dengan terpaksa masuk kedalam pasar tenaga kerja murah, atau masuk kei industri-industri yang ber-upah rendah. Jumlah anak putus sekolah seperti ini, baik dari jenjang SD sampai Perguruan Tinggi ini, berkorelasi positif dengan kemiskinan warganya (Dewi Kusumawardani S.E, S.Psi; makalah Partisipasi Masyarakat Dalam Pemerataan Pendidikan 2009). Itu belum menghitung angka cacah dari pendidikan layak yang membutuhkan penangan khusus. Data resmi Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) pada tahun 2007 menyebutkan jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mengikuti pendidikan formal baru mencapai 24,7 % atau sekitar 78,689 anak dari populasi anak. Ini berarti masih terdapat 65,3 % yang terabaikan hak pendidikannya. Angka tersebut masih bisa jauh lebih besar mengingat kecilnya angka prevalensi yang digunakan yaitu 0,7 % dari populasi penduduk serta masih buruknya sistem pendataan.

Mungkin dari situasi ini, kita perlu berkaca ulang pada dasar dan prinsip-prinsip diadakannya pendidikan. Moh. Said Reksohardiprojo dalam Majalah Pusara vol. 4 tahun 1978 melukiskan bahwa tugas pendidikan itu hendaknya mengusahakan agar manusia dapat mewujudkan makna eksistensinya sebagai manusia di dunia ini, secara merdeka lahir dan batin. Eksistensi atau adanya manusia di dunia ini adalah selaku satu-satunya makhluk tuhan yang berbudi. Dan karena budi ini, manusia menyadari dirinya sebagai pribadi, sebagai warga masyarakat dan sebagai penghuni alam semesta. Budi beraspek tritunggal cipta-rasa-karsa yang menyebabkan kita memiliki daya pikir, perasaan dan kehendak, dan yang memungkinkan kita menghayati kenyataan hidup secara logika, etika, estetika dan religi, yakni masing-masing menurut nilai-nilai kebenaran, keadilan, keindahan dan kemutlakan. Nah, seharusnya dari sini dapat ditarik apa yang diinginkan pendidikan pada dasarnya yaitu mendorong untuk melakukan pelbagai kebaikan-kebaikan antar sesama, bangsa dan isi alam semesta. Mengusahakan kebaikan inilah makna dari eksistensi manusia di dunia ini sesuai dengan semboyan; Mamayu Hayuning Salira, Mamayu Hayuning Bangsa, Mamayu Hayuning Manungsa, Mamayu Hayuning Bawana. Tentunya ini dapat terlaksana bila pendidikan tetap berada di jalur sesungguhnya yang tetap memanusiakan manusia secara kolektif, bukan individual seperti yang di tawarkan kapitalisme. Karena jargon kapitalisme sendiri lebih mengunggulkan kepandaian sendiri dan kualitas sendiri-sendiri sehingga memang terjadi di tingkatan murid bahwa ada perbedaan antara yang pintar dan kurang pintar. Biasanya guru mengatakan bahwa antara murid satu dengan lainnya, baik pintar maupun kurang pintar, semua sama halnya dalam mendapat perhatian demi kemajuan pendidikan. Tetapi justru yang terjadi adalah hanya si pintar saja yang biasanya mendapat perhatian lebih dan selalu di picu kualitasnya, sementara yang kurang pintar seringkali terabaikan dan hampir jarang di pacu semangatnya untuk meningkatkan kualitas. Inilah realitanya bahwa pendidikan memang masih jauh dari prinsipnya, mencerdaskan kehidupan bangsa yang kolektif. Lihatlah contohnya tiap kali hasil ujian akhir di umumkan. Biasanya murid yang mendapat hasil bagus dan memuaskan, pemerintah dengan sigap langsung memberikan perhatian kepada murid tersebut. Ini bisa kita lihat bagaimana pak SBY ketika hasil UAN diumumkan, beliau langsung menelpon murid yang di katakan pandai tersebut. Padahal, disela kegembiraan itu, ada murid yang bunuh diri karena tidak lulus. Nah, berdasar akal sehat, seharusnya mana dari dua hal ini yang patut dan penting kiranya mendapat perhatian khusus..?? (bukan berarti disini mendiskreditkan bahwa yang pintar tidak berhak mendapat perhatian. Yang pintar bahkan berhak diapresiasi. Tapi yang kurang pintar tetap berhak juga mendapat perhatian yang sama. Bahkan kalau boleh, justru yang kurang pintar harus mendapat perhatian yang khusus agar bisa menunjang kemampuan maupun kualitas belajarnya.)

Lebih jauh dari itu semua, seperti yang pernah di tuliskan dalam ‘mencari jawab masalah pendidikan’ kita tidak bisa memungkiri bahwa adanya korelasi antara pendidikan dengan kebudayaan. Sederhananya, dalam factum sejarah, kita bisa melihat pandangan pokok Ki Hadjar Dewantara ketika mendirikan National Onderwijs Institute Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa; ‘Membangun kebudayaan kita dengan menaburkan benih kemerdekaan dalam hati rakyat, dengan alat yang berupa sistem pendidikan yang bersifat nasional’. Penekanan terhadap ‘pendidikan yang bersifat nasional’ bisa kita maknai dengan pendidikan yang juga sifatnya berkebangsaan. Artinya, kebudaayaan sebagai hasil olah cipta manusia, haruslah sesuai dengan segenap aspek yang ada di dalam negeri tersebut berada. Makanya menjadi tugas berat sebenarnya bagi pendidikan untuk melanjutkan cita-cita tersebut. Apalagi setelah apa yang terjadi dewasa ini. Ketika budaya yang tercipta pun mengekor dengan kapitalistik dunia internasional. Dan tantangan dunia global terus menuntut kompetisi dalam mencipta budaya-budaya modern, sehingga model konvensional teramat sering dikatakan kolot dan mesti diganti polanya agar berkesinambungan dengan pembangunan. Meskipun konsekwensinya meminggirkan nilai-nilai berkebangsan tersebut. Jadilah sekarang seperti apa yang kita lihat dari pendidikan yang berlomba-lomba melabelkan internasionalisasi dalam tubuhnya. Seharusnya ada hal yang memang harus di ganti dan ada hal yang cukup di modifikasi saja. Tetapi karena kalau tidak di ganti, maka dibilang kurang keren, maka jadilah banyak hal-hal dalam pendidikan yang telah berganti seutuhnya. Bahkan dihilangkan seperti pelajaran budi pekerti, pelajaran moral berkebangsaan dalam pendidikan pancasila dan sebagainya. Padahal dua pelajaran yang hilang tersebut sangat penting artinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam kehidupan diri pribadi, maupun didalam kehidupan bermasyarakat yang plural.

Inilah anomali tersebut, bahwa ketidaknormalan sistem pendidikan membawa dampak pada seluruh komponen bernegara. Karena terlampau mengekor dengan dunia internasional, justru malah sebaliknya, bukan mutu berkualitas yang dihasilkan, tetapi kemunduran dan tersekat-sekatnya pendidikan yang sama persis seperti kembali dizaman feodal dan kolonial dimana pendidikan hanya milik golongan terntu saja. Bahkan seperti memang ada batasannya terhadap rakyat kecil dan miskin dalam hal pengaksesannya. Ini juga bisa kita perkiraan terhadap cacah jiwa yang tergolong berpendapatan menengah kebawah, hanya 40 % saja yang mampu merambah sekolah SBI. Selebihnya memang tak bisa di rambah karena kemiskinan yang tak kunjung berakhir. Itu masih mending karena pada sesungguhnya tak bisa kita lepaskan bahwa, angka buta huruf di negeri ini ternyata masih tinggi.

Nah sangat naif sekali jikalau pemerintah masih saja memaksakan atau patuh pada doktrin pasar sehingga menghapuskan berbagai subsidi-subsidi termasuk subsidi pendidikan. Karena justru dengan dihapuskannya subsidi pendidikan tersebut, sama halnya dengan menswastakan (mengkomersilkan) pendidikan. Pengkomersilan pendidikan tersebut sama halnya dengan pengkerdilan nilai-nilai dan arti pendidikan itu sendiri. Seharusnya pemerintah bertanggung jawab dengan tetap melindungi pendidikan dari serbuan sekolah-sekolah asing yang menyerbu masuk kedalam negeri yang tujuannya hanya untuk mengakumulasi keuntungan dari 238 juta jiwa penduduk Indonesia. Kebijakan tentang sekolah bertaraf internasional kiranya perlu di koreksi ulang agar bisa menyesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan di dalam negeri. Karena kalau tidak, bisa saja seperti yang dikhawatirkan Sulaiman Mappiasse, Mahasiswa PhD di Hawaii University USA, bahwa SBI malahan bisa menjadi praktek kelas (sekat per sekat) dalam politik ekonomi (bisnis) pendidikan sehingga semakin sulit untuk dipahami (Sulaiman Mappiasse, Lc., M. Ed; SBI Sebagai Praktek Kelas Dalam Sistem Global via www.blogpendidikan.subekti.com).

Tidak hanya itu, kita juga perlu membongkar ulang peran negara dalam hubungannya dengan modal internasional. Karena, yang terjadi sekarang kebanyakan kebijakan pendidikan dilegalisasikan bukan berdasar pada realitas kebutuhan rakyat. Kebijakan pendidikan justru terjadi dengan bersubstansikan terjadinya liberalisasi pendidikan. Sekiranya banyak contoh yang bisa kita temukan seperti menjamurnya institusi-institusi luar negeri yang orientasinya menjurus kedalam sistem yang kapitalistik. Ini jelas sekali menunjukan bahwa pemerintah berpihak kepada kepentingan pasar. Perputaran modal dan model pendidikan tidak lepas dari agenda kepentingan Kapitalisme Global, yang tujuannya adalah untuk mendesain karakter masyarakat bangsa sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Dan perlu disadari bahwa kapitalisme pendidikan tidak hanya bekerja pada ruang-ruang materi saja, tetapi juga menyusup pada ruang bawah sadar dan menutupinya dengan kenaifan. Fenomena ini dapat kita lihat bagaimana atsmosper manusia yang dihasilkan yaitu hedonis, apatis, konsumtif dan sangat individualistik. Dan bisa juga disaksikan bahwa fenomena orientasi pendidikan dimaksudkan hanya untuk menjadi tenaga administrasi saja, buruh negara dalam bingkai PNS, buruh industri yang termaginer dengan istilah karier dan masa depan yang cerah serta bangganya ketika meraih gelar kesarjanaan hingga mencapai tingkat Doktoral maupun Profesor tanpa mengerti peran dan fungsinya sebagai kaum terdidik.

Nah, kiranya perlu kita garis bawahi bahwa pendidikan sejatinya adalah alat pembebasan dari pembodohan dan ketertindasan yang akan melahirkan manusia-manusia merdeka, bertanggungjawab dan mampu membenahi persoalan dalam realitas sosial. Pendidikan sebagai pembentuk karakter anak-anak bangsa yang kemudian dapat meneruskan perjuangan dengan mengawal sejarah kejayaan bangsa. Jadi sudah seharusnyalah pendidikan lebih memperhatikan tujuan dan makna yang jelas dalam proses dan praktiknya. Dengan tidak meninggalkan rasa kebangsaan meskipun didera serbuan kekuatan luar yang destruktif. Dan jikalau pada akhirnya tidak ada jalan mulus dan mudah menuju sebuah cita-cita pendidikan yang membebaskan yang berdasar pada kebutuhan masyarakat, maka disinilah peranan kaum terdidik (intelektual organik, meminjam istilahnya Antonio Gramsci) untuk mendorong negara yang revolusioner dan menyumbangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan realitas sosial masyarakat dan dengan tetap mempertahankan ciri dan ke khas-an pendidikan kita. Jika ini terjadi, maka kasus seperti yang diungkapkan diatas bisa diminimalisir. Termasuk kasus-kasus bunuh diri oleh karena ketiadaan biaya seperti yang dilakukan Muhamad Basir dan sebagainya. Hal seperti itu tak akan penah terjadi jikalau pemerintah benar-benar meletakkan tangungjawabnya yang linier dan sejalan dengan amanah konsitusi bahwa pendidikan adalah untuk semua rakyat tanpa perbedaan golongan. Jadi sekarang, melihat dari realitas yang terjadi, kiranya tepat bagi kita untuk merenungkan kembali ‘Kesaksian’ WS Rendra bahwa; ‘banyak orang dirampas hak nya......, orang-orang harus dibangunkan.....,kenyataan harus digambarkan’. Karena kalau terabaikan, maka berpotensi terjadinya penjajahan seperti yang dilukiskan YB Mangunwijaya; ‘.....apa guna kita memiliki sekian ratus ribu alumni sekolah/kampus yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh, segeralah kaum sekolah itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan kepintaran mereka’.

Nah anomali seperti ini hanya bisa diakhiri dengan mencitrakan dan mempraktekkan ulang pendidikan yang benar-benar berasaskan kebangsaan. Bukannya iklan, tetapi kenyataan. Karena didalam jiwa berkebangsaan tersebut terdapat rasa keadilan. Keadilan yang dibutuhkan oleh seluruh rakyat untuk bisa mengenyam pendidikan dan menjadi cerdas seperti cita-cita luhur negeri ini. Artinya, tiran penindas baik yang lama maupun yang baru, baik yang dari dalam maupun yang dari luar, harus mampu kita buang jauh.


Melki Hartomi AS
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template