Pages

KAUM MUDA DAN KEBANGKITAN NASIONAL


Siapakah yang masih meragukan peran angkatan muda dalam menggerakan sejarah ? bukan saja di negeri ini, tetapi juga diberbagai belahan dunia bahkan mengambil pesan yang sangat penting dan strategis. Dalam sejarah nasional, kita juga segera dapat mengajukan bukti –bukti kongkrit peran angkatan muda baik dalam sejarah gerakan kemerdekaan nasional ataupun pada periode sebelumnya. Tentu saja setiap periode memiliki semangatnya sendiri, memiliki karakter sendiri dan bahkan memiliki cara tersendiri, dalam menyikapi situasi jaman. Tantangan bagi kita adalah bagaimana mempertahankan Api Idealisme angkatan muda, sehingga sahayanya dapat memberi terang perjalanan bangsa dalam mencapai tujuannya.

Tantangan Bangsa.
Meskipun angkatan muda memiliki kiprah tersandiri, namun penting dibuka dialog untuk memahami apa yang kini sedang menjadi tantangan bangsa. Pemahaman yang lebih utuh mengenai tantangan bangsa, tentu saja akan membantu angkatan muda dalam merumuskan sikapnya, sesuai denghan api idealismenya. Jika kita menyimak berbagai publikasi dan dialog publik, maka setidak – tidaknya ada tujuh masalah, yang kini hadir dihadapan kita sebagai masalah nasional, yakni :
Pertama, masalah ketergantungan pangan. Suka atau tidak suka, bangsa ini, masih dalam posisi bergantung pada “ kekuatan pasokan dari luar “, dan belum mampu sepenuhnya menyediakan kebutuhan pangan dalam negeri. Pemerintah telah berusaha sekuat daya, namun upaya tersebut belum sepenuhnya memberikan hasil. Akibatnya, ketika harag pangan dunia melojak, maka hal itu, segera berpengaruh pada kehidupan masyarakat, termasuk yang ada dipedesaan.
Kedua, masalah ketergantungan energi. Dahulu kita bersuka cita ketika harga minyak dunia melonjak, karena darisana kita dapat menikmati selisih harga yang besar, dan hal itu, akan berarti membesarnya peluang untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bahkan, dahulu kita bangga dengan kekayaan alam yang kita miliki sebagai zambrud khatulistiwa, sampai – sampai grup musik Koes plus, menyebut tongkat kayu jadi tanaman, ikan dan unggas mengahampiri, dst. Tetapi saat ini, kita seperti menerima kutuk.
Ketiga, masalah ketergantungan dalam IPTEK, khususnya iptek yang mendukung laju pembangunan nasional ( dan daerah ). Kita tentu saja tidak meragukan kemapuan anak – anak negeri dalam menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kemudian mengembangkannya. Namun, apa yang kini sangat kita rasakan, adalah kuatnya ketergantungan kita sebagai bangsa, baik dalam masalah ilmu maupun dalam masalah produk teknologi. Periksa saja bagaimana tingkat konsumsi kita dalam produk teknologi informasi dan komunikasi, dan bandingkan dengan kemampuan kita memproduksi.
Keempat, masalah kerentanan ekonomi nasional, dihadapan perubahan ekonomi global, setidak – tidaknya yang ditunjukan oleh sektor keuangan. Seperti diketahui bersama bahwa bangsa ini telah masuk dalam perangkap hutang ( luar negeri ) yang sangat besar, yang dapat mengurangi kemampuan negara dalam memberikan layanan publik. Kita menyadari bahwa masalah ini amat berakit dengan kuatnya paradigma pertumbuhan ekonomi, sehingga kita mengabaikan ukuran yang lebih fundamental, yakni manusia. Akibatnya, liberalisasi sektor keuangan, telah menempatkan kita semakin rentan, terutama sebagai akibat dari arus deras modal yang masuk dilantai bursa, dan bukan kesektor riil.
Kelima, masalah kerentanan dalam praktek demokrasi. Merdeka yang mengamati dan mereka yang terlibat langsung dalam praktek demokrasi, tentu saja memiliki perbedaan dalam mengungkapkan realitas yang ada. Demokrasi bukanlah persaingan bebas, dimana yang lemah dipertandingkan dengan yang lemah. Pun persaingan bebas, bukam demokrasi. Bagaimana postur demokrasi yang ideal, yang mampu mengentaskan rakyat dari kemiskinan ? barangkali kita masih membutuhkan waktu untuk berproses, sebelum nantinya mampu menemukan demokarasi yang berkarakter Indonesia.
Keenam, masalah kerentanan dalam pertahanan, khususnya berkait dengan makin meningkatnya gangguan dari kekuatan asing, baik dalam kerangka geopolitik, sengketa waliyah, sampai pada penjagaan atas kekayaan negeri, seperti kekayaan laut. Kemampuan ekonomi negara yang masih labil, membuat kita masih belum mampu membangun kekuatan pertahanan yang memadai dengan luas wilayah nusantara.
Ketujuh, masalah kerentanan budaya lokal, dihadapkan pada topan globalisasi. Kita suka atau tidak, arus deras informasi, sebagai akibat dari revolusi dalam teknologi informasi dan komunikasi, telah banyak mengubah budaya bangsa. Belum lagi penggusuran nilai – nilai lokal, terutama yang secara halus masuk melalui globalisasi kuliner, mulai dari makanan cepat saji, minuman, dan lain – lain. Kita mengahadapi tantangan yang sangat serius mengenai eksistensi nilai – nilai atau kearifan lokal, menghadapi gerusan globalisasi.

Peran Angkatan Muda.
Ketika membahas peran angkatan muda, maka peran yang paling menarik perhatian adalah dibidang “Politik”, khususnya ketika angkatan muda bergerak melakukan koreksi terhadap sebuah rezim. Kita tidak mengingkari pentingnya bidang politik, namun apa yang dilakukan oleh angkatan muda sesungguhnya sangat besar dan luas. Amat jarang kita mengangkat peran angkatan muda dibidang iptek, dibidang ekonomi, dan bidang – bidang lain, termasuk olahraga. Padahal disemua bidang, angkatan muda mengambil peran yang sangat strategis, dimana peran tersebut sesungguhnya tersimpul dalam apa yang disebut sebagai Api idealisme .
Meskipun angkatan muda terlibat dalam perubahan politik, namun tentu saja angkatan muda tidak mungkin dibebani dengan keharusan menyodorkan format yang utuh dan komprehensif. Tugas mulia angkatan muda adalah menjadi benteng moral dari politik, yang dengan demikian memaksa politik kembali jati dirinya, sehingga kalbu politk tepencar sebgai aksi kongkrit yang memberikan manfaat bagi rakyat. Seharusnyalah mereka yang mengemban amanat perubahan benar – benar menjadikan api idealisme angkatan muda sebagai pijakan dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Demikian pula perubahan dibidang lain. Api idealisme angkatan muda, menjadi pengingat sekaligus motivator, bahkan kita mampu melakukan apa yang semula dianggap mustahil untuk dicapai.
Dalam kaitan inilah angkatan muda dituntut oleh sejarah untuk terus menempa diri, mengenali secara cerdas tantangan bangsa, dan merumuskan langkah – langkah yang menggerakkan sejarah. Setiap langkah yang menggerakkan sejarah, tentu saja membutuhkan keberanian dan pengorbanan. Sejarah telah mencatat bahwa angkatan muda memiliki kemampuan, keberanian dan kesediaan untuk berkorban, demi meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Peringatan satu abad kebangkitan nasional, selayaknya menjadi ajang refleksi dari angkatan muda, untuk menetukan peran strategisnya, agar bangsa ini dapat segera mengatasi tujuh tantangan diatas, dan setelahnya bangkit menjadi bangsa dengan peradaban baru yang berlandaskan pada Pancasila. Kita percaya angkatan muda mampu menjalankan tugas sejarahnya secara gemilang.


Drs. HM Idham Samawi
Bupati Bantul DIY
Continue Reading...

Wajah Pendidikan Kita (1)


Tujuan pendidikan seperti yang termaktub didalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) ialah mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan pendidikan bangsa kita akan terhindar dari segala bentuk penindasan. Berbicara pendidikan, dewasa ini telinga kita dipenuhi dengan wacana-wacana intelektual yang semakin kontroversi. Mulai dari ujian akhir nasional (UAN), sertifikasi guru, fasilitas yang masih sangat minim, anggaran yang tidak begitu jelas realisasinya sampai Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Carut marutnya pendidikan nasional dinegara ini disebabkan oleh ketidakberesan para pengelola pendidikan di tanah air. Adanya bentuk pemaksaan standarisasi nilai para pelajar tentunya tidak egaliter dengan konsep serta realita yang ada. Sementara itu, standarisasi fasilitas terhadap penunjang pendidikan seolah diabaikan begitu saja. Masih terdapat banyaknya perbedaan fasilitas antara sekolah dikota dan didesa. Seperti yang bisa kita lihat di media massa, televise atau lainnya, masih banyak sekolah di provinsi Papua yang minim fasilitas. Tidak hanya itu, kondisi sama terjadi juga di beberapa provinsi lainnya seperti Bengkulu dan lain-lain.
Tidak hanya itu, mutu pengajar sekarang ini juga perlu dipertanyakan panjang lebar. Seorang guru yang semestinya harus menguasai kemampuan pedagogik, perlu dipertanyakan kembali. Tidak hanya sebatas formalitas semata. Seorang pendidikik tentunya harus benar-benar mengerti apa dan siapa yang dihadapi. Apalagi dalam dunia pendidikan sekarang seperti tidak ada geliat yang lebih cerah kedepan. Sedikit prestasi tidak cukup mengangkat pendidikan diindonesia menjadi semakin cemerlang. Itu karena perbedaan yang signifikan antara prestasi dan kenerosotan yang ada didalamnya. Kalau kenyataan seperti itu, maka bangsa kita akan selalu tertinggal dengan negara-negara lainnya. Data mencatat bahwa, pada era 60-an, kualitas pendidikan di Indonesia sangat kompetitip. Buktinya ialah, banyaknya guru-guru di negeri ini direkrut untuk menjadi tenaga pengajar di Malaysia. Waktu itu, pendidikan disana sangat bergantung dengan Indonesia. Tapi sekarang, kalau di comparasikan dengan malaysia, pendidikan di bangsa ini sangat tertinggal sekali. Bahkan bangsa ini tidak mengirimkan tenaga didik dan terdidik ke negeri jiran tersebut. Yang bisa dikirmkan ialah tenaga kasar (TKI-red). Kalau seperti ini, selamanya pendidikan dinegeri ini akan tertinggal. Apalagi menjadi unggulan seperti Huazhong Normal University (HNU) di Cina. HNU sendiri bukan universitas “sembarangan”; menurut SJTU dalam ‘Top 40 General and Science Universities in Cina’ (2006); berada pada ranking ke-16 dari 40 universitas terbaik di Cina. Apalagi untuk bersaing dengan Harvard University di Amerika.
Permasalahan dalam dunia pendidikan seperti ini tentunya menyeret opini publik akan kinerja pengelola pendidikan dinegeri yang multi krisis ini. Sangat wajar jika banyak kalangan menilai bahwa pendidikan tak ubahnya seperti kekuasaan yang bisa dipermainkan kapan saja dan dimana saja sehingga membuat mandul dan kurang produktif dalam membuat dan mengeluarkan ide-ide pembaharuan pendidikan yang lebih dinamis. Seperti bandul, pendidikan nasional terus terombang ambing dalam kebijakan dan praktik yang tidak jelas dari pendidikan itu sendiri. Seperti penyelenggaraan UN sebagai penentu kelulusan mempersulit upaya menjadikan sekolah sebagai pusat pembudayaan segala kemampuan, nilai dan sikap yang diperlukan bangsa. Praktik UN bertentangan dengan konsep pembelajaran learning to know, learning to do, learning to live together dan learning to be (Soedijarto, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, “ Kurikulum Nasional dan Visi Indonesia 2030, Seberapa Jauh Pendidikan Menghasilkan Lulusan Berkompeten?”) Mengutip pendapat Bedjo Sujanto (2006), gagasan-gagasan orisinal dalam pendidikan sebenarnya terus bermunculan, termasuk dalam wujud sekolah-sekolah alternatif. Akan tetapi, eksperimen tersebut tidak bisa berkembang menjadi pemikiran pendidikan karena keberadaan mereka belum diterima dengan lapang dada. Itu terbukti dari masih minimnya perhatian pemerintah daerah terhadap sekolah-sekolah alternatif. Dari pemikiran itu, dapat kita ambil kesimpulan bahwa kurangnya perhatian pemerintah baik pusat atau daerah, telah membiaskan ide pendidikan sehingga berimbas pada tingkat mutu dan outcame pendidikan di Indonesia. Ditambah dengan masih ngetrend-nya pengedepanan pemikiran-pemikiran barat dalam menentukan kebijakan dan praktik kependidikan membuat pendidikan nasional menjadi stagnan. Padahal, Ki Hadjar Dewantara/KHD sudah benar dengan pembuatan konsep “Trilogi Kepemimpinannya”, Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya mangun Karsa dan Tut Wuri handayani. Bahkan, tidak saja didalam negeri, konsep dari Ki Hadjar tersebut justru menjadi tolak pikir bangsa barat dalam memajukan pendidikan disana. Seperti yang dilansir dari tulisan Ki Supriyoko ( mantan Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) dan guru besar Tamansiswa ) bahwasannya orang Cina-pun mau belajar filsafat dan budaya dari bangsa timur termasuk Indonesia. Pendapat itu diperkuat oleh pernyataan duta besar RI untuk Cina (http ://www.pikiran rakyat.co.id/cetak/2007/092007/24/0901.htm). Ini membuktikan bahwa pemikiran dalam negeripun kalau digali lebih jauh, masih sangat relevan dan bermanfaat bagi kemajuan bangsa terutama dalam bidang pendidikan. Lalu sejauh mana relevansi konsep pemikiran Ki Hadjar terhadap pendidikan sekarang ini? KHD dalam bukunya mengartikan pendidikan sebagai upaya kebudayaan untuk membimbing tumbuhnya jiwa raga agar melalui kodrat pribadi dan pengaruh lingkungan mendapatkan perkembangan jiwa dalam kehidupannya. Upaya kebudayaan pendidikan itu berupa upaya mempertajam akal (secara konqnitif), rasa (secara afektif) dan karya/tindakan (secara psikomotorik) untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan sebagai hasil budi daya manusia seperti Ilmu Pengetahuan, Religiositas, Etika, Estetika dan Kecakapan Hidup. Tujuan dari pendidikan itu sendiri adalah mamayung hayuning salira, mamayu hayuningbangsa, mamayu hayuning manungsa/bawana, atau mencita-citakan kebahagiaan diri, bangsa, dan umat manusia sedunia. Maka dari pemikiran itulah Ki Hadjar akhirnya mendirikan sekolah yang diberi nama Tamansiswa. Sekolah yang mempelopori perkembangan pendidikan ditanah air tercinta ini. Bukan pendidikan materialistis, yang bertentanan dengan UUD 1945. Seperti banyak lembaga pendidikan yang diselenggarakan untuk merebut/melanggengkan kekuasaan, atau demi materialisme bagi kepentingan segelintir orang atau diri sendiri. Sudah bukan rahasia umum lagi dewasa ini. Dengan mendirikan Tamansiswa, harapan Ki Hadjar terjadi dinamika pendidikan yang lebih efektif dan dinamis untuk memerdekakan manusianya karena manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Tamansiswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Tamansiswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada pola asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hadjar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand” (Br. Theo Riyanto, FIC “Pemikiran Kihadjar Dewantara tentang pendidikan/http/bruderfic.or.id). Dengan teori seperti ini, kirannya dapat menjadi pembelajaran bagi pendidikan nasional sekarang untuk lebih memahami arti pendidikan sehingga pendidikan terhindar dari perspektif negative yang bisa merugikan sesama, baik manusia maupun negara. Konsep Pendidikan yang ada di Tamansiswa ini kiranya masih dan sangat relevan sekali jika direalisaikan dalam pendidikan nasional yang nyata.
Lalu kita akan bertanya, mengapa harus dalam realisasi pendidikan nasional yang nyata? Itu tak lain dikarena pendidikan nasional sekarang semakin remang dan pudar dalam perjalanannya. Konsep baru yang ada sekarang justru membuat orang bingung menginterpretasikannya. Seperti konsep daripada RUU BHP. Banyaknya kepentingan yang bermain menjadikan pendidikan nasional menjadi sebuah permainan politis yang mengabaikan pendidikan dari aspek nasionalistiknya. Dengan masuknya BHP ke Indonesia, sangat memudahkan sekali bangsa asing untuk menguasai dan mengikis ideologi generasi penerus bangsa kemudian kelak. Ditambah lagi didalam RUU BHP ini hanya mengatur mengenai masalah pengelolaan pendidikan saja, tidak ada satupun pasal yang mengatur tentang peran pendidikan dalam pencerdasan kehidupan bangsa, proses dan perkembangan budaya, pengembangan intelektual dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah yang akan mnejadikan pendidikan nasional akan semakin tidak terjangkau oleh masyarakatnya sendiri. Biaya pendidikan yang semakin mahal akan tergambar dan terbayang didepan mata. Lalu, apa harapan anak bangsa yang kurang mampu untuk bisa bersekolah? Adalah sebuah keniscayaan. Jadi wajar jikalau Daoed Joesoef (mantan menteri pendidikan RI) mengungkapkan kata-kata tentang badan perdagangan pendidikan. Ini tentunya terkait akan mosi ketidakpercayaan kembali beliau akan pengelolah pendidikan tanah air. Hal-hal seperti ini tidak hanya dilontarkan golongan tua seperti Daoed Joesoef, melainkan juga dari berbagai kalangan seperti akademisi dan mahasiswa. Kalangan pendidikan nasional selayaknya segera mengambil langkah nyata dan berancang-ancang untuk kembali kepada keluhuran tiga hal asasi yang menjiwai pendidikan nasional. Apalagi mengingat masalah pendidikan di Indonesia sudah sangat pelik sekali. Masalah datang dari beberapa sektor termasuk dari ketidak komitmennya pemerintah untuk memenuhi anggaran pendidikan minimal 20 % dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sesuai amanat UUD 1945 sampai dengan isu yang mengatakan bahwa departemen pendidikan sebagai salah satu tempat korupsi yang paling jitu. Ini semua membutuhkan penanganan yang komprehensif dan prepentif. Supaya tercipta pendidikan yang bersih, bermutu dan merdeka seperti pemikiran Ki Hadjar. Karena jika terlambat diatasi, pendidikan nasional Indonesia tidak ubahnya hanya sebatas formalitas proses transfer ilmu semata. Pendidikan harus dikembalikan kejatidirinya lagi. Pendidikan yang memerdekakan manusianya. Pendidikan yang seperti dikonsep Ki Hadjar dengan perjuangan murninya (sampai rela dibuang dan diasingkan oleh penjajah) yang ditujukan untuk menciptakan manusia Indonesia berkarakter dan merdeka yang kehidupan lahir dan batinnya, tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar pada kekuatan sendiri. Tapi untuk mewujudkan itu semua, kiranya membutuhkan kontemplasi diri dari pendidikan itu sendiri akan kelemahan institusi (Kesadaran Kolektif). Tidak segampang membalik tangan. Harus ada penyelaman makna yang dalam bahwa kalau kita mengajarkan pendidikan kedalam tiga hal seperti menghidupi diri sendiri, kehidupan yang bermakna dan memuliakan kehidupan, maka ajaran Ki Hadjar akan dapat dipahami jika kita dapat menjabarkan hal itu lebih lanjut. (Mochtar Buchori dalam diskusi “ Refleksi gerakan pendidikan dan kebudayaan Tamansiswa” di Jakarta) Ini yang harus dilakukan oleh pengelola pendidikan dinegeri ini. Tidak hanya berkoar kemudian mengotak atik kurikulum, memindah dan membalik nama sekolah atau mengubah program triwulan menjadi semesteran. Selain itu, guna mengatasi fenomena stagnasi pendidikan kedepan, pemerintah harus menekankan political will dalam negeri. Karena dengan itu, mudahan-mudahan Pendidikan Nasional bebas dari segala pengaruh yang bisa merunyamkan keadaan serta menyulut pro dan kontra dimasyarakat.

Melki As
Continue Reading...

Menyongsong Pilkada Kota MANNA


Hanya dalam hitungan waktu, Kota Manna (Kabupaten Bengkulu Selatan Provinsi Bengkulu) akan menyelenggarakan pesta demokrasi lokal pemilihan calon Bupati dan wakilnya. Tapi, sampai saat ini (mendekati proses pemilihan), permasalahan yang ada bukannya berkurang. Malah persoalan kian bertambah setiap hari, waktu dan jam. Kota Manna yang lekat dengan semboyan ” Manna Kota Kenangan ” seolah menyiratkan gerbang menuju kehancuran. Sekarang pun realitannya Kota Manna mungkin (sudah) tinggal kenangan. Kemajuan yang semu serta tidak kompetitif dan kurang dalam mensejahterakan masyarakat sudah sangat mengindikasikan terjadinya krisis di tubuh pemerintahan Kota Manna. Contohnya, tidak komitnya para pejabat lokal untuk memajukan daerah baik lewat pariwisata, transparansi kinerja dan lain-lain. Hanya ada segelintir orang yang berusaha memajukan daerah ini, tapi itu tidak cukup karena tidak dibarengi dengan antusiasme birokrasi akan usaha terhadap suatu kemajuan. Itulah akhirnya Kota Manna seperti mati suri dan terlelap terus tanpa gema. Jangankan untuk bergema di mata internasional, dalam negeripun manna sangat jauh tertinggal.
Disisi lain, permasalahan di kota Manna semakin menjadi-jadi. Realitanya, hampir setiap hari keadaan penerangan (LISTRIK) byar pet (mati) tanpa kenal waktu dan jam. Kalaupun nyala, tegangan yang akan dipergunakan masyarakat tidak sesuai dengan proporsionalnya. Padahal, masyarakat selalu membayar biaya listrik meskipun tarif dasar listrik (TDL) setiap tahun semakin naik. Lalu, apakah ini yang bisa diberikan pemerintah daerah atas upaya mendukung para eksekutif lokal berkuasa di kota kenangan ini?
Menjadi PNS (pegawai negeri sipil) pun, juga tidak diukur lewat kapasitas maupun kapabilitas dari person yang ada (abai terhadap intelektualitas). Semua disamakan berdasar materi serta kemampuan suap-menyuap dengan instansi pemerintah tingkatan lokal. Sehingga terjadinya carut marut dalam tubuh kepegawaian karena selalu terjadi percobaan-percoban nakal dengan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Hal ini akan selalu beranak pinak dan terjadi terus menerus kedepan. Dan paradigma berpikir masyarakat akan selalu dikotakkan serta dibodohin dengan obral janji. Artinya akan selalu melahirkan generasi yang opportunis, tidak kritis, kurang kreatif progresif, tidak revolusioner dan bodoh sehingga gampang untuk dikibuli dengan segudang janji-janji palsu. Mirip dengan keadaan bangsa sewaktu dizaman kolonialisme. Hanya berbeda waktu dan masa terjadinya saja. Konkritnya, untuk menjadi seorang pegawai negeri sipil baik guru, kantoran, tentara, polisi dan lain-lain, bila tidak ada pelicin, sekalipun pintar, maka akan susah untuk lolos. Sebaliknya, sekalipun bodoh, asalkan pelicin banyak dan lancar, maka peluang itu akan terbuka lebar dan kesempatan goal-nya akan semakin besar. Astarfirullah, sudah separah inikah penyakit yang menggerogoti Kota Manna ini?
Bahkan analoginya yang memungkan lebih parah (maaf) bilamana tidak ada perubahan, kurun waktu 10-20 tahun kedepan, anjingpun bisa pulang dengan berseragam kepegawaian.

BUTUH PEMIMPIN YANG KRITIS OBYEKTIF DAN VISIONER
Maju mundurnya daerah secara birokratis, menjadi tanggung jawabkepala daerah dan instansi-instansi yang ada dibawahnya. Maka daripada itu, diperlukan suatu badan perencanaan pembangunan yang orangnya betul-betul mengerti dan siap untuk perkembangan kedapan. Tapi, melihat realita sekarang, benak kita akan selalu diliputi pertanyaan ”apa yang telah dimajkanu?”.satu-satunya yang maju hanyalah keadaan fisik rumah dinas bupati yang telah sampai merangsek kelapangan sekundang. Entah untuk apa ini dilakukan, tapi kemungkinan penulis beranggapan supaya indah dilihat dan enak dipandang mata tanpa melihat kebutuhan lainnya dimasyarakat yang lebih substansial (tidak sesuai essensi dan kurang proporsianal dan tidak profesional). Dalam perencanaan perkembangan pembangunan daerah artinya harus juga punya standar dan menyesuaikan dengan keadaan masyarakat yang ada. Artinya rencana-rencana strategis pembangunan kedepan memang harus sudah diatur dengan matang dengan ukuran yang pas dan bersosialisasi dengan masyarakat. Lihat contoh taman kota serta taman rekreasi di pasar bawah yang sekarang terabaikan dan hampir rusak dan hancur dimakan zaman. Apakah ini yang telah dilakukan pemerintah terhadap aset yang ada? Sudah seharusnya aset itu dijaga dan dilestarikan supaya menjadi lebih baik. Bukannya dengan membiarkan rusak dan terbengkalai. Tapi mau apa, kemungkinan proyek manjaga dan melestarikan taman reksreasi tidak sebanding dengan proyek baru yang bernilai lebih (uangnya tidak banyak yang bisa dimasukan kantong pribadi). Makanya sekarang tak ayal kalau kita lihat proyekpun pengerjaannya semakin amburadul dan tampak tidak terencana dengan matang. Pelebaran jalan serta Pembangunan jalur dua arah dan pemasangan rambu traffic light contoh konkritnya. Mengenai pelebaran jalan dan traffic light, bukan sesuatu yang buruk untuk dilakukan. Tapi apakah sudah pantas mengingat volume kendaraan di Manna masih minim? Sementara, sekolah-sekolah dan fasilitas pemerintahan lainnya masih banyak yang rusak dan butuh perbaikan segera. Lagi-lagi untuk mencapai (tercapainya) suatu rencana pembangunan yang lebih profesional dan efektif, Kota manna harus dipimpin oleh pemimpin yang berkarakter kritis obyektif dan visioner. Artinya, dengan pemimpin serta SDM yang kritis obyektif, perkembangan Manna dalam perjalanannya dapat dikontrol berkala dan dipertanggungjawabkan. Dan dengan karakter visioner, rencana-rencana akan perubahan akan selalu terprioritaskan dalam setiap gerak dan langkah-langkah setiap mengambil kebijakan. Dengan memadukan unsur tersebut, Manna akan mampu bersaing dengan daerah lainnya dan harapan akan kemajuan akan terbuka lebar. Tapi bilamana status maupun kinerja yang ada masih selalu quo, maka jangankan perubahan akan kemajuan yang bisa dicapai, kemungkinan Manna tertinggal dari daerah lain akan semakin jauh.
Selain itu, para pemimpin atau calon pemimpin mendatang (khususnya Manna), harus berjiwa progresif dan revolusioner. Karena dengan jiwa progresif dan revolusioner inilah nanti yang akan membedakan pemimpin sejati dengan pemimpin kapitalis opportunis. Karena pemimpin yang progresif dan revolusioner tidak hanya mampu beretorika yang tajam, melainkan aplikasi teori yang tepat dan kena sasaran.
Jikalau Bung Karno pernah berkata ” saya mencintai anak dan istriku, tapi saya juga mencintai bangsa dan negeriku. Dan jikalau disuruh memilih, aku akan mendahulukan kepentingan bangsaku dan rakyatku” itu semua mengisyaratkan kepada kita semua bahwa kemauan untuk memajukan bangsa harus diletakkan dipundak dan didahulukan. Tapi keadaan sekarang jauh berbeda. Malah yang diutamakan adalah kepentingan pribadi kemudian rakyat, sehingga wajar jikalau melihat kesejahteraan sebagian pejabat berlimpah, sementara daerah yang didudukinya semakin terpuruk. Lalu, sudahkan pemimpin maupun calon pemimpin mendatang (terutama Kota Manna) berjiwa seperti itu? Atau malah tidak ada satupun pemimpin maupun calon pemimpin yang berjiwa seperti itu. Wallahualam. Artinya calon pemimpin kedepan tidak lagi dilihat dari tampang, pintar ngomong (ceramah) dan berduit banyak saja. Tapi harus dilihat dari track recordnya serta realistik. Status quo atau tidak, independen maupun bukan, semuanya sama. Yang terpenting ialah bagaiman supaya bisa memajukan kota Manna ini supaya mampu bersaing dengan daerah lainnya, keadaan aman tenteram dan masyarakat sejahtera. Titik. Paradigma berpikir masyarakatpun juga harus berubah dan berani bangkit untuk sebuah kemajuan. Begitupun dengan para calon pemimpin mendatang (9 pasang calon). Semua pasangan calon harus mau dan bersedia kontrak mati dengan rakyat. Supaya tidak ada lagi janji-janji palsu dan rayuan gombal demi goal-nya tujuan. Semua balon harus bersedia membubuhkan tandatangan janji yang bilamana terpilih menjadi pemimpin, bersedia dievaluasi secara periodik setahun sekali. Selain itu, bilamana dalam setengah periode kepemimpinan tidak membawa perubahan yang cukup signifikan, pemimpin terpilih bersedia mundur dari jabatan dengan mengembalikan semua fasilitas negara yang telah dinikmati seperti gaji, tunjangan, bonus dan lain-lain kepada rakyat terutama masyarakat Manna. Dari sinilah, akan terlihat jiwa-jiwa pemimpi yang benar-benar ingin memajukan daerah bersama dengan masyarakat atau pemimpin yang hanya sekedar ingin mencari kesejahteran pribadi atau golongan. Dengan adanya kontrak mati seperti ini, akan meminimalisir keadaan kota Manna sendiri. Terutama permasalahan yang telah akut dan berlangsung lama. Karena, selain itu, dengan adanya konrak ini, akan membuat kehati-hatian dalam setiap pengambil kebijakan. Dan masyarakat dapat menjalankan kontol terhadapnya (sistem pemerintahan) untuk selalu berada di jalur yang benar (on the track).
Soalnya peran kontrol masyarakat sangat diperlukan mengingat selama ini tidak ada bargaining position yang komunikatif antara masyarakat dengan pemerintahan. Evaluasi pun juga tidak keruan juntrungannya dan transparansi baik materil maupun kinerja tidak jelas. Karena selama ini memang masyarakat dilemahkan oleh sistem. Dan birokrat berlagak seperti superhero yang tiada tanding dan tidak boleh ditandingin. Mulai sekarang masyarakat harus bergerak. LEBIH BAIK BANGKIT MELAWAN DARIPADA DIAM TERTINDAS. Sudah saatnya masyarakat (massa) kritis dan revolusioner. Perubahan harus jalan. Pilkada pun harus disikapi dengan kritis dan serius karena ini menyangkut masa depan masyarakat dan masa depan daerah lima tahun mendatang yang lebih baik. Pemimpin terpilih pun nantinya juga harus mampu mengevaluasi serta reformasi kinerja instansi-instansi yang ada. Tapi sebelumnya, dimulai dari diri pribadi. Karena takkan ada langkah kesepuluh tanpa langkah pertama. Dan langkah pertama merupakan awal dari segalanya (Awal menetukan akhir). Jadi prinsip evaluasi dan reformasi diri harus betul-betul ditekadkan. Tanyakan pada diri, layakkah saya memimpin? Sudah siapkah saya Memimpin?
Sesama masyarakat juga harus membuat transformasi massif untuk mengawal jalannya pemilihan kali ini. Bila perlu, masyarakat membuat suatu aliansi (Parlemen Massa) yang bisa mengakomodir semua demi tercapainya peran kontrol dan aspirasi semua warga ke tingkatan atas (Bupati-Gubernur-Presiden). Karena dengan itu semua, maka bersama kita akan songsong Manna yang bersinar dan terang benderang. Manna yang aman dan Manna yang bersih dari politik nakal dan licik penguasa lokal.
VIVA MANNA KOTA KENANGAN. HIDUP RAKYAT.
”Wakil rakyat seharusnya merakyat. Jangan tidur kalo sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan paduan suara cuma bisa nyanyikan lagu sendu semata” (Iwan Fals).

Melki As
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template