Pages

Wajah Pendidikan Kita (2)


Ambivalensi Pendidikan Kita

Pendidikan sejatinya adalah alat pembebasan dari kebodohan dan ketertindasan yang akan melahirkan manusia-manusia merdeka, bertanggung jawab dan mampu membenahi persoalan dalam realistas sosial. Karena itu, pemerintah harus menyokong penuh pendidikan yang berkualitas. Akan tetapi, yang terjadi negara ini malah sebaliknya. Berbagai kebijakan yang diambil pemerintah hanya mendukung kebutuhan politis para pemilik modal asing yang sangat tidak berpihak pada rakyat. Kurikulum pendidikan beserta produk hukum yang diterapkan masih saja mengikuti kepentingan kaum pemilik modal yang akhirnya justru meminggirkan kesempatan sebagian masyarakat untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas. Pendidikan di Indonesia hanya menjadi simbol kevakuman dan alat penindas yang telah mencerabut anak didik dari sosio kulturalnya. Sekolah-sekolah menjadi ruang komoditi dan guru seolah menjelma menjadi agen penindasan. Inilah yang akhirnya membuat bangsa ini semakin terpuruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Pendidikan yang diimpikan bahkan menjauh dari harapan. Usaha untuk membenahi pendidikan di tanah air kerap hanya menjadi wacana yang tidak jelas realisasinya. Bukti nyata ialah ketidakmampuan pemerintah untuk merealisasikan anggaran pendidikan yang telah dicanangkan (anggaran 20 % APBN untuk pendidikan). Pendidikan gratis hanya menjadi ilusi semata. Bahkan lebih parah lagi pendidikan di Indonesia seolah meminggirkan atau anti terhadap kaum-kaum marginal. Bagi murid yang orang tuanya miskin, jangan harap untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas. Alih-alih memajukan dunia pendidikan, mencerdaskan generasi bangsa, malah sang anak didik dikeluarkan dari institusi tempat dia seharusnya belajar karena tidak mampu membayar sejumlah beban yang diputuskan pihak sekolah. Kasus di Jambi beberapa waktu yang lalu, yang hanya gara-gara orang tua tidak ada uang untuk membayar uang kebersihan sekolah yang dibebankan pada anaknya, sang murid harus menerima ganjaran dengan dikeluarkan dari sekolah. Ironis memang kalau menyaksikan hal seperti ini. Pendidikan nyata-nyata menjadi milik kaum kapitalis yang memang sejak lama ingin menindas dan menyengsarakan rakyat. Pendidikan tidak lagi menjadi suatu proses pencerdasan yang kemudian akan membuat masyarakat serta bangsanya merdeka lahir dan batin. Bahkan pendidikan sendiri menjadi alat untuk menindas rakyat yang berkedok politik amanah. Jadi benar dengan yang diungkapkan Paulo Freire bahwa sekolah itu menindas dan membelenggu. Rakyat dipaksa untuk membayar beban yang seharusnya tidak perlu kalau realisasi anggaran terpenuhi. Tapi siapa nyana, buku pelajaranpun ternyata menjadi lahan korupsi bagi mafia-mafia intelektual kaum terdidik. Inilah yang tanpa disadari menjadi bukti dari pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk mendapatlan pendidikan.
Mengapa hal ini bisa terjadi, itu dikarena pendidikan didalam negeri ini masih sarat dengan kepentingan-kepentingan politis penguasa. Artinya pendidikan telah dijadikan alat penguasa untuk memperdalam kekuasaannya. Pendidikan gratis, menjadi isu kuat bagi golongan oportunis negeri ini untuk mencapai kesejahteraan secara individual. Hal ini juga tidak bisa kita lepaskan dari siapa yang di didik dan siapa yang mendidik. Peran guru dalam membimbing murid sebenarnya menjadi tonggak dari sebuah peradaban baru yang lebih inovatif dan kreatif. Artinya guru sebagai pembimbing dan bukan sebagai fasilitator semata. Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa seorang guru harus benar-benar bisa menangani anak didikinya untuk berkembang sesuai dengan kodrat alamnya. Lepas dari segala ikatan, dengan suci hati, mendekati sang anak. Demikian yang diamantakan beliau dalam azaz Tamansiswannya. Dengan konsep ini, jelaslah bahwa seorang guru tidak akan memaksakan kehendak kepada murid-muridnya. Pendidikan yang memerdekakan pun dapat diwujudkan sehingga murid-murid tidak akan diperlakukan sebagai obyek pengajaran guru atau sekolah semata, seperti yang banyak terjadi dalam pendidikan di Indonesia sekarang. Demikian yang diungkapkan Suratni dalam Seminar Nasional “Menggali Butir-Butir Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam rangka Memaknai Seabad Kebangkitan Nasional” di Puro Pakualaman, Kamis 5 Juni 2008. Sementara itu, Sunarti, yang juga seorang pensiunan guru SMAN 6 Yogyakarta menilai bahwa konsep-konsep pendidikan KHD yang dijadikan semboyan pendidikan di Indonesia semakin hari semakin terkikis. Beliau mengatakan bahwa ajaran-ajaran KHD sudah tidak lagi diterapkan disekolah-sekolah. Seperti Ing Ngarsa Sung Tulada. Sekarang justru yang terjadi banyak guru yang tidak mencontohkan sesuatu yang baik kepada murid-muridnya. Ing Madya Mangun Karsa juga tidak jelas lagi. Yang ada bahkan Ing Madya Mangun Proyek. Dan Tut Wuri Handayani yang telah berganti menjadi Tut Wuri Ambayari (Kompas, Jumat 06 Juni 2008)
Sebagai realisasinya, seharusnya guru tidak hanya pandai mengajar tapi juga pandai mendidik para murid agar mereka bisa mengembangkan daya saing dan kreatifitas yang dimilikinya. Ini yang seharusnya penerapannya dalam dunia pendidikan harus dijalankan. Bukan sebaliknya. Anak didik hanya datang kesekolah, belajar dan pulang. Keberhasilan seorang guru dalam membimbing murid-muridnya ialah bila anak dapat maju, berkembang, tidak merasa terbebani dan tanpa ada tekanan. Bukan anak yang hanya mengejar materi intelektualitas dengan meninggalkan pentingnya keseimbangan antara pengembangan pengetahuan dan karakter seseorang. Tapi masih terjadi sebaliknya pendidikan sekarang ini Akhirnya yang terjadi dalam pendidikan ialah sang anak secara fisik bersekolah, tapi secara pikiran tetap purba (hanya berganti fasilitas semata). Anak hanya akan mengulang apa yang diajarkan oleh sang guru, bukan anak yang akan mengkombinasikan serta memformulakannya kearah yang lebih baik. Inilah yang seperti diungkapkan Paulo Freire dengan pendidikan yang pengajarannya bergaya seperti bank, hanya ngomong, mencatat dan mengutip. Jadi tidak salah ketika ada yang menganggap dan mengungkapkan bahwa bangsa ini masih terjajah dan kita sebagai generasinya harus berlapang dada menyaksikan realitas yang ada.. Cuma memang berbeda dengan penjajahan sebelum proklamasi. Jadi jalan keluarnya seperti yang pernah disampaikan Ki Tyasno Sudarto adalah kembali ke budaya dan jati diri kita sendiri seperti yang pernah di ajarkan Ki Hadjar Dewantara.(Kompas, 06 Juni 2008)
Inilah yang seharusnya dicermati kembali di negara ini. Negara dengan aparaturnya dalam pendidikan harus mampu mengawal pendidikian yang terarah kedepan supaya bisa mengasilkan anak didik yang berideologi kuat dan pancasilais. Sehingga cita-cita pendidikan untuk mencerdaskan bangsa bisa tercapai dengan mulus. Pendidikan harus memulai dari awal kembali untuk menata kesemrawutan didalamnya baik arah, pedoman dan anggaran supaya pendidikan berjalan sesuai dengan rel-nya. Kondisi pendidikan yang semakin tidak jelas arahnya ini turut membuat beberapa kalangan gerah. Jauhnya pendidikan dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mengenyam pendidikan memperparah bahkan memandulkan output dari pada pendiikan itu sendiri. Seperti yang diungkapkan Prof. Dr. Djohar MS bahwa pendidikan sekarang ini sudah rusak. Ini karena proses yang terjadi didalamnya tidak mendidik. Hanya belajar saja. Itulah yang akhitnya menurut beliau akan menghambat. “Padahal tujuan sekolah itu adalah menciptakan manusia terdidik, berbudaya dan berperadaban. Sekarang bisa dilihat, masa manusia yang belajar tiga tahun hanya ditentukan dalam hitungan jam” ungkapnya. Lebih jauh mengomentari pendidikan sekarang ini, beliau mengatakan bahwa terjadinya hal-hal seperti ini karena tidak adanya filosofi pendidikan. Padahal kita punya konsep yang bagus, tapi malah menggunakan konsep lain. Yang namanya hukuman disiplin itu seharusnya tidak ada. Itu yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara. Tapi itu terjadi juga (hukuman dsb-red), sehingga bukan manusia merdeka dan mandiri yang dihasilkan tapi manusia yang terhukum, terbelenggu dan tergantung. Model-model ujian akhir bukan sesuatu yang mendidik. Beliau yang juga menjadi Rektor Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) menegaskan bahwa beliau adalah salah seorang yang dengan amat sangat menolak RUU BHP. Beliau menganggap RUU BHP membuat pendidikan tersingkirkan oleh lembaga itu. “Lembaga asing kalau masalah kependidikan memang boleh, tapi kalau sudah masalah biaya, itu sama sekali tidak boleh. Kalau proses pendidikannya boleh, tapi kalau penyelenggarannya tidak boleh” ujarnya ketika ditemui Aspiratif di kantornya.
Sementara itu menurut dosen pendidikan Universitas Ahmad Dahlan yang sekaligus penulis buku “Pembodohan Siswa Tersistematis” Muhammad Joko Susilo, sistem Pendidikan sekarang ini memunculkan sebuah pembodohan yang terkesan struktural dan sistematis. Bahkan satu hal yang aneh menurut beliau sekarang ini ialah adanya suatu pengajaran yang layanannya khusus sehingga memunculkan sekolah-sekolah Home Schooling yang ijazahnya diakui. Inilah yang menurutnya akan mengancam lembaga formal kedepan nantinya. “Jadi kalau berbicara sistem, itu seperti lingkaran setan. Karena mau dari mana kita menyembuhkannya. Malah akhirnya capek sendiri. Upaya dari pemerintah memang tak kurang, tapi tidak berujung dan berpangkal” ujarnya ketika ditemui di kediamanannya di Lembaga Pengabdian Masyarakat UAD. Menurutnya Faktor dominan yang menimbulkan semua ini sebenarnya disebabkan oleh kebijakan yang diambil. Kebijakan yang diambil sekarang terkesan dipaksakan. LPTK yang ada di seluruh Indonesia ini menurut pengamatan beliau juga belum menghasilkan pendidik yang dibanggakan untuk mengarah ke profesional. Ini karena mereka yang masuk ke FKIP, dominannya sudah pasti diterima. Kemudian mereka dipaksakan untuk mendalami dan mengenyam kurikulum yang sudah didesain, padahal ada beberapa kurikulum yang sudah tidak relevan lagi. Tapi mau nggak mau mereka harus patuh. “Inilah keanehannya. Mungkin karena bingung arah kiblat pendidikan itu sendiri”
Keanehan beliau akan dunia pendidikan, juga merambah kedalam tataran konsep yang ada. Menurutnya, keanehan itu ialah tidak adanya kebanggaan dari pemikiran sendiri. Dituturkan beliau bahwa dari dulu kita memang tidak bangga dengan pemikiran yang luar biasa dari orang kita sendiri seperti Ki Hadjar Dewantara. Padahal, akan menjadi sangat hebat seandainya ada kombinasi antara konsep KHD dan konsepnya Ahmad Dahlan. Tapi yang mengimplementasikannnya malah singapore dan malaysia.Ujian Akhir Nasional pun juga menurut beliau bisa saja sah-sah saja kalau proses itu adalah untuk mengetahui potret batas kemampuan pendidikan Indonesia di level internasional. Tapi persoalannya, UN harus diatur sedemikian rupa. Jangan serta merta dalam waktu tiga hari, sudah bisa menentukan kelulusan. Karena pendidikan itu adalah sebuah proses yang dimuali sejak dari awal sampai dengan akhir. Kalau hanya diwakili hanya beberapa pelajaran saja, itu tandanya tidak fair dan bisa tergolong pemaksaan hak, padahal pendidikan kita tidak berangkat dari penindasan.
Menurut Prof. Dr. Suwarsih Madya P.hd selaku Kepala Dinas Pendidikan Yogyakarta yang ditemui seusai seminar Pendidikan di UST mengungkapkan bahwa, pendidikan yang ada, dari pemerintah mengakui ini harus ditingkatkan. Keadaan itu memang belum siap apalagi seperti diamanatkan dalam undang-undang no 20/2003, masih sangat jauh. Dan itu tidak bisa di bebankan pada guru saja karena semuanya itu terkait dengan politik, ekonomi dan lain-lain. Seperti desentralisasi pendidikan, itu merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan dengan proses pembelajaran oleh setiap orang. Beliau mengungkapkan bahwa membuat keputusan itu tidak gampang. Untuk diri sendiri saja susah apalagi untuk orang banyak. Dahulu kita (guru dan dosen) melaksanakan penuh, tiba-tiba sekarang disuruh otonom. Padahal membuat keputusan itu tidak gampang. Dengan perubahan pendidikan yang cepat, memang dunia pendidikan mempunyai beban yang luar biasa berat. Untuk mengatasi semuai itu, seperti yang diungkapnya bahwa itulah pentingnya kolaborasi sinergi. Tapi itu secara teoretik. Praktiknya sangat mahal dan langka.
Mengenai pro kontra tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang lagi hangat-hangatnnya, beliau tidak menanggapinya. Yang penting menurut beliau yang harus diperhatikan ialah orangnya. Karena menurut beliau yang masih belum benar itu ialah oknumnya. Tapi jikalau menurut Djohar bahwasannya pendidikan sekarang rusak, agak sedikit berbeda dengan Tri selaku kepala sekolah Taman Dewasa Tamansiswa. Beliau mengatakan bahwa pemerintah sekarang sudah kearah yang sudah bener. Tapi ada beberapa hal yang masih kurang sesuai. Seperti UN. Dikatakannya Ujian Akhir Nasional sebagai pemetaan itu boleh-boleh saja, tapi kalau UN dijadikan sebagai penentuan dari kelulusan itu tidak tepat. Dunia pendidikan pun seperti yang dituturkannya pada Aspiratif bahwa sekarang ini lagi mengalami fase kebingungan. Pendidikan yang ada sekarang justru bersifat seperti saudagar. Dalam arti, permasalahan pendidikan sama seperti mengatasi permasalahan terhadap saudagar. Misalnya harga minyak naik, lalu menaikan harga jual juga. Padahal pendidikan itu adalah proses jangka panjang. Juga seperti contoh terbaru tentang sertifikasi. Beliau menganggap ini sesuatu yang lucu dan tidak menjamin mutu. “moso orang IKIP sama lulusan IKIP sendiri tidak percaya. Masih memerlukan sertifikasi. Padahal sebenarnya itu kesalahan mereka, kenapa memilih guru itu dahulu, merekrutnya tidak bagus. Sertifikasi itu tidak menjamin karena teman praktek dilapangan banyak mengatakan bahwa banyak teman-teman kita yang curang. Jadi sekarang guru sebagai pengumpul sertifikat seperti tukang loak. Buat apa kalau hanya mengumpulkan sertifikat. Ngajar hanya ngejar sertifikat. Berbeda dengan KHD yang mengabdi secara total kepada sang anak” ungkapnya dengan tegas.
Prof. Sugeng Mardiyono, Rektor UNY yang berhasil Aspiratif temui di kantornya ketika mempertanyakan tentang pendidikan di Indonesia menanggapi bahwa semangat pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidik sudah bagus dan sudah ada usaha yang baik dari pemerintah dalam memajukan dunia pendidikan. Tapi praktek dilapangannya yang kurang. Salah satu hal yang perlu dijabarkan yang namanya pendidikan itu akhirnya menghasilkan pendidikan manusia seutuhnya atau menghasilkan manusia yang beriman dan bertakwa secara agama. “Untuk itu semua komponen didalam pendidikan harus digarap baik cipta, karsa, hati, rasa dan raga. Nah sekarang yang banyak digarap ialah ciptanya. Sementara rasa-nya sedikit. Hatinya hampir tidak digarap. Sehingga sekarang menjadi guncang. Kalau kita mengagung-agungkan kognitif saja, mengagung-agungkan iptek saja, tentunya sangat membahayakan” ungkapnya. Masih menurut beliau bahwasannya antara iptek dan imtaq itu harus selaras. Ini supaya tidak terjadi malpraktek kemudian hari. Seperti dicontohkannya silet sebagai produknya iptek. Dikatakan, silet itu gunanya untuk mencukur brongos, tapi bisa saja salah malah untuk mencopet dan lain-sebagainya. Tapi masalahnya sekarang pendidikan kita itu belum mengarah kesana (iptek dan imtaq). Belum sebagaimana yang diharapkan. Manusia seutuhnya itu menurutnya ibarat sayur yang sedap. Jadi ada sayurnya dan ada bahan-bahannya. Komposisinya semuanya bersih. Tapi tidak sedap kalau tidak dikasih penyedap. Masalahnya sekarang ialah penyedapnya ada, tapi cara memberikannya itu yang masih jadi kendala. Bagaimana mau sedap kalau memberikan penyedap itu masih dibungkus dengan plastik. Jadi prosesnya hanya terapung-apung. “Maka itulah penting artinya untuk memasukan nilai sosial, nilai spiritual, nilai kemasyarakatan seperti yang saya terapkan pada UNY sendiri dalam perkuliahan walaupun prosesnya tergantung pada dosennya sendiri. Itu bisa dikaitkan kedalam semua pelajaran walaupun waktunya cuma lima menit” ungkapnya. Jadi maksud dari itu semua menurutnya semangat dari pemerintah sudah tinggi, tapi realisasinya belum. Terutama pada perpaduan antara Iptek dengan Imtaq. Sebagaimana itu adalah suatu incredien untuk mengahasilkan manusia seutuhnya. Dalam wawancara dengan Aspiratif, beliau juga mengungkapkan bahwa beliau membalik sebagaimana yang menurut renstra diknas tentang olah cipta, olah hati, olah rasa dan olah raga. Menurutnya yang pertama didahulukan ialah olah hati, olah cipta lalu olah rasa dan raga.
Mengenai konsep pendidikan beliau menilai bahwasannya konsep pendidikan kita sudah bagus. Artinya sudah bisa mengakomodir fleksibilitas, mengakomodir kualitas, mengakomodir pemerataan yang masyarakatnya heterogen, menghargai setiap etnik, dan membangun cipta, hati, rasa dan raga. Termasuk design maupun konseptual. Tapi lagi-lagi menurutnya, melakukan hal itu bukanlah sesuatu yang gampang. Karena itu menyangkut kemauan. “Kemauan itu sangat tergantung dengan kesadaran. Kesadaran melakukan sesuatu bahwa apa yang dilakukan manusia itu sebetulnya akan mendapat balasan dari yang maha kuasa. Kalau baik balasannya baik, kalau buruk balasannya buruk” ungkapnya.

Melki AS

0 komentar:

Posting Komentar

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template