Pages

Mengenang Kepahlawanan dan Keteladanan KI HADJAR DEWANTARA (1)


Bulan juli merupakan moment yang bersejarah bagi keluarga tamansiswa dimana bulan ini adalah bulan kelahiran daripada tamansiswa yang semuala bernama institut tamansiswa. Sebagaimana mengenang bulan ini sebagai hari kelahiran tamansiswa, tentunya kita akan teringat dengan seorang tokoh besar, pahlawan nasional pendiri tamansiswa dan juga bapak pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara yang bernama asli Raden Mas Soewardi Soeryaningrat lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Hari kelahirnya inilah yang kemudian diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Melihat namanya yang begitu kental dengan nuansa jawa, Ki Hadjar Dewantara merupakan orang dalam yang berasal dari keturunan keluarga kraton Yogyakarta. Ki Hadjar merupakan cucu langsung dari Paku Alam ke III. Ada alasan yang menjadikan Soewardi Soeryaningrat mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara yaitu supaya beliau dekat dengan masyarakat baik secara fisik maupun batin.
Semasa kecil Soewardi selalu dihadapkan dengan keadaan bangsa yag tidak pernah harmonis dan selalu terjajah. Sehingga dari sanalah Soewardi berusaha membebaskan rakyat dari segala bentuk penjajahan. Setelah menamatkan sekolah di ELS (sekolah dasar belanda), kemudian beliau melanjutkannya ke sekolah kedokteran bumiputera STOVIA. Tapi sayang, disekolah ini karena kondisi badan yang tidak memungkinkan, Soewardi terpaksa harus berhenti. Setelah itu, dengan dibekali kemampuan jurnalistik, beliau mulai mengembangkan bakatnya itu dengan menulis artikel dan menjadi wartawan di surat kabar Sedyatomo, de ekpres, pusara dan lain-lain. Tidak hanya itu, selain menjadi wartawan Soewardi muda juga sudah berkecimpung dalam dunia politik dengan menjabat seksi propoganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
Mereka bertiga dengan semangat yang menggebu untuk nasionalisme kemudian berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda. Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra ini melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Soewardi dengan tulisannya langsung mengkritik pemerintah kolonial belanda dengan tulisan yang tajam dan pedas berjudul andai aku seorang belanda yang isinya mengecam daripada perbuatan belanda yang memaksa dan memeras rakyat demi membiayai kepentingan mereka. Dan tulisan itu di muat dalam surat kabar de ekpress. "Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu”. Begitulah, pesan singkat dan halus yang dilancarkan Soewardi terhadap belanda. Dibalik halus dan sopan dalam penyampaian tersebut, tersirat dengan keras dan tajam memukul pihak belanda sehingga Soewardi harus menerima sebuah hukuman yang sangat tidak adil. Menurutnya, dengan diselenggarakannya perayaan itu membuktikan bahwa bangsa indonesia tidak lain hanya pantas menjadi budak semata. Padahal bangsa Indonesia mempunyai harga diri dan sangat menjunjung semangat nasionalisme. Semangat untuk berdikari (berdiri diatas kaki sendiri) tanpa tekanan dari pihak manapun. ”Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".
Dengan dilancarkannya tulisan seperti itulah akhirnya membawa Soewardi kedalam sebuah hukuman yaitu pembuangan. Dimana dengan terbitnya tulisan itu, Soewardi terpaksa harus menjauh dari tanah jawa dan diasingkan ke pulau bangka. Merasakan ketidak adilan yang diterima rekan seperjuangannya, Dowwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo akhirnya juga menerbitkan tulisan senada yang sama-sama mengecam kelakuan Belanda terhadap bangsa Indonesia dan juga mengecam kelakuan Belanda terhadap Soewardi. Tapi karena itu juga, mereka berdua pun juga menjalani hukuman yang sama tapi tempat berbeda. Setelah menjalanai proses hukum, ketiganya berniat untuk diasingkan ke satu tempat untuk banyak belajar yaitu ke negeri Belanda. Kesempatan di negeri itu dipergunakan Soewardi dan kawan-kawan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga setelah beberapa lama mendalami ilmu disana, beliau akhirnyya berhasil memperoleh Europeesche Akte dan kemudian kembali ke tanah air di tahun 1918. Sekembalinya Soewardi ketanah air , beliau mencurahkan perhatiannya ke dalam bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. disinilah pula beliau mulai mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara (KHD). Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Pendidikan tamansiswa dimakdsudkannya sebagai upaya untuk menciptakan manusia yang merdeka baik lahir maupun batinnya. Merdeka secara lahir bermaksud bebas tanpa ada penindasan dan penjajahan dan merdeka secara batin bermaksud bebas dari segala bentuk tekanan.
Tapi lagi-lagi hambatan demi hambatan selalu saja merintangi perjalaan KHD. Tidak hanya sebelum ia kembali ketanah air dan mendirikan partai politik, setelah mendirikan Tamansiswa pun, beliau masih terkena hambatan lainnya. Berdirinya Tamansiswa sebagai sekolah rakyat kontan tidak membuat pemerintah koonial Belanda senang. Malahan kolonial Belanda menganggap Tamansiswa sebagai ancaman terhadap mereka sehingga pada tanggal 1 oktober 1931, pemerintan kolonial Belanda mengeluarkan undang-undang sekolah liar yang dikenal dengan nama ordonansi sekolah liar. Tamansiswa dianggap dapat mengganggu stabilitas dari pemerintahan kolonial mereka. Inilah yang membuktikan bahwasannya bangsa Belanda waktu itu betul-betul ingin menyerap habis Indonesia sampai ke tulang-tulangnya. Setelah mematahkan perlawanan lewat pergerakan, sistem pendidikannyapun ingin dipatahkan supaya bangsa ini tetap bodoh dan mudah untuk dikendalikan mereka. Tapi berkat kegigihan KHD mempertahankan Tamansiswa, akhirnya ordonansi sekolah liar itupun berhasil dicabut.
Setelah ordonansi sekolah liar itu dicabut, kegiatan-kegiatan didalam Tamansiswa kembali berjalan normal. Sementara masih mengelolah Tamansiswa, KHD juga masih sering meluangkan waktunya untuk tetap menulis. Tapi corak dari pada tulisannya sedikit berubah menjadi pendidikan dan kebudayaan. Tapi tetap menekankan pada pemahaman nasionalistiknya. Pemahaman yang dikhusukan untuk selalu mencintai dan menyelamatkan bangsa ini. Indonesia. Bahkan melalui tulisan-tulisan yang dibuatnya, KHD berhasil meletakkan dasar-dasar dari pendidikan nasional bangsa ini.
Berkat kegigihannya dalam memajukan dunia pendidikan di tanah air, setelah Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya, atas jasa-jasanya dalam memajukan pendidikan dan kebudayaan tanah air, pada tahun 1957 KHD di hadiahi gelar kehormatan yaitu Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada. Dan lewat surat keputusan presiden nomor 305 tahun 1959, KHD diitetapkan sebagai pahlawan nasional pergerakan Indonesia. Tepatnya tanggal 28 November 1959. Hari kelahirannya pun 2 Mei juga menjadi peringatan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Dan Ki Hadjar Dewantara sendiri dalam perjalannya juga pernah dipercaya untuk menjabat sebagai Menteri Pendidikan Indonesia yang pertama. Tapi sayang, belum lama Ki Hadjar mendapat penghargaan tersebut, dua tahun setelah itu, tanggal 28 April 1959 Ki Hadjar Dewantara menghaadap sang illahi. Tapi walaupun Ki Hadjar Dewantar sudah tidak ada lagi, tapi semangat dan cita-cita beliau masih terjaga dan harus selalu dilestarikan supaya tercipta atmosfir yang selalu positif dan benar-benar menghindarkan bangsa ini dari kekacauan dan intervensi bangsa asing. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa) dan ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Itulah peninggalan dari Ki Hadjar Dewantara yang selalu dan harus diamalkan bangsa ini supaya bisa terus maju kedepan.

Melki AS

0 komentar:

Posting Komentar

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template