Pages

Mungkinkah “Balibo Five” Mengguncang Indonesia


Film ‘Balibo Five’ dicekal pemutarannya dalam festival film jiffest di Indonesia. Apa masalahnya sehingga Indonesia mengambil keputusan seperti itu? Mungkinkah ini karena sensasi belaka untuk menaikkan rating popularitas film atau memang terkait citra kedua Negara (baca: antara Indonesia dan Australia)? Yang jelas memang kedua unsur entah itu popularitas maupun citra Negara menyeruak dalam film ini. Karena secara sensasi, film ini memang perlu didongkrak popularitasnya mengingat warga Australia sendiri tidak terlalu bergeming dengan pemutaran film ini disana. Bahkan mereka lebih suka menonton film lainnya. Keadaan sama juga terjadi di Timor Leste. Bahkan disana mereka lebih suka menonton film Cinta Fitri daripada menonton Balibo Five (baca DR. Asvi Warman Adam dalam Kompas Minggu 19/12/2009).
Selain itu, ‘Balibo Five’ juga mengandung unsur permusuhan ketika diputarkan yang akhirnya bisa menyulut kembali ketegangan Dua Negara Australia dan Indonesia. Australia sebagai pihak yang terkorbankan dalam kasus ini jelas tidak terima wartawannya di bunuh dengan keji dalam peliputan berita sewaktu terjadi pertempuran di Timor Timur waktu itu. Sementara Indonesia, juga tidak terima karena ‘kata pembunuhan’ itu merupakan tuduhan kejam terhadap sebuah Negara yang terkenal dengan Demokrasinya.
Nah seharusnya diadakan analisis terhadap pencekalan film tersebut sehingga tidak menyisahkan pertanyaan di semua kalangan. Sebaliknya menurut saya, film ‘Balibo Five’ memang kurang sepantasnyalah di putarkan dan di perkenalkan dengan publik Indonesia sekarang. Mengingat dari awal film itu meng-klaim bahwa film tersebut diangkat dari cerita nyata (true story), sementara dalam kasus itu, fakta sesungguhnya belum selesai sampai sekarang. Jadi masih merupakan khayalan yang dibuat-buat secara sepihak oleh Australia. Berbeda halnya ketika kasus itu memang sudah terkuak secara benar dan bisa di pertanggungjawabkan keabsahannya, maka tidak akan ada penutupan-penutupan sejarah terhadapnya. Bahkan film nya yang diangkat dari unsur nyata layak di putar tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Nah kalau seperti ini, kasusnya belum kelar, tetapi film-nya sudah mengklaim bahwa diangkat dari cerita nyata, tentunya menimbulkan pertanyaan besar pada Indonesia bahkan dunia. Lalu tersirat, sebenarnya apa yang diinginkan Australia. Tidak cukupkah mengobok-obok Indonesia setelah berbagai lembaganya mendukung separatis Papua Merdeka dan lain-lain.
Semua Negara di dunia mungkin sudah membuat film yang diangkat berdasarkan fakta sesungguhnya. Mereka jelas-jelas mengangkat itu berdasarkan fakta dan catatan sejarah yang telah berhasil dikuak secara objektif. Sebutlah salah satu film tentang kekejaman Hitler dan Nazi. Tentang ganasnya Hitler dalam perang kekuasaan dengan membunuh ribuan bahkan jutaan orang memang telah di analisis secara nyata dan objektif berdasarkan catatan dan sumber yang bisa di pertanggungjawabkan. Bahkan dunia-pun mengakuinya. Tapi bagaimana dengan ‘Balibo Five’? Jelasnya ini merupakan intimidasi dari pihak Australia yang tak lelah mengobok-obok Indonesia dari dahulu. Karena memang sedari dahulu Australia ingin membuat Indonesia kacau balau. Trik semacam ini sangat mudah dipahami terutama setelah sekian lama mereka tidak berhasil dalam pendukungan disintegrasinya Papua dari Indonesia. Selain itu, ada kecenderungan juga Australia menginginkan Indonesia sebagai salah satu sumber pendapatan negeri nya dengan menanamkan investasi di negeri yang kaya akan segala macam sumber alam ini.. Perebutan Indonesia ini bukan hal baru, tapi juga dari dahulu semenjak Indonesia belum merdeka dimana Indonesia menjadi rebutan antara Inggris, Amerika, Belanda dan lain-lain. Kini setelah perang tidak lagi menjadi cara utama merebut kekuasaan, Australia masuk dengan cara berbeda yaitu dengan mengintimidasi dan mendukung gerakan separatis supaya keinginannya tercapai. Terbukti juga hal-hal yang mencoba mengintimidasi Indonesia sangat banyak digunakan. Seperti contoh kartun Nabi Muhammad yang sedang membawa bom. Sudah sangat jelas ini adalah hasutan untuk menciptakan bentrok dan kekacauan antar agama terutama muslim dan agama lainnya. Sementara dunia tahu bahwa Indonesia adalah penganut muslim terbesar. Jadi lagi-lagi ini adalah intimidasi pihak asing untuk menghancurkan Indonesia dengan dalih ataupun berkedok-an agama. Sangat jelas pula inilah trik yang mereka pakai untuk mengukur kekuatan bangsa ini. Bayangkan saja seandainya tidak ada reaksi dari Indonesia, maka dengan cepat mereka akan menghancurkan Negara ini. Mungkin Australia adalah pihak pertama yang akan menggempur Indonesia. Tapi, lagi-lagi mereka gagal karena intimidasi ini mampu ditepis. Berangkat dari kegagalan dan kegagalan sebelumnya, mereka tidak lantas menyerah dan kembali membuat ulah dengan mencoba memprovokasi dan mengadu domba antar kalangan dalam negeri. Terbukti ketika ‘Balibo Five’ dicekal, reaksi dalam negeri cukup besar dibanding negara pembuat film tersebut. Masyarakat kita (maaf) beberapa kalangan terhormat dan berpendidikan bahkan mengatakan bahwa ini perlu demi mengungkap sejarah. Apa-apan ini? mengungkap sejarah kok dengan film. Sekali lagi dunia akan tertawa karena melihat ternyata bangsa ini dan masyarakatnya bodoh dan mudah diadu domba.
Dan celakanya, hal semacam ini luput dari pandangan seniman, terutama seniman film dalam negeri (tapi ini adalah asumsi dan tidak semua seniman seperti itu). Dengan dalih hiburan dan sejarah, mereka mati-matian mempertahankan film ini agar segera di putar bahkan secara sembunyi-sembunyi. Mereka lupa bahwa secara sejarah, film ini kalau ditampilkan dalam layar akan berubah menjadi racun karena tidak berdasarkan fakta sesungguhnya seperti yang ditampilkan saat pra tayang yang dikatakan diangkat dari cerita sebenarnya. Malah ini adalah sebuah fitnah terkejam yang pernah dilakukan terhadap Indonesia. Pepatah kita mengatakan bahwa “Fitnah Lebih Kejam Dari Membunuh”. Dan ‘Balibo Five” adalah fitnah bagi bangsa ini karena belum ada fakta yang sebenar-benarnya. Fitnah disini maksudnya karena semua rahasianya masih remang. Dan ini dikatakan tidak fitnah seandainya semua tabir gelap itu sudah terungkap. Jadi berdasarkan fakta apa yang mereka angkat? Cukup berimbangkah fakta tersebut? Atau malah memang bukan dari fakta yang ada? Kalau fakta ini sudah terkuak seperti Hitler, mungkin saja ini bukan lagi fitnah tapi sudah menjadi catatan sejarah. Tapi apakah fakta itu sudah nyata bahwa TNI terlibat dalam tewasnya kelima wartawan Australia tersebut saat peliputan berita Balibo? Inilah yang kalau diteruskan pada generasi berikutnya akan menjadi preseden buruk bangsa ini. Bukan pada pencekalan saja, melainkan setelah berapa puluh tahun merdeka, bangsa ini masih mau diadu domba bangsa lain. Dan senimannya pun turut memberikan racun sejarah yang salah dengan bertekuk lutut pada apa yang dibuat pihak asing. Kenapa seniman kita bertekuk lutut terhadap seniman luar sebenarnya bukan karena yang dibuat orang asing itu bagus secara kualitas dan mampu terhadap penguasaan teknologi, tetapi karena seniman kita tidak mampu sejajar dengan seniman luar. Secara ide dan gagasan seniman kita terutama seniman film, kalah dalam menciptakan evolusi baru yang berkualitas bagi dunia hiburan dalam negeri. Ini bisa dilihat ketika bangsa asing mengembangkan produk film modern seperti yang pernah ditayangkan dalam Box Office Movie, kita lebih asyik membuat film yang bernuansa dada, paha ataupun legenda yang banyak menampilkan gerak kertas yang sesungguhnya. Karena apa? Apakah karena itu memang disukai di Indonesia? Tidak hanya itu, selain masyarakat kita menyukai itu (penayangan paha, dada dan mitos), juga karena seniman film kita ternyata tidak mampu membuat film seperti bangsa asing yang ide dan gagasannya cair dan cepat dalam menguasai teknologi. Sementara seniman negeri ini secara teknologi, mungkin butuh beberapa puluh tahun lagi baru bisa mensejajarkan diri dengan seniman luar. Makanya itu, semua produk luar diterima saja tanpa ada ukuran ideal yang jelas. Seperti ‘Balibo Five’, dengan menabrak idealitas dan kebenarannya, akan menjadi sangat berbahaya bagi generasi berikutnya. Lalu kenapa seniman kita tetap menerimanya juga? Ya, ini adalah KETAKUTAN. Ketakutan karena ketidakmampuan mensejajarkan diri dengan orang lain. Sebenarnya masyarakat kita tidak elegi dengan hiburan luar, tetapi ketika hiburan itu bersifat menghasut dan memfitnah (seolah diklaim berdasar kisah nyata), maka layak ini kemudian menjadi bahan diskusi sebelum masuk dalam publik luas. Misalnya, ‘Balibo Five’ ditonton dahulu orang berbagai kalangan tertentu seperti pengamat sejarah dan akademisi, kemudian diadakan diskusi tentangnya. Setelah melihat esensi dari film tersebut dan mempertimbangkan pemutarannya, baru bisa di hasilkan keputusan apakah bisa di putar untuk publik kita atau tidak. Lembaga sensor pun juga tidak boleh serta merta men-sensor film ataupun hiburan secara sembarangan. Karena selain lembaga sensor, ternyata ada masyarakat yang berhak mengetahui fakta dan kejadian dalam film tersebut. Seandainya film tersebut hanya bersifat hiburan semata, maka ini harus menjadi kabar jelas pada masyarakat. Begitupun ketika esensi film tersebut arahnya berubah menjadi masuk ranah politik, maka lembaga sensor pun juga berhak memberitahukan kepada masyarakat. Dan yang pasti, lembaga sensor bukanlah otoritas terpenting dalam mensensor sebuah film. Mereka juga harus berdasarkan pendapat atau masukan dari masyarakat juga. Terutama masyarakat sejarah, akademisi, maupun masyarakat per-film-an sendiri. Ketika ke tiga unsur masyarakat ini menyetujui pemutarannya, maka lembaga sensor tidak berhak mencekalnya. Tapi sebaliknya ketika ketiga unsur ini berdasarkan pertimbangan keamanan dan ketentraman masyarakat dan negaranya memandang perlu dicekal, maka lembaga sensor berhak menjatuhkan vonis terhadapnya. Seperti contoh film ‘Balibo Five’ sekarang ini.
Sejarah Balibo adalah sejarah kelam wartawan. Sejarah yang menyebabkan sejumlah wartawan tewas dalam peliputan beritannya. Mengenai apakah tewas itu memang disengaja atau tidak, justru itu yang harus menjadi kajian bersama pakar sejarah dua negara (Indonesia dan Australia). Secara sejarah, memang ini perlu diungkap dengan tuntas agar semua pihak menjadi clear dan tidak saling fitnah memfitnah tentangnya. Pelurusan sejarah ini penting mengingat adanya sinyalemen berbeda dari kedua belah pihak terkait tewasnya beberapa wartawan asing di Timor Timur kala itu. Dari pihak Indonesia, dengan tegas TNI mengatakan bahwa kasus ini sudah tuntas dan ini sudah dijelaskan kepada pihak korban dan terkait tewasnya wartawan itu bukan disengaja karena memang sedang ada pertempuran (Menhan Juwono Sudarsono-INILAH.COM/10/09/2009). Sementara dari pihak Australia mengatakan bahwa ada unsur kesengajaan dalam tewasnya wartawan mereka sehingga sistem politik terbuka mereka memungkinkan pihak manapun mengajukan agar proses hukum untuk itu dilakukan kembali. Pengungkapan sejarah ini juga tentunya harus ditarik dari awal mulanya dan dicari berdasarkan fakta dan keterangan sumber terkait yang bebas dari unsur kepentingan. Bahkan secara objektif, Timor Leste seharusnya tidak terlibat jauh dalam pengungkapan kasus karena mengingat masalah ini sangat vital dan berhubungan langsung dengan dunia internasional. Keterlibatan Timur Leste disini cukup sebagai pemberi keterangan kejadian yang ada pada saat itu. Dan pada saat analisanya, Timur Leste tidak dalam posisi menentukan hasil akhirnya. Karena keberadaan Timur Leste cukup menjadi luka bagi bangsa Indonesia yang sudah menterintegrasikannya sekian lama.
Memang pencarian fakta terkait masalah Balibo dan Timor sendiri bukan hal baru. Sebelumnya sudah ada komisi pencari fakta dan kebenaran dua negera ditempatkan disana. Tapi hasilnya masih ambigu bagi kedua negara. Disatu sisi menganggap masalah itu sudah tuntas dan disatu sisi berdasar pengadilan Glebe Coroners NSW menyimpulkan bahwa personel TNI adalah yang membunuh kelima wartwan Australia tersebut. Apakah itu benar terjadi atau tidak, makanya ini kembali mungkin untuk meneruskan kelanjutan pencarian fakta itu. Tapi pencarian selanjutnya hendaknya terlepas dari unsur kepentingan baik Indonesia, Australia maupun Timur Leste sendiri. Karena mengingat semua Negara termasuk Timur Leste pasti punya kepentingan subjektif dalam pengungkapan. Peranan media dalam pengungkapan kasus ini pun juga hendaknya berimbang pula sesuai degan kode etik jurnalisme. Artinya, pemberitaan terhadap kasus ini harus dibuat seimbang mungkin (cover both side). Tidak berdasarkan atau memihak ke salah satu blok bertikai. Saya rasa media paham benar hal itu dan sangat tahu harus meletakkan posisi dimana dan seharusnya bagaimana.
Demikian sedikit pendapat dari saya. Tulisan ini tidak ditujukan untuk menghina berbagai pihak, tapi mencoba mencari arti sebenarnya. Karena memang masih sangat banyak sekali yang ‘kita’ terutama ‘saya’ belum ketahui. Tapi saya mencoba memberikan sedikit argument terkait itu berdasarkan sudut pandang yang sedikit berbeda dari yang lainnya. Mudah-mudahan ini bisa memberi pemahaman dan memantik saran yang konstruktif.

Melki AS
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template