Pages

TAMANSISWA DAN KEBUDAYAAN


Tamansiswa dan kebudayaan ibarat mata uang yang di bolak-balik, sama saja, seperti halnya proses kebudayaan terjadi. Ibarat daun jatuh dari dahan, dengan gerakan yang indah daun menyentuh tanah dan pada prosesnya tanah menjadi subur. Itulah kebudayaan, saling mempengaruhi. Atau seperti embun pagi yang menyentuh bagian-bagian tubuh. Dingin yang dirasakan oleh tubuh merasuk ke dalam jiwa dan kemudian mempengaruhi suasana hati. Begitupula kebudayaan; menjadi diri, menjadi karakter suatu bangsa. Seperti oli dan tanah. Ketika yang tumpah adalah oli atau minyak, dan ternyata tanah lebih kuat, maka oli itulah yang akan segera hilang. Namun sebaliknya, jika unsur minyak tersebut lebih kuat, maka tanah yang akan menjadi rusak. Dan perlu tahunan dan harga yang mahal untuk memperbaikinya menjadi situasi semula.
Demikian yang disampaikan Ki Syahnagra Ismail, seorang seniman nasional dalam acara dialog kebudayaan selasa kliwonan dengan tema " Visi Kebudayaan Tamansiswa" yang bertempat di gedung data yang diselenggarakan oleh Forum Dewantara (ForDew), Dewan Kebudayaan Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa (MLPT) jalan Tamansiswa (11/01/10). Acara yang dilakukan selepas Isya ini dihadiri jajaran MLPT seperti Kabid. Kebudayaan MLPT Ki Indra Trenggono, Panitera Umum MLPT Ki Priyo Dwiarso, Ki Munawaroh, Pamong Ketamansiswaan, Pamong seni, dan Mahasiswa.
Ki Indra Trenggono, dalam pidato pengantar diskusi ForDew berharap dari diskusi dan dialog ini agar tercipta berbagai gagasan alternatif yang segar dan mencerahkan publik. Disamping itu, agar juga tercipta kerekatan sosial yang sangat penting untuk merawat nilai-nilai kemanusiaan serta kerjasama dan jejaring sosial yang bermakna. “Kini, kehidupan yang kita rasakan kurang manusiawi. Seperti diprihatinkan Erich Fromm, manusia semakin di jadikan mesin oleh kepentingan industrialisme dan kapitalisme. Kita pun semakin kehilangan wajah kemanusiaan karena pragmatisme telah menjadikan manusia sekadar menjadi fungsi atau alat. Kultur dialog dan tatap muka semakin memudar sehingga masyaraktpun cenderung soliter. Dan dalam seting buram di atas, peran Negara ternyata tidak bisa diharap terlalu banyak. Negara semakin menjadi soliter, bukan solider. Ia menjelma menjadi perusahaan karena tuntutan menjadi bagian dari dinamika pasar bebas yang di kendalikan kekuatan kapital. Sehingga seluruh bidang kehidupan dipahami Negara sebagai lahan yang diekploitasi secara ekonomik, termasuk lahan kebudayaan, dimana semestinya Negara memberikan subsidi agar pendidikan semakin tidak mahal dan elitis. Ekspresi-ekspresi kultural masyarakat akhirnya terhambat karena minimnya dana dan fasilitas” ujarnya.
Ki Syahnagra pun memandang sama bahwa yang terjadi di masyarakat sekarang ini adalah kurang di perhatikannya kebudayaan dalam sistem masyarakat. Itulah sebabnya mengapa materialisme terus berkembang. Setiap orang berlomba mencari kebendaan sebagai rasa kebenarannya. Dari situasi itulah korupsi terjadi besar-besaran hingga setiap orang mencari kesenangannya masing-masing tanpa memperdulikan lingkungan. Pendidikan pun menurutnya sudah menjadi barang dagangan. Masing-masing lembaga mempromosikan nilai-nilai yang hanya tampak bagus dari luar saja. Mereka meyakinkan bahwa sistem pendidikannya menghasilkan lulusan yang bisa langsung kerja, walaupun hal tersebut pun ada benarnya. Tetapi ada hal yang lebih penting daripada itu yang mereka lupakan bahwa manusia tidak hanya bisa hidup seperti sekrup yang tidak mengenal alam, lingkungan dan akar manusia itu tumbuh. Itulah yang menyebabkan manusia-manusia yang lahir dari pola pendidikan semacam itu tumbuh tanpa karakter dan tanpa kebebasan intelektual. “Dari pengamatan saya, Tamansiswa dan Ki Hadjar Dewantara telah menciptakan satu bangunan kehidupan yang masuk ke dalam sistem kebangsaan Indonesia. Tamansiswa bercita-cita memerdekakan pikiran serta pandangan hidup dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut terbukti pada gerakan politik sebelum dan sesudah kemerdekaan. Individu-individu Tamansiswa saat itu banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan, politik dan kemerdekaan. Tetapi yang mengherankan sekarang, masuknya pikiran-pikiran dari luar seolah-olah menghilangkan semua proses yang sudah terjadi pada pertumbuhan bangsa ini” ujarnya.
Dialog atau diskusi rutinitas yang diadakan ForDew ini, setianya akan dilakukan setiap bulan dan setiap selasa kliwon. Seperti yang dilansir juga dalam pengatar pembuka Ki Indra Trenggono bahwa ForDew memiliki maksud dan tujuan antara lain, (1) Membangun budaya dialog dalam masyarakat terkait dengan berbagai problem kultural kebangsaan yang penting dan mendesak untuk di jawab, (2) Membangun kesadaran kolektif terhadap berbagai realitas yang dihadapi masyarakat, (3) Membangun sinergi gagasan masyarakat yang di harapkan terbangunnya jejaring sosial secara lebih luas, sehingga berbagai kerjasama pun sangat dimungkinkan, dan (4) Mengembangkan wawasan masyarakat baik yang terkait dengan kebudayaan tradisi (kebudayaan lokal) maupun kebudayaan modern dan post modern.
“Tamansiswa harus dibangun kembali dengan melihat akar permasalahannya. Ki Hadjar Dewantara dengan pikirannya harus di terjemahkan dan di konversi menjadi situasi masyarakat saat ini, dimana demokrasi telah menjadi nafas baru di negeri ini. Suara gamelan, gerakan-gerakan tari tradisi, pameran-pameran lukisan serta diskusi dari berbagai nilai dan pandangan, itulah yang menunjukan Tamansiswa, rumah seni sebagai laboratorium dimana kebudayaan menjadi sangat penting. Karena di tempat itulah terjadi perdebatan-perdebatan mengenai kebudayaan dan nilai-nilai hidup yang di perjuangkan’ ungkap Ki Syahnagra mengakhiri.(Melki AS)
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template