Pages

Pentingnya Pendidikan Karakter

Sebuah Tinjauan Dasar;

Seorang siswa SMA Negeri 9 Yogyakarta, Yondi Handitya, mengadukan nasibnya ke LBH Yogyakarta karena kelulusannya di anulir pihak sekolah gara-gara akhlak yang bermasalah (Kompas, Jumat 30 April 2010). Kasus seperti ini seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi kita semua, bagi orang tua, bagi guru-guru dan terutama bagi Kementrian Pendidikan Nasional bahwa pendidikan di sekolah juga penting memasukan akhlak sebagai ukuran dalam penentuan. Keputusan tersebut, sebenarnya bisa menjadi tolak ukur pendidikan yang lebih baik dan terarah kedepannya. Jadi pendidikan tidak hanya ditentukan dengan penilaian secara simbolik (1-10 atau A-D) belaka, tetapi juga harus di konteks kan dengan nilai-nilai sesungguhnya didalam penghidupan yang membangun karakter seperti akhlak, moral, kepribadian dan watak.
Terjadinya berbagai tindakan yang inkonstitusi seperti markus, korupsi, asusila atau lainnya, sesungguhnya mengindikasikan bahwa adanya kebobrokan terhadap nilai-nilai yang berkaitan dengan moral ataupun mental. Moral dan mental ini kemudian, menurun kepada budi pekerti seseorang didalam kehidupan nyata (keberanian dan kejujuran). Artinya pendidikan memiliki peran yang sangat besar, dalam hal ini karena turut berfungsi dalam mentransformasikan nilai-nilai tersebut yang kemudian membentuk budi pekertinya.

Ki Hadjar Dewantara (KHD) dalam bukunya “Pendidikan; Bagian Pertama” mengartikan pengajaran budi pekerti adalah menyokong perkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin, dari sifat kodratinya menuju kearah peradaban dalam sifatnya yang umum. Ini berbeda dengan pengajaran biasa karena didalam pengajaran budi pekerti, lebih menekankan pada proses penganjuran kepada anak-anak agar membiasakan bertingkah laku yang baik supaya dapat pengertian dan penginsyafan pula tentang kebaikan dan keburukan pada umumnya, kemudian mampu melakukan pelbagai laku yang baik dengan cara disengaja. Inilah yang disebut dengan metode Tri Ng, “ Ngreti, Ngrasa, Nglakoni “ (Menyadari, Menginsyafi dan Melakukan). Ini hampir sama dengan pola pendidikan Islam yang metodenya ditekankan pada “Syariat, Hakikat Tarikat dan Makrifat”.
Jadi dengan adanya pendidikan karakter dan pengajaran budi pekerti didalamnya, maka kontroversi seperti pada kasus yang dialami Yondi tidak akan pernah terjadi. Dengan masuknya pendidikan karakter ke dalam sistem pendidikan nasional, setidaknya ada dua hal pokok yang sudah terpenuhi yaitu; Pertama, adanya obyektivitas dalam hal penilaian berdasarkan kapasitas, kualitas, kapabilitas dan akhlak. Kedua, dikembalikannya peranan guru yang sebenarnya sebagai yang pantas dalam menilai mutu dan kualitas peserta didik. Cuma masalahnya adalah pendidikan karakter itu belum terealisasi di Indonesia (baru di luncurkan pada peringatan hardiknas 2010).
Terlepas dari kesalahan bahwa keputusan itu belum diatur dalam sistem pendidikan nasional, keberanian guru SMA 9 Yogyakarta ini layak kita apresiasikan. Ini adalah jawaban nyata dari keresahan masyarakat yang meragukan metode Ujian Akhir Nasional (UAN) yang sentralistik dan seragam sebagai penentu kelulusan. Dengan pendidikan karakter, kita mempersiapkan watak dan kepribadian yang matang, bukannya generasi yang traumatis ataupun phobia. Karena dengan pendidikan karakter, pelajaran tidak hanya mencakup aspek kognitif (berfikir) saja, tetapi terpenuhi juga aspek afektif (nilai dan sikap) serta psikomotorik (ketrampilan) nya. Dan belajar dari kasus ini, maka ada secercah harapan akan pendidikan yang lebih berkualitas, bermoral dan mulia kedepannya. Bukan internasionalisasi, bukan kebarat-baratan tapi karakterisasi ke Indonesiaan. Itu yang terbaik.

Melki Hartomi AS
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template