Pages

BUDAYA SEBAGAI BASIS DEMOKRASI INDONESIA

Rangkuman Diskusi Kebangsaan; Refleksi Akhir Tahun

Secara Idiologis;

1. Filosofi dasar Indonesia merdeka termasuk sistem demokrasi yang dibangun adalah berdasarkan sila ke empat (ke- IV) Pancasila yaitu Kerakyatan Yang Di Pimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan.

2. Esensi sistem demokrasi yang harus di anut di Indonesia yaitu berdasarkan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia sendiri yang tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945.

3. Model demokrasi berdasarkan transaksi dan penghitungan suara atau voting merupakan bentuk nyata dari sistem demokrasi liberal dan ini harus kita tolak.

4. Demokrasi liberal bersifat individualistik, materialistik, pragmatisme dan bercirikan transaksional disertai paham internasionalisme sebagai acuan dalam pengelolaan penyelenggara negara yang mengakibatkan merugikan negara dan rakyat Indonesia.

5. Demokrasi liberal yang dibangun rezim reformis telah menjadi monster yang sangat mengerikan karena bangsa ini akhirnya kehilangan jati dirinya dan tercerabut dari akar budayanya sendiri.

6. Demokrasi liberal tidak memiliki identitas kebangsaan karena paham yang di kembangkannya melalui Globalisme dan Internasionalisme yang pada hakekatnya adalah penjelmaan politik penjajahan gaya baru imperialisme dan kapitalisme modern (lanjut).

7. Demokrasi transaksional adalah bagian dari demokrasi liberal yang lebih mementingkan pihak asing dan tidak pro rakyat sehingga kepentingan nasional di korbankan untuk memenuhi kebutuhan dan pesanan pihak asing, sementara kepentingan rakyat telah dikorbankan hanya demi mengejar demokrasi semu dan pencitraan yang dibangun dengan kemunafikan dan kebohongan.

8. Demokrasi kepartaian (dengan sistem perolehan 50 + 1) membawa bangsa ini terseret jauh kedalam sistem demokrasi liberal.

9. Demokrasi liberal selanjutnya mendidik masyarakat serta pemimpinnya menuju watak hedonis materialistis.

10. Kita harus mengikuti dan mentaati kembali Pancasila dan UUD 1945 (yg asli) karena itu merupakan sari-sari kebudayaan tanah air (local wisdom) yang bertolak dari akar budaya bangsa kita sendiri.


Secara Politis;

1. Rezim reformasi sebagai kepanjangan tangan kaum neo liberalisme internasional sudah berhasil menghancurkan idiologi negara Pancasila dan sistem ketatanegaraan, mengontrol dan mengendalikan sistem fiskal dan moneter serta mengontrol sistem pertahanan dan keamanan negara.

2. Mengingat bahwa nilai-nilai luhur budaya dan kearifan kebangsaan sudah mulai di hancurkan oleh kekuasaan subversi global melalui tangan-tangan kekuasaan rezim neoliberalisme orde reformasi sekarang ini, maka mari Selamatkan Indonesia sekarang juga.

3. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai simbol pusat kebudayaan Jawa dan kebudayaan Nusantara harus tetap di jaga dan di lestarikan.

4. Keistimewaan DIY sesungguhnya merupakan isi dari salah satu inti keanekaragaman budaya bangsa dalam untaian Bhineka Tunggal Ika untuk menumbuhkembangkan spirit etno-nasionalisme, pluralisme dan mutikulturalisme.

5. Isu demokratisasi melalui RUUK Yogyakarta dan sebagainya adalah pintu masuk untuk menghancurkan kearifan budaya lokal dan pranata sosial bangsa Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai luhur budaya bangsa sendiri yang sudah terbangun lama sejak Indonesia Merdeka.

6. Jangan gadaikan entitas dan identitas bangsa Indonesia dengan cara demokrasi transaksional dengan model pemilihan langsung karena hal tersebut tidak selaras dengan peradaban sosial masyarakat yang menganut paham Musyawarah Mufakat (bukan Liberal)


Secara Kebudayaan;

1. Budaya adalah hasil buah budi menusia yang luhur dan bermanfaat.

2. Budaya manusia akan berperan dalam membentuk karakter seorang manusia, selanjutnya membentuk kepribadian budaya bangsanya.

3. Konsep bernegara dan bermasyarakat dalam suatu komunitas budaya haruslah berpangkal pada akar budaya.

4. Dasar falsafah Pancasila adalah salah satu hasil budaya yang patut disyukuri, dijaga dan di taati karena keseluruhan isi dan intinya merupakan penggalian dari akar budaya yang sudah bercokol lama di sanubari masyarakat sejak beribu tahun yang lalu.

5. Pancasila merupakan hasil olah konsentrisitas budaya manusia Indonesia yang digali dari akar budaya sendiri sehingga mampu menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

6. Erosi terhadap jiwa Pancasila akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

7. Pertahankan budaya asli Indonesia sebagai karakter dan jatidiri bangsa Indonesia sendiri dalam peranan pembudayaan Pancasila.


Melki Hartomi AS
Persatuan Pemuda Tamansiswa
Penanggungjawab Kegiatan
Continue Reading...

SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX : ”PELOPOR DEMOKRASI BUDAYA”


Teks Pidato Penobatan :

”Dat de taak die op mij rust, moeilijk en zwaar is, daar ben ik mij tenvolle van bewust, vooral waar het hier gaat de Westerse en de Oosterse geest tot elkaar te brengen, deze beide tot een harmonische samenwerking te doen overgaan zonder de laatste haar karakter doen verliezen. Al heb ik een uitgesproken Westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf ik in de allereerste plaats Javaan. Zo zal de adat, zo deze niet remmend werkt op de ontwikkeling, een voorname plaats blijven innemen in de traditierijke Keraton. Moge ik eindigen met de belofte dat ik de belangen van Land en Volk zal behartigen naar mijn beste weten en kunnen”
”Sepenuhnya saya menyadari bahwa tugas yang ada dipundak saya adalah sulit dan berat, terlebih-lebih karena ini menyangkut mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerja sama dalam suasana harmonis, tanpa yang Timur harus kehilangan kepribadiannya. Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa. Maka selama tak menghambat kemajuan, adat akan tetap menduduki tempat yang utama dalam Keraton yang kaya akan tradisi ini. Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan Nusa dan Bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya” (Pidato Sri Sultan Hamengku Buwono IX, pada saat dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta, tanggal 18 Maret 1940)
Teks pidato diatas sengaja disajikan secara utuh agar dipahami maknanya dan dapat direfleksikan kembali tentang bagaimana suasana kebatinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada saat itu. Sebagaimana diungkapkan dalam pidato yang singkat, padat namun cukup visioneer telah mencakup dan menggambarkan pandangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengenai posisi dirinya, kraton, pemerintahan kolonial, adat – istiadat, tradisi barat serta nasib masa depan nusa, bangsa dan negaranya.
Sebelum Indonesia Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hemangku Buwono IX sudah merumuskan kebijakan yang menyangkut hubungan antar dua peradaban, yaitu mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerja sama dalam suasana harmonis, tanpa yang timur harus kehilangan kepribadiannya. Sebagian besar masyarakat Yogyakarta generasi 45 sampai dengan generasi 66 sangat memahami sejarah perjalanan dan karir politik BRM Dorojatun (nama kecil Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sebelum dinobatkan menjadi raja), dimana masa kecilnya hingga studi tingkat doktoralnya di fakultas Indologi, Rijks Universiteit, Leiden, Belanda.
Akan tetapi aneksasi kolonial dan pendidikannya di negeri Belanda tidak mempengaruhi jiwa dan kepribadiannya, sehingga pernyataan : ”Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa” ditegaskan kembali dalam pidato penobatan sebagai raja yang cukup sakral dan dihadapan para pejabat pemerintahan kerajaan Belanda yang dinilai sangat fenomenal.
Masa sulit yang menentukan Kemerdekaan RI :

Pada tahun 1940 sampai dengan tahun 1945 adalah masa – masa yang sangat sulit bagi dirinya, dalam usia yang relatif masih sangat muda sudah harus berhadapan dengan seorang Gubernur yang memiliki keahlian sebagai antropologi Jawa, bernama DR. Lucien Adam dan mewakili/atas nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Peristiwa penobatan sebagai raja bukanlah sebagai kemenangan bagi Sultan, namun justru sebagai momentum strategis Belanda untuk memperpanjang kontrak politiknya dalam memperlemah posisi pemerintah kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat.
Bargaining position yang tidak seimbang ini sangat menggelisahkan Sultan Yogyakarta yang baru saja dinobatkan, karena perjanjian (overeenkomst) antara pemerintah Hindia Belanda dengan Kesultanan Yogyakarta yang harus ditanda tangani pada tanggal 18 Maret 1940 sangat merugikan pihak Kasultanan. Dalam buku Tahta untuk Rakyat (Atmakusumah, dkk), cukup lama Sri Sultan mempertimbangkan hal yang cukup dilematis ini, namun karena mendengar bisikan hati sanubari yang paling dalam maka dibubuhkanlah tanda-tangan sebagai tanda persetujuan kontrak politik dengan keyakinan bahwa tidak akan lama lagi Belanda meninggalkan Yogyakarta.
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 telah mengubah sejarah dan membuka lembaran baru bagi Indonesia, setelah mendengar Ki Hajar Dewantoro berkeliling naik sepeda mengumumkan dengan suka-cita Kemerdekaan RI Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII pada tanggal 18 Agustus 1945 mengirimkan surat kawat kepada Pjs. Presiden Soekarno sebagai ungkapan rasa syukur dan ucapan selamat atas upaya perjuangan kemerdekaan, kemudian mendapat balasan dan disusul kemudian dengan mengirimkan Amanat pada tanggal 5 September 1945 yang bunyinya :
Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat menyatakan :
Pertama, bahwa Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Kedua, bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat mulai saat ini ada ditangan kami dan kekuasaan – kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya. Ketiga, bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyakarto Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung-jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Pada tanggal 30 Oktober 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII secara bersama – sama mengirimkan amanat serupa dengan menekankan adanya pembentukan Badan Pekerja yaitu Badan Legislatif (Badan Pembikin Undang-undang) untuk mengatur jalannya pemerintahan dimasa-masa yang akan datang. Secara Bottom-Up pada tanggal 6 Desember 1945, Negeri Kasultanan Yogyakarta dan Praja Pakualaman Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia mengeluarkan Maklumat No. 7 tentang Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Kelurahan yang ditanda tangani oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Paduka Paku Alam VIII sebagai Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sdr. Moh Saleh sebagai Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta. Setelah empat bulan kemudian menyusun Maklumat No. 14 yang mengatur tentang Dewan Perwakilan Rakyat Kelurahan dan Majlis Permusyawaratan Desa.

Pelopor Demokrasi di Indonesia :

Refleksi sejarah diatas menggambarkan bahwa seorang Sultan yang dilahirkan dan dibesarkan ditengah – tengah adat tradisi yang sangat ketat (monarkhi), masih sempat memikirkan proses demokratisasi dari level desa/kelurahan, kota/kabupaten, propinsi hingga pemerintah pusat, sehingga wajar apabila seorang pengamat politik Amerika bernama Harry J Benda menyatakan bahwa sejak jaman awal kerajaan Nusantara tidak pernah ada demokrasi, kecuali sejak tahun 1949 dan setelah dicetuskan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dalam peran sejarah kemudian, Sri Sultan turut serta membidani lahirnya universitas Gajahmada dari pagelaran Kraton Yogyakarta, lahirnya TNI dari Alun – alun utara, memfasilitasi Seminar Pancasila I di Sasana Hinggil Dwi Abad, mendirikan Pramuka, Membuat selokan Mataram utk menyelamatkan rakyat dari romusha, membiayai pemindahan ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta, menyelamatkan NKRI dari badai federalisme dan memfasilitasi Gedung Agung Yogyakarta untuk ibukota serta membagikan gulden miliknya untuk menggaji para pejabat negara saat itu.

DIY harus Selamatkan Demokrasi Pancasila :

Tidak terlalu berlebihan rasanya, apabila Yogyakarta menjadi pelopor demokrasi budaya (demokrasi deliberative) bagi Indondesia, saat ini proses pencerahan demokrasi di Indonesia setelah reformasi dan amandemen Undang Undang Dasar 1945 masih bergelut mencari format yang paling tepat dengan suasana ke-Indonesiaan yang berakar dari sejarah budaya Nusantara, maka memaknai ”keistimewaan” bagi Daerah Istimewa Yogyakarta sesungguhnya merupakan isi dari salah satu inti keaneka-ragaman budaya bangsa dalam untaian bhineka tunggal ika untuk menumbuh-kembangkan spirit etno-nasionalisme, pluralisme & multikulturalisme.
Paling tidak Yogyakarta telah membuktikan diri sebagai kawasan peradaban yang paling akomodatif dalam kancah perjuangan menuju masyarakat madani (civil-society), karena memang makna Ngayogyakarto Hadiningrat itu sendiri mengandung harapan, ajaran dan ajakan untuk menggapai kehidupan yang lebih baik bagi masyarakatnya, baik didunia maupun diakherat (baladil amin rahmatan lil alamin – baldatun thoyyibatun warobun ghofur).
Sebagai penutup, Yogyakarta tercinta yang telah memiliki entitas sekaligus identitas ini jangan digadaikan atas nama berlangsungnya demokrasi transaksional karena pelaksanaan pilihan kepala daerah langsung (prosedur demokrasi) yang cenderung individualistik-kapitalistik-liberalistik tidak selaras dengan peradaban sosial masyarakat kita yang menganut faham musyawarah – mufakat (QS: 26, As-Syuroo) untuk memilih pimpinan yang amanah, jujur, adil & bertanggung-jawab (substansi demokrasi).
Yogyakarta belum melaksanakan Pilsung Gubernur DIY harus dipahami sebagai taat azas terhadap amanat sila ke IV, Pancasila (demokrasi Pancasila) yakni terus bermusyawarah untuk mencapai mufakat dalam merumuskan Rancangan Undang – undang Daerah Istimewa Yogyakarta yang sejalan dengan konstitusi negara tanpa mengabaikan amanat sejarah & para pendiri bangsa, mengingat Trilogi Demokrasi Indonesia adalah negara kekeluargaan, masyarakat gotong – royong & mengutamakan asas musyawarah mufakat untuk mencapai keadilan sosial.

Yogyakarta, 30 Desember 2010

H.HERU WAHYUKISMOYO (Penjaga Gawang KeIstimewaan Yogyakarta)
Penulis Buku Demokratisasi VS Keistimewaan DIY (jadi tesis S-2 UGM, Politik Lokal) &
Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan HB IX (bahan disertasi S-3 UNY, Ilmu Pendidikan)
Jl Namburan Lor 1, Kraton, Yogyakarta,  CP: 0274-372722, 0274-7474222, 081328372222
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template