Pages

Tragedi 1965 : Sejarah Kelam Perempuan Indonesia



(Resensi Buku)

Sesudah proklamir kemerdekaan yang dibacakan dwitunggal Soekarno–Hatta tahun 1945, keadaan bangsa Indonesia tidak serta membaik dan terkontrol. Perang fisik memang berkurang, tapi pecahlah kemudian perang ideologi dikalangan elit bangsa seperti Presiden, Militer, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan lain-lain. Pemberontakan merebak dimana-mana dan persaingan dalam penentuan arah bangsa serta perebutan kekuasaan menjadi isu yang santer dan gelap. Salah satu contohnya adalah peristiwa pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Dari peristiwa itu, sangat jelas penggambarannya bahwa apa dan siapa yang bertarung di dalamnya. Tidak lain dan apalagi kalau bukan ideologi (teori yang akan melanggengkan dan memaklumkan untuk sebuah perebutan kekuasaan). Terlepas dari benar atau tidaknya peristiwa tersebut, valid atau tidaknya berbagai karangan tentang itu, tentunya menyisahkan penderitaan mendalam bagi rakyat Indonesia. Terutama rakyat yang hanya terkena imbasnya, tanpa terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kubu atau pihak yang bertarung. Penderitaan-penderitaan itu banyak yang akhirnya menjadi suara-suara terbungkam dan hanya cerita pahit masa lalu (sejarah yang terselubung) yang traumatik ketika di bicarakan. Tapi membaca sejarah kita sekarang, kiranya perlu dilakukan pembacaan ulang dengan sumber data maupun langsung dari narasumber yang valid, dituturkan secara jujur serta di tulis dengan kematangan analisis terhadap berbagai peristiwa. Suara-suara yang tadinya terbungkam, sudah selayaknya diingat kembali dan disuarakan kepada publik demi keteraturan dan kesejajaran sejarah bangsa di masa lampau. Seperti yang coba dilakukan oleh Ita F Nadia, seorang aktivis HAM yang mencoba menuturkan dan meluruskan catatan masa lalu kaum perempuan yang kelam seputar tahun 1965.
Seperti yang tertulis dalam buku sejarah pelajaran, bahwasanya tahun 1965 adalah tahun yang menegangkan bagi bangsa Indonesia dengan merebaknya isu penggulingan presiden Soekarno dari jabatannya. Dan kemudian tahun berikutnya, Soekarno memang benar-benar terjungkal dari posisinya dan digantikan oleh Soeharto yang tak lain adalah perwira menengah dimasa pemerintahannya. Ini tentunya tidak serta merta di serahkan (Soekarno ke Soeharto), melainkan melalui proses panjang dan berbagai sabotase ataupun intrik kejam. Sabotase serta intrik yang dimaksud ialah isu rencana kudeta yang akan dilakukan Dewan Jenderal (DD) yang akhirnya terjadilah pembantaian para jenderal-jenderal yang sebelumnya disiksa, disayat-sayat, kemudian (katanya) penisnya dipotong oleh PKI dan organisasi wanita atau Gerwani. Lagi-lagi, kebenaran peristiwa itu masih remang. Dan buah dari sabotase jahat itu sudah terlanjur memakan korban yang lumayan banyak. Terutama para perempuan yang dituduh Gerwani maupun hanya disangkakan saja (karena berdasar tulisan panjang serta dokumentasi secara oral history yang dilakukan penulis, ada juga perempuan yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan Gerwani, BTI ataupun PKI).
Penulis menuturkan dan menuliskan dengan baik kisah dibalik masa pahit penyiksaan perempuan ditahun 1965 tersebut. Memang tidak banyak narasumber yang bisa diangkatnya dalam buku itu, tetapi setidaknya dari beberapa orang perempuan penutur itu, cukup membukakan mata kita pada sejarah kekejaman militer maupun organisasi-organisasi pendukung Soeharto terhadap perempuan Indonesia. Seperti kisah sepuluh perempuan yang kesemuanya akhirnya harus menanggung siksa dera yang teramat sangat keji karena bergabung dengan organisasi komunis, hanya menari thok untuk acara komunis ataupun ber-suami-kan dengan seorang komunis. Mereka disiksa dengan sangat tidak manusiawi sampai mereka lebih pasrah mati ketimbang hidup. Perempuan-perempuan itu, yang dengan tiba-tiba di gelandang tentara karena disangkakan keterlibatannya dalam pembunuhan jenderal-jenderal, mengalami trauma yang tak terperikan. Mereka disiksa dengan ditelanjangi, diarak dijalanan, dimaki-maki dengan kata-kata kotor, dibilang pelacur, perempuan tak bermoral, tidak beragama dan sebagainya. Tidak hanya itu, didalam sel penjara, mereka juga mendapat pelecehan-pelecehan seksual seperti disuruh menari telanjang, diperkosa secara beramai-ramai yang dilakukan oleh oknum tentara, di setrum bagian vitalnya (seperti: puting payudara, klitorisnya bahkan sampai kedalam bagian vaginanya), serta tak jarang moncong senapan di masukan ke dalam kemaluan mereka.
“ Saya dikeluarkan dari sel, dan disuruh mandi disumur didekat sel. Sesudah mandi, saya di beri sehelai kain batik dan kemeja putih, lalu dibawa ke ruangan didekat pos penjagaan. Di ruangan itu ada satu tempat tidur dan meja kecil. Saya di suruh duduk, diberi obat dan segelas air. Saya berbaring ditempat tidur dan tertidur nyenyak. Ditengah sepi malam, tiba-tiba saya terbangun. Seketika saya menjadi sadar. Ternyata saya sudah dalam keadaan telanjang bulat. Seorang laki-laki tinggi besar sudah menindis tubuh saya dan dengan liar ia memperkosa saya. Saya merasa kesakitan luar biasa. Darah segar kembali mengalir dari vagina. Setelah merasa puas, ditinggalkannya saya terkapar tanpa daya ditempat tidur. Belum sempat mengatur nafas, sudah datang lagi laki-laki lain. Ia bertubuh kecil dan tinggi. Ia memperkosa saya dengan amat kasar, tidak peduli pada darah yang terus mengalir. Saya tidak sadar lagi, apa yang terjadi pada saya sesudah lelaki yang ketiga, seorang yang berperawakan pendek dan gemuk. Dengan berat tubuhnya ia menindis dan menindis tubuh saya sambil menggigit-gigit payudara saya yang bengkak. Saya pingsan.“ (Bagian ke-2, Partini : Perempuan Eks Tapol, Sampah Segala Sampah hal 62-63). Begitu yang diituturkan Partini, yang ditangkap tentara karena aktif dalam kegiatan Gerwani. Menurut beliau, keinginannya masuk gerwani karena mereka mengajarkan baca tulis pada ibu-ibu rumah tangga dan orang perempuan pada umumnya. Selain itu, mereka juga mengajarkan jahit menjahit di lingkungannya. Makanya ketika disangkakan sebagai perempuan yang terlibat dalam pembunuhan para jenderal, penyayat dan memotong penis para jenderal, Partini tidak pernah mengetahuinya. Tapi ketidaktahuan Partini tersebut, tetap membuat ia mendapat siksaan dan hukuman. Tidak hanya Partini, terdapat Rusminah dan Suparti yang tidak pernah terlibat dalam kegiatan partai komunis ataupun sayap-sayapnya, tetapi hanyalah seorang istri seorang PKI. Tapi mereka juga terkena imbas penangkapan yang membabi buta dari pihak tentara. Mereka juga di perlakukan sama seperti Partini, diperkosa beramai-ramai, di setrum, dijadikan gundik oknum tentara bahkan sering dibiarkan kedinginan karena di telanjangi siang malam, panas ataupun hujan serta sering dibiarkan kelaparan.
Bahkan karena saking berat dan pedihnya siksaan terhadap mereka, tidak heran ketika Sudarsi (bagian ke-6 hal 110) mengungkapkan keputusaasaan dan kekecewaan karena memiliki vagina dan payudara yang kesemuanya menjadi alat permainan laki-laki (tentara) dan kekuatan politik. Seperti yang banyak dituturkan narasumber di buku ini, penjaga malam atau tentara lainnya juga biasa meminta “:Bon Malam, (sebuah istilah lazim dikalangan tapol G30S yang artinya: dipinjam pada waktu malam untuk dibawa ke tempat lain bahkan tidak sedikit yang dibawa ke tempat pembunuhan entah dimana)”, untuk memenuhi nafsu seksual mereka dengan pergi kekamar yang telah disiapkan kemudian secara pasrah diperkosa secara bergilir dan bergantian sampai para tentara itu puas.
Membaca buku ini, kita memang diajak kedalam kengerian peristiwa penangkapan kaum perempuan eks tahanan politik. Penggunaan bahasa yang simple, menjadikan kita gampang dan mudah memahami alur peristiwa yang disajikan. Berbeda dengan buku lainnya, yang menyajikan peristiwa sejarah dengan banyak menggunakan bahasa yang tidak baku (secara Indonesia) karena merupakan adopsi bahasa luar ataupun sebuah terjemahan. Dalam buku ini, guna menghindari pemaknaan yang bisa terkesan ekploitasi, penulis dengan cermat juga merunut sisi pengungkapan sabotase dan intrik keji oknum tentara terhadap tahanan. Karena tidak hanya penyiksaan saja yang dituliskan, tapi juga dilengkapi dengan kesaksian narasumber yang terpaksa berbohong terhadap publik karena tidak kuat menahan siksaan. Intrik inilah yang dahulu digunakan tentara untuk menipu media dan publik dengan menanamkan fakta dan sejarah salah didalam masyarakat. Para perempuan eks tapol, seperti yang dituliskan, mau tidak mau harus menjawab “ya” dari setiap pertanyaan wartawan. Karena kalau tidak menjawab seperti kehendak tentara, maka bukan hanya disiksa, mungkin mereka akan dibunuh. Jangankan melawan perintah, mengibaskan tangan yang sedang menggerayangi tubuh mereka, tak segan tentara itu menyiksanya.
“Pada hari berikut beberapa orang menjemput dan menggiring saya ke pos tentara. Disini mereka menginterogasi saya selama dua hari tanpa henti. Selama masa interogasi, sering mereka meminta saya menari diatas meja interogasi dengan telanjang bulat. Kemudian laki-laki alat kekuasaan itu ganti berganti atau bersama sama menggerayangi bagian-bagian tubuh saya dengan semau-mau mereka. Kalau saya menolak menari atau mengibaskan tangan-tangan mereka, mereka akan menampar atau mengancam. ‘Satu kali lagi kamu menolak, satu nyawa kawanmu akan melayang’. Artinya, jika saya menolak, maka akan ada satu orang tahanan akan mereka bunuh. Kenyataan yang terjadi memang tidak terlalu jauh dari kata-kata mereka. Setiap kali saya menari dan menolak untuk mereka perlakukan tidak senonoh, beberapa tawanan akan digiring masuk keruang interogasi saya. Dan pertunjukan penyiksaan akan mereka lakukan di depan saya. Sementara itu saya harus terus menari. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan sesama tahanan itu, saya terpaksa harus terus menari telanjang sampai mereka bosan.” (bagian ke-10. Darmi: Saya Tinggal Sebatang Jasad. Hal 178). Begitulah kekejaman tentara yang dituturkan Darmi, seorang Penari Bali yang harus menanggung derita kekejaman tentara karena suami dan mertuanya seorang komunis.
Kembali ke masyarakatpun, perempuan eks tapol ini tidak serta merta bisa di terima lingkungan. Baru semenjak era 1999 mereka benar-benar bisa menghirup kebebasan yang sesungguhnya. Sebelumnya mereka selalu hidup dalam keterusiran akibat propaganda tentara dengan menyebar berita bohong bahwa mereka adalah perempuan kejam, sadis, pembunuh para jenderal, pelacur hina dan tidak bertuhan (atheis). Bahkan seperti yang dialami Darmi, tidak hanya masyarakat yang menolaknya, saudara lelakinya pun sampai ajal menjemputnya telah terlanjur menghapus namanya dalam silsilah keluarga karena termakan hasutan bohong.
Saya rasa buku ini bagus untuk dibaca semua kalangan. Dengan membaca buku ini, kita sedikit akan melihat sisi sejarah yang terlupakan di negeri ini. Dari buku ini juga, seharusnya dapat menjadi kritik otokritik bagi pemimpin negeri ini, penulis sejarah maupun departemen pendidikan untuk meluruskan kembali sejarah terutama sejarah dalam pelaksanaan pembelajaran. Tidak melulu menggunakan yang lama karena ternyata banyak yang tidak relevan yang telah di tulis dalam pemerintahan orde baru. Meskipun tanda baca di buku ini masih banyak yang kurang tepat, tetapi pengatar yang diberikan Prof. DR. Saskia E. Wieringa turut juga memberikan pencerahan untuk bagaimana melihat lebih obyektif lagi sejarah bangsa ini terutama seputar tahun 1965 tentang Gerwani, Kup 1 Oktober 1965 yang sebenarnya mempersetankan perempuan, serta trik yang dipakai Soeharto dengan menciptakan kekacauan, dengan menerapkan politik seksual termasuk propaganda dan sabotase-sabotase kejadian yang sesungguhnya.

Melki AS
Continue Reading...

Dies UST ke-54 : Wayang, “Semar Mbangun Khayangan”


Ada sesuatu yang berbeda dengan rangkaian peringatan Dies Natalis Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) ke-54 kali ini. Selain berjuang dalam Pendidikan, kali ini UST juga bergerak dalam bidang Kebudayaan. Lalu seperti apa acara Kebudayaan yang coba dilakukan dalam rangkaian peringatan ini?
Hujan masih menggerimis tatkala tamu berdatangan. Dari pojok belakang kampus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UST yang agak remang itu, tampak sekelompok orang yang berbusana batik dan berkebaya. Mereka adalah para pemain wayang (dalang, kru musik maupun sinden). Mereka terlihat sesekali berbincang-bincang antar sesama. Mungkin membincangkan lakon yang akan dibawakan nanti atau lainnya. Dilihat dari depan, terlihat sebuah panggung yang sudah di penuhin dengan beberapa tokoh wayang yang terjejer dari kiri sampai kanan. Tamu silih berganti berdatangan. Seliweran mobil maupun motor sudah mulai memadati parkiran yang tersedia. Begitupun dengan kursi-kursi yang ada. Tampak disebelah dalam diisi oleh jajaran Tamansiswa mulai dari Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Yayasan, Pinisepuh, Keluarga Ki Hadjar Dewantara, Senat Universitas, Rektor UST, Wakil Rektor, Dekanat dan dari jajaran dosen dan karyawan. Di sebelah luar tampak pula dipadati oleh warga sekitar maupun masyarakat yang senang dengan kebudayaan wayangan ini.
Ya, malam itu UST mengadakan acara wayangan semalam suntuk. Acara yang dilakukan sabtu malam minggu tanggal 21 Novermber 2009 ini digelar untuk menyemarakkan rangkaian Dies Natalis UST yang sekarang sudah berusia 54 tahun. Seperti yang dituturkan Ki Edi Irianto, selaku ketua panitia, acara wayangan ini dilakukan untuk tetap melestarikan ajaran Tamansiswa sebagai badan perjuangan pendidikan dan kebudayaan. Selain itu, acara wayangan semalam suntuk ini digelar sebagai wujud syukur terhadap kondisi UST sekarang ini. “ Kenapa dipilih wayang, karena wayang itu cocok untuk saat ini karena kita syukuran atas perkembangan program studi-program studi yang tumbuh dan peningkatan kuantitas mahasiswa yang semakin banyak. Selain itu, sebagai hiburan yang dipersembahkan kepada masyarakat, wayang telah dicatat oleh PBB sebagai tradisi yang harus dilindungi dan mendapatkan penghargaan. Wayang termasuk juga karya budaya internasional ” ungkap Edi.. Ki Tarto Sentono, selaku Dekan FKIP yang memprakarsai acara wayangan ini berharap UST kembali menjadi ikon pendidikan dna kebudayaan dimasa akan datang. “Kalau dahulu disini (Jalan Batikan tempat FKIP berlokasi) lebih terkenal oleh kalimambu nya, mulai dari sekarang orang akan lebih kenal lagi bahwa ada UST disini. Jadi UST kembali bisa menjadi ikon lagi” tuturnya.
Ki Prof. DR. Djohar MS, Rektor UST, juga dalam pidato pembukaannya mengatakan bahwa lakon Semar (salah satu tokoh dalam kisah pewayangan), sangat cocok dengan pamong (guru). Karena secara filosofis, baik semar maupun pamong adalah bertujuan sama yaitu membangun. Sebagai pengamat pendidikan juga, beliau tak lupa mengingatklan para pamong (guru) bahwa dalam mendidik harus mencintai semua murid,apakah dia pintar, bodoh atau lainnya dan juga guru tidak boleh memihak. “guru harus punya dedikasi dan dalam melihat anak-anak, mereka harus benar-benar mengamalkan Tut Wuri Handayani” ungkapnya.
Ditambahkan Edi, lakon “Semar Mbangun Khayangan” dalam pewayangan ini memang menampilkan tokoh Semar karena dia adalah pamong yang sangat bijaksana. “Nah dari itu, kita pengen para pamong, khususnya di UST, Tamansiswa pada umumnya bisa mengikuti sifat-sifat Semar yang menghantarkan para ksatria menuju kesuksesan hidupnya. Jadi semar adalah lambang pamong atau guru bagi para ksatria. Kemudian cerita “Semar Mbangun Khayangan”, dimaksudkan supaya guru harus membangun pribadi dirinya sendiri supaya bisa lebih baik lagi. Khayangan yang dibangun itu maksudnya adalah pribadinya sendiri” ungkapnya. Mengenai keterkaitan terhadap kondisi bangsa sekarang ini, Edi juga menambahkan bahwa memang bisa juga menjadi kritikan bagi semuanya. Karena Semar Mbangun Khayangan menceritakan tentang Negara juga. Negara yang di kuasai oleh para ksatria yang di emong oleh Semar.” Jadi kalau yang di emong ini banyak yang salah, dalam cerita ini akan diingatkan lagi oleh semar. Artinya kalau dalam Negara ini banyak yang salah, bisa di ingatkan oleh para pamong. Dan itu akan disinggungkan dalam cerita ini nanti, dimana nanti rakyat akan mengingatkan para pemimpin” tambahnya.
Ki Seno Nugroho, sebagai pimpinan rombangan wayang, mengungkapkan bahwa dipilihnya lakon ini karena didasari atas keprihatinan terhadap sosok Semar. Menurutnya, Semar itu adalah pamomong yang selalu mengawasi pendowo. Keprihatinan sosok semar ini karena ada sedikit ketidak beresan, makanya beliau bermaksud mbangun khayangan. “Khayangan disini maksudnya adalah moral dan akhlak, supaya negara bisa tenteram adil dan makmur. Mengenai permasalahan bangsa ini, lakon ini akan menggambarkan juga keprihatinan yang diwakili Semar dan harapannya nanti bisa menjadi kritik konstruktif terhadap negeri ini” imbuhnya.
Menjelang dimulainya acara, kerumunan penonton semakin memenuhi tempat, bahkan sampai diluar tenda. Mereka rela tidak mendapatkan kursi tempat duduk dan tetap berdiri demi menonton acara ini. Hujan yang tadi gerimis, seakan paham dengan keadaan dan berhenti tatkala sang dalang mulai memainkan perannya. Begitu kharismatik, sehingga penonton serasa terbuai dalam alur cerita itu. Hendro, seorang mahasiswa yang turut datang menonton pagelaran itu mengungkapkan rindu dengan kesenian wayang seperti ini. “Dahulu di tempatku setiap ada pesta pernikahan, malamnya selalu ada wayangan. Tapi sekarang sudah jarang Mas. Sekarang malah sering dangdutan. Tapi meski saya kurang paham dengan bahasanya (tapi tidak semua), tapi saya senang bisa kembali melihat pagelaran ini. bagi saya, ini menginspirasi saya untuk bisa lebih baik kemudian hari. Cerita ini bagi saya adalah kritik bagi diri sendiri untuk bisa berbuat dan berprilaku baik kepada sesama” ungkapnya.

Melki AS
Continue Reading...

Pendidikan Harus Merakyat, Tidak Diskriminatif



Seiring dengan baru terbentuknya pemerintahan SBY-Boediono 2009-2014, sejumlah jajaran menteri pun banyak yang mengalami pergantian. Termasuk salah satunya menteri pendidikan Nasional (MENDIKNAS) dari Bambang Sudibyo (era SBY-JK) digantikan oleh M. Nuh (sebelumnya Menkominfo era SBY-JK). Bergantinya Mendiknas kali ini, tentunya mengemban pekerjaan rumah yang harus diselesaikan segera. Seperti yang pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya, permasalahan dalam dunia pendidikan masih banyak yang belum terselesaikan. Contohnya seperti Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU-BHP), masalah sertifikasi, dan lain-lain yang sampai sekarang masih ditentang banyak kalangan baik akademisi maupun mahasiswa. Tidak hanya itu, carut marutnya pendidikan nasional sekarang tentunya harus ditangani se-segera dan se-professional mungkin. Mengingat sosok Mendiknas kali ini dipilih berdasarkan profesionalitas dan bukan lewat partai politik. Carut marutnya pendidikan nasional di negeri ini sudah bukan hal rahasia lagi di masyarakat. Karena masyarakat sudah mulai melek akan keadaan pendidikan dan ini tentunya melahirkan kritik otokritik terhadap pimpinan baru di Kementrian. Hal-hal yang dirasa dapat merusak sisitem pendidikan seharusnya dipertimbangkan kembali untuk diurai benang merahnya kemudian dihasilkan terobosan-terobosan atau formula yang bisa menciptakan iklim pendidikan yang lebih baik, bermutu, merata, adil bahkan makmur. Kebijakan-kebijakan yang kurang populis sudah selayaknya dilakukan pengkajian dan peneliti-peneliti sudah seharusnya berpijak pada tataran konseptual, tidak melulu tekstual. Pendidikan yang merakyat harus segera direalisasikan, biar semua elemen dari semua lapisan masyarakat bisa mengenyam pendidikan dan tujuan awal pendidikan benar-benar tercapai. Sang anak didik benar-benar harus dibentuk dengan mental mandiri dan mampu berkarya dengan kempuan yang ada dalam dirinya masing-masing. Tentunya ini tidak gampang karena untuk membenahi itu semua, butuh perombakan besar terhadap berbagai kebijakan, termasuk juga kebijakan tentang nilai ukur kemampuan sang anak didik sekarang, dimana untuk mengukur kemampuan belajarnya hanya ditentukan lewat hafalan dan tes atau uji selama beberapa hari (UN). Tentunya ini perlu ditinjau, apakah masih relevan ataukah memang tiada berguna.
Ujian Nasional (UN) itu merusak otak anak, merusak sistem pendidikan kita dan merusak model pembelajaran kita, jadi UN sama saja tidak ada gunanya. UN itu hanya bermakna kalau ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya saja. Selain itu, UN itu tidak ada makna apa-apa lagi. Dengan adanya UN, guru-guru menjadi diabaikan. Guru diganti dengan bimbel sehingga kepercayaan terhadap guru habis. Hal ini berbahaya karena pendidikan akhirnya akan jadi runyam. Karena itu bukanlah pencapaian ukuran intelektual, malah dengan adanya UN, anak-anak menjadi terbebani otaknya. Seharusnya, untuk mengukur keberhasilan pencapaian siswa itu adalah dilihat dari proses belajarnya. Seharusnya seperti itu pencapaian yang dicari, bukan dengan mendadak banyak menghafal. Padahal dengan mengahapal banyak, setelah tiga hari, itu semua bisa hilang. Itu artinya sama saja tidak ada gunanya karena belajar banyak, tapi perolehannya sedikit. Padahal yang kita perlukan adalah belajarnya sedikit tapi perolehannya banyak.
Demikian yang disampaikan Prof. Djohar MS, selaku pengamat pendiidkan yang sekaligus Rektor Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) di kantornya (19/11/09) jalan Kusumanegara Yogyakarta. Pendidikan, menurut beliau, sudah tidak memihak lagi kepada rakyat. Padahal pendidikan sejatinya untuk semua rakyat. Artinya pendidikan sudah bersifat deskriminatif. Contohnya adanya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang sejatinya tidak ada tujuannya. Sekolah seperti itu sebenarnya tidak perlu ada. Justru dengan adanya sekolah seperti itu, membuat keadaan bangsa ini terkoyak-koyak. ini sama saja dengan ancaman terhadap bangsa. Secara profesionalitas guru berdasarkan pemerintah, sekolah nasional justru lebih bagus dibanding dengan SBI. Juga menjadi kelemahan guru-guru terhadap susahnya meningkatkan kualitas pendidikan ialah mereka tidak mengeti filsafat ilmu. “Mereka hanya mengkaji teori yang sudah ada terus saja, tapi tidak mencoba membuat konsep yang bisa dijadikan bidang ilmu. Dan untuk mengubah kualitas itu, guru terlebih dahulu harus paham filsafat ilmu” imbuh Djohar MS. Mengenai UU BHP yang ada sekarang ini, menurutnya hanya membuat pendidikan dipasarkan yang akhirnya membuat pendidikan harus berkompetisi dan hasilnya jelas hanya pada yang unggul saja. Lalu bagaimana dengan yang kurang unggul, mereka mau dikemanakan. Padahal ditempat kita ada sekitar 60 % yang kurang unggul. Sama seperti program sertifikasi juga. Justru dengan adanya sertifikasi, yang dipikir guru hanyalah uangnya saja dan bukan pada peningkatan mutu dan kualitas pendidikan” imbuhnya.
Tak hanya itu, Djohar juga mengkritik para ilmuan yang menurutnya seharusnya hebat dan pandai dalam membuat konsep-konsep terutama konsep dalam pendidikan. “Ilmuan ibaratnya seperti pemulung. Mereka hanya menemukan badan ilmunya saja. Tidak mengkaji dan membuat konsepnya itu. Dan itu tentunya sangat fatal kalau tidak diubah karena berimbas pada pendidikan berikutnya. Bisa jadi akhirnya pendidikan kita jadi pemulung juga. Jangan anggap ilmuan itu hebat, padahal sama saja. Kalau hanya bisa memungut, yakinlah tidak akan ada kemajuan. Akhirnya terjadilah pendidikan yang bersifat tekstual teoritis. Jadi kalau mau perubahan dalam pendidikan, harus ada perombakan yang total” tambahnya.
Ditambahkannya juga bahwa untuk merubah keadaan pendidikan yang runyam ini, filosofi pendidikan harus dipahami dan dijawab dengan jelas, seperti pendidikan mau dibawa kemana, diselenggarakannya bagaimana dan untuk tujuan apa serta anak-anak harus bagaimana. Ini seharusnya yang dijawab untuk membawa pendidikan keluar dari lingkaran kusut ini. Dan yang terpenting menurutnya lagi, pola pembelajaran harus diubah. Pola pembelajaran secara tekstual, harus diubah menjadi faktual dan konseptual. Jadi kita bisa membelajari objek dan nanti penemuannya dijadikan konsep. “Karena dengan itu kita akan menghasilkan manusia yang terdidik, berilmu dan berpengetahuan. Dengan berilmu, dia akan mengerti dalam memecahkan masalah. Dengan berpengetahuan, artinya dia memperoleh pengetahuan-pengetahuan dan dengan terdidik, dia punya dampak prilaku dalam menimbang dan mengukur secara hati-hati dan cermat. Jadi kalau seperti ini, prosesnya akan keliahatan dan terukur.

Melki AS
Continue Reading...

Sanusi Pane dalam Melankolisme Sastra Indonesia



Dunia sastra memang sudah terkenal dari zaman ke zaman. Banyak novel maupun roman atau puisi yang telah beredar dan menjadi kisah sepanjang hidup. Dan banyak pula dari itu yang menggambarkan kebiasaan atau adat dari suatu daerah. Sebut saja roman Siti Nurbaya karangan Marah Rusli yang menggambarkan suatu adat tentang kawin paksa yang berasal dari daerahnya Sumatera barat. Roman yang menceritakan seorang gadis yang karena adat istiadat harus kawin secara paksa. Sang pengarangpun dengan sangat professional mengarang naskah itu sehingga arti dan tujuan yang dimaksud mudah dipahami dan dimengerti. Mungkin itu sekilas roman dari angkatan 20-an yang telah kita dengar bahkan baca berulang-ulang.
Sedikit mengulas tentang sastra, disisni mungkin kita mengetahui karya-karyanya tapi kita tidak mengetahui siapa pengarangnya. Dari ulasan yang akan kami sajikan sekarang, saya mencoba menyajikan apa dan siapa yang telah turut menghias baik dunia sastra kita dari dulu sampai sekarang. Dan juga kita berkeinginan supaya dunia sastra kita terus berkembang dan menghasilkan sesuatu yang betul-betul bermanfaat. Data yang disajikan ini merupakan penelitian dari biografi pengarang yang dikerjakan oleh staf Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, khususnya oleh para peneliti Bidang Sastra Indonesia dan Daerah. Juga data yang disajikan kali ini didapat dari data perpustakaan Pusat Dokumentasi sang kritikus sastra Hans Bague Jassin maupun yang sudah dibukukan seperti Antologi Biografi Pengarang Sastra Indonesia 1920-1950 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1997).
Seperti yang kita ketahui, dizamannya kurun waktu angkatan 20-an lahir banyak pengarang handal berasal dari daerah Sumatra Barat. Seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Aman Datuk Mudjoindo dan lain-lain. Ada juga pengarang yang berasal dari daerah Sumatra Utara seperti Merari Siregar atau yang lainnya. Nah kali ini kami akan menyajikan biografi seorang pengarang yang berasal dari daerah Sulawesi. Tepatnya dia berasal dari Muara Sipongi, Tapanuli Selatan yang lahir pada tanggal 14 november 1905. pengarang satu ini juga merupakan kakak dari pengarang yang telah berhasil menelurkan roman yang berjudul belenggu ( Armijn Pane ). Siapa dia kalau bukan Sanusi Pane.
Kalau kita melihat sisi latar belakang kelurganya, kita teringat polemiknya dengan Sutan Takdir Alisyahbana (pujangga baru, april 1937) tentang kehidupan dinegara barat yang berusaha keras untuk bisa menaklukan alam yang berakibat timbulnya paham materialisme dan individualisme. Hal ini sangat berbeda dengan kehidupan yang terjadi di daerah timur yang alamnya tidak sekeras di daerah barat. Dari pandangan seperti itulah, Sanusi Pane mencoraki karya-karyanya. Keseharian Sanusi Pane pun bias dikatakan sebagai orang yang perendah. Itu karena dia tidak suka untuk membanggakan apa-apa yang telah ia perbuat. Bahkan Sanusi pane pun mengatakan dirinya bukan bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa saat diwawancarai oleh J.U. Nasution yang saat itu ingin memburu dan menulis karya karangannya (nasution 1963). Yang lebih mengagetkan lagi dari kepribdian Sanusi Pane disini ialah penolakannya pada saat presiden Soekarno ingin memberikan Satya Lencana Kebudayaan kepadanya. Penolakan itu bukan tidak beralasan. Seperti yang terkutip, “Indonesia telah memberikan segala-galanya bagiku. Akan tetapi, aku merasa belum pernah menyumbang sesuatu yang berharga baginya. Aku tidak berhak menerima tanda jasa apapun untuk apa-apa yang sudah aku kerjakan. Karena itu adalah semata-mata kewajibanku sebagai putera bangsa”. Demikian alasana penolakannya untuk menerima penghargaan dari presiden pertama RI itu.
Sebagaimana kebudayaan Hindu, rupanya Sanusi Pane juga sangat menyerap arti dari pembelajaran agama itu. Terbukti dengan penolakannya terhadap penghargaan itu yang dianggap hanya bersifat jasmani dan jika manusia tidak bias melepaskan keduniawiannya, maka ia tidak akan mencapai kebahagian sejati dialam baka nanti. Artinya disini, dunia hanya berda dalam kehidupan maya belaka, bahkan secara eksrim, dunia ini jahat dan karena itu manusia harus berjuang untuk melepaskan belenggu. Sama seperti umat hindu lainnya, mungkin Sanusi Pane beranggapan bahwa dunia ini adalah maya dan untuk apa semua umat berlomba menguasai dunia yang hanya penuh dengan kesemuan belaka. Mereka (umat Hindu) menganggap bahwa ruh manusia didunia ini diciptakan dari ruh dunia, ruh yang universal dan akan meresap kembali dengan ruh dunia itu. Disanalah kebahagiaan akan tercapai bila manusia berhasil melepaskan diri dengan hal-hal yang bersifat materi. Tampaknya agama Hindu sangat masuk kedalam sanubri Sanusi Pane yang semula dilahirkan dari kalangan islam. Ini terbukti dengan terciptanya Himpunn Mahasiswa Islam (HMI) yang dipelopori oleh kakaknya Prof. Drs. Lafran Pane. Tetuntunya sangat bertentangan sekali ketik Sanusi Pane berwasiat ketika ia akan meninggal agar di perabukan layaknya pujangga-pujangga Hindu dahulu dan permintaanya tentulah tidak disetujui karena melanggar hukum agama sebagaimana yang telah diembannya dan keluarga sejak lahir. Didalam kehidupanya juga, Sanusi Pane pernah pantang makan daging sebagaimana orang Hindu yang menganggap bahwa kita harus menyayangi sesama tanpa terkecuali dengan binatang dan konsekwensi dari rasa sayang itu tadi ialah tidak boleh memakan dagingnya. Dalam ajaran Hindu juga membawanya untuk tidak banyak menuntuk kehidupan duniawi. Dia hanya cukup dengan kehidupan biasa. Asalakan masih bisa makan cukup. Sampai pada waktu dia bekerja dibalai pustakapun, tingkatan jenjang atau jabatan yng pernah ditawarkan ditampik begitu saja tanpa jawaban sampai dia pensiun. Sanusi Pane selama bekerja juga enggan untuk diantar dan dijemput. Dia lebih memilih berjalan kaki saja.
Melihat latar belakang pendidikannya pun, Sanusi Pane mengawalinya di Hollands Inlandse School (HIS) di padang Sidempuan dan Tanjungbalai. Setelah itu ia melanjutkan ke Europeesche Lager School (ELS) di Sibolga, kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreit Lager Onderwijs (MULO) di padang dan Jakarta. Setamat dari MULO tahun 1922, kemudian ia masuk sekolah pendidikan Guru yang pada saat itu bernama Kweekschool di gunung sahari, Jakarta sampai tamat tahun 1925dan langsung diangkat menjadi Guru disekolahan tersebut. Pekerjaan mengajar itu dilakoninya lebih kurang selama enam tahun sampai tahun 1931. selain itu, Sanusi pane merupakan salah satu pendiri majalah Pudjangga Baroe sebagai pembantu utama. Dan dia juga pernah bekerja juga di Balai Pustaka. Selama hidupnya, Sanusi Pane juga pernah kuliah di Rechtshogeschool atau perguruan tinggi kehakiman selama satu tahun.
Memang ketenaran Sang Sanusi pane semasa hidupnya kurang terkenal seperti adiknya Armijn Pane. Tapi, menurut nasution juga, Sanusi Pane merupakan penulis drama terbesar sebelum perang pada masa itu atau pada masa angkatan pujangga baru. Diselang menulis drama, Sanusi Pane juga terkenal sebagai penulis puisi. Pada masa gerakan pujangga baru, pandangan orang terhadap kebudayaan bangsa Indonesia pada umumnya ada perubahan yang cukup mencolok dibandingkan dengan angkatan sebelumnya. Perbedaan pandangan kebudayaan itu menimbulkan polemic yang cukup seru dan melibatkan beberapa tokoh kenamaan seperti Ki Hadjar Dewantara, Purbatjaraka, Sutomo, M Amir, Adinegoro, Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane sendiri. Karangan yang muncul dalam polemic para ahli kebudayaan itu kemudian dikumpulkan oleh Achdiat Karta Miharja (1977) dan menjadi sebuah buku yang berjudul Polemik Kebudayaan.
Didalam hidupnya, Sanusi Pane juga menyukai ketenangan dan kedamaian. Ini menjelma di dalam karyanya baik puisi maupun drama. Itulah yang menyebabkan dia mendapat julukan sebagai pengarang romantic. Sanusi Pane mamandang bahwa lam tidak hanya sebagai lambing tapi juga sebagai objek pengubahan sajak-sajaknya yang mendendangkan alam seperti “sawah, teja, dan menumbuk padi”. Keindahan sawah menyemtuh kalbu sang pujangga. Padi yang sedang menguningmalambai-lambai. Suara suling petni sejuk terdengar mendamaikan hati.sekelompok anak bercanda ria, berkejar-kejaran karena kegirangan mandi disungai yang airnya jernih.langit cerah dan brewarna biru menandakan kedamaian dan ketenangan. Dikejauhan tampak seekor burung elang melayang-layangdiudara menikmati alamnan permai. Suara berdesik dari dedaunan yang berbisik merdu karena terbuai angin nan lembut. Sayup-sayup terdengar kokok ayam menambah kedamaian jiwa yang mendengarnya.
Melihat dari beberapa buah karyanya, nampaknya Sanusi Pane memang terlahir dengan membawa jiwa yang ke-romantisan. Sajak-sajak seperti angin, rindu, bagi kekasih, kemuning, dan bercinta, sangat kental sekali dengan nuansa romantis yang ditimbulkannya didalam jiwanya itu. Juga dalam sajak terbesarnya yang terdapat dalam Madah Kelana yakni Syiwa Nataraja merupakan kata hati pengarang yang selalu ingin menyatu dengan alam. Selain itu semua, kita msih bias menemuklan sajak-sajak lainnya yang senada seperti awan, penyanyi, pagi, damai dan bersila. Dari sajak-sajak itu jelas terlihat Sanusi Pane ingin mengajak kita semua untuk menyatu dengan alam. Dalam hal penulisan drama, seperti yang diungkapkan tadi, bahwa dia adalah penulis yang terbesar saat itu. Sanusi Pane sebagai penulis telah mampu menelorkan bebarapa drama baik dalam bahsa Indonesia maupun dalam bahasa belanda. Dramanya dalam bahasa inonesia antara lain Kertajaya, Sandyakala ning Majapahit, serta Manusia Baru. Didalam bahasa Belandapun, dia telah membuat drama dengan judul Air langga dan Enzame Garoedavlucht.
Berbicara masalah drama romantis ini, tentunya kita teringat dengan pujangga Inggris Shakespeare yang terkenal dengan cerita Romeo dan Juliet-nya. Begitupun juga dengan Sanusi pane. Dramanya tentang Kertajaya juga mengisahkan trageti dua pasang anak manusia (Dandang Gendis dan Dewi Amisani) yang akhirnya mati bersama dengan cara bunuh diri. Tapi penyelesaian drama ini sempat menjadi controversial dibanding dengan fakta sejarah. Sttuterheim menyatakan bahwa Kertajaya mengasingkan diri sebagai petapa sedangkan Krom mengatakan bahwa setelah Kertajaya kalah dalam pertempuran, dia menghilang tidak tahu kemana, apakah sudah mati atau belum. Tapi itulah keperibadian Sanusi pane sabagai seorang sastrawan timbul. Memang sastrawan bukan ahli sejarah tapi dia bebas menentukan akhir dari cerita yang dia buat. Dari cerita itulah kita bisa melihat jiwa keromantisan dari pengarang Sanusi Pane yang sangat mendorongnya untuk mengakhiri ceritanya dengan tetesan air mata.
Dorongan hati untuk terus menciptakan karya yang mengharukan yang dapat mencucurkan air mata bagi para pembaca atau penonton juga terdapat didalam dramanya yang berjudul Sandyakal Ning Majapahit. Akhir cerita ini sama sekali berbeda dengan buku yang dijadikan dasar pembuatan cerita yakni Serat Damarwulan. Kalau dicerita Serat Damarwulan diakhiri dengan happy ending, dengan berhasilnya Damarwulan membawa kepala menak jingga ke Majapahit yang menyebabkan dia mendapat hadiah dengan menikahi sang ratu. Sebaliknya dalam cerita Sanusi, dia mengakhiri ceritanya dengan tragis dimana Damarwulan dituduh sebagai penghianat dan sudah pasti tak bakal lepas dari hukuman mati. Didalam cerita Sanusi Juga, setelah kematian Damarwulan, kerajaan Majapahit diporakporandakan bala tentara dari kerajaan Bintara.
Drama Sanusi Pane yang terakhir yang berjudul manusia baru akhirnya terbit setelah tujuh tahun drama keduanya. Di dalam drama ini terlihat modernitas dari Sanusi Pane. Dia lebih menekankan pada kebahagiaan manusia baik lahir maupun batin. Disini juga dunia tidak dianggap jahat lagi yang perlu dijauhi dan dihindari sebab menghindari dunia, hidup tidak bisa dipertahankan. Didalam drama manusia baru ini, mencakup juga ide akan emansipasi wanita yang tampak diakhir cerita yang menggambarkan pemberontakan seorang perempuan yang bernama Saraswati yang rela meninggalkan tunangannya sejak kecil dan keluarganya untuk mengikuti kemana langkah Surendranath Das pergi demi cintanya, demi kemajuan bangsanya, demi kemajuan manusia, manusia baru. Cerita dalam drama ini sangat menarik sekali karena kisah dari penokohannya mirip dengan kisah yang dialami sang pengarangnya sendiri. Cerita ini mirip dengan kisah pengarangnya karena sewaktu Sanusi Pane ingin melamar bidadari pujaan hatinya, pihak kelurga perempuan meminta Boli ( mahar ) sebesar tiga ribu gulden dan Sanusi merasa sangat berat lalu dia mengajak sang bidadarinya untuk melakukan marlojong (kawin lari). Karena keduanya sama-sama mencintai, akhirnya sang mertua menyetujui dengan menurunkan mahar menjadi tiga ratus gulden yang diketahui juga setelah pernikahan bahwa uang mahar itu hasil pinjaman Sanusi. Dan akhirnya juga sang mertua yang harus membayar hutang dari mahar pernikahan Sanusi dengan Anaknya itu.
Kini Sanusi pane telah tiada. Tanggal 2 Januari 1968, ketika fajar mulai menyingsing, sang pujangga itu di panggil yang maha kuasa untuk menghadapnya selama-lamanya. Dia pergi dengan penuh kedamaian. Dia mengabdikan dirinya dengan tulus ikhlas untuk kemanusiaan. Semoga ia mendapat kebahagiaan “petala nirwana”. Sanusi Pane meninggalkan seorang istri dan enam orang anak tanpa meninggalkan kekayaan yang berupa materi sedikitpun bahkan rumahpun tak dimilikinya. Kekayaannya yang terbesar yang ditinggalkannya hanya karya-karyanya yang terus melekat disanubari setiap manusia Indonesia dan nama indah yang terukir sepanjang sejarah sastra Indonesia.(dari berbagai sumber)

Melki AS
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template