Pages

Dies UST ke-54 : Wayang, “Semar Mbangun Khayangan”


Ada sesuatu yang berbeda dengan rangkaian peringatan Dies Natalis Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) ke-54 kali ini. Selain berjuang dalam Pendidikan, kali ini UST juga bergerak dalam bidang Kebudayaan. Lalu seperti apa acara Kebudayaan yang coba dilakukan dalam rangkaian peringatan ini?
Hujan masih menggerimis tatkala tamu berdatangan. Dari pojok belakang kampus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UST yang agak remang itu, tampak sekelompok orang yang berbusana batik dan berkebaya. Mereka adalah para pemain wayang (dalang, kru musik maupun sinden). Mereka terlihat sesekali berbincang-bincang antar sesama. Mungkin membincangkan lakon yang akan dibawakan nanti atau lainnya. Dilihat dari depan, terlihat sebuah panggung yang sudah di penuhin dengan beberapa tokoh wayang yang terjejer dari kiri sampai kanan. Tamu silih berganti berdatangan. Seliweran mobil maupun motor sudah mulai memadati parkiran yang tersedia. Begitupun dengan kursi-kursi yang ada. Tampak disebelah dalam diisi oleh jajaran Tamansiswa mulai dari Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Yayasan, Pinisepuh, Keluarga Ki Hadjar Dewantara, Senat Universitas, Rektor UST, Wakil Rektor, Dekanat dan dari jajaran dosen dan karyawan. Di sebelah luar tampak pula dipadati oleh warga sekitar maupun masyarakat yang senang dengan kebudayaan wayangan ini.
Ya, malam itu UST mengadakan acara wayangan semalam suntuk. Acara yang dilakukan sabtu malam minggu tanggal 21 Novermber 2009 ini digelar untuk menyemarakkan rangkaian Dies Natalis UST yang sekarang sudah berusia 54 tahun. Seperti yang dituturkan Ki Edi Irianto, selaku ketua panitia, acara wayangan ini dilakukan untuk tetap melestarikan ajaran Tamansiswa sebagai badan perjuangan pendidikan dan kebudayaan. Selain itu, acara wayangan semalam suntuk ini digelar sebagai wujud syukur terhadap kondisi UST sekarang ini. “ Kenapa dipilih wayang, karena wayang itu cocok untuk saat ini karena kita syukuran atas perkembangan program studi-program studi yang tumbuh dan peningkatan kuantitas mahasiswa yang semakin banyak. Selain itu, sebagai hiburan yang dipersembahkan kepada masyarakat, wayang telah dicatat oleh PBB sebagai tradisi yang harus dilindungi dan mendapatkan penghargaan. Wayang termasuk juga karya budaya internasional ” ungkap Edi.. Ki Tarto Sentono, selaku Dekan FKIP yang memprakarsai acara wayangan ini berharap UST kembali menjadi ikon pendidikan dna kebudayaan dimasa akan datang. “Kalau dahulu disini (Jalan Batikan tempat FKIP berlokasi) lebih terkenal oleh kalimambu nya, mulai dari sekarang orang akan lebih kenal lagi bahwa ada UST disini. Jadi UST kembali bisa menjadi ikon lagi” tuturnya.
Ki Prof. DR. Djohar MS, Rektor UST, juga dalam pidato pembukaannya mengatakan bahwa lakon Semar (salah satu tokoh dalam kisah pewayangan), sangat cocok dengan pamong (guru). Karena secara filosofis, baik semar maupun pamong adalah bertujuan sama yaitu membangun. Sebagai pengamat pendidikan juga, beliau tak lupa mengingatklan para pamong (guru) bahwa dalam mendidik harus mencintai semua murid,apakah dia pintar, bodoh atau lainnya dan juga guru tidak boleh memihak. “guru harus punya dedikasi dan dalam melihat anak-anak, mereka harus benar-benar mengamalkan Tut Wuri Handayani” ungkapnya.
Ditambahkan Edi, lakon “Semar Mbangun Khayangan” dalam pewayangan ini memang menampilkan tokoh Semar karena dia adalah pamong yang sangat bijaksana. “Nah dari itu, kita pengen para pamong, khususnya di UST, Tamansiswa pada umumnya bisa mengikuti sifat-sifat Semar yang menghantarkan para ksatria menuju kesuksesan hidupnya. Jadi semar adalah lambang pamong atau guru bagi para ksatria. Kemudian cerita “Semar Mbangun Khayangan”, dimaksudkan supaya guru harus membangun pribadi dirinya sendiri supaya bisa lebih baik lagi. Khayangan yang dibangun itu maksudnya adalah pribadinya sendiri” ungkapnya. Mengenai keterkaitan terhadap kondisi bangsa sekarang ini, Edi juga menambahkan bahwa memang bisa juga menjadi kritikan bagi semuanya. Karena Semar Mbangun Khayangan menceritakan tentang Negara juga. Negara yang di kuasai oleh para ksatria yang di emong oleh Semar.” Jadi kalau yang di emong ini banyak yang salah, dalam cerita ini akan diingatkan lagi oleh semar. Artinya kalau dalam Negara ini banyak yang salah, bisa di ingatkan oleh para pamong. Dan itu akan disinggungkan dalam cerita ini nanti, dimana nanti rakyat akan mengingatkan para pemimpin” tambahnya.
Ki Seno Nugroho, sebagai pimpinan rombangan wayang, mengungkapkan bahwa dipilihnya lakon ini karena didasari atas keprihatinan terhadap sosok Semar. Menurutnya, Semar itu adalah pamomong yang selalu mengawasi pendowo. Keprihatinan sosok semar ini karena ada sedikit ketidak beresan, makanya beliau bermaksud mbangun khayangan. “Khayangan disini maksudnya adalah moral dan akhlak, supaya negara bisa tenteram adil dan makmur. Mengenai permasalahan bangsa ini, lakon ini akan menggambarkan juga keprihatinan yang diwakili Semar dan harapannya nanti bisa menjadi kritik konstruktif terhadap negeri ini” imbuhnya.
Menjelang dimulainya acara, kerumunan penonton semakin memenuhi tempat, bahkan sampai diluar tenda. Mereka rela tidak mendapatkan kursi tempat duduk dan tetap berdiri demi menonton acara ini. Hujan yang tadi gerimis, seakan paham dengan keadaan dan berhenti tatkala sang dalang mulai memainkan perannya. Begitu kharismatik, sehingga penonton serasa terbuai dalam alur cerita itu. Hendro, seorang mahasiswa yang turut datang menonton pagelaran itu mengungkapkan rindu dengan kesenian wayang seperti ini. “Dahulu di tempatku setiap ada pesta pernikahan, malamnya selalu ada wayangan. Tapi sekarang sudah jarang Mas. Sekarang malah sering dangdutan. Tapi meski saya kurang paham dengan bahasanya (tapi tidak semua), tapi saya senang bisa kembali melihat pagelaran ini. bagi saya, ini menginspirasi saya untuk bisa lebih baik kemudian hari. Cerita ini bagi saya adalah kritik bagi diri sendiri untuk bisa berbuat dan berprilaku baik kepada sesama” ungkapnya.

Melki AS
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template