Pages

KILAS BALIK PENDIDIKAN; Pasca Pembatalan UU BHP


Tujuan pendidikan seperti yang termaktub didalam amanat konstitusi kita (UUD 1945) ialah mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan pendidikan bangsa ini bisa terhindarkan dari penindasan. Tapi lagi-lagi upaya untuk mewujudkan itu belum sesuai kalau melihat keadaan pendidikan sekarang. Untuk menjadikan pendidikan sebagai sesuatu yang bisa mencerdaskan, ada banyak problema yang harus dikritisi dan diselesaikan. Salah satunya adalah kualitas pendidikan yang tidak jelas juntrungannya (kualitas buruk). Itu bisa ditinjau dari aspek filsafat pendidikan, ideologi pendidikan, nation and character building, ekonomi, politik, globalisasi pendidikan, humanisasi dan dehumanisasi pendidikan serta budaya (Darmaningtyas; Aspiratif Press). Munculnya berbagai kelompok kepentingan yang masing-masing ingin mengegoalkan aspirasinya (agar menjadi platform di seluruh bangsa ini) tentunya semakin menyeret pendidikan di tanah air ini semakin buram dalam perjalanannya. Dilain pihak (interelasi antara teori dan praktek) pendidikan masa orde baru masih menyisahkan persoalan filosofis yang amat mendasar karena kebijakan orde baru yang menempatkan pendidikan untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan yang akhirnya terabaikannya perkembangan manusia sebagai individu yang bebas.
Citra diri manusia sebagai individu, lebur kedalam sistem politik yang sentralistik, hegemonik dan totalitarian. Faktor lain yang turut menghambat proses pendidikan adalah ketersediaan fasilitas seperti ruang kelas, kinerja guru, kinerja subjek didik, buku, laboratorium, tempat praktek, manajemen sekolah, kurikulum sekolah, partisipasi orang tua, pertisipasi masyarakat, praksisi pendidikan dikeluarga, pendidikan guru dan lain-lain. Dan, dari hal itu, hanya beberapa unsur saja yang bisa dipenuhi. Selebihnya, kerusakan gedung sekolah masih banyak dan masih menghambat pelaksanaan pendidikan. Tentunya, carut marut ini disebabkan oleh ketidakberesan para pengelola pendidikan di tanah air. Termasuk pemaksaan standarisasi nilai para pelajar yang tentunya tidak egaliter dengan konsep serta realita yang ada. Sementara itu, standarisasi fasilitas masih saja terabaikan. Faktanya masih banyak sekolah di provinsi Papua dan daerah-daerah terpencil lainnya yang minim fasilitas. Permasalahan dalam dunia pendidikan seperti ini tentunya menyeret opini publik akan kinerja pengelola pendidikan dinegeri yang multi krisis ini.
Sangat wajar jika banyak kalangan menilai bahwa pendidikan tak berubah dan masih seperti kekuasaan yang bisa dipermainkan kapan saja dan dimana saja sehingga membuat mandul dan kurang produktif dalam membuat dan mengeluarkan ide-ide pembaharuan pendidikan yang lebih dinamis. Seperti bandul, pendidikan nasional terus terombang ambing dalam kebijakan dan praktik politis pendidikan yang tidak jelas dari pendidikan itu sendiri. Ini menjelaskan pada kita bahwa ternyata dikotomi dalam dunia pendidikan di negeri ini masih menggurita. Pendidikan bahkan masih bersandarkan pada sistem sentralistik dan tetap tidak demokratis. Adanya evaluasi berdasar ujian nasional sesungguhnya adalah bukti dari inkonsistensi kurikulum sehingga dampak langsungnya berimbas pada murid yang hanya sekedar dijadikan objek dari kebijakan yang diambil. Padahal, menurut Ki Hadjar Dewantara bahwa maksud dari pendidikan ialah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

BHP Merusak Tatanan Ideologi Pendidikan Nasional

Proses penyelenggaraan pendidikan di negara mana pun adalah tanggung jawab negara, di dalam UUD 1945 pun termaktub bahwa negara menjamin penyelenggaraan pendidikan bagi setiap Negara. Tetapi apa yang terjadi, bangsa ini suka menghianati konstitusinya, dimana pendidikan di negara ini sudah kembali ke jaman feodal dan kolonial dimana pendidikan hanya milik golongan tertentu, bahkan sampai hari ini pun, pendidikan tetap milik orang tertentu, yang berlindung dibalik kekuasaan. Kita perlu garis bawahi, bahwa pendidikan adalah pembentuk karakter anak-anak bangsa, yang kemudian sebagai pengawal dan penerus sejarah kejayaan bangsa Indonesia. Disaat pemerintah tidak berpihak pada situasi ini, sudah seharusnya kaum terdidik mengambil peran perlawanan. Pada akhirnya tidak ada jalan yang mulus dan mudah menuju sebuah cita-cita pendidikan yang membebaskan yang berdasar pada kebutuhan masyarakat. Disinilah peran kaum terdidik (intelektual organik), untuk mendorong negara yang revolusioner dan menyumbangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan realitas sosial masyarakat.
Sedikit mengulas gonjang-ganjing penolakan BHP yang dilakukan berbagai kalangan di Indonesia, itu karena telaah panjang bahwa BHP merupakan kapitalistik yang sedang menyusup untuk meruntuhkan paradigma pendidikan di tanah air. Sebagaimana kita mengetahui bahwa dalam amanat konstitusi sangatlah jelas bahwa pendidikan dan akses untuk mendapatkannya adalah tanggungjawab negara yang tidak bisa di abaikan begitu saja. Penolakan-penolakan terhadap BHP sejatinya adalah suara kecemasan yang memandang bahwa kalau BHP itu di terapkan, maka akan terjadi kekacauan sistem terhadap pendidikan nasional. Karena memang BHP sebagaimana dalam bentruk draf akhir yang disampaikan pemerintah kepada DPR RI telah mengabaikan Ideologi Pancasila dan UUD 1945. Hal ini akan mengundang penetrasi ideologi dan nilai-nilai budaya asing yang dapat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia karena BHP dan rangkaian kebijakan pendidikan pemerintah (UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, Kebijakan menumbuhkan sekolah internasional dan bertaraf internasional tanpa arah yang jelas) pada hakekatnya hanya menguntungkan pihak asing. Itu bisa di lihat dari Peraturan Presiden (Perpres) 76 dan 77 RI Tahun 2007 yang memang sedari awal di rancang untuk memberikan keuntungan bagi kepentingan asing, dengan payung hukum yang disiapkan oleh Pemerintah Indonesia. Dan juga, sekiranya UU BHP menjadi paten untuk penerapan di sistem pendidikan nasional, maka inilah akhirnya yang akan membuat ideology pendidikan keluar dan menjauhkan dari arti pendidikan sebagai proses budaya. Dengan penerapan BHP, maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lagi berbasis pada semangat kebangsaan, adil, merata, anti diskriminasi, mandiri, memerdekakan dan berpihak kepada rakyat. Tentunya sangat nyata bahwa BHP adalah duri dalam sistem pendidikan Indonesia, dan makanya itu harus di cabut atau di batalkan segera.

Pasca UU BHP Di Batalkan

Sebenarnya, masalah pencabutan ataupun pembatalan kebijakan terhadap pendidikan, bukan hanya baru kali ini saja. Sebelumnya, konsep Ujian Nasional (UN-pen) juga telah di cabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK-pen). Tapi tetap saja sia-sia karena ternyata UN masih berjalan seperti biasanya. Pembatalan tersebut terkesan seolah-olah hanya sekadar wacana angin lewat saja. Dan sekarang, Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP-pen) telah di eksekusi juga (Tempo Interaktif, Kamis, 01 April 2010). Proses pembatalan yang dilakukan oleh MK Karena UUBHP memandang bahwa lewat kedua undang-undang ini, warga negara dibebani tanggung jawab besar untuk membiayai pendidikan. Padahal, sesuai dengan konstitusi, pendidikan bukanlah beban melainkan justru merupakan hak warga negara. Haluan yang mulai melenceng itu tersirat dalam Pasal 6 ayat 2 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di situ dinyatakan: setiap warga negara bertanggung jawab atas keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Kelihatannya sepele, tapi perlu dikoreksi karena UUD 1945 menempatkan urusan pendidikan sebagai tanggung jawab negara. Apalagi, pasal itulah, bersama Pasal 53 mengenai badan hukum pendidikan, pijakan lahirnya UU No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Dalam Pasal 53 dinyatakan bahwa setiap penyelenggara atau satuan pendidikan formal berbentuk badan hukum pendidikan. MK pun mengoreksi pasal ini dengan menyatakan bahwa badan hukum dimaknai hanya sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu. Dengan filosofi yang sama pula, MK membatalkan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan. Inilah undang-undang yang mengatur lebih terperinci beban warga negara atas pendidikan. Di situ diatur antara lain: setiap peserta didik menanggung sepertiga dari biaya operasional pendidikan. Jelas, ketentuan ini amat memberatkan orang tua murid. Semangatnya tidak sesuai dengan konstitusi yang menempatkan pendidikan sebagai hak warga Negara (seperti yang di Kronik dari Mahfud MD dalam Tempo Interaktif).
Upaya MK ini layak diapresiasi karena memang sudah lama sekali semua pihak menyaksikan bahwa UU BHP tidak cocok dengan iklim pendidikan tanah air. Seharusnya memang sedari awal UU BHP ini di tolak karena sangat jelas implikasi liberal kapital nya dalam dunia pendidikan. Nah, kalau BHP di terapkan, akan sangat terlihat bahwa pendidikan di tanah air semakin semrawut dan tidak jelas arahnya. Lha, bagaimana mau berbicara kualitas, sementara kesempatan untuk mengenyam pendidikan (baca; pemerataan) sangatlah susah dan tak terjangkau. Makanya supaya proses ini (pasca pembatalan UU BHP) berjalan sesuai harapan dan kajiannya, perlu di kawal terus dan di kritisi agar tidak menjadi bumerang bagi pendidikan di tanah air. Dan hal terpenting juga adalah bahwa proses pendidikan tidak hanya sebatas adanya pembatalan Undang-Undang, tetapi harus kepada substansi dari arti pendidikan itu sendiri. Karena baik disadari ataupun tidak, pendidikan Indonesia ternyata mundur jauh dari sebelumnya. Dan juga masalah diskriminasi pendidikan masih saja terjadi terutama di daerah pelosok-pelosok tanah air. Selain itu, pembenahan mental peserta didik maupun pendidik juga perlu di tinjau ulang. Karena memang sangatlah banyak disaksikan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap para pendidik sangatlah lemah. Indikasi atau faktornya tentulah banyaknya pendidik yang menyalahi aturan ataupun sifat-sifat pendidikan itu sendiri. Secara moral, banyak kita menyaksikan pendidik sebagai agen penindasan terhadap siswa. Maupun secara sosial, banyak juga pendidik akhirnya hanya jadi tontonan daripada sebagai tuntunan (lihat berbagai kasus kecelakaan moral dan sosial dalam pendidikan).


Melki AS
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template