Pages

Pendidikan Harus Merakyat, Tidak Diskriminatif



Seiring dengan baru terbentuknya pemerintahan SBY-Boediono 2009-2014, sejumlah jajaran menteri pun banyak yang mengalami pergantian. Termasuk salah satunya menteri pendidikan Nasional (MENDIKNAS) dari Bambang Sudibyo (era SBY-JK) digantikan oleh M. Nuh (sebelumnya Menkominfo era SBY-JK). Bergantinya Mendiknas kali ini, tentunya mengemban pekerjaan rumah yang harus diselesaikan segera. Seperti yang pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya, permasalahan dalam dunia pendidikan masih banyak yang belum terselesaikan. Contohnya seperti Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU-BHP), masalah sertifikasi, dan lain-lain yang sampai sekarang masih ditentang banyak kalangan baik akademisi maupun mahasiswa. Tidak hanya itu, carut marutnya pendidikan nasional sekarang tentunya harus ditangani se-segera dan se-professional mungkin. Mengingat sosok Mendiknas kali ini dipilih berdasarkan profesionalitas dan bukan lewat partai politik. Carut marutnya pendidikan nasional di negeri ini sudah bukan hal rahasia lagi di masyarakat. Karena masyarakat sudah mulai melek akan keadaan pendidikan dan ini tentunya melahirkan kritik otokritik terhadap pimpinan baru di Kementrian. Hal-hal yang dirasa dapat merusak sisitem pendidikan seharusnya dipertimbangkan kembali untuk diurai benang merahnya kemudian dihasilkan terobosan-terobosan atau formula yang bisa menciptakan iklim pendidikan yang lebih baik, bermutu, merata, adil bahkan makmur. Kebijakan-kebijakan yang kurang populis sudah selayaknya dilakukan pengkajian dan peneliti-peneliti sudah seharusnya berpijak pada tataran konseptual, tidak melulu tekstual. Pendidikan yang merakyat harus segera direalisasikan, biar semua elemen dari semua lapisan masyarakat bisa mengenyam pendidikan dan tujuan awal pendidikan benar-benar tercapai. Sang anak didik benar-benar harus dibentuk dengan mental mandiri dan mampu berkarya dengan kempuan yang ada dalam dirinya masing-masing. Tentunya ini tidak gampang karena untuk membenahi itu semua, butuh perombakan besar terhadap berbagai kebijakan, termasuk juga kebijakan tentang nilai ukur kemampuan sang anak didik sekarang, dimana untuk mengukur kemampuan belajarnya hanya ditentukan lewat hafalan dan tes atau uji selama beberapa hari (UN). Tentunya ini perlu ditinjau, apakah masih relevan ataukah memang tiada berguna.
Ujian Nasional (UN) itu merusak otak anak, merusak sistem pendidikan kita dan merusak model pembelajaran kita, jadi UN sama saja tidak ada gunanya. UN itu hanya bermakna kalau ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya saja. Selain itu, UN itu tidak ada makna apa-apa lagi. Dengan adanya UN, guru-guru menjadi diabaikan. Guru diganti dengan bimbel sehingga kepercayaan terhadap guru habis. Hal ini berbahaya karena pendidikan akhirnya akan jadi runyam. Karena itu bukanlah pencapaian ukuran intelektual, malah dengan adanya UN, anak-anak menjadi terbebani otaknya. Seharusnya, untuk mengukur keberhasilan pencapaian siswa itu adalah dilihat dari proses belajarnya. Seharusnya seperti itu pencapaian yang dicari, bukan dengan mendadak banyak menghafal. Padahal dengan mengahapal banyak, setelah tiga hari, itu semua bisa hilang. Itu artinya sama saja tidak ada gunanya karena belajar banyak, tapi perolehannya sedikit. Padahal yang kita perlukan adalah belajarnya sedikit tapi perolehannya banyak.
Demikian yang disampaikan Prof. Djohar MS, selaku pengamat pendiidkan yang sekaligus Rektor Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) di kantornya (19/11/09) jalan Kusumanegara Yogyakarta. Pendidikan, menurut beliau, sudah tidak memihak lagi kepada rakyat. Padahal pendidikan sejatinya untuk semua rakyat. Artinya pendidikan sudah bersifat deskriminatif. Contohnya adanya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang sejatinya tidak ada tujuannya. Sekolah seperti itu sebenarnya tidak perlu ada. Justru dengan adanya sekolah seperti itu, membuat keadaan bangsa ini terkoyak-koyak. ini sama saja dengan ancaman terhadap bangsa. Secara profesionalitas guru berdasarkan pemerintah, sekolah nasional justru lebih bagus dibanding dengan SBI. Juga menjadi kelemahan guru-guru terhadap susahnya meningkatkan kualitas pendidikan ialah mereka tidak mengeti filsafat ilmu. “Mereka hanya mengkaji teori yang sudah ada terus saja, tapi tidak mencoba membuat konsep yang bisa dijadikan bidang ilmu. Dan untuk mengubah kualitas itu, guru terlebih dahulu harus paham filsafat ilmu” imbuh Djohar MS. Mengenai UU BHP yang ada sekarang ini, menurutnya hanya membuat pendidikan dipasarkan yang akhirnya membuat pendidikan harus berkompetisi dan hasilnya jelas hanya pada yang unggul saja. Lalu bagaimana dengan yang kurang unggul, mereka mau dikemanakan. Padahal ditempat kita ada sekitar 60 % yang kurang unggul. Sama seperti program sertifikasi juga. Justru dengan adanya sertifikasi, yang dipikir guru hanyalah uangnya saja dan bukan pada peningkatan mutu dan kualitas pendidikan” imbuhnya.
Tak hanya itu, Djohar juga mengkritik para ilmuan yang menurutnya seharusnya hebat dan pandai dalam membuat konsep-konsep terutama konsep dalam pendidikan. “Ilmuan ibaratnya seperti pemulung. Mereka hanya menemukan badan ilmunya saja. Tidak mengkaji dan membuat konsepnya itu. Dan itu tentunya sangat fatal kalau tidak diubah karena berimbas pada pendidikan berikutnya. Bisa jadi akhirnya pendidikan kita jadi pemulung juga. Jangan anggap ilmuan itu hebat, padahal sama saja. Kalau hanya bisa memungut, yakinlah tidak akan ada kemajuan. Akhirnya terjadilah pendidikan yang bersifat tekstual teoritis. Jadi kalau mau perubahan dalam pendidikan, harus ada perombakan yang total” tambahnya.
Ditambahkannya juga bahwa untuk merubah keadaan pendidikan yang runyam ini, filosofi pendidikan harus dipahami dan dijawab dengan jelas, seperti pendidikan mau dibawa kemana, diselenggarakannya bagaimana dan untuk tujuan apa serta anak-anak harus bagaimana. Ini seharusnya yang dijawab untuk membawa pendidikan keluar dari lingkaran kusut ini. Dan yang terpenting menurutnya lagi, pola pembelajaran harus diubah. Pola pembelajaran secara tekstual, harus diubah menjadi faktual dan konseptual. Jadi kita bisa membelajari objek dan nanti penemuannya dijadikan konsep. “Karena dengan itu kita akan menghasilkan manusia yang terdidik, berilmu dan berpengetahuan. Dengan berilmu, dia akan mengerti dalam memecahkan masalah. Dengan berpengetahuan, artinya dia memperoleh pengetahuan-pengetahuan dan dengan terdidik, dia punya dampak prilaku dalam menimbang dan mengukur secara hati-hati dan cermat. Jadi kalau seperti ini, prosesnya akan keliahatan dan terukur.

Melki AS
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template