Pages

Catatan Dari Bumi Dewata; Ciwidey


Mungkin ini mula perjalanan yang melelahkan dari Yogyakarta menuju Bandung. Setelah berhari-hari melakukan penggalangan dana, akhirnya harapan yang di nanti sampai juga. Dengan tema “ Jawa Barat Menangis; Selamatkan Mereka “, perjalanan dimulai meski tanpa persiapan yang berarti. Hanya bermodalkan semangat, sedikit bekal untuk mengganjal perut dan beberapa potong pakaian, rombongan relawan pun meluncur.

Menuju Bandung; Paris Van Java

Mendung mulai menggelayut di taman langit, ketika rombongan akan memulai perjalanan. Tampak awan menghitam mulai berselimut dengan perlahan tapi pasti. ‘Mendung tak berarti akan turun hujan’ kata sebuah lagu, tetapi hari itu, mendung memang akan segera menumpahkan materialnya. Setelah mengurus segala hal terkait keberangkatan, dan memohon izin instansi, rombongan mulai berkemas-kemas. Dan setelah memastikan kendaraan yang akan membawa rombongan menuju Bandung, dengan hanya diantar oleh sesama mahasiswa, rombongan pun beranjak ke mobil dan langsung bergerak menuju tujuan.
Dalam perjalanan, tak banyak yang di bicarakan. Mungkin karena berangkatnya agak siang-an, jadi mulai terasa hasrat kantuk di setiap peserta. Hanya sesekali saja keluar celetukan-celetukan agak membanyol dari beberapa rekan. Ki Darso, sang supir, pun juga tak banyak bicara. Beliau terlihat fokus pada job diskription nya yaitu menyetir sampai ke tujuan. Meskipun mendung telah menebal, tetapi hujan belum tumpah. Setelah keluar dari Yogyakarta, gerimis mulai mengusik perjalanan ini. Perlahan tapi yakin, gerimis berubah menjadi hujan. Pelan. Pelan. Pelan. Dan kemudian menjadi deras. Sampai di Kebumen (salah satu kabupaten di Jawa Tengah), mentari juga enggan menemani dan memilih untuk bersembunyi di balik singasananya. Awan kemerahan mulai tampak sebagai penanda akan datangnya malam. Dari jauh, terdengar juga suara pengajian memanggil mengalun-alun dari beberapa masjid yang kami lalui.

‘ kira-kira kita akan makan dimana malam ini pak ‘ tanyaku pada Ki Darso.
‘ mungkin nanti di Karanganyar aja ‘ jawab Ki Darso datar
‘ tapi sepertinya sebentar lagi akan maghrib, bagaimana kalau kita mencari masjid dahulu, kemudian baru makan. Soalnya waktu magrib kan sangat singkat sekali ‘ tanyaku lagi.
‘ ya gak apa-apa, nanti kalau ada masjid kita akan rehat sejenak sambil menunaikan shalat ‘ jawab Ki Darso

Setelah beberapa waktu, suara azan tampak sudah memanggil. Beberapa kali sebenarnya masjid yang kami lalui terlewatkan. Sampai akhirnya di sebuah kota Banyumas, kami menemukan sebuah mushola kecil di pinggir jalan. Itu pun juga agak terlewatkan sedikit. Tetapi Ki Darso sesegera mungkin memutar balik mobil dan berhenti di mushola itu. Rombongan pun turun dan bersiap untuk berwudhu, pen-suci-an diri dalam tradisi islam sebelum menunaikan sholat. Di mushola kecil itu, tampak orang-orang sudah siap untuk melakukan sholat secara berjamaah. Disebelah kanan adalah tempat untuk laki-laki, dan disebelah kiri, dengan hanya bertutupkan sebuah tirai tipis, jamaah perempuan pun telah siap juga untuk melaksanakan sholat.



Setelah melepas sholat, kami pun kembali bergerak lagi. Sebelumnya, mobil yang membawa kami tidak ada kekurangan sesuatu apapun. Menurut Ki Darso, sebelum berangkat tadi, ban mobil sudah di ganti. Begitupun dengan oli dan sebagainya. Tetapi didalam perjalanan, ternyata lampu mobil untuk jarak pendek mendadak tidak berfungsi. Hanya lampu jarak jauh saja yang bisa menyala. Tampak Ki Darso berulang kali memindahkan dan mematikan lampu jarak jauh itu. Karena menurutnya, bisa saja lampu itu di nyalakan terus, tetapi kasihan dengan pengendara lainnya. Karena jarak sorotnya yang sangat jauh sehingga mungkin menyebabkan pengendara lain silau ketika berpapasan. Saya dan rombongan tidak mengerti akan hal ini. Mungkin ini hanya ada dalam kamus etika para supir.
Tidak berselang lama, kami berhenti di sebuah warung makan di pinggir jalan. Setelah memarkirkan mobil, rombongan turun dan Ki Darso juga kelihatan sedang memeriksa lampu mobil. Tidak lama, beliaupun juga masuk ke rumah makan itu. Satu persatu kami pun mengambil makan sesuai selera karena memang cacing didalam perut sudah berontak minta di isi lambungnya. Dan ketika usai menyeruput teh manis, kami pun kembali bergerak melaju. Selama dalam perjalanan, rombongan pun hening. Sempat saya bertanya kenapa tape mobilnya tidak di nyalakan. Tapi kata Ki Darso, suaranya sangat jelek. Jadi lebih baik tidak usah aja daripada mengganggu telinga. Tak banyak yang dapat kami lihat selama perjalanan itu karena memang tak banyak yang tampak. Itu karena keberangkatan kami sudah menjelang sore dan perjalanan ke Bandung lebih banyak di habiskan pada malam hari. Hanya hujan yang selalu setia menyertai perjalanan ini. Tiba-tiba, lampu jarak pendek mobil terganggu lagi. Kembali akhirnya Ki Darso memarkirkan mobil ke pinggiran untuk mengecek nya lagi. Setelah di coba beberapa lama, menurut beliau tidak ada masalah dengan saklar/sekring nya. Cuma beliau juga tidak tahu kenapa lampu jarak pendek itu bisa tidak berfungsi. Saya pun sempat menyaksikan ada beberapa sekring yang coba di uji cobakan Ki Darso. Dan semuanya terlihat menyala. Tetapi memang aneh kenapa lampu jarak pendek itu tidak mau menyala. Sampai akhirnya dengan sebuah obeng kecil, Ki Darso memutar sekrup di dekat lampu itu. Dan setelah menurunkan jarak pancaran lampu yang jauh menjadi pendek, kami kembali berangkat.



Malam semakin pekat ketika mobil terus meluncur. Sesekali terlihat segerombolan orang duduk atau kongkow-kongkow di pinggir jalan atau di warung-warung. Rombongan tampaknya tak kuasa menahan kantuk dan ada beberapa rekan yang akhirnya tertidur. Hanya saya, supir dan seorang teman yang duduk di sampingnya yang masih melek. Perjalanan ini memang melelahkan sekaligus mengasyikan. Disuatu simpang, kami di bingungkan dengan rambu alternatif yang tulisan simbolnya seperti terkikis. Mungkin ini ulah tangan yang tidak bertanggungjawab yang coba ingin menyesatkan pengendara. Tapi berbekal pengalam sedikit (maklum beberapa dari kami berasal dari sumatera, jadi sedikit hapal jalan yang biasa di lalui), akhirnya kami mengambil jalur umumnya yang biasa di gunakan. Kira-kira pukul setengah tiga dini hari (02.30 WIB), kami mulai memasuki pinggiran Bandung. Mobil semakin bertambah kecepatannya karena masuk jalan tol. Dan setelah sedikit mengingat dimana kami akan bersinggah, kemudian kami mengambil jalur Bandung kota. Setelah melewati gerbang tol, ternyata kamipun sempat bingung dan mencoba bertanya dengan beberapa supir taksi. Dengan gaya penjelajah jalanan, kami di instruksikan untuk mengambil jalan ke DAGO. Begitupun ketika kembali kami bertanya dengan salah seorang pekerja warnet, beliaupun menunjuk Dago juga. Didalam perjalanan, tampak banyak waria sedang beraksi. Sekilas terlihat seperti cewek betulan dan ternyata setelah diamati dan gaya nyeleneh yang mereka tunjukan, kami sadar bahwa yang sedang berkeliaran di jalan itu adalah waria. Kami pun tertawa terbahak menyaksikan hal itu. Maklum, bukannya mengejek, tapi karena lucu aja melihat eksen nyentriknya itu. Dan setelah sampai di Dago, kami pun kembali menanyakan alamat yang di berikan untuk tempat persinggahan. Anehnya keterangan dari beberapa penjual dan pembeli sebuah warung koboi pinggir jalan, menunjukan hal yang berbeda dari yang ditunjukan oleh penjelajah jalanan dan penjelajah dunia maya tadi. Malah menurutnya kami telah tersalahkan oleh mereka, yang seharusnya berbeda tikungan yang harus kami ambil. Akhirnya Ki Darso kembali memutar arah mobil menuju yang di instruksikan oleh pedagang tadi itu. Dan setelah mengikuti peta tulisan yang di beri oleh salah seorang sahabat di Bandung, akhirnya sampai juga kami di persinggahan sementara tersebut. Waktu saat itu menunjukan pukul 04.00 WIB. Dari luar gerbang terlihat tulisan besar berwarna merah, TAMAN SISWA BANDUNG. Disitulah akhirnya kami berlabuh sejenak. Didalam kami langsung disambut oleh pamong (guru sekolah tersebut). Mereka antara lain Ki Bardi dan Ki Beni. Setelah mobil masuk pekarangan, rombongan bergegas turun dan menyalami pamong pamong tersebut sambil berkenalan. Sambutan hangat juga di tunjukan oleh mereka. Tanpa membuang waktu, saya dan para pamong tersebut sedikit berdiskusi mengenai teknis penyaluran bantuan yang akan di salurkan tersebut. Kami mulai membahas dari soal efektivitas mobil, barang yang akan di beli, sampai navigator ke lokasi bencana langsung. Tak terasa waktu menunjukan pukul setengah enam pagi (05.30 WIB). Setelah selesai membahas teknis itu, saya pun akhirnya melepas lelah sejenak di dalam mobil, karena tidak berselang lama, ternyata anak anak sekolah sudah mulai berdatangan. Kemudian, rombongan pun memutuskan untuk bangun, mandi dan memulai lagi perjalanan.



Ciwidey; Kabupaten di Selatan Kota Bandung

Jam menunjukan pukul tujuh pagi (07.00 WIB) ketika kami bergegas mandi dan bersiap di ruang tunggu kantor Taman Siswa Majelis Cabang Bandung tersebut. Setelah selesai semuanya, kami di hidangkan teh hangat dan beberapa kue kecil penganjal perut sebelum perjalanan di mulai. Satu persatu para pejabat Tamansiswa maupun pamong masuk dan menyalami kami. Sambutan mereka juga hangat dan ramah. Salah satu diantara mereka adalah Ki Tono, yang nanti meminjamkan mobilnya sekaligus men-supir-i-nya untuk menuju Ciwidey. Tanpa membuang-buang waktu, kami langsung bergegas setelah selesai menyeruput teh hangat dan beberapa kue tadi. Mobil pertama (Taff kepunyaan Ki Tono dna dengan di bantu Ki Bardi) meluncur lebih awal karena akan membeli beberapa keperluan yang untuk di salurkan. Setelah itu, kami dengan Ki Darso pun menyusul dengan menempatkan Ki Beni sebagai navigatornya. Di pasar Bandung, berbagai keperluan kami naikan ke mobil diantaranya Mie Instan, dan beras. Setelah selesai membeli keperluan itu, kami mantap meluncur menuju Ciwidey. Perjalanan dari kota Bandung menuju Ciwidey berselang dua jam saja. Sebelum masuk Ciwidey, kami menyempatkan untuk makan pagi disalah satu rumah makan Padang. Mobil pertama (Taff) sudah sampai duluan disana, sementara mobil kedua bersama Ki Darso, kami sempat berhenti sejenak untuk mengganti ban yang pecah. Untunglah Ki Darso membawa ban cadangan. Ban itupun dipasang dan kembali menyusul mobil pertama sambil mencari tempat penambalan. Mobil akhirnya kami pakir di salah satu SPBU didekat sana dan kami menyusul ke warung ke tempat mobil pertama berhenti. Selesai makan dan mengganti ban dalam mobil kedua, kami melanjutkan perjalanan. Disalah satu pasar di Ciwidey, kami juga menambah pembelian keperluan karena memang masih ada sisa uang yang belum di belikan. Disana terbesit di benak kenapa kita tidak membeli buku tulis. Bukankah itu akan sangat berguna untuk anak-anak di Ciwidey yang mungkin banyak buku-buku tulis mereka yang tidak bisa di gunakan lagi pasca bencana. Akhirnya buku juga menjadi salah satu barang yang kami beli untuk disalurkan juga selain gula, kopi dan lain-lain.
Jalanan di kota Ciwidey sangat mulus sehingga perjalanan terlihat lancar dan nyaman. Sampai di perempatan sebelum menajak, jalanan mulai mengecil dan hanya bisa di lalui oleh 2 mobil saja. Itupun kalau sedang berpapasan, kedua mobil harus menyerempet sampai ke tepian. Hawa dingin mulai merasuk ke sela-sela tubuh ketika mobil menanjak terus. Di sana sini terlihat berbagai pangkalan ojek yang seperti nya juga menjadi salah satu alat transportasi umum masyarakat kota kecil pekampungan Bandung Selatan itu.. Jalanan yang tadi mulus, mulai berubah menjadi jalan biasa se-ada-nya. Lubang-lubang kecil sudah mulai mengusik mobil yang tanpa sengaja rombongan pun harus mendesah dan ter lompat-lompat ketika salah satu ban mobil terperosok melewati lubang. Rumah penduduk masih terlihat masih berjejer-jejer dan suasana pedesaan mulai kental terasa. Sana sini mulai terlihat pekarangan-pekarangan yang di hias dengan jenis tumbuhan khas daerah dingin seperti stroberi dan kol. Hanya saja stroberi itu di budidayakan. Terlihat dari tanaman yang hampir ke semuanya tidak langsung di tanam di tanah, melainkan di dalam poliberk (sejenis pot untuk menanam sesuatu, tapi terbuat dari kantong plastik). Ini sama hal nya ketika kita berkunujung di sebelah berlawanannya, ya, Lembang, sebelah utara Bandung yang juga merupakan pegunungan dan ber hawa kan dingin juga. Sama persis; jenis tumbuhan yang di budidayakan masyarakatnya.
Sepanjang jalan, perkampungan-perkampungan yang tadi biasa di saksikan, sudah mulai tergantikan dengan hutan. Perkampungan sudah mulai berjarak yang antara kampung satu dan kampung lainnya terpisahkan oleh alam. Cuaca dingin terus merasuk ke dalam sukma. Tulang-tulang mulai mengilu, graham pun mulai menggeretar. Satu dua orang peserta rombongan mulai menebalkan pakaian untuk mengantisipasi kedinginan. Saya pun sangat merasakan dingin itu. Kantong kemih di perut rasanya sudah berisi dan ingin minta di muntahkan. Cuma kalau hanya untuk berhenti hanya sekedar membuangnya, sangtlah tanggung sekali. Jadi saya pun memilih untuk menahannya sampai ada tempat pemberhentian. Sepanjang jalan juga, mobil semakin menanjak terus. Kegesitan supir terlihat sangat berhati-hati. Ki Darso terlihat sangat menjaga stir nya supaya jangan sampai terjadi apa-apa dengan perjalanan ini. Begitupun juga dengan Mobil Taff didepan. Cuma karena Taff memang spesialis untuk jalanan seperti itu dan supirnya menguasai medan, jadi tidak terlampau di khawatirkan. Berulang-ulang kali juga Ki Darso me megal-megolkan (membanting-banting stir dengan tak beraturan) mobil karena memang menghindari lubang-lubang. Jalanannya juga tidak hanya berlubang lagi. Semakin menanjak, jalanan berubah menjadi kerikil-kerikil berselimut pasir-pasir.
Mobil kami dan rombongan terus saja menanjak tanpa mengenal ampun. Cuma ‘speed’ nya saja yang di kurangi. Sangatlah tidak mungkin mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi dalam posisi menanjak, berbatu-batu kerikil campur pasir, jalanan yang sempit serta terkadang jurang-jurang dan tebing di pinggirnya. Kira-kira sekitar dua (2) jam-an menanjak, kami sudah melihat tanda-tanda tempat yang dituju. Diantaranya seperti yang biasa di beritakan di televisi, didengar di radio ataupun di tuliskan di koran. Kalau tadi biasa kami melihat perkampungan walaupun berjarak-jarak di dalam perjalanan, kini, kami menyaksikan hamparan hutan-hutan yang menghijau di pinggir-pinggir tetebingan (semacam gunung, tapi saya tidak bisa bersprekulasi apakah itu gunung, bukit atau hanya tebing biasa). Berulang kali juga kami seperti terhempas-hempas ketika kembali mobil terperosok melewati lubang. Sebenarnya sedikit menyebalkan, tetapi mau kata apa lagi. Itulah gambaran sebenarnya yang di saksikan dan di jalani. Ketabahan dan kesabaran memang harus di jaga karena kalau tidak, peserta rombongan pasti lebih baik memilih mundur dan kembali ke Bandung kota. Tapi alhamdullilah, kami tetap maju terus pantang pulang sebelum bantuan tersampaikan (mirip pemadam kebakaran, yang bersemboikan Pantang Pulang Sebelum Padam). Hujan pun mulai mengguyur jalanan. Sesekali airnya terpercik ke muka peserta rombongan. Meskipun sejelek apapun jalan dan medan yang dilalui, kami tetap bertekat kuat untuk harus sampai di tempat tujuan. Semakin menanjak, hawa dingin semakin mengganas merasuk jiwa. Mungkin sebagian kawan-kawan menyembunyikan persoalan yang sama dengan tidak mau membicarakannya (hasrat ingin kencing). Semua memilih untuk diam dan menerima saja keadaan dalam keterdesakan oleh karena isi mobil penuh dengan barang. Saya sendiri pun dari Ciwidey bawah sudah mulai mengangkang karena memang ada kardus besar tempat buku-buku di depan tempat duduk. Jadi mau tidak mau itu harus di jalani. Persoalan hasrat tadi, di tahankan saja lah. Cuma satu kekhawatiran bahwa jangan sampai ketika terloncat-loncat, terjadi sesuatu yang tak di sengaja (maaf; terkencing). Tapi syukur, itu tidak terjadi. Bisa bayangkan kalau itu sempat terjadi. He..he..
Sesekali dalam perjalanan, rombongan menyanyi untuk mengusir kebosanan. Beragam lagu di lantunkan, mulai dari yang lawas sampai yang terbaru. Tetapi tetap ada juga peserta yang hanya diam. Didalam perjalanan ini hamparan tanaman teh yang menghijau menjadi pemandangan utama di tengah rintiknya hujan. Tetapi satu hal yang sangat kami senangi adalah menghirup udaranya yang terasa sekali kesegarannya. Berbeda dengan menghirup nafas di Yogya ataupun ketika di Kota Bandung. Disini terasa kelegaan dan kejernihan udara yang di tawarkan alamnya yang menghijau. Sesekali juga kami menyaksikan keindahan alamnya. Kami kadang menyaksikan suasana di atas yang harus kami tempuhi dan juga kadang melihat suasana di bawah yang sudah terlewati. Hampir semua yang kami saksikan terselimuti oleh embun yang memutih. Kaca mobil yang coba saya pegang ternyata sangat dingin sekali bak terkena es Semuanya terasa elok sekali. Bak perawan, Ciwidey hampir belum tersentuh polusi. Bahkan boleh di bilang, Ciwidey adalah taman firdaus untuk hal penjagaan kotanya (Bandung yang polusi udara nya sangat tinggi, sementara Ciwidey adalah saringan dari polusi yang mengancam itu).
Setelah agak lama menanjak dengan kondisi jalan yang begitu parahnya, akhirnya kami sampai juga di tempat pemberhentian. Kira-kira tempat itu merupakan puncaknya. Disana rombongan berhenti sejenak. Langit terlihat masih menghitam karena memang keadaan sedang hujan terus. Disekeliling kami terhampar perkebunan teh yang menghijau yang menyelimuti pegunungan. Saya masih teringat bahwa tempat kami berhenti itu merupakan pertigaan jalan yang disisi kirinya ada sebuah pos penjagaan dan halte tradisional yang terbuat dari bambu dan rumbia. (mungkin itu tempat pangkalan ojek dan sebagainya). Ada beberapa orang yang terlihat disana, salah satunya seperti penjaga dan lainnya lagi seorang penduduk yang berbaju tebal sambil bertutup diantara tengkuk dan kepalanya. Karena memang sedari tadi menahan hasrat ingin kencing, saya dan beberapa rekan akhirnya mencari tempat pelepasan yang ideal. Tapi mau dimana di tempat seperti itu. Yang ada hanya hutan dan akhirnya pinggiran hutan lah yang jadi tempatnya. Lega terasa setelah beban diri telah di habiskan. Salah seorang rekan perempuan ternyata juga sama keadaannya tadi; menanggung beban diri juga. Tetapi kami bingung, karena sensitivitas perempuan sangat jauh berbeda dengan lelaki yang bisa kencing dimanapun. Sempat kami menggoda untuk menunduk di semak saja, tetapi beliau tetap ngotot mencari toilet atau sejenisnya. Tapi memang disana tolietnya adalah alam, jadi terpaksa dia tetap menahannya sampai perjalanan berikutnya kelak.
Sebelumnya saya mengira (karena seperti yang disaksikan di televisi) perkebunan teh tersebut adalah lokasi terjadinya longsor di Ciwidey yang banyak menelan korban jiwa itu. Tapi ternyata salah. Karena menurut bapak penjaga dan temannya tadi bahwa lokasi bencana itu terjadi di lokasi perkebunan teh DEWATA dan masih jauh turun lagi kebawah sekitar 15 kilometer. Dan itu bisa di tempuh sekitar dua jam perjalanan lagi. Saya sontak kaget. Masa sih masih harus menempuh perjalanan selama itu !!. Tapi mau tidak mau, memang ditempat yang di beritahu itulah tujuan kami, maka memang harus bersabar lagi. Itupun karena kondisi jalannya yang lebih parah lagi dari sebelumnya. Dan setelah rehat sejenak sambil menyaksikan langsung ‘surga’ nya Bandung tersebut, kami pun kembali berangkat. Hanya saja, kali ini kami membawa satu penumpang yang merupakan salah satu warga yang sekaligus akan mengantar langsung sampai ke tujuan. Akhirnya bertambah sesaklah mobil yang di tumpangi. Tapi demi tercapainya misi, itu tidak berarti apa-apa bagi kami. Justru kami sangat berterimakasih karena ada yang menawarkan dirinya untuk menemani perjalanan dan meng ‘kompas’ sampai ke lokasi bencana.



Dewata; Terselimut Zamrud, Terisolir Perkebunan

Sebenarnya sangat susah bagi saya untuk melukiskan suka duka menuju lokasi bencana. Perjalanan ini lebih rumit lagi dibanding perjalanan sebelumnya. Kecepatan kendaraan hampir sama seperti pejalan kaki. Entah mengapa medan kali ini lebih rumit lagi dibandingkan Lembang (utara Bandung yang juga pegunungan), saya sendiri tidak habis pikir. Disini jalannya lebih parah di bandingkan Lembang yang notabene jalanannya mulus. Apakah karena Lembang adalah tempat wisata yang sudah terkenal dari dahulu; karena disana ada Objek wisata Gunung Tangkuban Perahu yang sangat me-legenda, kebun strowberi serta pemandian air panas Sari Ater dan dilengkapi dengan berbagai penginapan seperti villa, cottage dan lain-lain. Sementara menuju Dewata, kondisi jalannya berbatu-batu runcing, diselimuti hutan belantara serta dihadang terjal tebing dan jurang. Untunglah sopir yang membawa kami tersebut sudah handal dalam hal seperti ini, sehingga tidak terlampau ada keluhan.
Dalam perjalanan menuju Dewata, dengan mata telanjang kami menyaksikan rindangnya pepohonan yang beriring layaknya zamrud. Memang rumit tetapi kami sangat menikmati sekali perjalanan ini. Keindahan alam dan orisinalitas nya membuat kami peserta rombongan tertegun, takjub, tidak menyangka kalau Bandung yang termasuk kota besar, padat dan banyak dikeluhkan ternyata masih menyimpan kekayaan yang tak ternilai; yaitu alam. Pemandangan itu terekam dengan sangat bagus di memori kepala. Bahkan beberapa rekan sempat bercanda ingin tinggal di sana. Karena tawaran ‘ cinta ’ nya memang sangat asri dan alami. Kami serasa sangat menyatu dengan alam. Sinar matahari susah di temukan disana karena memang terhalang oleh banyak nya pepohonan. Sepanjang perjalanan juga tak ada satu pun rumah penduduk. Ini beneran hutan belantara yang mengisolasi kampung Dewata dengan dunia luar. Tapi bukan berarti penduduk Dewata tidak bisa keluar. Mereka juga pernah keluar, cuma mungkin dengan cara berjalan kaki dan dengan mobil yang di sediakan oleh pihak perkebunan pada saat-saat tertentu.
Kalau perjalanan tadi banyak menanjaknya, sekarang perjalanan kami hampir semuanya menurun/turunan terus. Sesekali kami berpapasan dengan truk-truk yang kemungkinan juga membawa pasokan perbekalan untuk korban bencana. Dikanan kiri jalan kami juga menyaksikan adanya bantuan dari berbagai pihak seperti tiang beton pemancang listrik dan lain-lain. Sepanjang jalan juga banyak yang bisa kami lihat dan kami kagumi. Entah kenapa ada burung merpati dijalanan yang saya kira mungkin peliharaan para penduduk, tetapi menurut bapak yang asli Ciwidey tersebut bahwa itu adalah merpati liar saja. Dan itu banyak disini, tidak hanya merpati tapi juga burung-burung lainnya. Ada juga pemandangan lainnya yang sempat kami lihat seperti air terjun kecil yang kalau bisa di sentuh dan di rasakan, mungkin sangat dingin sekali. Terbesit hasrat dalam hati kalau seandainya dalam perjalanan pulang nanti, kami akan berhenti sejenak untuk mengabadikannya. Tapi seperti nya itu tak mungkin, karena perjalanan menuju lokasi bencana sudah sore, apalagi pulang nanti, pastilah malam hari.
Satu jam berlalu, lokasi tujuan belum juga sampai. Jalan berkelok semakin menambah panjangnya perjalanan ini. Tapi agak sedikit berbeda, kami sekarang berganti melewati lokasi perkebunan. Hamparan tanaman teh yang melingkari alamnya bak cincin itu terus menjadi sumber pemandangan. Bayangkan saja, hampir di tiap tanah, di lekukan tanah maupun di jurang2nya, semuanya penuh dengan tanaman hijau berdaun kecil berbatang pendek itu. Ini mungkin pemandangan yang sangat jarang sekali di saksikan. Buruknya jalan seolah tak terhirukan dengan keindahan yang di bentangkan lewat lembar tanahnya. Jalannya pun melingkar-lingkar, naik turun persis seperti ular yang sedang merayap. Bak sebuah legenda, Ciwidey merupakan bentuk sempurna penggambaran surga yang hilang. Kalau kita biasa melihat film yang menampilkan slide tentang hilangnya sebuah masa kurun tertentu, ataupun tempat yang sudah tidak pernah di jumpai tetapi di tampilkan menjadi ada, nah Ciwidey adalah keindahan yang hilang yang benar-benar nyata.
Gerimis hujan tak jua berhenti selama perjalanan ini. Seolah menyampaikan pesan bahwa alam pun menangis melihat bencana yang menimpa Ciwidey. Sejenak melihat lokasi alamnya yang bertebing-tebing, terbayang betapa berbahaya nya kalau hujan terus mengguyur. Kejadian seperti longsor mungkin saja membayang-bayangi setiap malamnya. Tiba-tiba setelah cukup melelahkan dalam menuju lokasi, penumpang yang sekaligus navigator kami ke lokasi bencana, menunjuk sesuatu tempat yang agak jauhan. Tapi terlihat ada sebagian lembaran permukaan tanah yang memerah. Ini berlainan dengan lainnya yang semuanya menghijau. Setelah kami menanyakan itu, beliau menjawab bahwa disanalah tempat terjadinya longsor itu. Kami pun tercengang, walaupun belum bisa menyaksikan lokasi itu secara lanmgsung di tempat kejadian. Di puncak-puncak bebukitan terlihat embun hampir menyelimutu seluruh dari lokasi pegunungan. Terbayang betapa dinginnya malam di lokasi ini. Kalau tidak memakai pakaian tebal seperti jaket atu sweater, mungkin kita tidak akan tahan, selain penduduk yang sudah terbiasa.



Jerit Dewata; Benarkah Bencana Alam atau Human Error..??

Bukit memerah yang kami lihat dari atas mobil tadi adalah bagian tanah yang terkoyak karena terjadi longsor. Berita itu telah kami terima beberapa minggu yang lalu lewat televisi dan surat kabar. Di dalam pemberitaan, di kabarkan bahwa telah terjadi bencana alam yaitu longsor di salah satu perkebunan teh yang menelan puluhan nyawa. Tapi sebentar lagi kami akan melihat langsung keadaan sebenarnya dan memberikan secara langsung bantuan yang tidak seberapa jumlahnya. Memang masih sedikit agak jauh, tapi setidaknya cukup membuat kami lega karena sebentar lagi kami akan sampai di lokasi tujuan. Memasuki pukul tiga sore (15.30 WIB), mobil yang membawa kami semakin mendekat. Bahkan kami sudah bisa menyaksikan tenda-tenda pengungsi yang berjejer di salah satu lahan kosong di daerah yang agak jauh dari lokasi longsor. Karena menurut penumpang tadi bahwa lokasi sudah dikosongkan dan semua penduduk yang selamat di ungsikan di arel ge lima (G5). Saya tidak tahu artinya G5 yang dia maksud. Begitupun dengan rekan-rekan lainnya.
Setelah melewati turunan terakhir, akhirnya kami benar-benar sampai di lokasi pengungsian tersebut. Dan kami berhenti kemudian disambut beberapa orang atau mungkin petugas yang berjaga dengan lokasi tersebut. Sambutannya juga hangat meskipun gerimis masih merintik-rintik. Kami juga diminta untuk mengisi buku (sejenis buku tamu) dan saya akhirnya memberikan tanda tangan menerangkan kedatangan dari Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. Sebenarnya di mobil juga sudah ada tulisannya, tetapi lebih afdhol lagi ketika keterangan itu di bukukan dan disaksikan oleh berbagai kalangan. Tak membuang kesempatan, rekan cewek yang sedari tadi menahan hasrat ingin buang air kecil, dengan seketika langsung menuju toilet yang sedianya mungkin disiapkan relawan-relawan lainnya untuk setiap orang yang datang. Tak berapa lama terlihat kelegaan dari nya. Kami sempat berbincang-bincang seputar keadaan dan kejadian dan sempat juga menyaksikan penduduk yang selamat dari bencana itu. Banyak penduduk tua, muda, wanita, laki-laki, kecil maupun besar berjejer-jejer menyaksikan kedatangan kami. Relawan lainnya mengatakan bahwa sebenarnya lokasi itu masih menurun sekitar tiga (3) kilometer lagi dari daerah pengungsian ini. Didekat sana juga ada posko-posko bantuan yang di dirikan oleh berbagai relawan baik yang datang dari Bandung maupun dari tempat lainnya. Setelah selesai mengisi buku tamu dan sedikit beramah tamah dengan para relawan tadi, kami memutuskan untuk menuju posko tempat menyalurkan bantuan yang kami bawa. Tak lupa kami pun sempat mendokumentasikan semua keadaan dengan sebuah kamera digital yang di pinjam dari seorang teman di Yogya. Dengan sangat hati-hati semua kami rekam walaupun harus di guyur hujan. Saya mengambil gambarnya dan seorang teman lagi menutup atas kamera dengan sesuatu agar tidak terkena air. Selesai mendokumentasikan itu semua, kami kembali meluncur menuju posko.
Sekitar setengah jam lebih perjalanan, kami akhirnya sampai di posko-posko tersebut. Didahului mobil Taff dengan Ki Bardi dan Ki Tono, kami pun menyusul turun dan menyaru dengan para relawan yang sudah ada. Kami diterima dengan senang hati oleh perwakilan relawan. Yuda, salah seorang relawan dari Dompet Dhuafah Bandung menjelaskan pada kami bahwa mereka sudah berada di lokasi ini intens sejak bencana terjadi. Cuma memang sudah sore juga sampainya karena sudah agak terlambat mendengar kabarnya. Artinya sejak hari pertama kejadian sampai sekarang mereka sudah ada dan membantu menyelamatkan penduduk dan mencari korban yang masih hilang. Menurut tuturnya lagi kepada kami bahwa sudah ada 36 korban hilang yang sudah berhasil ditemukan dan semuanya sudah meninggal. Sekarang tinggal 9 orang lagi, tapi proses pencarian sudah di hentikan sejak selasa lalu. Hati bergetar mendengar penjelasan ini. Bayangkan longsor ini sampai menelan puluhan nyawa yang notabene adalah rakyat kecil pemetik teh yang tidak banyak neko-neko. Hidup mereka sudah susah dan sekarang bertambah susah. Kita mungkin masih ingat selarik puisinya Amir Hamzah yang sangat plastis memantulkan bunyi-bunyi yang mengerikan bahkan sejak dari konsonan dan aliterasi kata-kata yang dibariskannya: ”terban hujan, ungkai badai, terendam karam, runtuh ripuk tamanmu rampak.” Dan nun di sana tampak//Manusia kecil lintang pukang//lari terbang jatuh duduk//air naik tetap terus//tumbang bungkar pokok purba//Teriak riuh redam terbelam//dalam gagap gempita guruh//kilau kilat membelah gelap//Lidah api menjulang tinggi (Majalah Tempo Edisi 22, 24-30 Juli 2006)
Bersamaan dengan kedatangan kami di lokasi posko, secara kebetulan pula pengurus perkebunan datang dengan tim ahlinya, ahli Geologi dan ahli Sipil. Tim ahli geologi kemudian menerangkan dengan semuanya termasuk kami bahwa sebenarnya bencana alam longsor di perkebunan Dewata Ciwidey ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Bahkan menurutnya itu sudah terjadi sejak zaman pendudukan Belanda. “ Sejarahnya longsor dimulai dari tebing longsoran (kurva) sejak dahulu. Itu bisa kita saksikan dalam peta buatan Belanda tahun 1933 dan tempat pemukiman itu, termasuk pabrik masuk dalam jalurnya” ungkapnya sambil memperlihatkan foto-foto lama terkait daerah dan bencana di lokasi ini. Dan menurutnya juga, terkait longsor ini, dua hari sebelum kejadian memang terjadi hujan lebat. Bencana longsor ini di mulai dari lahan hutan Hujan inilah yang menyebabkan banyak material masuk dalam aliran sungai kemudian menjadi lumpur dan menyeret yang dilaluinya sehingga volumenya semakin membesar. Inilah penyebabnya menurut beliau yang katanya berpotensi bahkan menjadi bencana di lokasi ini. Nah langkah untuk mengantisipasinya adalah dengan membuat hutan itu menjadi hutan kembali dan segera membuat tanggul-tanggul sebagai penahannya. Begitupun dengan ahli sipil, beliau juga mengatakan bahwa memang ada sedikit bahu jalan yang turun dari pasca kejadian ini. Dan untuk kembali memperlancar lalu lintasnya, maka itu harus di keruk dan airnya di alirkan ke bawah. Selesai para ahli ini memberikan keterangan, pihak pengurus perkebunan pun menjamin bahwa listrik sudah bias masuk minggu depan.
Kedatangan pengurus perkebunan dan tim ahlinya ini tidak begitu lama. Mungkin hanya berkisar sekitar 10 menit-an. Kemudian mereka pergi lagi menggunakan dua mobil. Dibenak saya mulai bertanya, mungkinkah bencana ini ada keterlibatan dan keteledoran dari manusia (human error). Semuanya menjadi gamang. Sebelum menurunkan bantuan ke posko yang telah tersedia, saya sempat bertanya dengan beberapa penduduk, relawan, dan semua orang yang ada disana. Pertanyaan yang sedikit menyentil tetapi bagi saya itu sangat relevan sekali mengingat saya tidak begitu yakin bahwa bencana ini murni adalah alam. Keragu-raguan itu antara lain perihal kenapa penduduk di ungsikan di lokasi G5. Beberapa relawan dan penduduk menanggapi bahwa tempat itu merupakan tempat yang paling aman baik dari longsor maupun banjir. Nah kejanggalan saya terhadap human error ini semakin menasarkan. Kalau memang disana adalah tempat teraman untuk penduduk, pertanyannya, kenapa tidak sedari dahulu perumahan atau desa yang dibangun pihak perusahaan perkebunan teh itu di buat disana. Apalagi, tim yang berkerjasama dengan pihak perusahaan telah mengakui bahwa bencana disana memang ada sejarahnya dan tempat lokasi perkampungan penduduk yang ada memang masuk dalam jalur nya bahkan itu di perkuat dengan data berupa peta lama.
Harusnya bencana ini menurut saya tidak akan terjadi, dan kalaupun terjadi, antisipasi korban tentunya bisa diatasi kalau seandainya pihak perusahaan tidak mengabaikan sejarah. Mungkin benar apa yang dikatakan Bung Karno, meskipun berbeda maksud dan tujuan; Jasmerah (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Karena memang banyak seharusnya yang bisa kita pelajari dari sejarah dan harusnya mampu pula membuat antisipasinya sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Tapi mau bagaimana lagi, bencana sudah terjadi, dan penduduk terlanjur menjadi korban. Sekarang yang bisa dilakukan adalah bagaimana menyelamatkan yang ada dan membuat antisipasi yang akan terjadi.
Hujan masih saja tidak mau berhenti meskipun telah ber jam-jam kami dilokasi tersebut. Meskipun tidak deras, justru hujan menjadi awet sekali dan menambah kedinginan para rombongan. Satu per satu rekan-rekan naik mobil kembali. Sebelum menurunkan bantuan, Yuda kembali menerangkan kepada kami bahwa lokasi longsor (tempat kejadian bencana) tidak begitu jauh dari posko tersebut. Mungkin sekitar berjarak 700 meter dari lokasi posko ini. Dan memang kelihatannya sudah sangat dekat sekali waktu saya amati dari lokasi itu. Tak lupa pula saya menanyakan pasokan makanan serta kesiapan tim pemulihan kesehatan baik fisik maupun psikis dari penduduk Dewata. Beliau pun menjawab bahwa kalau pasokan makan dapat tercukupi karena memang banyak bantuan yang sudah mengalir ke sini. Secara kesehatan pun, beliau mengungkapkan bahwa Dinas Kesehatan Bandung sudah stand by terus di lokasi. Tidak hanya itu, disana juga didirikan ‘Trauma Healing’, semacam tempat atau penyuluhan untuk memulihkan psikologis para penduduk yang trauma pasca kejadian. Mungkin sama dengan di Yogya, ketika terjadi gempa bumi tahun 2006 lalu. Disana juga ada pusat pemulihan psikis masyarakat dengan membuat dan mendirikan ‘Trauma Centre’.
Setelah mendengarkan penjelasan dari relawan tersebut, kami menurunkan semua barang yang ada didalam mobil. Satu persatu barang itu di pindahkan ke posko oleh seluruh rekan dan dibantu pula dengan relawan lainnya serta penduduk sekitar. Tak lupa, setelah selesai menurunkan seluru barang tersebut, kami berpose bersama sebagai kenangan dan dokumentasi untuk instansi yang melisensi perjalanan kami ini. Meskipun di tengah hujan, kami bergantian berfoto-foto. Dan setelahnya, dengan beberapa rekan saja, kami menuju lokasi tempat longsor terjadi. Dari sana kami harus turun kembali. Kami turun hanya dengan satu mobil saja, menggunakan Taff bersama Ki Tono. Lainnya menunggu sambil istirahat di tenda posko. Perjalanan ke lokasi langsung memakan waktu sekitar setengah jam. Didalam perjalanan, kami menyaksikan indahnya perkebunan teh yang membentang sepanjang gunung. Tidak berselang lama, kami sampai di lokasi. Tak ada kata yang bisa kami ucapkan selain menyebut kebesaran Tuhan. Beberapa rumah seperti yang kami lihat terhantam dan bahkan ada yang tenggelam dengan tanah. Air dingin masih mengalir di tengah-tengahnya. Perkampungan itu kosong melompong. Tak ada satu pun makhluk, selain 9 orang yang masih terkubur dan belum di temukan. Beberapa lokasi kami dokumentasikan dengan cermat. Tebingnya, aliran longsornya, rumah-rumah yang terbenam, ataupun yang yang sudah rusak karena di hantam badai tsunami tanah. Melihat ini semua mengingatkan saya pada Kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa, betapa mudahnya kalau Dia ingin sesuatu dan tanpa ada yang menghalangi.
Setelah selesai mendokumentasikan semuanya, kami pun akhirnya kembali pulang menuju posko dimana rekan-rekan lainnya sudah menunggu. Didalam perjalanan, sempat juga kami berpapasan dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang sedang mengambil gambar lokasi yang terkena bencana. Dalam perjalanan menuju posko, kami pun terbersit untuk megambil kenang-kenangan dengan berfoto di perkebunan teh tersebut. Kenapa kami menyempatkan untuk itu, karena memang kami terpukau akan keindahan alamnya yang benar-benar elok. Beberapa kali saya meminta Ki Tono untuk berhenti sejenak hanya untuk mengambil beberapa gambar bersama rekan-rekan. Beliau pun tidak keberatan dan mempersilahkan kami membuat kenangan.



Menuju Pulang; GoodBye Dewata, Rindukan Kami Kembali

Hari semakin sore, ketika kami sampai di posko. Dan tak berselang lama, kami pun berpamitan dengan para relawan dan penduduk untuk meluncur pulang kembali ke Bandung. Dan setelah selesai bersalam-salaman, kami akhirnya meninggalkan lokasi itu. Semua rekan merasa lega karena misi telah berhasil dilakukan. Didalam perjalanan pulang menuju Bandung, tak henti kami berucap syukur. Pemandangan indah yang pernah kami lihat di awal perjalanan tadi, sekarang mulai memudar dan lambat laun mengilang di telan kelam. Entah sugesti atau apa namanya, kami merasakan perjalanan pulang ini terasa begitu cepat. Soalnya tak berapa lama, kami sampai di pertigaan awal tempat kami berhenti dan menaikkan penumpang yang menjadi navigator tadi. Disini kami pun sempat juga berhenti sejenak. Kemudian kami meluncur karena hari sudah mulai malam.
Disepanjang perjalanan pulang, terkadang kami berdiskusi kecil-kecilan terkait bencana ini. Pertanyaan tadi belum sempat tertuntaskan; apakah ini murni kejadian alam atau human error. Tapi karena memang kecapekaan, diskusi tersebut tidak berlangsung lama dan kemudian rekan-rekan memilih untuk tidur. Sampai tak terasa kami keluar dari lokasi dan masuk ke jalanan yang kondisinya mulai mulus. Dan tak lama juga kami berhenti di rumah makan di pinggir jalan. Karena memang sangat lelah, capek, menguras tenaga dan lapar yang sangat selama perjalaan yang kami lakukan hari ini. Beberapa rekan coba dibangunkan untuk mengisi perut. Kami makan sepuasnya di warung itu. Kebetulan juga sepi, jadi kami memutuskan untuk sedikit lama beristirahat disana sambil minum-minum teh hangat asli Ciwidey. Setelah dirasa cukup, kami meluncur ke Bandung. Rekan rekan semenjak naik mobil sudah saya lihat memilih tidur semuanya. Kebetulan ada ruangan yang agak leluasa di mobil karena tidak memuat barang lagi, jadi tidur pun agak terasa nyaman. Saya pun tak ketinggalan, sehingga ketika bangun saya dan rombongan kaget karena sudah berada di pekarangan Tamansiswa Bandung. Dan kemudian kami bangun, mencuci muka lalu beristirahat sejenak. Sempat saya menanyakan dengan Ki Darso, kapan rencana pulang. Beliaupun kelihatannya lelah, tetapi beliau sanggup untuk pulang malam ini juga ke Yogyakarta. Akhirnya setelah dirasa mantap untuk pulang, kami akhirnya berpamitan dengan semua yang ada di Tamansiswa Bandung tersebut.
Perjalanan pulang ke Yogya ini sebelumnya akan bersama-sama dengan Ki Bardi karena beliau memang asli sana. Tetapi karena kecapekan, beliau memutuskan untuk belum berangkat. Tapi Ki Bardi dan Ki Tono menyempatkan mengantar kami keluar Bandung. Kebetulan juga ada seorang pamong yang akan menumpang ke Yogya. Jadilah kami bersama-sama dengannya. Waktu menunjukan pukul sebelas malam (23.00 WIB), ketika kami bersalaman dan tak lupa berterimakasih atas bantuan yang di berikan Tamansiswa Bandung selama disana. Kemudian, kami meluncur meninggalkan Bandung, Paris Van Java. Karena memang masih merasa capek dan lelah, kami akhirnya memilih untuk tidur. Sampai mobil berhenti di sebuah kota di Majalengka, Ki Darso sopir kami yang begitu tabah dalam mengantar kami, sempat membeli oleh-oleh untuk rekan-rekannya di Yogya. Sebenarnya kami pun ingin membawa oleh-oleh juga, tetapi karena tertidur semuanya dan hanya beberapa rekan yang bangun, tetapi malas sekali untuk turun, jadinya tidak sempat beli apapun. Sepanjang perjalanan ini, mobil meluncur dengan lancar dan cepat sekali. Sampai ketika mentari pagi menyembul ketika saya terbangun dan mobil berhenti di sebuah rumah makan di salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Disini, sebelum makan saya menyempatkan mandi karena memang belum mandi dari kemarin. Jadinya badan agak sedikit lengket, bercampur gatel-gatel. Maklum, sampai di Bandung dari Ciwidey kemarin sudah tengah malam dan cuaca dingin, jadi saya memilih untuk tidak mandi. Disini, dengan senang sekali saya mandi sepuasnya, kemudian kami secara bersamaan dengan pak sopit dan semuanya makan sepuasnya. Rombongan tampaknya menikmati sekali ini, tapi mereka tidak ada yang mandi, hanya cuci muka seadanya saja. Selesai makan, kami berleha-leha sejenak. Menurut Ki Darso, untuk sampai ke Yogya, mungkin sekitar empat jam lagi. Artinya, sebelum waktu sholat jumat tiba, kami diperkirakan sudah sampai di Yogya. Dan benar, jam sebelas siang (13/03/2010-11.30 WIB), kami akhirnya sampai kembali di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa setelah sebelumnya pamong yang ikut bersama kami tadi turun di suatu tempat. Perasaan semakin lega setelah kami menginjakan kaki kembali di kampus tercinta. Dan setelah berterimakasih atas bantuan yang di berikan Ki Darso, kami pun berpamitan dengan beliau. Beliaupun juga merasa lega dan tak lama kemudian, beliau akhirnya kembali ke kampus pusat untuk melaporkan bahwa perjalanan telah selesai dan misi telah berhasil dilakukan. Alhamdulillah, akhirnya semua berjalan lancar meskipun banyak kendala juga yang kami hadapi. Semoga dari perjalanan ini banyak membawa hikmah bagi kita semua. (Perjalanan ini dilakukan dari hari Rabu sampai Jumat, Tanggal 10-13 Maret 2010)

Melki Hartomi AS
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template