Pages

Tragedi 1965 : Sejarah Kelam Perempuan Indonesia



(Resensi Buku)

Sesudah proklamir kemerdekaan yang dibacakan dwitunggal Soekarno–Hatta tahun 1945, keadaan bangsa Indonesia tidak serta membaik dan terkontrol. Perang fisik memang berkurang, tapi pecahlah kemudian perang ideologi dikalangan elit bangsa seperti Presiden, Militer, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan lain-lain. Pemberontakan merebak dimana-mana dan persaingan dalam penentuan arah bangsa serta perebutan kekuasaan menjadi isu yang santer dan gelap. Salah satu contohnya adalah peristiwa pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Dari peristiwa itu, sangat jelas penggambarannya bahwa apa dan siapa yang bertarung di dalamnya. Tidak lain dan apalagi kalau bukan ideologi (teori yang akan melanggengkan dan memaklumkan untuk sebuah perebutan kekuasaan). Terlepas dari benar atau tidaknya peristiwa tersebut, valid atau tidaknya berbagai karangan tentang itu, tentunya menyisahkan penderitaan mendalam bagi rakyat Indonesia. Terutama rakyat yang hanya terkena imbasnya, tanpa terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kubu atau pihak yang bertarung. Penderitaan-penderitaan itu banyak yang akhirnya menjadi suara-suara terbungkam dan hanya cerita pahit masa lalu (sejarah yang terselubung) yang traumatik ketika di bicarakan. Tapi membaca sejarah kita sekarang, kiranya perlu dilakukan pembacaan ulang dengan sumber data maupun langsung dari narasumber yang valid, dituturkan secara jujur serta di tulis dengan kematangan analisis terhadap berbagai peristiwa. Suara-suara yang tadinya terbungkam, sudah selayaknya diingat kembali dan disuarakan kepada publik demi keteraturan dan kesejajaran sejarah bangsa di masa lampau. Seperti yang coba dilakukan oleh Ita F Nadia, seorang aktivis HAM yang mencoba menuturkan dan meluruskan catatan masa lalu kaum perempuan yang kelam seputar tahun 1965.
Seperti yang tertulis dalam buku sejarah pelajaran, bahwasanya tahun 1965 adalah tahun yang menegangkan bagi bangsa Indonesia dengan merebaknya isu penggulingan presiden Soekarno dari jabatannya. Dan kemudian tahun berikutnya, Soekarno memang benar-benar terjungkal dari posisinya dan digantikan oleh Soeharto yang tak lain adalah perwira menengah dimasa pemerintahannya. Ini tentunya tidak serta merta di serahkan (Soekarno ke Soeharto), melainkan melalui proses panjang dan berbagai sabotase ataupun intrik kejam. Sabotase serta intrik yang dimaksud ialah isu rencana kudeta yang akan dilakukan Dewan Jenderal (DD) yang akhirnya terjadilah pembantaian para jenderal-jenderal yang sebelumnya disiksa, disayat-sayat, kemudian (katanya) penisnya dipotong oleh PKI dan organisasi wanita atau Gerwani. Lagi-lagi, kebenaran peristiwa itu masih remang. Dan buah dari sabotase jahat itu sudah terlanjur memakan korban yang lumayan banyak. Terutama para perempuan yang dituduh Gerwani maupun hanya disangkakan saja (karena berdasar tulisan panjang serta dokumentasi secara oral history yang dilakukan penulis, ada juga perempuan yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan Gerwani, BTI ataupun PKI).
Penulis menuturkan dan menuliskan dengan baik kisah dibalik masa pahit penyiksaan perempuan ditahun 1965 tersebut. Memang tidak banyak narasumber yang bisa diangkatnya dalam buku itu, tetapi setidaknya dari beberapa orang perempuan penutur itu, cukup membukakan mata kita pada sejarah kekejaman militer maupun organisasi-organisasi pendukung Soeharto terhadap perempuan Indonesia. Seperti kisah sepuluh perempuan yang kesemuanya akhirnya harus menanggung siksa dera yang teramat sangat keji karena bergabung dengan organisasi komunis, hanya menari thok untuk acara komunis ataupun ber-suami-kan dengan seorang komunis. Mereka disiksa dengan sangat tidak manusiawi sampai mereka lebih pasrah mati ketimbang hidup. Perempuan-perempuan itu, yang dengan tiba-tiba di gelandang tentara karena disangkakan keterlibatannya dalam pembunuhan jenderal-jenderal, mengalami trauma yang tak terperikan. Mereka disiksa dengan ditelanjangi, diarak dijalanan, dimaki-maki dengan kata-kata kotor, dibilang pelacur, perempuan tak bermoral, tidak beragama dan sebagainya. Tidak hanya itu, didalam sel penjara, mereka juga mendapat pelecehan-pelecehan seksual seperti disuruh menari telanjang, diperkosa secara beramai-ramai yang dilakukan oleh oknum tentara, di setrum bagian vitalnya (seperti: puting payudara, klitorisnya bahkan sampai kedalam bagian vaginanya), serta tak jarang moncong senapan di masukan ke dalam kemaluan mereka.
“ Saya dikeluarkan dari sel, dan disuruh mandi disumur didekat sel. Sesudah mandi, saya di beri sehelai kain batik dan kemeja putih, lalu dibawa ke ruangan didekat pos penjagaan. Di ruangan itu ada satu tempat tidur dan meja kecil. Saya di suruh duduk, diberi obat dan segelas air. Saya berbaring ditempat tidur dan tertidur nyenyak. Ditengah sepi malam, tiba-tiba saya terbangun. Seketika saya menjadi sadar. Ternyata saya sudah dalam keadaan telanjang bulat. Seorang laki-laki tinggi besar sudah menindis tubuh saya dan dengan liar ia memperkosa saya. Saya merasa kesakitan luar biasa. Darah segar kembali mengalir dari vagina. Setelah merasa puas, ditinggalkannya saya terkapar tanpa daya ditempat tidur. Belum sempat mengatur nafas, sudah datang lagi laki-laki lain. Ia bertubuh kecil dan tinggi. Ia memperkosa saya dengan amat kasar, tidak peduli pada darah yang terus mengalir. Saya tidak sadar lagi, apa yang terjadi pada saya sesudah lelaki yang ketiga, seorang yang berperawakan pendek dan gemuk. Dengan berat tubuhnya ia menindis dan menindis tubuh saya sambil menggigit-gigit payudara saya yang bengkak. Saya pingsan.“ (Bagian ke-2, Partini : Perempuan Eks Tapol, Sampah Segala Sampah hal 62-63). Begitu yang diituturkan Partini, yang ditangkap tentara karena aktif dalam kegiatan Gerwani. Menurut beliau, keinginannya masuk gerwani karena mereka mengajarkan baca tulis pada ibu-ibu rumah tangga dan orang perempuan pada umumnya. Selain itu, mereka juga mengajarkan jahit menjahit di lingkungannya. Makanya ketika disangkakan sebagai perempuan yang terlibat dalam pembunuhan para jenderal, penyayat dan memotong penis para jenderal, Partini tidak pernah mengetahuinya. Tapi ketidaktahuan Partini tersebut, tetap membuat ia mendapat siksaan dan hukuman. Tidak hanya Partini, terdapat Rusminah dan Suparti yang tidak pernah terlibat dalam kegiatan partai komunis ataupun sayap-sayapnya, tetapi hanyalah seorang istri seorang PKI. Tapi mereka juga terkena imbas penangkapan yang membabi buta dari pihak tentara. Mereka juga di perlakukan sama seperti Partini, diperkosa beramai-ramai, di setrum, dijadikan gundik oknum tentara bahkan sering dibiarkan kedinginan karena di telanjangi siang malam, panas ataupun hujan serta sering dibiarkan kelaparan.
Bahkan karena saking berat dan pedihnya siksaan terhadap mereka, tidak heran ketika Sudarsi (bagian ke-6 hal 110) mengungkapkan keputusaasaan dan kekecewaan karena memiliki vagina dan payudara yang kesemuanya menjadi alat permainan laki-laki (tentara) dan kekuatan politik. Seperti yang banyak dituturkan narasumber di buku ini, penjaga malam atau tentara lainnya juga biasa meminta “:Bon Malam, (sebuah istilah lazim dikalangan tapol G30S yang artinya: dipinjam pada waktu malam untuk dibawa ke tempat lain bahkan tidak sedikit yang dibawa ke tempat pembunuhan entah dimana)”, untuk memenuhi nafsu seksual mereka dengan pergi kekamar yang telah disiapkan kemudian secara pasrah diperkosa secara bergilir dan bergantian sampai para tentara itu puas.
Membaca buku ini, kita memang diajak kedalam kengerian peristiwa penangkapan kaum perempuan eks tahanan politik. Penggunaan bahasa yang simple, menjadikan kita gampang dan mudah memahami alur peristiwa yang disajikan. Berbeda dengan buku lainnya, yang menyajikan peristiwa sejarah dengan banyak menggunakan bahasa yang tidak baku (secara Indonesia) karena merupakan adopsi bahasa luar ataupun sebuah terjemahan. Dalam buku ini, guna menghindari pemaknaan yang bisa terkesan ekploitasi, penulis dengan cermat juga merunut sisi pengungkapan sabotase dan intrik keji oknum tentara terhadap tahanan. Karena tidak hanya penyiksaan saja yang dituliskan, tapi juga dilengkapi dengan kesaksian narasumber yang terpaksa berbohong terhadap publik karena tidak kuat menahan siksaan. Intrik inilah yang dahulu digunakan tentara untuk menipu media dan publik dengan menanamkan fakta dan sejarah salah didalam masyarakat. Para perempuan eks tapol, seperti yang dituliskan, mau tidak mau harus menjawab “ya” dari setiap pertanyaan wartawan. Karena kalau tidak menjawab seperti kehendak tentara, maka bukan hanya disiksa, mungkin mereka akan dibunuh. Jangankan melawan perintah, mengibaskan tangan yang sedang menggerayangi tubuh mereka, tak segan tentara itu menyiksanya.
“Pada hari berikut beberapa orang menjemput dan menggiring saya ke pos tentara. Disini mereka menginterogasi saya selama dua hari tanpa henti. Selama masa interogasi, sering mereka meminta saya menari diatas meja interogasi dengan telanjang bulat. Kemudian laki-laki alat kekuasaan itu ganti berganti atau bersama sama menggerayangi bagian-bagian tubuh saya dengan semau-mau mereka. Kalau saya menolak menari atau mengibaskan tangan-tangan mereka, mereka akan menampar atau mengancam. ‘Satu kali lagi kamu menolak, satu nyawa kawanmu akan melayang’. Artinya, jika saya menolak, maka akan ada satu orang tahanan akan mereka bunuh. Kenyataan yang terjadi memang tidak terlalu jauh dari kata-kata mereka. Setiap kali saya menari dan menolak untuk mereka perlakukan tidak senonoh, beberapa tawanan akan digiring masuk keruang interogasi saya. Dan pertunjukan penyiksaan akan mereka lakukan di depan saya. Sementara itu saya harus terus menari. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan sesama tahanan itu, saya terpaksa harus terus menari telanjang sampai mereka bosan.” (bagian ke-10. Darmi: Saya Tinggal Sebatang Jasad. Hal 178). Begitulah kekejaman tentara yang dituturkan Darmi, seorang Penari Bali yang harus menanggung derita kekejaman tentara karena suami dan mertuanya seorang komunis.
Kembali ke masyarakatpun, perempuan eks tapol ini tidak serta merta bisa di terima lingkungan. Baru semenjak era 1999 mereka benar-benar bisa menghirup kebebasan yang sesungguhnya. Sebelumnya mereka selalu hidup dalam keterusiran akibat propaganda tentara dengan menyebar berita bohong bahwa mereka adalah perempuan kejam, sadis, pembunuh para jenderal, pelacur hina dan tidak bertuhan (atheis). Bahkan seperti yang dialami Darmi, tidak hanya masyarakat yang menolaknya, saudara lelakinya pun sampai ajal menjemputnya telah terlanjur menghapus namanya dalam silsilah keluarga karena termakan hasutan bohong.
Saya rasa buku ini bagus untuk dibaca semua kalangan. Dengan membaca buku ini, kita sedikit akan melihat sisi sejarah yang terlupakan di negeri ini. Dari buku ini juga, seharusnya dapat menjadi kritik otokritik bagi pemimpin negeri ini, penulis sejarah maupun departemen pendidikan untuk meluruskan kembali sejarah terutama sejarah dalam pelaksanaan pembelajaran. Tidak melulu menggunakan yang lama karena ternyata banyak yang tidak relevan yang telah di tulis dalam pemerintahan orde baru. Meskipun tanda baca di buku ini masih banyak yang kurang tepat, tetapi pengatar yang diberikan Prof. DR. Saskia E. Wieringa turut juga memberikan pencerahan untuk bagaimana melihat lebih obyektif lagi sejarah bangsa ini terutama seputar tahun 1965 tentang Gerwani, Kup 1 Oktober 1965 yang sebenarnya mempersetankan perempuan, serta trik yang dipakai Soeharto dengan menciptakan kekacauan, dengan menerapkan politik seksual termasuk propaganda dan sabotase-sabotase kejadian yang sesungguhnya.

Melki AS
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template