Pages

Dari Sepucuk Surat, Kuhampiri Dirimu

Salam Sayang Selalu Padamu,

Semenjak engkau meninggalkan surat terakhirmu waktu itu, berjuta perasaan datang berhamburan. Was-was menyelimuti seluruh tubuh ini. Gemetar terasa lebih mengencang ketika surat itu kubacai kembali. Puitik memang terasa dan cukup argumentatif tentang apa yang telah engkau jelaskan. Tapi mungkin disini engkau melupakan sesuatu, Sayangku, Kekasihku tercinta. Aku sebenarnya tidak perlu menceritakannya lagi padamu, apalagi telah banyak yang telah kita ceriterakan, kita diskusikan sehingga akhirnya keputusan ini yang harus kita ambil (tapi oke lah, mungkin nanti aku-pun akan sedikit mengulas tentang apa yang sebenarnya belum engkau pahami)
Ayam mulai berkokok ketika pagi datang menyembul dari ufuk timur. Daun-daun-pun terlihat menari menantikan datangnya sang pembawa cerah. Begitupun aku melogikannya diantara kita. Entah apakah itu terpaut pada diriku atau dirimu. Tapi sebelumnya aku yakin akan ada bentuk terang yang akan coba kita bawa. Memang akhirnya semua itu nihil. Kedatangan suratmu itu telah merubah segalanya dalam diriku, dalam tiap detik detak jantungku. Tapi biarlah, mungkin ini yang namanya suratan takdir.

Ah…takdir, apa pula itu.
Apa benar takdir itu kejam seperti yang pernah di-lagukan.
Yang jelasnya hanya Tuhan yang tahu semua.

Dari awal ku melihati dirimu, terbesit aku tentang seorang tokoh perempuan yang sekaligus ibu bangsa kita ini (semoga aku tidak munafik). Ya, siapa lagi kalau bukan R.A Kartini. Seorang yang berdarah ningrat, tapi tidak mau terikat dalam kungkungan feodalisme keningratannya itu. Bisa kau bayangkan, seorang Kartini Muda yang waktu itu sebenarnya sudah terbilang enak hidupnya karena tidak akan pernah ada kekurangan yang diraihnya. Tapi siapa nyana, justru keberlebihan itulah yang menjadi kekurangan dari Kartini Muda. Beliau ingin sekali melihat dunia luar, bertemu bahkan bercakap tidak hanya dengan kalangan keluarganya saja dan hanya orang-orang tertentu. Beliau ingin sekali berbaur dengan semua orang dari semua golongan. Beliau ingin bercakap dengan pemuda-pemudi kita waktu itu. Ya, bercakap atau mungkin kalau di Indonesia-kan artinya bicara, berbicara. Beliau ingin sekali berbagi, sharing dengan siapa saja. Mungkin itu yang dibilang Habermas ataupun Georg Simmel tentang pondasi peradaban manusia di masa depan dalam teori komunikasi-nya. Sehingga Kartini mampu menjadi pelopor perubahan gender negeri ini dengan Emansipasi yang coba dirangkainya.
Mungkin engkau bertanya-tanya, siapa pula Habermas, siapa pula Georg Simmel dan apa pula teori Komunikasi itu. Tak penting kuceritakan padamu. Intinya, mereka menyimpulkan bahwa untuk keinginan dalam membangun peradaban masa depan yang baik, harus dimulai dengan membuat pondasi komunikasi secara sehat. Komunikasi yang dapat mem-pengertikan semua orang dengan penuh keterbukaan dan kejujuran. Karena diatas segala hal yang akan kita lakukan, selain niat, ada kejujuran yang harus selalu menjadi peran utamanya (tapi ini pendapatku sendiri lho, karena aku tidak ingin engkau menafsirkannya salah). Niat dan kejujuran. Itulah sebenarnya yang coba kita lakukan kemarin ketika kita mulai merajut asa. Engkau berusaha untuk jujur padaku, begitupun aku yang selalu dan selalu ingin jujur padamu. Tapi ternyata perjalanan panjang ini teramat banyak halang rintangnya. Berusaha untuk terus berjalan lurus, ternyata pun membawa dampak buruk pada hubungan kita. Bahkan kita tidak mengetahui kalau lobang besar telah siap untuk memangsa. Memangsa hubungan baik kita, memutus rajutan pondasi asa yang coba di urai.
Aku senang sebenarnya engkau telah mau jujur padaku. Terlebih lagi tentang apa yang pernah kita jalani. Mungkin engkau tidak atau bukan diciptakan untukku. Ku hargai itu semua. Aku-pun sadar dan kita pun telah sering mendiskusikan ini bukan! Bahwa cinta tidak harus memiliki karena kalau terlalu possesif, maka gelaplah semua terasa. Aku ingat sebait lirik lagunya Airsuplay yang lebih kurang bunyinya “ I can see the pain living in your eyes, and I know how hard you try, You deserve to have much more. I can feel your heart and I sympathize and I’ll never criticize all you’ve ever meant to my life”. Tapi akupun berharap sama seperti Bryan Adam, Please Forgive Me. Maukah kau memafkanku atas semua kesalahanku ini? Mungkin karena aku telah salah mengartikan dirimu, mengartikan bahasa cinta darimu. Aku memang mengakui bahwa aku terlalu masuk kedalam prinsip kecilku, bahwa apa sedang kulakukan harus diraih atau dicapai secara sempurna. Ini mungkin membawa perbedaan padamu. Sekali lagi forgive me sayangku (kalau masih boleh memanggilmu begitu). I would rather hurt myself than to ever make you cry. Biarlah prinsipku menjadi bagian diriku, dan prinsipmu menemani setiap perjalananmu.
Kita telah sama-sama membuat penegasan dan kita-pun akan menanggung resikonya sendiri-sendiri. Tapi jika engkau ingin sharing denganku, aku tidak akan menutup diri. Aku menghambakan diriku untuk suatu komunikasi. Tidak hanya engkau, bahkan siapa pun itu, aku tetap akan menemani dalam sharing-nya,. Terrmasuk engkau, Teman yang pernah kusayang. Mungkin dengan berakhirnya asa ini, membuat kita lebih khusyu pada pencapaian diri. Memang terkadang aku merindukan ketika jauh darimu. Bayangmu tidak gampang untuk dilupakan. Nama dan parasmu terlalu kuat bertengger di kepala yang keras ini. Tapi semoga ini tidak memusingkan dirimu. Memang tragis, tapi kita akan menjalani semuanya. “Manusia itu seperti aktor diatas panggung yang tanpa skenario, teks atau tuntunan peran, tapi mesti mamainkan suatu lakon entah itu apa” ungkap Jean Paul Sartre. Termasuk kita contohnya. Jadi janganlah engkau berpusing akan hal itu.
Keputusan yang kita buat memang terasa final dari cerita panjang ini. Memang awalnya dulu ketika orang bicara cinta itu adalah rasa yang suci, yang untuk mencapainya, kita benar-benar harus ikhlas dan melepaskan segala atribut yang berkaitan dengan kebendaan, yang juga hadir dari sanubari terdalam lalu terhembus pada tiap tarikan nafas, ku anggap itu semua paradoks yang besar (Big Illusion). Tapi sekarang aku merasakan hangatnya realitas yang nyata seperti yang pernah di ungkapkan Miguel de Unamuno dalam The Tragic Sense Of Life, bahwa cinta itu anaknya penipuan dan bapaknya ilusi (mungkin ini hanya protes ku saja pada cinta, tapi masih perlu di uji lagi hipotesisnya kemudian hari). Tapi ya namanya cinta, semuanya membingungkan kok. Logikanya tidak hanya muncul dalam satu layar bahkan bisa dua ataupun tiga layar secara bersamaan. Kahlil Gibran bahkan menuliskan bahwa cinta hadir tidak harus karena pendekatan yang intens sekalipun dilakukan berhari, bertahun atau berabad-abad lamanya. Ya bingung semua aku akan hal itu. Atau mungkin cinta itu suci, atau malah hanya sekedar keturunan dari sang penipu. Atau bisa jadi justru ia adalah penipu yang suci. Si suci yang suka menipu. Aku tidak tahu. Entahlah, biar waktu yang menjawab. Begitupun juga dengan cinta kita.
Sebenarnya aku terkejut ketika dalam suratmu, engkau menegaskan bahwa lebih memilih menyukai “dia” yang sedari awal menjadi temanmu, temanku, teman kita semua. Tapi tak mengapalah. Aku tidak akan mempersalahkanmu. Bukankah Kejujuran memang pahit dan Kehidupan musti kejam!! Jadi hidup sempurna harus dilalui dengan kemampuan survive (bertahan) dalam kepahitan dan kekejaman. Itu namanya gentle. Itu kenapa aku tidak ingin menyalahkanmu. Aku banyak harap, engkau tahan mengahadapinya dan aku dapat melewatinya. Biarlah cinta diantara kita menjadi buih yang terbang dibawa angin. Akhirnyapun toh tetap Tuhan yang tahu. Mungkin tidak padaku, padanya atau pada yang lain. Atau mungkin pula sekoci hatimu berlabuh pada orang lain, padanya ataupun padaku. Wallahualam.
Luka tetap akan selalu ada dan sudah menjadi bagian hidup dalam keseharian makhluk yang benafas. Apalagi makhluk nisbi seperti kita yang masih kotor dan berkeruh dalam menganyam samudra hidup. Perpisahan itu muncul didalam diri karena ketidakpuasan sehingga menimbulkan bercak cacat antara kita. Maka akhirnya ada suatu kewajaran ketika engkau meminta berpisah denganku karena terluka. Luka yang pernah terjadi padamu, padaku, pada hubungan kita, karena ada hati yang teraniaya. Ada sesama yang berbeda dan sebab itu coba ku binasakan. Dan kalau kau perlu tahu (seperti yang kubilang bahwa aku akan menjelaskannya), luka kita itu adalah luka hati yang terpaksa mengorbankan perasaan. Aku menyebutnya luka karena persoalan “hati dan perasaan” itu bukanlah sesuatu yang abstrak, tapi konkrit menyangkut tubuh, melibatkan perasaan, membangkitkan terenyuh dan juga amarah. Bukankah itu yang terjadi padamu saat ini?
Bilakah kau pernah membacai lagi novel Layla dan Majnun karangan Syaikh Nizami, kau pun akan akan bertanya-tanya. Begitupun aku. Tapi kuyakin terselip makna mendalam dalam kisah yang coba dituturkannya dalam novel tersebut. Makna yang mencoba menguak dalam hati dan perasaan manusia yang punya cinta. Cinta abadi seorang kelana korban hidup ber-kasta. Akhir cerita yang ternyata cintapun ternyata punya ruang tersendiri di hadapan sang khalik. Tentu engkau tahu itu, bagaimana cinta Layla dan Majnun yang terusik beragam rintang dan halang sampai akhirnya Qays (nama asli Majnun) yang sangat mencintai Layla ikut terbaring, mati, disamping pusara pujaan hatinya. Qays yang di bilang Majnun, yang berarti si Gila, setelah lama menderita karena cintanya yang teramat besar pada Layla memang menjadi gila setelah pertemuannya ketika Ibnu Salam, suami Layla yang terpaksakan meninggal dunia. Saking tidak kuatnya beliau menerima kebahagiaan sehingga tubuhnya bergetar dan kekuatannya melebihi kemampuan manusia biasa, sehingga padang pasir yang ada didepannya terlintasi dengan cepat dan sangat jauh. Mungkin begitu padaku hari ini, puisi yang coba dibuat Majnun, sekarang seolah menjadi wali dari perasaan kecilku ini terhadapmu. Ya, puisi yang dibuatnya di bagian akhir cerita sang pengelana. “Kesengsaraan ini milikku, kesedihan telah menyatu dalam jiwaku, kenangan tentang bibir yang begitu manis, telah membelenggu lidahku untuk mengungkap pesonanya. Saat sayap cintaku terluka dan tidak dapat terbang, burung indah mempesona yang telah lama aku cari datang dihadapanku. Sesungguhnya, engkau merangkai pesona bidadari, dan apalah artinya diriku? Aku tidak mengetahui apapun selain bayangmu. Tanpa engkau aku tiada. Khayalan telah menyatukan kita berdua. Kita melebur menjadi satu, menyatu dalam ketetapan cinta. Kita adalah dua tubuh dengan hati yang satu dan jiwa yang sama. Dua lilin dengan satu nyala api murni, semurni surga. Dari bentuk-bentuk yang sama digabung menjadi satu, dua titik menjadi satu, tiap jiwa mendukung satu sama lain”
Ya memang begitulah kiranya bayang-bayang. Selalu ada hal yang tidak tampak nyata. Cintapun membayang yang sebetulnya bukan keputusan final untuk suatu ikatan. Bisa saja sekarang cinta, besoknya benci. Ataupun sekarang cinta dan selamanya tetap cinta. Hehehe, jangan pula kau bingung, itu hanya lamunan kotorku saja. Bayang-banyangpun bisa jadi membawa keyakinan yang baik karena selalu akan ada kebaikan dibalik setiap keburukan yang kita dengar yang seolah dalam setiap kejadian (bencana secara kasarnya), adalah blessing in disguise, rahmat yang tersembunyi. Sebab bayang itu bukan selamanya suatu kegelapan semata, melainkan hanya sekadarnya. Sebab dibalik bayang itu tersembunyi terang yang sedikit terhalang. Terangku padamu ataupun terangmu padaku. Bahkan Sindhunata pernah membuat suatu kutipan bahwa bayang-bayang adalah kenyataan yang selalu menyertai kehidupan manusia. Bisa jadi bayang itu adalah lamunannya, impiannya atau cita-citanya. Tapi bisa juga bayang-bayang itu adalah kegagalannya, kesia-siannya, atau kesedihannya. Manusia tak mungkin ada tanpa bayang-bayangnya. Dimanapun ia berada, kemanapun ia mengembara, bayang-bayang itu tak mungkin lepas dari hidupnya. Makanya kenapa ku bilang bahwa sulit bagiku untuk melupakanmu, melupakan masa indah yang coba kita bangun bersama diatas ponggahnya kuasa cinta kita!!
Bayang ini juga yang mencoba menerangkan pada kita tentang arti dan kesia-siannya sebuah cinta seperti yang dialami Abelard dan Heloise. Kisah Abelard dan Heloise dalam the letter of Abelard and Heloise menunjukan pada kita bahwa dalam hidup selalu tersimpan sesuatu yang komplik, mulai dari kebahagiaan sampai kesengsaraan. Seperti kesengsaraan yang dialami mereka karena cinta. (semoga itu tidak pada kita). Mungkin kau belum sempat membacanya kemarin, karena baru saja aku mendapatkan buku itu. Cinta suci nan abadi, yang dibuat Abelard untuk Heloise, ataupun dari Heloise untuk Abelard menyiratkan bahwa keabadian cinta tidak harus menyatu selamanya. Bahkan keabadian itu, yang mereka nikmati justru lewat keterpisahan yang memilukan. Sebagaimana Abelard yang seorang guru dan Heloise sebagai muridnya menikah dalam ketersembunyian karena citra dan derajat masa itu. Namun pada akhirnya upaya bersatu yang suci ini-pun harus terlibat konspirasi yang menjatuhkan keduanya ke dalam aib yang tidak ter-peri-kan. Tapi cinta mereka tetap abadi meski harus terpisah. Justru keabadian dari keterpisahan ini, hingga akhirnya Abelard-pun mampu meninggal dalam senyum manusia sempurna. Dalam keheningan dan ketenangan apapun, cinta itu terus membara, menyeruak tanpa pernah menemukan apalagi yang diinginkan. Cinta mereka kemudian menjadi roh yang gelisah. Disatu pihak, roh itu memang murni, tapi dilain pihak juga dipenuhi keinginan dan hasrat yang tidak semurni itu karena ia juga manusiawi. Kegelisahan itu sungguh suatu kegelisahan. Namun justru kegilisahan itulah yang ikut merintis lahirnya zaman Renaissance, zaman yang penuh dengan kemanusiaan, menggantikan zaman yang terlalu keilahian.
Akupun tidak berharap kita tidak harus seperti Layla Majnun ataupun Abelard dan Heloise. Kita punya bayang sendiri yang selalu menyertai. Kisah mereka adalah rekaan sang pengarang dan kisah kita adalah sejarahnya kita. Meskipun kini harus terpisah. Keyakinanku padamu tidak akan pernah berubah. Aku yakin kau wanita tangkas, kuat menahan problema seperti Kartini, Layla atau Heloise. Entah mungkin suatu saat kita akan dipertemukan lagi atau tidak, cinta yang dulu pernah besemi diantara kita adalah corak tersendiri dari sebuh eksistensi manusia, termasuk kita. Ceritanya memang panjang dan berliku karena setelah hampir dua tahunan kita rajut, kitapun tak kuasa menahannya ketika ia akan jatuh. Tapi aku akan tetap berusaha mantap melangkahkan kaki gontai ini. Kucoba tegas seperti Sysiphus (Le Myth of Sysiphus karya Albert Camus) yang selalu bahagia meskipun terhukum harus membawa batu kepuncak tapi berulang kali juga sebelum mencapai bibir puncak, batu itu menggelinding kembali kebawah dan sysiphus tidak pernah menunjukan keputusasaannya meskipun itu absurd dilakukan. Itulah bayang yang coba aku tegakkan terus dari sepotong hati kecil ini, Sayangku.
Tak terasa karena ingin sekali aku membalas suratmu, sang terang mulai menyelinap dalam bayang redupnya rembulan. Ayam yang tadinya berkokok lantang, daun-daun yang tadinya riang menari, kini mulai terlihat melayu dan pulang ketempat seharusnya. Sekarang hanya kicauan jangkrik dan remangnya laron yang ganti menemani dalam kesendirian. Sesekali aku melihat kerlap-kerlip nya bintang dilangit. Kupandangi, sampai tak terasa mata ini berkaca. Ku usir nyamuk yang pengecut (karena mengigit dari belakang dan sembunyi-sembunyi) dengan membaca karya-karya sastra Portugis. Buku-buku sastra mereka mengulas tentang Dunia Sajak dan Ke-penyair-an. Mungkin akan berguna sedikit bagimu yang sedang memperdalam sastra. Dalam buku-buku Portugis itu, mereka menyebutkan bahwa Portugal adalah tanahnya penyair (barangkali kau belum tahu itu). Adalah Celina Bittencourt seorang penulis, pelukis dan penyair renta Brasil yang kini telah berusia 81 tahun yang tetap meneruskan keasyikan sastra Portugis yang mengurai tentang “amor atau cinta” tersebut. Oh iya, sastra Portugis dahulu berjaya dengan terkenalnya puisi ataupun sajak-sajak yang bergenre cinta sejak Luis Vas de Camoes (1524-1580), dan seteru sejarahnya Fernando Pessoa (1888-1935), sampai penyair kontemporer Alexandre Manuel O’Neil (1924-1986) dan Nuno Judice yang berjaya pada kurun 1972-an.
Mungkin kau perlu tahu, ada satu hal yang sangat kusenangi dalam membaca karya Celina. Judulnya “Acorda, Meu Amor” (Tegaskan, Sayangku). Begitulah kira-kira. Karena sedikit banyak ini mewakili perasaanku.

Vamos, acorda meu amor, que e curta a hora!...
Relembra, oh desvairado amor,
Cantigas e cantares que te disse
La bem distante ao nosso abraco debil
O quanto te queria e com que impeto?
Portanto acorda, amor, que que vai raiando a aurora!
Desperta, meu amor, que a curta a hora.

(Gegaslah, tegaskan sayangku, kini saatnya!...
Lihatlah, kekasih yang jauh,
Para penyanyi dan nyanyiannya selalu tentang itu
Sebaiknya jarak dan kerenggangan dienyahkan
Bilakah keinginan dan kebersamaan seiring?
Pastikan, sayang, untuk bersama wujudkan impian!
Tegaskan, sayangku, kini saatnya!)

Sangat enak bukan kalau dibacai, sampai perihnya mata ini membaca dalam remang seakan tiada berasa.
Ya kenapa aku bilang bahwa sengaja kutuliskan ini padamu, bukan hanya untuk memperdalam sastra saja, tapi seperti kubilang diawal tadi, ketegasan dan kejujuran memang sangat perlu dalam pengambilan keputusan. Begitupun ketika engkau percaya dengan keputusan kita harus berpisah.
Bilakah kau membacai bait terakhirnya, bila keinginan dan kebersamaan seiring maka akan lebih mudah menggapai impian. Maka itu aku tidak ingin menyalahkanmu dari keputusan yang telah dibuat. Karena masih sangat jauh kembara yang akan kita tempuh kemudian. Aku hanyalah salah satu contoh absurd yang mencoba masuk menemani jelajah cintamu yang luas. Dan aku yakin, suatu saat engkau akan berlabuh di dermaga yang sesungguhnya, yang penuh dengan seribu macam kembang dan kebahagiaan. Kejarlah itu, kawan, kejarlah itu sayang, kejar sampai dapat, sampai engkau benar-benar menemukan pelabuhan yang pantas untuk sebuah hatimu. Tak usah kau hiraukan daku. Aku akan menjalani pengembaraanku sendiri. Aku akan mencoba mencari dan bergelut dengan dunia kecilku ini. Biarlah paradoks ini ku tanggungkan dalam diriku. Tapi kumita padamu satu hal, tetaplah jaga komunikasi ini, meskipun kita tidak bisa membagi perasaan satu sama lain lagi. Karena dengan banyak berpola cakap, “derita dan beban akan tertangguhkan ketika ia menjelma menjadi cerita” ujar Hanna Arendt. Tidak ada yang perlu kita sesalkan dan tidak ada yang perlu kau tangisi. Pilihanmu adalah yang terbaik untukmu. Akupun senang bilamana engkau bahagia bersamanya.
Sebelum menutup suratku yang tiada guna ini, ingin sekali aku mengucapkan sesuatu padamu, “nothing gonna change my love for you”. Meski sudah terlambat karena sudah diambang perpisahan, tapi tak mengapa. Biar engkau tahu, biar semesta mencatat bahwa aku atau kita pernah memadu kasih, mereguk duniawi yang fana ini. Terakhir, ku berharap engkau tidak melupakan kata bijak “ to err is human, to forgive is divine”….kesalahan itu manusiawi tetapi memaafkan itu surgawi (Alexander Pope). Maafku ku hamburkan sebanyak-banyaknya untukmu. Sebanyak nafas yang berhembus dalam diriku. Begitupun harapku padamu tentang apa yang telah dan pernah kulakukan padamu sekalipun itu menyakiti hatimu, menyakiti perasaanmu atau bahkan fisik mungilmu. Biarlah bulan dan bintang yang menjadi saksi perjalanan cinta kita yang sepenggal ini serta sejarah yang selalu bertengger jadi teman sejatinyanya. Raihlah citamu, raihlah anganmu, dan raihlah cintamu sampai engkau benar-benar merasakan kepuasan dan kenikmatan seperti yang kau dambakan. Semoga kau bahagia selalu. Amin.

Melki Hartomi AS
Continue Reading...

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template