Pages

Wajah Pendidikan Kita (1)


Tujuan pendidikan seperti yang termaktub didalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) ialah mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan pendidikan bangsa kita akan terhindar dari segala bentuk penindasan. Berbicara pendidikan, dewasa ini telinga kita dipenuhi dengan wacana-wacana intelektual yang semakin kontroversi. Mulai dari ujian akhir nasional (UAN), sertifikasi guru, fasilitas yang masih sangat minim, anggaran yang tidak begitu jelas realisasinya sampai Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Carut marutnya pendidikan nasional dinegara ini disebabkan oleh ketidakberesan para pengelola pendidikan di tanah air. Adanya bentuk pemaksaan standarisasi nilai para pelajar tentunya tidak egaliter dengan konsep serta realita yang ada. Sementara itu, standarisasi fasilitas terhadap penunjang pendidikan seolah diabaikan begitu saja. Masih terdapat banyaknya perbedaan fasilitas antara sekolah dikota dan didesa. Seperti yang bisa kita lihat di media massa, televise atau lainnya, masih banyak sekolah di provinsi Papua yang minim fasilitas. Tidak hanya itu, kondisi sama terjadi juga di beberapa provinsi lainnya seperti Bengkulu dan lain-lain.
Tidak hanya itu, mutu pengajar sekarang ini juga perlu dipertanyakan panjang lebar. Seorang guru yang semestinya harus menguasai kemampuan pedagogik, perlu dipertanyakan kembali. Tidak hanya sebatas formalitas semata. Seorang pendidikik tentunya harus benar-benar mengerti apa dan siapa yang dihadapi. Apalagi dalam dunia pendidikan sekarang seperti tidak ada geliat yang lebih cerah kedepan. Sedikit prestasi tidak cukup mengangkat pendidikan diindonesia menjadi semakin cemerlang. Itu karena perbedaan yang signifikan antara prestasi dan kenerosotan yang ada didalamnya. Kalau kenyataan seperti itu, maka bangsa kita akan selalu tertinggal dengan negara-negara lainnya. Data mencatat bahwa, pada era 60-an, kualitas pendidikan di Indonesia sangat kompetitip. Buktinya ialah, banyaknya guru-guru di negeri ini direkrut untuk menjadi tenaga pengajar di Malaysia. Waktu itu, pendidikan disana sangat bergantung dengan Indonesia. Tapi sekarang, kalau di comparasikan dengan malaysia, pendidikan di bangsa ini sangat tertinggal sekali. Bahkan bangsa ini tidak mengirimkan tenaga didik dan terdidik ke negeri jiran tersebut. Yang bisa dikirmkan ialah tenaga kasar (TKI-red). Kalau seperti ini, selamanya pendidikan dinegeri ini akan tertinggal. Apalagi menjadi unggulan seperti Huazhong Normal University (HNU) di Cina. HNU sendiri bukan universitas “sembarangan”; menurut SJTU dalam ‘Top 40 General and Science Universities in Cina’ (2006); berada pada ranking ke-16 dari 40 universitas terbaik di Cina. Apalagi untuk bersaing dengan Harvard University di Amerika.
Permasalahan dalam dunia pendidikan seperti ini tentunya menyeret opini publik akan kinerja pengelola pendidikan dinegeri yang multi krisis ini. Sangat wajar jika banyak kalangan menilai bahwa pendidikan tak ubahnya seperti kekuasaan yang bisa dipermainkan kapan saja dan dimana saja sehingga membuat mandul dan kurang produktif dalam membuat dan mengeluarkan ide-ide pembaharuan pendidikan yang lebih dinamis. Seperti bandul, pendidikan nasional terus terombang ambing dalam kebijakan dan praktik yang tidak jelas dari pendidikan itu sendiri. Seperti penyelenggaraan UN sebagai penentu kelulusan mempersulit upaya menjadikan sekolah sebagai pusat pembudayaan segala kemampuan, nilai dan sikap yang diperlukan bangsa. Praktik UN bertentangan dengan konsep pembelajaran learning to know, learning to do, learning to live together dan learning to be (Soedijarto, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, “ Kurikulum Nasional dan Visi Indonesia 2030, Seberapa Jauh Pendidikan Menghasilkan Lulusan Berkompeten?”) Mengutip pendapat Bedjo Sujanto (2006), gagasan-gagasan orisinal dalam pendidikan sebenarnya terus bermunculan, termasuk dalam wujud sekolah-sekolah alternatif. Akan tetapi, eksperimen tersebut tidak bisa berkembang menjadi pemikiran pendidikan karena keberadaan mereka belum diterima dengan lapang dada. Itu terbukti dari masih minimnya perhatian pemerintah daerah terhadap sekolah-sekolah alternatif. Dari pemikiran itu, dapat kita ambil kesimpulan bahwa kurangnya perhatian pemerintah baik pusat atau daerah, telah membiaskan ide pendidikan sehingga berimbas pada tingkat mutu dan outcame pendidikan di Indonesia. Ditambah dengan masih ngetrend-nya pengedepanan pemikiran-pemikiran barat dalam menentukan kebijakan dan praktik kependidikan membuat pendidikan nasional menjadi stagnan. Padahal, Ki Hadjar Dewantara/KHD sudah benar dengan pembuatan konsep “Trilogi Kepemimpinannya”, Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya mangun Karsa dan Tut Wuri handayani. Bahkan, tidak saja didalam negeri, konsep dari Ki Hadjar tersebut justru menjadi tolak pikir bangsa barat dalam memajukan pendidikan disana. Seperti yang dilansir dari tulisan Ki Supriyoko ( mantan Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) dan guru besar Tamansiswa ) bahwasannya orang Cina-pun mau belajar filsafat dan budaya dari bangsa timur termasuk Indonesia. Pendapat itu diperkuat oleh pernyataan duta besar RI untuk Cina (http ://www.pikiran rakyat.co.id/cetak/2007/092007/24/0901.htm). Ini membuktikan bahwa pemikiran dalam negeripun kalau digali lebih jauh, masih sangat relevan dan bermanfaat bagi kemajuan bangsa terutama dalam bidang pendidikan. Lalu sejauh mana relevansi konsep pemikiran Ki Hadjar terhadap pendidikan sekarang ini? KHD dalam bukunya mengartikan pendidikan sebagai upaya kebudayaan untuk membimbing tumbuhnya jiwa raga agar melalui kodrat pribadi dan pengaruh lingkungan mendapatkan perkembangan jiwa dalam kehidupannya. Upaya kebudayaan pendidikan itu berupa upaya mempertajam akal (secara konqnitif), rasa (secara afektif) dan karya/tindakan (secara psikomotorik) untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan sebagai hasil budi daya manusia seperti Ilmu Pengetahuan, Religiositas, Etika, Estetika dan Kecakapan Hidup. Tujuan dari pendidikan itu sendiri adalah mamayung hayuning salira, mamayu hayuningbangsa, mamayu hayuning manungsa/bawana, atau mencita-citakan kebahagiaan diri, bangsa, dan umat manusia sedunia. Maka dari pemikiran itulah Ki Hadjar akhirnya mendirikan sekolah yang diberi nama Tamansiswa. Sekolah yang mempelopori perkembangan pendidikan ditanah air tercinta ini. Bukan pendidikan materialistis, yang bertentanan dengan UUD 1945. Seperti banyak lembaga pendidikan yang diselenggarakan untuk merebut/melanggengkan kekuasaan, atau demi materialisme bagi kepentingan segelintir orang atau diri sendiri. Sudah bukan rahasia umum lagi dewasa ini. Dengan mendirikan Tamansiswa, harapan Ki Hadjar terjadi dinamika pendidikan yang lebih efektif dan dinamis untuk memerdekakan manusianya karena manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Tamansiswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Tamansiswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada pola asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hadjar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand” (Br. Theo Riyanto, FIC “Pemikiran Kihadjar Dewantara tentang pendidikan/http/bruderfic.or.id). Dengan teori seperti ini, kirannya dapat menjadi pembelajaran bagi pendidikan nasional sekarang untuk lebih memahami arti pendidikan sehingga pendidikan terhindar dari perspektif negative yang bisa merugikan sesama, baik manusia maupun negara. Konsep Pendidikan yang ada di Tamansiswa ini kiranya masih dan sangat relevan sekali jika direalisaikan dalam pendidikan nasional yang nyata.
Lalu kita akan bertanya, mengapa harus dalam realisasi pendidikan nasional yang nyata? Itu tak lain dikarena pendidikan nasional sekarang semakin remang dan pudar dalam perjalanannya. Konsep baru yang ada sekarang justru membuat orang bingung menginterpretasikannya. Seperti konsep daripada RUU BHP. Banyaknya kepentingan yang bermain menjadikan pendidikan nasional menjadi sebuah permainan politis yang mengabaikan pendidikan dari aspek nasionalistiknya. Dengan masuknya BHP ke Indonesia, sangat memudahkan sekali bangsa asing untuk menguasai dan mengikis ideologi generasi penerus bangsa kemudian kelak. Ditambah lagi didalam RUU BHP ini hanya mengatur mengenai masalah pengelolaan pendidikan saja, tidak ada satupun pasal yang mengatur tentang peran pendidikan dalam pencerdasan kehidupan bangsa, proses dan perkembangan budaya, pengembangan intelektual dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah yang akan mnejadikan pendidikan nasional akan semakin tidak terjangkau oleh masyarakatnya sendiri. Biaya pendidikan yang semakin mahal akan tergambar dan terbayang didepan mata. Lalu, apa harapan anak bangsa yang kurang mampu untuk bisa bersekolah? Adalah sebuah keniscayaan. Jadi wajar jikalau Daoed Joesoef (mantan menteri pendidikan RI) mengungkapkan kata-kata tentang badan perdagangan pendidikan. Ini tentunya terkait akan mosi ketidakpercayaan kembali beliau akan pengelolah pendidikan tanah air. Hal-hal seperti ini tidak hanya dilontarkan golongan tua seperti Daoed Joesoef, melainkan juga dari berbagai kalangan seperti akademisi dan mahasiswa. Kalangan pendidikan nasional selayaknya segera mengambil langkah nyata dan berancang-ancang untuk kembali kepada keluhuran tiga hal asasi yang menjiwai pendidikan nasional. Apalagi mengingat masalah pendidikan di Indonesia sudah sangat pelik sekali. Masalah datang dari beberapa sektor termasuk dari ketidak komitmennya pemerintah untuk memenuhi anggaran pendidikan minimal 20 % dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sesuai amanat UUD 1945 sampai dengan isu yang mengatakan bahwa departemen pendidikan sebagai salah satu tempat korupsi yang paling jitu. Ini semua membutuhkan penanganan yang komprehensif dan prepentif. Supaya tercipta pendidikan yang bersih, bermutu dan merdeka seperti pemikiran Ki Hadjar. Karena jika terlambat diatasi, pendidikan nasional Indonesia tidak ubahnya hanya sebatas formalitas proses transfer ilmu semata. Pendidikan harus dikembalikan kejatidirinya lagi. Pendidikan yang memerdekakan manusianya. Pendidikan yang seperti dikonsep Ki Hadjar dengan perjuangan murninya (sampai rela dibuang dan diasingkan oleh penjajah) yang ditujukan untuk menciptakan manusia Indonesia berkarakter dan merdeka yang kehidupan lahir dan batinnya, tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar pada kekuatan sendiri. Tapi untuk mewujudkan itu semua, kiranya membutuhkan kontemplasi diri dari pendidikan itu sendiri akan kelemahan institusi (Kesadaran Kolektif). Tidak segampang membalik tangan. Harus ada penyelaman makna yang dalam bahwa kalau kita mengajarkan pendidikan kedalam tiga hal seperti menghidupi diri sendiri, kehidupan yang bermakna dan memuliakan kehidupan, maka ajaran Ki Hadjar akan dapat dipahami jika kita dapat menjabarkan hal itu lebih lanjut. (Mochtar Buchori dalam diskusi “ Refleksi gerakan pendidikan dan kebudayaan Tamansiswa” di Jakarta) Ini yang harus dilakukan oleh pengelola pendidikan dinegeri ini. Tidak hanya berkoar kemudian mengotak atik kurikulum, memindah dan membalik nama sekolah atau mengubah program triwulan menjadi semesteran. Selain itu, guna mengatasi fenomena stagnasi pendidikan kedepan, pemerintah harus menekankan political will dalam negeri. Karena dengan itu, mudahan-mudahan Pendidikan Nasional bebas dari segala pengaruh yang bisa merunyamkan keadaan serta menyulut pro dan kontra dimasyarakat.

Melki As

0 komentar:

Posting Komentar

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template