Pages

Merefleksi Peristiwa Pasca 1965

Hari ini, kembali kita di hadapkan pada peristiwa bersejarah dan berdarah. Dua peristiwa besar yang terjadi pada medio 1965 yaitu tanggal 30 September dan 1 Oktober. Pada tanggal 30 September, terjadinya kudeta yang menjatuhkan Ir. Soekarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia dan menggantikannya dengan diktator orde baru Kolonel Soeharto yang berkuasa selama 5 periode lebih (32 Tahun). Peristiwa Coup de etat ini yang dikenal dengan Gerakan 30 September/G30S, bermula dari di bunuhnya beberapa Jenderal dengan sadis dan mayatnya di buang di lubang buaya. Tersebutlah Ahmad Yani, Nasution dan lain-lain yang menjadi keganasan dari peristiwa tersebut. Dan dengan secepat angin, pemerintahan baru tersebut membalikkan sejarah dengan mengklaim bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) lah yang mendalangi pembunuhan Jenderal-Jenderal terbaik Indonesia itu. Walaupun akhirnya banyak tesis yang bermunculan pasca kejatuhan Soeharto yang menyatakan adanya konspirasi di balik kudeta Soekarno tersebut. Misalnya adanya keterlibatan Amerika lewat CIA dan lain-lain.
Seperti yang kita ketahui bahwa Soekarno menandaskan perjuangannya ke arah sosialisme. Tepatnya Sosio-Nasionalisme atau Nasionalisme Kemasyarakatan. Beliau ingin merubah bangsa ini dengan satu kesatuan yang di tunjang dengan kepribadian sebagai bangsa Indonesia yang asli, yang sejak kecil selalu terngiang-ngiang di telinganya dengan konsep kegotongroyongan dan agamais yang diwarisinya dari kakek dan orang tuanya. Sehingga baginya perlu di tumbuhkan suatu ideologi kebangsaan yang menjadi dasar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan pluralisme yang yang ada. Bahwa bangsa Indonesia terdiri dari bermacam ragam suku, adat, ras, agama, budaya, dan bahasa yang berbeda yang semuanya perlu di sejahterakan hidupnya. Hingga pada akhirnya, munculah Pancasila sebagai ideologi tunggal dalam kehidupan bersama.
Terlepas dari apa dan siapa perumus Pancasila yang sebenarnya, tapi ideologi tersebut terbentuk dari seluruh jiwa masyarakat Indonesia yang menghendaki perlunya diatur suatu pembagian rezeki, kesejahteraan manusia dan hubunganan antara pemilik modal dan para buruh. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar sehingga perlu pemersatu ideologi sebagai pemersatu rakyatnya. Jadi pertanyaan kenapa tidak berhaluan Agama atau Sosialis atau Komunis saja? Inilah yang masih sering di pertentangkan dan menjadi pertikaian oleh dan di bangsa ini dengan 230 juta rakyatnya sampai sekarang.
Partai Komunis Indonesia (PKI) yang merupakan manifes dari gerakan sosialis tidak hanya di Indonesia tapi juga dunia, memang pernah di jejalkan. Sampai pada akhirnya PKI di tumpas dan dianggap sebagai partai terlarang yang tidak boleh melakukan kegiatan sesuatu apapun karena mendalangi pembunuhan para Jenderal. Meskipun ini belum sepenuhnya benar. Tapi justru sejarah mengajarkan bahwa ketika komunis berkuasa, maka bukan kesejahteraan dan keadilan yang didapat. Justru yang ada hanyalah Komunis sebagai mesin pemeras yang baru dan pembunuh tatanan kehidupan masyarakat yang plural. Jadi apabila dipaksakan, komunis justru akan menjadi diktator baru yang sama hal nya dengan kapitalisme yang selalu mencengkeram dan membelenggu kesejahteraan dan keadilan rakyatnya. Soviet adalah contoh nyatanya. Sama hal nya dengan Indonesia, meskipun tidak berhaluan komunis, tetapi sejarah komunis Indonesia telah memangkas seluruh rencana kedepan yang dicita-citakan. Tindakan gegabah Partai Komunis Indonesia akhirnya dijadikan alasan untuk menghabisi setiap pergerakan kiri di Indonesia. Sampai benih-benih pergerakan pun jadi tumbal dari kegegabahan PKI ini. Makanya sangat mustahil sekali bila ingin menghidupkan kembali paham komunis di Indonesia.
Tapi, meski mustahil menghidupkannya, roh Komunis tersebut masih terpelihara dengan baik. Dengan perfom baru berelimut sosialis, bahkan roh itu merasuk sampai ke ruang-ruang intelektual (kehidupan kampus), yang notabene nya mahasiswa dengan membentuk organ-organ pergerakan. Yang selalu menjadikannya ambigu adalah klaim ‘kiri yang paling mentok’. Jadi ada anggapan bahwa hanya organ inilah yang paling hebat dan progressif. Kehebatan dan progressif nya diumbar dengan mengobarkan perlawanan entah itu protes, bentrokan dan sebagainya. Sesungguhnya ini adalah bentuk pendangkalan jiwa berpikir, terutama generasi penerus bangsa. Padahal antara ‘Kiri, Sosialis dan Komunis’ itu adalah sesuatu yang berbeda. Kiri adalah bentuk perumpamaan dari perlawanan yang manifesnya bisa berbentuk berbagai paham seperti Sosialis, Komunis, Agamais ataupun Pancasilais. Jadi terasa bedanya antara Kiri dan Komunis, Kiri dan sosialis, Kiri dan Agamais ataupun Kiri dan Pancasilais. Tapi kekiri-kirian yang di serempetkan dengan gaya sosialis komunis selalu terpelihara di negeri ini. Seolah-olah itu adalah satu-satunya paham kebenaran dalam kehidupan suatu bangsa. Sama halnya dengan Kiri Agamais yang akhirnya juga berpendapat hanya dengan aturan agama satu, maka itulah kunci kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adanya gerakan radikal yang memaksakan kehendak satu ideologi keagamaan, justru membuat Indonesia di ambang ketidakjelasan. Hal ini bisa saja terjadi bilamana orang tidak memahami sejarah. Bahwa dengan menyatukan semua lini kekuatan, apapun agamanya, baik tua ataupun muda, bangsa ini bisa merdeka. Cita-cita negara agama adalah sesuatu yang sangat muluk dan sangat susah di terima. Agama tidak untuk dijadikan mesin kekuasaan, tapi pengembangan nilai-nilai agama didalam diri yang sangat diperlukan. Memang penduduk Indonesia mayoritas Islam, tapi untuk memaksakan negara Islam, jauh panggang daripada api. Karena Islam tidak membutuhkan negara, tapi Islam membutuhkan kesucian hati. Dan juga karena ditengah mayoritas Islam tersebut, ada minoritas lainnya yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Hak untuk memperoleh hidup, berpendidikan maupun memeluk suatu agama tertentu seperti lainnya. Jadi kalaulah kita ingat sejarah, maka bukan satu agama saja yang membangun bangsa ini. Apalagi isu agama hanya tameng untuk menggapai kekuasaan, bukan untuk mensejahterakan. Kiranya baik mengingat guman bung Karno bahwa bangsa ini harus di bangun dengan jiwa yang nasionalis. Dan agama cukuplah ada di dalam diri masing-masing sebagai pengontrol perilakunya. Apalagi di tengah pluralisme kehidupan rakyatnya yang bhineka. Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan berbagai aliran kepercayaan lainnya. Negara agama seperti yang di cita-citakan fundamentalis adalah hil yang mustahal. Indonesia sudah tepat dengan mendasarkan setiap permasalahan dengan aturan hukum, meskipun belum terlaksana total (karena bukan Pancasilanya yang bermasalah, tapi instrumen yang menjalankannya yang mungkin belum paham dengan Pancasila). Hanya dengan mendasar pada satu ketetapan hukum, maka bisa di rangkul semua kalangan di seantero Indonesia yang beragam agama dan kepercayaannya.

Pancasila; Jalan Yang Masih Tersendat

1 Oktober sebagaimana yang selalu kita peringati adalah hari Kesaktian Pancasila. Meskipun sejarah yang mengitarinya masih buram, tetapi hari ini menguatkan kembali kepada kita bahwa hanya ada satu ideologi di negeri ini, bukan Komunis, bukan Agamais atau lainnya, tetapi Pancasila. Seiring perjalanannya, memang Pancasila belum mantap menatap kedepan. Pancasila masih mantap sebatas perumusannya. Aplikasi dan implikasinya Pancasila masih tersimpang siur. Pancasila seharusnya menjadi obat bagi kemelut di negeri ini. Bilamana ada sesuatu yang mengkhawatirkan, maka pancasila lah yang akan meluruskannya. Makanya Pancasila dianggap sakti. Cuma permasalahannya sekarang, kesaktian itu mulai luntur seiring subur menjamurnya praktik korupsi, pertentangan ideologi, tawuran antar etnis, suku, pemuda, agama dan lain-lainnya. Sesungguhnya praktik ini tidaklah sejalan dengan jiwa dan semangat Pancasila. Adanya tindakan mengemukkan diri dan kelompok sendiri dengan menafikkan kemiskinan yang masih melekat pada masyarakat adalah sebentuk penghianatan dan penghinaan terhadap konsensi Pancasila yang telah jauh dirumuskan pendahulu.
Banyak kalangan menilai bahwa terjadinya praktik menyimpang itu disebabkan karena lunturnya nilai-nilai Pancasila. Ibarat obat, Pancasila menjadi kadaluarsa di tengah panasnya pertentangan dan permainan kepentingan antar elit. Bukan rahasia umum lagi bahwa terjadinya pertikaian-pertikaian juga di sebabkan sebagai pengalihan isu. Misalnya ketika elit di jakarta banyak yang tersandung masalah, maka lumrah kalau terjadi letusan pertikaian di tempat lainnya. Jadi sepertinya kalau kita mengatakan bahwa nilai-nilai pancasila itu semakin luntur, yang menjadi pertanyaannya adalah apakah mungkin sesuatu itu luntur secara sendiri ataukah memang sengaja ada yang ingin melunturkannya??
Bahkan dari cara pengalihan isu ini, paradigma masyarakatpun berubah menjadi sebentuk unjuk kekuatan. Kalau kemarin masyarakat diajarkan tawur dengan cara di provokasi, sekarang masyarakat (terutama yang merasa paling kuat) keranjingan tawur meskipun tanpa di provokasi. Mereka membentuk sendiri kelompok-kelompok tertentu sehingga pertikaian bisa meledak kapan dan dimana saja. Belum lama ini terjadi pertikaian di Tarakan Kalimantan Timur. Dan baru saja terjadi pertikaian pemuda di depan pengadilan negeri Jakarta. Pertikaian seperti ini akan selalu terjadi kalau negara tidak cepat tanggap. Tidak hanya dengan di tangkapi para perusuhnya, tetapi dengan menanamkan ulang nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila tersebut. Dan dalam menindak perusuh, dengan bersandar pada kekuatan Pancasila, sebaiknya pula negara tidak tangung-tanggung untuk menindak dan menertibkannya. Karena tidak hanya kelompok-kelompok pemuda yang sering bertikai, isu agamapun menjadi sangat strategis sekali bagi segelintir kalangan untuk di pertikaikan. Misalnya kekerasan yang dilakukan dengan embel-embel ormas suatu agama tertentu. Upaya untuk menertibkannya memang sudah di ujung klimak, tapi sepertinya selalu tersendat untuk di eksekusi. Kenapa tersendat, pastinya pemerintah dan negara masih ragu. Keraguan karena sejatinya ada campur tangan pemerintah yang sengaja melindunginya dan bisa di pergunakan untuk kepentingan tertentu. Ataukah mungkin saja ormas tersebut pertamakali di bentuk oleh tentara atau partai politik atau mungkin penguasa. Kalau teroris sekaliber al qaedah dan jamaah al islamiah bisa dikebiri, kenapa ormas-ormas yang telah dengan jelas menabrak jiwa Pancasila masih bisa berdiri eksis bahkan dengan angkuhnya.
Belum lagi bicara masalah kedaulatan yang selalu di lecehkan oleh tetangga serumpun. Mungkin Bung Karno sangat keras sehingga beliau memprovokasi dan mengajak konfrontasi negara-negara di sekitar seperti Singapura, Malaya, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk melawan dan membubarkan proyek negara boneka Malaysia. Tapi sekarang sangat jauh berbeda perbandingannya. Bahkan di hina sekalipun, bangsa ini berbalik meminta maaf. Lihat saja hasil perundingan terkait perseteruan penangkapan petugas kelautan Indonesia yang dilakukan Malaysia di perairan Indonesia. Hasil perundingannya sangat menyesalkan rakyat, yang kesannya sangat lembek dan tidak ada ketegasan. Sepertinya diplomasi kotoran malah lebih berhasil membuat Malaysia berang dibanding diplomasi elit yang membuat Malaysia hanya senyum-senyum saja. Kenapa Indonesia se lembek itu? Apalagi mengingat perseteruan Indonesia-Malaysia ini telah berlangsung lama. Dan faktanya Indonesia selalu kalah dalam diplomasi. Bukti konkrit adalah hilangnya Sipadan dan Ligitan. Tidak hanya itu, Malaysia berani mengklaim seni-budaya bangsa ini seperti reog, lagu rasa sayange dan batik untuk di jadikan promosi negaranya. Indonesia hanya tenang-tenang saja, mengingat masih ada 2 juta tenaga kerja yang mencari rezeki di negeri jiran tersebut (menjadi babu dengan embel-embel pahlawan devisa).
Seharusnya dari beragam kejadian ini, memang kita sepakat bahwa hanya nilai-nilai Pancasila yang dapat mengatasinya. Dari pertentangan ideologi sampai kedaulatan, Pancasila mujarab untuk di praktek kan ulang. Pancasila adalah ksatria, simbol keberanian, ketegasan dan pintarnya negeri ini. Bak garuda, Pancasila adalah penjaga seluruh tatanan kehidupan negeri ini. Tapi untuk mempraktekkannya, karena nilai-nilai itu mulai luntur, maka negara dan pemerintah harus menguatkan lini pendidikan untuk memamkannya kembali pada generasi berikutnya. Bangsa ini terletak pada generasi berikutnya, bukan generasi sebelumnya. Tidak ada lagi yang diharapkan dari Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Tan Malaka maupun lainnya, kecuali gagasan dan ide-idenya tentang bangsa yang akan datang. Muara dari segala permasalahan kita adalah kesadaran. Kesadaran untuk hidup harmonis, damai dan sejahtera. Saya kira itu sejalan dengan semua agama yang ada. Artinya tidak ada pertentangan antara agama dan pancasila.
Sesungguhnya musuh bangsa ini bukanlah pada gertakan ideologi atau paham, kelompok ataupun pertentangan antar bangsa. Sesungguhnya musuh utama kita dari dulu sampai sekarang adalah kebodohan dan kemiskinan. Adalah sesuatu yang miskin kalau kita bodoh, pun begitu sebaliknya. Dan bangsa yang bodoh tidak akan pernah berkembang dan maju. Selamanya akan selalu tertindas. Seperti bangsa ini, terlepas dari penindasan bangsa asing, tapi berbalik menindas bangsanya sendiri. Kalau kita bisa melepaskan kebodohan dan kemiskinan ini, niscaya, bangsa ini akan menatap masa depannya yang gemilang. Karena semua yang tertanam di negeri ini, alamnya maupun manusianya, sama-sama menjanjikan. Dan untuk mewujudkan itu, cukup sudah negara dan pemerintah beserta instrumennya membangun kewibawaan. Sekarang saatnya membangun karakter bangsa yang benar-benar sesuai dengan cita-cita dan harapan. Cukuplah membangun politik pencitraan, tapi bangunlah pencitraan politik yang nasionalis, manusiawi dan meletakkan permasalahan rakyat di atas segala-galanya (PANCASILAIS).

Melki Hartomi AS
Anggota Persatuan Pemuda Tamansiswa

0 komentar:

Posting Komentar

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template