Pages

Bedah Buku Ki Hadjar Dewantara “Menuju Manusia Merdeka”


“Untuk melihat kebudayaan dalam pendidikan kita perlu meneliti kembali bagaimana konsep Ki Hadjar Dewantara (KHD) karena beliau telah meletakan dasar-dasar pendidikan yang berorientasi budaya. Dalam kongres Tamansiswa yang pertama tahun 1930, KHD telah menyadarkan konsep pendidikan beralaskan garis hidup bangsanya (kulturil national) yang ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya agar dapat bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap umat manusia diseluruh dunia”.
Demikian yang disampaikan DR. Ismu Tri Parmi dalam bedah buku karya KHD “Menuju Manusia Merdeka” yang diadakan Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa (MLPT) dan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) di Pendopo Agung Tamansiswa, Jum'at 03 Juli 2009 dalam rangka peringatan HUT ke-87 Perguruan Tamansiswa. Turut hadir juga dalam acara itu ketua MLPT Ki Tyasno Sudarto, Rektor UST Ki Prof. DR. Djohar MS, para pamong, pinisepuh dan undangan. Hadir sebagai pembicara antara lain Ki Wuryadi, Ki Indra Trenggono, Ki Sahedy Noor, Drs. Slamet Sutrisno M. Si (filsafat UGM), DR. Hajar Pamadhi MA (Hons) dari UNY dan DR. Ismu Tri Parmi serta di moderatori Ki Bronto (mantan Rektor UST).
Menurut Ismu, kalau kita perhatikan ungkapan tersebut yang telah dirumuskan hampir 79 tahun lalu, kiranya masih perlu dikaji kembali dalam mengantarkan bangsa indonesia memasuki milenium ketiga yang memerlukan perubahan paradigma barudalam menata pendidikan nasional yang selama ini telah memisahkan pendidikan dari kebudayaan. Dari rumusan tersebut, dapat dilihat butir-butir bahwa kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan bahkan kebudayaan merupakan alas atau dasar dan landasan pendidikan. Isi rumusan ini sungguh menjangkau jauh kedepan yang menyatakan bahwa bukan hanya pendidikan yang beralaskan satu aspek kebudayaan yaitu aspek intelektual namun kebudayaan sebagai satu keseluruhan yang utuh. Kebudayaan yang menjadi landasan pendidikan tersebut haruslah bersifat kebangsaan. Dengan demikian kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan yang riil yaitu budaya yang hidup didalam masyarakat kebangsaan Indonesia. Apabila kebudayaan kebangsaan Indonesia itu belum terwujud, maka ini adalah tugas pendidikan nasional untuk ikut mewujudkan kebudayaan kebangsaan yang dimaksud. “Disinilah peranan pendidikan nasional sebagai bagian dari kebudayaan nasional untuk ikut membangun kebudayaan kebangsaan Indonesia. Oleh karena itu, kebudayaan merupakan dasar dari praksis pendidikan, maka bukan saja seluruh proses pendidikan berjiwakan kebudayaan nasional tapi juga seluruh unsur kebudayaan harus diperkenalkan dalam proses pendidikan. Dan pandanagan klasik Tamansiswa yang visioner, ternyata sejalan dengan pandangan-pandangan pendidikan kontemporer” imbuhnya.
Sementara itu, menurut Indra Trenggono selaku pemerhati kebudayaan dan penulis sastra bahwa esaai dan artikel karya KHD yang diterbitkan kembali dalam buku “Menuju Manusia Merdeka” mencerminkan mozaik pemikiran KHD yang berkisar pada tiga isu atau persoalan
pokok yakni manusia, pendidikan dan kebudayaan. Menurutnya, pokok persoalan manusia menurut KHD manusia adalah subjek yang memiliki potensi kognitif, afektip dan psikomotorik yang harus dikembangkan secara seimbang sehingga mampu menjawab dua tantangan besar yakni tantangan alam dan tantangan kebudayaan. Tantangan alam terkait dengan cara-cara manusia untuk survive. Sedangkan tantangan kebudayaan terkait dengan cara-cara manusia untuk membangun peradaban (nilai, etika, moral, hukum, ekspresi estetik-non estetik, karya-karya budaya dan lainnya. Dalam pokok persoalan pendidikan KHD memandang pendidikan merupakan media kebudayaan yang tersistem dan harus memerdekakan manusia (subjek didik) sesuai dengan kodratnya. Bagi KHD sendiri, pendidikan hanya suatu tuntunan didalam tumbuhnya anak-anak. Dalam kontek ini, posisi pendidik (pamong) adalah fasilitator yang bertugas mulia memfasilitasi pendidikan anak terkait dengan kemapuan intelektual atau penalaran (logika), etika, estetika dan ketrampilan.
“KHD mengatakan bahwa hidup tumbuhnya anak-anak terletak diluar kecakapan kehendak kita kaum pendidik. Frase ini menegaskan pendidik adalah fasilitator yang tidak memiliki hak untuk memaksakan berbagai keingnan subjektifnya atau menjadi pemborong kebenaran (guru selalu benar dan tidak pernah salah). Pamong atau fasilitator adalah penumbuh jiwa dan potensi-potensi anak menuju pada kemandirian dan kemerdekaan. Relasi antara fasilitator dengan anak didik bukan vertikal (guru paling tahu dan menetukan) melainkan horizontal (kesetaraan posisi sebagai sama-sama subjek dalam proses belajar dan berlatih). Ini tentunya menunjukan bahwa KHD menolak feodalisme dalam pendidikan yang sesungguhnya hanya akan melahirkan jiwa budak. KHD justru lebih condong ke proses pendidikan yang egaliter, terbuka dan demokratis yang memungkinkan anak didik menemukan jiwanya yang mandiri dan merdeka. Meski egaliter, anak didik tidak harus menabrak etika didalam proses belajar dan berlatih. Sementara pendidikan yang menekankan sosialisasi cenderung mendoktrin anak didik menjadi sekadar makhluk penghapal ilmu pengetahuan atau robot yang patuh yang didalamnya tidak berlangsung internalisasi pengetahuan dan pengalamn menjadi nilai. Salah satu kegagalan pendidikan kita adalah lebih menekankan sosialisasi dari pada transformasi” ungkapnya lagi.
Dan pada pokok persoalan kebudayaan menurut Indra, KHD memandang bahwa pentingnya memaknai dan memfungsikan kebudayaan sebagai identitas kebangsaan, pembentuk kepribadian atau karakter bangsa, ukuran pencapaian peradaban bangsa dan media untuk menjawab persoalan bangsa. Pemahaman KHD tentang kebudayaa sangat visioner yang berarti bahwa kebudayaan bukan kata benda yang selesai melainkan sebuah kata kerja yang terus berproses untuk menjadi atau membentuk sosok dirinya sesuai dengan tantangan sejarah dan kemajuan serta tantangan peradaban manusia secara universal. Dalam proses membentuk sosok dirinya itu, kebudayaan bangsa terbuka bagi dialog-dialog nilai baik yang berasal dari budaya lokal maupun universal, sifat terbuka itu berarti bahwa kebudayaan bercorak plural (majemuk), tidak tunggal alias homogen dan bersifat toleran.
Didalam makalahnya yang berjudul “Merefleksi Gagasan Ki Hadjar” Ki Indra Trenggono juga menyinggung tentang keterkaitan meninggalkan etos nilai budi pekerti dengan keterpurukan bangsa sekarang ini. “Akibatnya, bangsa ini mengalami kekosongan nilai dan menjadi pengabdi materi. Bahkan kini yang semakin kabur bukan hanya nasionalisme tetapi juga identitas kultural bangsa dan martabat bangsa. Di ujung kehancuran nilai-nilai itu, akhirnya menjelma menjadi sekadar bangsa konsumen yang menyedihkan. Kini anak-anak hanya hapal jingle iklan dan lagu pop daripada lagu kebangsaan. Bahkan seorang caprespun ikut-ikutan tergoda memakai lagu iklan demi membangn citra dirinya. Nah ditengah krisis kebudayaan bangsa ini, semestinya Tamansiswa sebagai gerakan pendidikan dan kebudayaan mampu tampil menyodorkan alternatif nilai-nilai dalam semangat Ki Hadjar Dewantara” ungkapnya.

Melki As

0 komentar:

Posting Komentar

Featured

 

BIDADARI KECILKU

BIDADARI KECILKU

EKSPRESI

EKSPRESI

Once Time Ago

Once Time Ago

Aspiratif CyberMedia Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template